Anda di halaman 1dari 31

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS 2017


UNIVERSITAS HASANUDDIN

OD PTERYGIUM STADIUM III

OLEH :
Fausiah Jamil C 111 12 111

PEMBIMBING:
dr. Sulmiawati

SUPERVISOR:
Dr. dr. Habibah S. Muhidin, Sp.M (K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini, menyatakan bahwa:


Nama : Fausiah Jamil
NIM : C111 12 111
Judul Case Report : OD PterygiumStadium III

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu
Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar.

Makassar, Agustus 2017

Konsulen, Pembimbing,

Dr. dr. Habibah S. Muhidin, Sp.M(K) dr. Sulmiawati


LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. H
Umur : 50 tahun
Jenis Kelamin : Laki - Laki
Agama : Islam
Suku/bangsa : Bugis
Alamat : Pangkep
No. Rekam Medik : 035755
Pekerjaan : Petani
Tanggal Pemeriksaan : 08 Agustus 2017
Rumah Sakit : RS Universitas Hasanuddin

II. ANAMNESIS
Keluhanutama :
Selaput putih kemerahan pada mata hitam mata kanan

Anamnesis Terpimpin :
Dialami sejak +5 tahun yang lalu. Awalnya tidak bergejala, namun semakin
lama semakin melebar dan menimbulkan rasa mengganjal pada mata kanan.
Mata merah ada, mata sering berair ada, kotoran mata yang berlebihan tidak
ada. Silau ada. Gatal dan bengkak tidak ada. Penurunan penglihatan ada.
Riwayat sering terpapar sinar matahari ada. Riwayat pemakaian kaca mata
sebelumnya ada untuk membaca. Riwayat penyakit mata sebelumnya tidak
ada. Riwayat alergi tidak ada. Riwayat trauma tidak ada. Riwayat hipertensi
disangkal. Riwayat diabetes disangkal. Riwayat penyakit yang sama dalam
keluarga tidak ada.
III. FOTO KLINIS

OD OS

IV. PEMERIKSAAN
Status Generalis
Keadaan Umum : Sakit sedang, gizi cukup, compos mentis
Tanda Vital : Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 80 kali/menit
Pernafasan : 20 kali/menit
Suhu : 36,7 C
Inspeksi

OD OS
Palpebra Edema (-) Edema (-)
Silia Sekret (-) Sekret (-)
Apparatus Lakrimalis Lakrimasi (-) Lakrimasi (-)
Konjungtiva Hiperemis (+), tampak Hiperemis (-), normal
selaput berbentuk
segitiga di daerah nasal,
dengan apeks melewati
limbus dan sudah
mencapai daerah
pupil.
Bola Mata Normal Normal
Mekanisme Muskular Kesegala arah Kesegala arah

Kornea Jernih Jernih


Bilik Mata Depan Kesan Normal Kesan Normal
Lensa Jernih Jernih

Palpasi
OD OS
Tensi Okuler Tn Tn
NyeriTekan (-) (-)
Massa Tumor (-) (-)
GlandulaPreAurikuler Tidak Ada Pembesaran Tidak Ada Pembesaran
Tonometri
Tekanan Oculi Dextra : 14 mmHg
Tekanan Oculi Sinistra : 12 mmHg

Visus
VOD : 20/40
VOS : 20/20

Campus visual
Tidak dilakukan pemeriksaan

Color sense
Tidak dilakukan pemeriksaan

Penyinaran oblik
OD OS
Konjungtiva Hiperemis (+),tampak Hiperemis (-), normal
selaput berbentuk
segitiga di daerah
nasal, dengan apeks
melewati limbus dan
sudah mencapai
daerah pupil.
Kornea Jernih Jernih
Bilik Mata Depan Kesan Normal Kesan Normal
Iris Coklat, kripte(+) Coklat, kripte(+)
Pupil Bulat, Sentral, RC(+) Bulat, Sentral, RC(+)
Lensa Jernih Jernih
Oftalmoskopi
Tidak dilakukan pemeriksaan

Slit lamp
o SLOD : Konjungtiva hiperemis (+), tampak selaput berbentuk
segitiga di daerah nasal, dengan apeks melewati limbus dan sudah
mencapai daerah pupil. Kornea jernih, BMD kesan normal, iris
coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+), lensa jernih

o SLOS : Konjungtiva hiperemis (-), kornea jernih, BMD kesan


normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+), lensa
jernih.

V. RESUME
Pasien laki laki umur 50 tahun datang dengan keluhan selaput putih pada
mata hitam mata kanan dialami sejak +5 tahun yang lalu. Awalnya tidak
bergejala, namun semakin lama semakin melebar dan menimbulkan rasa
mengganjal pada mata kanan. Mata merah ada, mata sering berair ada. Silau ada.
Gatal dan bengkak tidak ada. Penurunan penglihatan ada. Riwayat sering
terpapar sinar matahari ada. Riwayat pemakaian kaca mata sebelumnya ada
untuk membaca. Riwayat penyakit mata sebelumnya tidak ada. Riwayat alergi
tidak ada. Riwayat trauma tidak ada. Pada pemeriksaan oftalmologi,
VOD:20/40, VOS: 20/20, TODS : Tn. Pada pemeriksaaan slit lamp ditemukan
SLOD: Pada Konjungtiva hiperemis (+),tampak selaput berbentuk segitiga di
daerah nasal dengan apex melewati limbus dan mencapai pupil, kornea
jernih, BMD kesan normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+),
lensa jernih. SLOS: segmen anterior dalam batas normal.

VI. DIAGNOSIS
OD Pterygium Stadium III
VII. DIAGNOSIS BANDING
PseudoPterygium
Pinguekula

VIII. TERAPI
C lyteers ED 1 gtt / 4 jam / ODS
Rencana eksisi pterygium metode conjungtival graft

A. DISKUSI KASUS
Pasien ini didiagnosis dengan OD Pterygium stadium III berdasarkan
dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Dari
hasil anamnesis, didapatkan keluhan adanya selaput putih menonjol yang
dialami sejak +5 tahun sebelum ke poliklinik. Pada pemeriksaan inspeksi,
pada OD didapatkan adanya selaput pada konjungtiva dengan apeks
melewati limbus, dan sudah mencapai pupil, yang menunjukkan tanda
Pterygium stadium III.

Tidak ada pengobatan medikamentosa yang spesifik untuk Pterygium.


Tujuan pengobatan medikamentosa adalah untuk mengurangi peradangan.
Bila terjadi peradangan dapat diberikan steroid topikal. Tindakan pembedahan
pada Pterygium adalah suatu tindakan definitif untuk mengangkat jaringan
Pterygium dengan berbagai teknik operasi.

VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad sanationem : Dubia et Bonam
Quo ad kosmeticum : Dubia
BAB I
PENDAHULUAN

Pterygium berasal dari bahasa Yunani yaitu Pterygos yang artinya sayap
(wing). Pterygium didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada
subkonjungtiva dan tumbuh menginfiltrasi permukaan kornea, bersifat degeneratif
dan invasif, dan umumnya bilateral pada sisi nasal ataupun pada sisi temporal
yang meluas ke daerah kornea, biasanya berbentuk segitiga dengan bagian apeks
menghadap ke sentral kornea dan basis menghadap lipatan semilunar pada
cantus.Penyakit ini sering terjadi di masyarakat dan menimbulkan kecacatan,
dengan gangguan pada penglihatan dan mata itu sendiri.Karena pada awalnya
pterygium sering tidak bergejala, telah dilakukan penelitian mengenai sejarah dan
pengobatan, dan kebanyakan ahli mata menganggap ini adalah masalah sepele,
hingga lesi mengganggu axis visual. 1,2

Pterygium pertama kali ditemukan oleh Susruta (India) dokter ahli bedah
mata pertama di dunia 1000 tahun sebelum masehi dan dilaporkan dua kali lebih
banyak terjadi pada pria dibanding wanita. Sedangkan menurut usia, pterygium
muncul pada usia 20 tahun. Prevalensi tertinggi pada pasien di atas 40 tahun, di
mana pasien usia 20-40 tahun dilaporkan merupakan insiden tertinggi terjadinya
pterygium. Diperkirakan pterygium disebabkan oleh karena sering terpajan sinar
matahari dan radiasi ultraviolet serta iritasi dari debu, pasir, area dengan angin
kencang. UV-B yang bersifat mutagen terhadap gen P53 yang berfungsi sebagai
tumor suppressor gene pada stem sel di basal limbus. 2,3

Pterygium dapat bervariasi bentuknya dari yang kecil, lesi atrofi sampai
lesi fibrovaskular besar yang tumbuh agresif dan cepat yang dapat merusak
topografi kornea, dan yang selanjutnya, mengaburkan bagian tengah optik kornea.
Gejala yang dialami pasien seperti merasakan sensasi benda asing, nyeri,
lakrimasi dan penglihatan kabur.Jika Pterygium membesar dan meluas sampai ke
daerah pupil, lesi harus diangkat secara bedah bersama sebagian kecil kornea
superfisial di luar daerah perluasannya. Kombinasi autograft konjungtiva dan
eksisi lesi terbukti mengurangi resiko kekambuhan.4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi

Pterygium berasal dari bahasa Yunani yaitu Pterygos yang artinya sayap
(wing).Pterygium didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan fibrovaskuler
subkonjungtiva dan tumbuh menginfiltrasi permukaan kornea, bersifat degeneratif
dan invasif.Pterygium biasanya berbentuk segitiga dengan bagian apeks
menghadap ke sentral kornea. Pterygium mudah meradang dan bila terjadi iritasi,
maka bagian Pterygium akan tampak berwarna kemerahan. Pterygium dapat
mengenai kedua mata. Pterygium biasa bervariasi dari lesi berukuran kecil sampai
lesi berukuran besar dan tumbuh secara cepat dan agresif, yang pada kasus lanjut
dapat menyebabkan gangguan pada fungsi kornea sebagai salah satu media
refraksi. 1,2

B. Epidemiologi

Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim yang
panas dan kering. Studi epidemiologis menemukan adanya asosiasi terhadap
paparan sinar matahari yang kronis, dengan meningkatnyaprevalensi geografis
'sabuk Pterygium'dalam garis peri-khatulistiwa 37o lintang utara dan selatan
khatulistiwa.Pada populasi yang terkena, pertumbuhan Pterygium telah terlihat
pada remaja muda dan banyak terjadi di masyarakat di padang
pasir.Pterygiumterlihat hampir dua kali lebih sering pada laki-laki daripada
wanita. 1,2,3,4

Sebuah studi epidemiologis oleh Gazzard dkk melaporkan orang berkulit


hitam (usia 40-84 tahun) diBarbados, yang terletak di daerah tropis 13 utara
khatulistiwa,memiliki tingkat prevalensi yang sangat tinggi (23,4%) sedangkan
tingkat prevalensiorang kulit putih di perkotaan(usia 40-101 tahun) Melbourne,
Australia kurang dari (1,2%). Prevalensipterigium orang kulit putih lebih dari 40
tahun di pedesaan Australia (6,7%), dan di perkotaan orang Cina Singapura yang
lebih dari 40 memiliki tingkat prevalensi (6.9%). Penelitian Gazzard dkk
mengenai Pterygium di Indonesia menemukan adanya insidens Pterygium yang
tinggi pada penduduk Indonesia, bahwa Pterygium diderita oleh 1 dari 10 orang
Indonesia berusia > 21 tahun. Insidens meningkat dengan penambahan usia dan
aktivitas outdoor.Pada penelitian ini, kecenderungan insidens terhadap jenis
kelamin tertentu tidak begitu signifikan, walaupun pada beberapa penelitian
lainnya menunjukkan bahwa Pterygium lebih banyak ditemukan pada laki-laki.3

Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi Pterygium. Prevalensi


Pterygium meningkat terutama dekade ke-2 dan 3 kehidupan dengan insiden
tertinggi pada umur antara 20-49 tahun. Pterygium rekuren sering terjadi pada
umur muda dibandingkan dengan umur tua. Penelitian lain menunjukkan laki-laki
2 kali lebih berisiko daripada perempuan disebabkan adanyafaktor yang
berhubungan dengan paparan rokok, pendidikan rendah, dan riwayat paparan
lingkungan atau pekerjaan di luar rumah.3

C. Etiologi dan Faktor Risiko

Etiologi Pterygium belum sepenuhnya diketahui. Tetapi penyakit ini lebih


sering timbul pada orang yang tinggal di tempat dengan iklim panas. Oleh karena
itu, anggapan yang paling mungkin adalah adanya pengaruh faktor lingkungan
seperti paparan sinar matahari(sinar ultraviolet), panas, angin tinggi dan debu
dalam jangka panjang. Baru-baru ini,beberapa virus juga memiliki kemungkinan
sebagai faktor etiologi.1,2

Efek merusak dari sinarUV menyebabkan penurunansel induk limbal pada


kornea, yakni menyebabkan terjadinya insufisiensi limbal.Hal ini mengaktifkan
faktor pertumbuhan jaringanyangmenginduksi angiogenesis dan proliferasi
sel.Radiasi cahaya UVtipeB menjadi faktor lingkungan yang paling signifikan
dalam patogenesis Pterygium.Penelitianterbaru telah melaporkan bahwa gen p53
dan human papillomavirus dapat juga terlibatdalam patogenesis Pterygium.1,2
Pterygium banyak terdapat di nasal daripada temporal. Penyebab dominannya
Pterygium terdapat di bagian nasal juga belum jelas diketahui namun
kemungkinan disebabkan meningkatnya kerusakan akibat sinar ultra violet di area
tersebut. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa kornea sendiri dapat bekerja
seperti lensa menyamping (side-on) yang dapat memfokuskan sinar ultraviolet ke
area nasal tersebut.

Teori lainnya menyebutkan bahwa Pterygium memiliki bentuk yang


menyerupai tumor. Karakteristik ini disebabkan karena adanya kekambuhan
setelah dilakukannya reseksi dan jenis terapi yang diikuti selanjutnya (radiasi,
antimetabolit). Gen p53 yang merupakan penanda neoplasia dan apoptosis
ditemukan pada Pterygium. Peningkatan ini merupakan kelainan pertumbuhan
yang mengacu pada proliferasi sel yang tidak terkontrol daripada kelainan
degeneratif.

1. Paparan sinar matahari (UV)

Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam


perkembangan terjadinya Pterygium. Hal ini menjelaskan mengapa insidennya
sangat tinggi pada populasi yang berada pada daerah dekat ekuator dan pada
orang-orang yang menghabiskan banyak waktu di lapangan.

2. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)

Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya Pterygium adalah


alergen, bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu, polutan). UV-B
merupakan mutagenik untuk p53 tumor supressor gen pada stem sel limbal. Tanpa
apoptosis, produksi berlebih transforming growth factor-betaakan memicu
terjadinya peningkatan kolagenasi, migrasi seluler, dan angiogenesis. Selanjutnya
perubahan patologis yang terjadi adalah degenerasi elastoid kolagen dan
timbulnya jaringan fibrovaskuler subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi
membran Bowman akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler.
Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain:

1. Usia
Prevalensi Pterygium meningkat dengan pertambahan usia, banyak
ditemui pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak.

2. Pekerjaan
Pertumbuhan Pterygium berhubungan dengan paparan yang sering
dengan sinar UV.

3. Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari Pterygium adalah distribusi
geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei
yang dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan bahwa negara di
khatulistiwa memiliki angka kejadian Pterygium yang lebih tinggi.
Survei lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama
kehidupannya pada garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko
penderita Pterygium 36 kali lebih besar dibandingkan daerah yang lebih
selatan.

4. Herediter
Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara
autosomal dominan.

5. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab
Pterygium.

6. Faktor risiko lainnya


Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel
tertentu seperti asap rokok atau pasir merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya Pterygium.
D. Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva adalah membran mukosa tembus cahaya yang melapisi


permukaanaspek posterior dari kelopak mata dananterior bola mata. Nama
konjungtiva(conjoin: bergabung) diberikan kepada membran mukosa ini karena
fakta bahwa ia menghubungkan bola matadengan kelopak mata. Membentang dari
pinggir kelopak mata kelimbus, dan membungkus ruang kompleks yang disebut
sakus konjungtivayang terbuka di depan fissura palpebral.

Konjungtiva dapat dibagi menjadi 3 bagian:

1. Konjungtiva palpebralis.

Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian posterior


kelopak mata yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi menjadi
konjungtiva.Dari titik ini, konjungtiva melapisi erat permukaan dalam kelopak
mata.Konjungtiva palpebra dapat dibagi lagi menjadi zona marginal, tarsal, dan
orbital.Konjungtiva marginal dimulai pada mucocutaneus junction hingga
konjungtiva proper.Punktum bermuara pada sisi medial dari zona marginal
konjungtiva palpebra sehingga terbentuk komunikasi antara konjungtiva dengan
sistem lakrimal.Kemudian zona tarsal konjungtiva merupakan bagian dari
konjungtiva palpebralis yang melekat erat pada tarsus.Zona ini bersifat sangat
vaskuler dan translusen.Zona terakhir adalah zona orbital, yang mulai dari ujung
perifer tarsus hingga forniks.Pergerakan bola mata menyebabkan perlipatan
horisontal konjungtiva orbital, terutama jika mata terbuka.Secara fungsional,
konjungtiva palpebra merupakan daerah dimana reaksi patologis bisa ditemui.

2. Konjungtiva bulbaris

Melekat longgar pada sclera dan melekat lebih erat pada limbuskornea.Di
sana epitel konjungtiva bergabung dangan epitel kornea. Bagian ini dipisahkan
dari sklera anterioroleh jaringan episcleral dan kapsul Tenon.Konjungtiva bulbi
juga melekat pada tendon muskuler rektus yang tertutup oleh kapsula tenon
Terdapat sebuah dataran tinggi 3 mmdari konjungtiva bulbaris sekitar kornea
disebutkonjungtiva limbal.
3. Konjungtiva fornix

Merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.


Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada struktur
sekitarnya, konjungtiva fornix ini melekat secara longgar dengan struktur di
bawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior serta muskulus
rektus.Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva fornix dapat
bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi.

Gambar 1.Konjungtiva terdiri dari konjungtiva bulbaris,


konjungtiva forniks, konjungtiva palpebralis.

Gambar 2. Vaskularisasi Konjungtiva


Konjungtiva divaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama banyak
vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-
jaring vaskuler konjungtiva yang sangat banyak. Pembuluh limfe konjungtiva
tersusun didalam lapisan superfisial dan profundus dan bergabung dengan
pembuluh limfe palpebra membentuk pleksus limfatikus. Konjungtiva menerima
persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus. Saraf ini
memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.

Gambar 3. Histologi konjungtiva normal

Secara histologis, konjungtiva terdiri dari tiga lapisan (Gambar.2)


yaituepitel, lapisan adenoid, dan lapisan fibrosa.

1. Epitel.

Lapisan sel epitel dikonjungtiva bervariasi pada masing-masing daerah dan


dalam bagian-bagian sebagai berikut:Konjungtiva marginal memiliki 5lapis epitel
sel gepeng bertingkat.Konjungtiva tarsal memiliki 2lapis epitel:lapisan superficial
terdiri dari sel-sel silinder dan lapisan dalam terdiri dari sel-sel datar. Konjungtiva
forniks dan bulbaris memiliki 3lapisepitel: lapisan superfisial terdiri dari sel
silindris, lapisan tengah terdiri dari sel polyhedral dan lapisan dalam terdiri dari
sel kubus.Limbal konjungtiva memiliki lagi lapisan yang banyak (5 sampai6
lapis) epitel berlapis gepeng.
2. Lapisan adenoid.

Lapisan ini disebut juga lapisan limfoiddan terdiri dari retikulum jaringan
ikat halusdengan jerat di mana terdapat limfosit. Lapisan inipaling pesat
perkembangannya di forniks. Lapisan ini tidak di temukan ketika bayi lahir
tapiakan berkembang setelah 3-4 bulan awal kehidupan. Hal ini menjelaskan
bahwa peradangankonjungtiva pada bayi tidak menghasilkan reaksi folikuler.

3. Lapisan fibrosa.

Lapisan ini terdiri dari serat kolagen dan serat elastis.Lapisan inilebih tebal
darilapisan adenoid, kecuali di daerah konjungtiva tarsal, di mana lapisan ini
sangat tipis. Lapisan ini mengandung pembuluh dan saraf dari konjungtiva.
Lapisan ini bersatu dengan mendasari kapsul Tenon di daerah konjungtiva bulbar.

E. Patofisiologi

Insidens Pterygium meningkat pada orang dan populasi yang terus menerus
terpapar radiasi matahari yang berlebihan.Dalam hal ini sinar UV memainkan
bagian yang penting dalam patogenesis penyakit ini. Sinar UV memulai rantai
peristiwa terjadinya Pterygium pada level intraselular dan ekstraselular yang
melibatkan DNA, RNA, dan komposisi matriks ekstraselular.

Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan


ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan
pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea.Pterygium ini biasanya
bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak
dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva
akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke
meatus nasi inferior.

Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab


Pterygium.Disebutkan bahwa radiasi sinar ultra violet B sebagai salah satu
penyebabnya. Sinar UV B Merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi pada
gen suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di basal limbus kornea.
Tanpa adanya apoptosis (program kematian sel), perubahan pertumbuhan faktor
Beta akan menjadi berlebihan dan menyebabkan pengaturan berlebihan pula pada
sistem kolagenase, migrasi seluler dan angiotenesis, perubahan patologis
termaksud juga degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan
fibrovesikuler, seringkali disertai dengan inflamasi. Lapisan epitel dapat saja
normal, menebal atau menipis dan biasanya menunjukkan dysplasia.

Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih
banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di samping
kontak langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara
tidak langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu pada bagian nasal
konjungtiva lebih sering didapatkan Pterygium dibandingkan dengan bagian
temporal.

Beberapa studi meyebutkan bahwa alasan mengapa Pterygium seringkali


muncul di daerah nasal berasal dari peran patogenetik cahaya matahari.Cahaya
matahari diteruskan ke dalam limbus sklerokorneal setelah dipantulkan oleh
dinding nasal lateral, di mana konjungtiva bulbar di daerah nasal inilah yang lebih
sering terpapar sinar matahari. Mengingat juga, bulu mata di dekat nasal jauh
lebih pendek dibanding bulu mata di daerah temporal.

Efek dari sinar UV dikatakan mampu mengaktifkan radikal bebas, termasuk


laktoferin. Stress oksidatif yang timbul berpotensi untuk mengganggu regulasi
p53. Akibatnya juga, gangguan tersebut dapat berefek pada ekspresi beberapa
jenis sitokin dalam sel, seperti reseptor faktor pertumbuhan.Adanya perubahan
ekspresi sel-sel sitokin ini telah dievaluasi oleh beberapa studi menggunakan
berbagai macam teknik pemeriksaan imunihistokimia dan ELISA.Sinar UV dapat
menginduksi sitokin seperti interleukin-1 (IL-1) bersama dengan tumor necrosis
factor (TNF-) membantu keratosit korneal beradaptasi memperbaiki fenotip.IL-6
berfungsi dalam migrasi sel epitel melalui reseptor integrin dan IL-8 melakukan
aktivitas mitogenik dan angiogenetik. Faktor pertumbuhan yang berperan dalam
Pterygium antara lain ialah epidermal growth factor (EGF) dan EGF heparin-
binding (HB-EGF), vascular endothelial growth factor (VEGF), basic fibroblast
growth factor (bFGF), platelet-derived growth factor (PDGF), transforming
growth factor- (TGF-) and insulin-like growth factor binding proteins (IGF-
BP).

Peran VEGF sangat penting dalam proses angiogenesis. Diproduksi oleh


fibroblast korneal saat terjadi inflamasi atau adanya stimulus yang dianggap
berbahaya bagi mata, termasuk UVR.VEGF telah dideteksi bertanggung jawab
terhadap pertumbuhan terus-menerus epitel Pterygium, dibandingkan dengan
konjungtiva normal melalui studi imunohistokimia. Hasilnya dapat dilihat
menggunakan RT-PCR assay.

Patofisiologi Pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan


proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium.
Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan
basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat
dengan cat untuk jaringan elastik akan tetapi bukan jaringan elastik yang
sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.

Tseng dkk juga berspekulasi bahwa Pterygium mungkin dapat terjadi pada
daerah yang kekurangan limbal stem cell.7Limbal stem cell adalah sumber
regenerasi epitel kornea.Defisiensi limbal stem cell menyebabkan
konjungtivalisasi kornea dari segala arah. Gejala dari defisiensi limbal adalah
pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi inflamasi kronis, kerusakan
membran pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada
Pterygium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa Pterygium
merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral
limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar UV terjadi kerusakan stem cell di
daerah interpalpebra.

F. Klasifikasi

Pterygiumdapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe,


stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera,
yaitu:
1. Berdasarkan tipenya Pterygium dibagi atas tiga:

a. Tipe I
Pterygium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau menginvasi
kornea pada tepinya saja.Lesi meluas <2 mm dari kornea.Stockers line atau
deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala Pterygium.Lesi sering
asimptomatis, meskipun sering mengalami inflamasi ringan.Pasien yang memakai
lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
b. Tipe II
disebut juga Pterygium tipe primer advanced atau Pterygium rekuren tanpa
keterlibatan zona optic. Pada tubuh Pterygium sering nampak kapiler-kapiler yang
membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau rekuren setelah
operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmat.
c. Tipe III
Pterygium primer atau rekuren dangan keterlibatan zona optic.Merupakan
bentuk Pterygium yang paling berat. Keterlibatan zona optic membedakan tipe ini
dengan tipe yang lain. Lesi mengenai kornea >4mm dan mengganggu aksis
visual.Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren dapat berhubungan dengan
fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan biasanya menyebabkan
gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan.

2. Berdasarkan stadium Pterygium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:

a. Stadium I: jika Pterygium hanya terbatas pada limbus kornea


b. Stadium II: jika Pterygium sudah melewati limbus dan belum
mencapai pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.
c. Stadium III: jika Pterygium sudah melebihi stadium II tetapi tidak
melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal
(diameter pupil sekitar 3-4 mm).
d. Stadium IV: jika pertumbuhan Pterygium sudah melewati pupil
sehingga mengganggu penglihatan.
Gbr 4. Pterigum stadium I.(9) Gbr 5. Pterygium stadium II.(9)

Gbr.6. Pterygium stadium III.(9) Gbr 7.Pterygium stadium IV.(9)

3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, Pterygium dibagi menjadi 2


yaitu:

a. Pterygiumprogresif :tebal, berdaging, dan vaskular dengan


beberapa infiltrat di kornea di depan kepala Pterygium (disebut cap
dari Pterygium).
b. Pterygium regresif:tipis,atrofi, dengan sangat sedikit vaskularisasi.
Tidak terdapat kepala Pterygium (cap Pterygium). Akhirnya
menjadi bentuk membran, tetapi tidak pernah hilang.
4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di Pterygium dan
harus diperiksa dengan slitlampPterygium dibagi 3, yaitu:
a. T1(atrofi):pembuluh darah episkleral jelas terlihat.
b. T2(intermediet):pembuluh darah episkleral sebagian terlihat.
c. T3(fleshy,opaque):pembuluh darah seluruhnya tidak terlihat.

G. Gambaran Klinis

Pterygium lebih sering terjadi padapria tua yang melakukan pekerjaan di


luar rumah. Pterygium mungkin terjadi unilateral atau bilateral.Penyakit ini
muncul sebagai lipatan segitigakonjungtiva yang mencapai kornea, biasanya di
sisi nasal.tetapi juga dapat terjadi di sisi temporal. Deposisibesi kadang-
kadangterlihat pada epitel kornea anteriordisebut Stockers line.Pterygium
terdiri dari tigabagian :

- Caput

- Apeks (bagian apikal yang muncul pada kornea),

- Collum (bagian limbal),


- Corpus (bagian sklera) membentang antara limbus dan canthus.

Pterygiumadalah kondisiasimtomatikpada tahap awal, kecualipada


intoleransikosmetik.10Pterygium hanya akan bergejala ketika bagian kepalanya
menginvasi bagian tengah kornea dan aksis visual. Kekuatan tarikan yang terjadi
pada kornea dapat menyebabkanastigmatismekornea. Pterygium lanjut yang
menyebabkan skar pada jaringan konjungtiva juga dapat secara perlahan-lahan
mengganggu motilitas okular,pasien kemudian akanmengalami penglihatan ganda
atau diplopia.

Gambar 8. (A) Cap: Biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang
kebanyakan terdiri atas fibroblast, menginvasi dan menghancurkan lapisan
bowman pada kornea. (B) Whitish: Setelah cap, lapisan vaskuler tipis yang
menginvasi kornea. (C) Badan: Bagian yang mobile dan lembut, area yang
vesikuler pada konjunctiva bulbi, area paling ujung
H. Diagnosis

1. Anamnesis
Pasien dengan Pterygium datang dengan berbagai keluhan, mulai dari tanpa
gejala sampai dengan gejala kemerahan yang signifikan, pembengkakan, gatal,
iritasi, dan penglihatan kabur berhubungan dengan elevasi lesi dari konjungtiva
dan dekat kornea pada satu atau kedua mata.
Pterygiuma dalah kondisi asimtomatik pada tahap awal, kecuali pada
intoleransi kosmetik. Pterygium hanya akan bergejala ketika bagian kepalanya
menginvasi bagian tengah kornea dan aksis visual. Kekuatan tarikan yang terjadi
pada kornea dapat menyebabkanastigmatismekornea. Pterygium lanjut yang
menyebabkan skar pada jaringan konjungtiva juga dapat secara perlahan-lahan
mengganggu motilitas okular,pasien kemudian akanmengalami penglihatan ganda
atau diplopia.11

2. Pemeriksaan fisik
Suatu Pterygium dapat tampak sebagai salah satu dari berbagai perubahan
fibrovaskula rpada permukaan konjungtiva dan kornea. Pterygium paling sering
ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat
pula ditemukan Pterygium pada daerah temporal, serta di lokasi lainnya.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada Pterygium adalah
topografi kornea yang dapat sangat berguna dalam menentukan derajat seberapa
besar komplikasi berupa astigmatisme ireguler yang di sebabkan oleh Pterygium.

I. Penatalaksanaan

Pasien dengan Pterygium dapat hanya diobervasi kecualilesimenunjukkan


pertumbuhan menuju pusat kornea atau pasien menunjukkan gejala kemerahan
yang signifikan, ketidaknyamanan, atau perubahan dalam fungsi visual.
1. Terapi Konservatif
Pengobatan konservatif pada Pterygium terdiri dari topical lubricating drops
atau air mata buatan (misalnya, refresh tears, gen teal drops), serta sesekali
penggunaan jangka pendektetes mata kortikosteroid topikal anti-inflamasi
(misalnya, PredForte1%) bila gejalalebih intens.Selain itu,penggunaan kacamata
anti-UVdisarankan untuk mengurangi paparan radiasi ultraviolet lebih lanjut.

2. Terapi pembedahan
Bedah eksisi adalah satu-satunya pengobatan yang memuaskan, yang dapat
diindikasikan untuk, menurut Ziegler :
- Mengganggu visus
- Mengganggu pergerakan bola mata
- Berkembang progresif
- Mendahului suatu operasi intraokuler
- Kosmetik

Pada prinsipnya, tatalaksana Pterygium adalah dengan tindakan


operasi.Tujuan utama pembedahan adalah untuk sepenuhnya mengeluarkan
Pterygium dan untuk mencegah terjadinya rekurensi. Ada berbagai macam teknik
operasi yang digunakan dalam penanganan Pterygium di antaranya adalah:

a. Bare sclera :tidak ada jahitan, bertujuan untuk menyatukan kembali


konjungtiva dengan permukaan sklera di depan insersio tendon rektus,
menyisakan area sklera yang terkena. (teknik ini sudah tidak dapat diterimakarena
tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75% dan
hal ini tidak direkomendasikan).
b. Simple closure: menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka,
dimana teknik ini dilakukan bila luka pada konjungtiva relatif kecil.
c. Sliding flap : dibuatinsisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi
untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.
d. Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka bekas
eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan
pada bekas eksisi.
e. Conjungtival graft: suatu free graft yang biasanya diambil dari
konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian
dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat jaringan.
(misalnyaTisseel VH, Baxter Healthcare, Dearfield, Illionis).

Rekurensi pada Pterygium setelah dilakukan bedah eksisi menjadi masalah


yakni sekitar 30-50%.11 Eksisi Pterygium sering dikombinasikan dengan berbagai
langkah-langkah tambahan untuk mencegah rekurensi penyakit. Hal ini mungkin
secara luas diklasifikasikan sebagai metode medis adjuvan atau tambahan, beta-
iradiasi, dan metode pembedahan.

3. Terapi Adjuvant

Intraoperatif dan pasca operasi mitomycin C tetap paling sering digunakan


sebagai terapi tambahan medis untuk pencegahan rekurensi Pterygium. Beberapa
alternatif medis lainnya, seperti5-fluorouracil dan daunorubisin, juga telah dicoba.

Terapi mitomycin C telah terbukti efektif dalam mencegah kekambuhan


Pterygium primer dan untuk Pterygium berulang. Tingkat kekambuhan yang
berhubungan dengan terapi mitomycin C secara signifikan lebih rendah
dibandingkan dengan eksisi bare sclera. Pada dasarnya dua bentuk aplikasi
mitomycin C yang saat ini digunakan yaitu aplikasi intraoperatif pada spons
bedah yang direndam dalam larutan mitomycin C diterapkan secara langsung ke
sclera setelah eksisi Pterygium, dan penggunaan pasca operasi mitomycin C
topikal sebagai obat tetes mata. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat
kekambuhan terkait penggunaan mitomycin C intraoperasi dan pasca operasi tidak
berbeda secara signifikan.

Dadeya dan Kamlesh mendemonstrasikan secara statistik perbedaan


signifikan dalam perbedaan tingkat kekambuhan pasien yang diobati dengan
daunorubisin dan mereka yang diobati dengan plasebo air. Mata yang diobati
lebih chemotic 20%, namun, dengan 6,7% setelah epitelisasi tertunda,
dibandingkan dengan mata kontrol, yang tidak memiliki komplikasi yang sama.

J. Diagnosis Banding

Pterygium harus dibedakan dari Pseudopterygium. Pseudopterygium


adalah lipatan konjungtiva bulbar yang melekat pada kornea. Hal ini terbentuk
karena adhesi dari konjungtiva bulbar dengan ulkus kornea marginal. Hal ini
biasanya terjadi pada luka bakar akibat zat kimia pada mata.

1. Pinguekula
Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang
berwarna kekuningan pada konjungtiva bulbi di daerah nasal atau temporal
limbus. Tampak seperti penumpukan lemak bisa karena iritasi ataupun karena
kualitas air mata yang kurang baik. Pada umumnya tidak diperlukan terapi tetapi
pada kasus tertentu dapat diberikan steroid topikal.

Gambar 9.Pingueculum (panah abu-abu) merupakan lesi di limbus


sklerokorneal yang berbeda dengan Pterygium, di mana tidak tumbuh
mencapai permukaan kornea.
2. Pseudopterygium

Pterygium umumnya didiagnosis banding dengan Pseudopterygium yang


merupakan suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena ulkus kornea. Pada
pengecekan dengan sonde, sonde dapat masuk di antara konjungtiva dan kornea.

PseudoPterygium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang


cacat akibat ulkus. Sering terjadi saat proses penyembuhan dari ulkus kornea,
dimana konjungtiva tertarik dan menutupi kornea. Pseudopterygium dapat
ditemukan dimana saja bukan hanya pada fissura palpebra seperti halnya pada
Pterygium. Pada pseudoPterygium juga dapat diselipkan sonde di bawahnya
sedangkan pada Pterygium tidak. Pada pseudoPterygium melalui anamnesa selalu
didapatkan riwayat adanya kelainan kornea sebelumnya, seperti ulkus kornea.
Selain pseudoPterygium, Pterygium dapat pula didiagnosis banding dengan
pannus dan kista dermoid.

Gambar 10. PseudoPterygium yang tumbuh dari kuadran inferior nasal


konjunctiva bulbar yang diikuti luka bakar asam lokal

3. Ocular Surface Squamous Neoplasm


Gambar 11.OSSN yang searah dengan limbal

Ocular Surface Squamous Neoplasm atau OSSN merupakan dysplasia, pre-


invasif dan lesi epitel squamous malignan dari seluruh spektrum konjunctiva dan
kornea.OSSN biasanya tampak seperti lesi conjunctiva yang meninggi yang
terlihat dekat limbus, berwarna putih keabuan dengan karekteristk berkas dari
pembuluh dara pada fissure intrapalpebral.Biasanya pasien dating diikuti dengan
gejala mata merah, irigasi dan sensasi benda asing.

Pterygium PseudoPterygium Pinguekulum OSSN

Reaksi tubuh Iritasi atau Dispalsia


Proses penyembuhan dari kualitas epitel sel
Sebab
degeneratif luka bakar, GO, higienitas air squamous
difteri,dll. yang kurang.

Tidak dapat
Dapat dimasukkan
Sonde dimasukkan - -
dibawahnya
dibawahnya

Kekambuhan Residif Tidak Tidak Tidak

Dewasa dan Dewasa


Usia Dewasa Anak-anak
anak-anak
Subkonjunctiva Terbatas pada Di sekitar
Bisa terjadi
Lokasi yang dapat konjuntiva daerah
darimana saja
mencapai kornea bulbi limbus

Diagnosa banding ptergium,pseudoptergium,pinguekulum dan OSSN

K. Komplikasi

Komplikasi Pterygium meliputi sebagai berikut:

Pre-operatif:

1. Astigmat
Salah satu komplikasi yang disebabkan oleh Pterygium adalah astigmat
karena Pterygium dapat menyebabkan perubahan bentuk kornea akibat adanya
mekanisme penarikan oleh Pterygium serta terdapat pendataran daripada meridian
horizontal pada kornea yang berhubungan dengan adanya astigmat.Mekanisme
pendataran itu sendiri belum jelas. Hal ini diduga akibat tear meniscus antara
puncak kornea dan peninggian Pterygium.

2. Kemerahan
3. Iritasi
4. Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea
5. Keterlibatan yang luas otot ekstraokular dapat membatasi penglihatan
dan menyebabkan diplopia.

Intra-operatif:

Nyeri, iritasi, kemerahan, graft oedema, corneoscleral dellen (menipis), dan


perdarahan subkonjungtival dapat terjadi akibat tindakan eksisi dengan
conjunctival autografting, namun komplikasi ini secara umum bersifat sementara
dan tidak mengancam penglihatan.

Pasca-operatif:

Komplikasi pasca eksisi adalah sebagai berikut:


1. Infeksi, reaksi bahan jahitan, diplopia, jaringan parut, parut kornea,
graft konjungtiva longgar, perforasi mata, perdarahan vitreus dan
ablasi retina.
2. Penggunaan mitomicin C post operasi dapat menyebabkan ektasia
atau nekrosis sklera dan kornea
3. Pterygium rekuren.

L. Prognosis

Penglihatandan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakan


pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan
Pterygium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva auto
graft atau transplantasi membran amnion.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S. Ilmu penyakit mata. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia; 2006. Pg. 2-7, 117.
2. Fisher JP.Pterygium. 2015. Medscape.com,
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview/, 5 February
2015.
3. G Gazzard et. al. Pterygium in Indonesia : Prevalence, Severity and Risk
Factor.Br J Ophthalmol;2002;86: 1341-1346
4. Khurana AK. Comprehensive ophthalmology. 4th ed. New Dehli: New age
international; 2007. Pg. 51-4, 80-2.
5. Caldwell M, Hirst L, Woodward MA. Pterygium. 2015. American
Academy of Ophtalmology, http://eyewiki.aao.org/Pterygium, 5 February
2015.
6. Detorakis T, Spandidos Demetrios.Pathogenetic mechanisms and
treatment options for ophthalmic pterygium: Trends and perspectives
(Review). Department Of Opthalmology, University Hospital of
Heraklion,Crete, Greece. 2009.
7. Zaki AA, Emerah S, Ramzy M, Labib HM.Management of recurrent
pterygia. Journal of American Science; 2011; 7(1): 230-4.
8. Raju Kv, Chandra A, Doctor R. Management Of Pterygium- A Brief
Review. Kerala Journal Of Ophthamology. 2008;10(4):63-5.
9. Ardalan Aminlari,et. al. Management of Pterygium. Opthalmic Pearls
Cornea. 2010.
10. Sharma Ka, Wali V, Pandita A. Cornea-Conjungtival Auto Grafting In
Pterygium Surgery. Postgraduate Department Of Opthalmology, Govt.
Medical College, Jammu. 2004;6(3):149-52.
11. Radhakrishnan Anil. Ocular Surface Squamous Neoplasia [OSSN] A
Brief Review. Amrita Institute Of Medical Sciences, Kochi. 2013

Anda mungkin juga menyukai