Anda di halaman 1dari 8

JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN

VOLUME 12 No. 01 Maret l 2009 Halaman 12 - 19


Oktavianus Hulu, dkk.: Medical Error dan Perilaku Klinis ...
Artikel Penelitian

MEDICAL ERROR DAN PERILAKU KLINIS PETUGAS KESEHATAN DALAM


PENATALAKSANAAN MALARIA DI RSU GUNUNG SITOLI NIAS
MEDICAL ERROR AND CLINICAL BEHAVIOUR OF HELATH STAFF
ON MALARIA CASE MANAGEMENT AT GUNUNGSITOLI HOSPITAL, DISTRICT OF NIAS

Oktavianus Hulu1, Contesa Prihatin Familynard Maruhawa1,


Ari Probandari2, Adi Utarini3, Soesanto Tjokrosonto4
1
Rumah Sakit Umum Gunung Sitoli, Nias,
2
Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, FK Universitas Sebelas Maret Surakarta,
3
Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, FK UGM, Yogyakarta,
4
Bagian Parasitologi, FK UGM, Yogyakarta.

ABSTRACT Salah satu penyebab kejadian resistensi adalah karena perilaku


Background: Malaria is a major health problem in Nias. In petugas kesehatan dalam penatalaksanaan kasus malaria. Di
recent, resistance to Choroquin has occurred in Nias. One of Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Gunung Sitoli Nias, malaria
the potential factors is provider behaviour in diagnosing and termasuk dalam 10 besar penyakit pada tahun 2005-2006.
treating malaria cases. In Nias district hospital, malaria is one RSUD Nias merupakan satu-satunya rumah sakit dan menjadi
of the ten most frequent diseases. This hospital functions as rujukan bagi 18 Puskesmas di wilayah tersebut.
referral for 18 health centres in the area. Tujuan: Penelitian ini berfokus pada penatalaksanaan klinis
Objective: This study focused on malaria case management malaria dan bertujuan untuk: (1) mengukur kejadian diagnostic
and aimed to: (1) describe occurrence of diagnostic and dan treatment errors, (2) mengukur kejadian error of
treatment errors; (2) describe occurrence of error of omission ommission dan error of commission; (3) mengeksplorasi
and error of commission; (3) to explore provider behaviour in perilaku klinis petugas kesehatan; dan (4) mengidentifikasi
managing the disease; and (4) identify predisposing, faktor predisposisi, pendukung dan penguat perilaku klinis
enabling,and enforcing factors to medical errors. petugas kesehatan.
Method: A combination of quantitative and qualitative research Metode: Studi ini menerapkan kombinasi penelitian kuantitatif
was applied in this study. One hundred forty six (146) blood dan kualitatif. Seratus empat puluh enam (146) sediaan darah
slides available in May 2007 were re-examined in Universitas pada bulan Mei (2007) diperiksa kembali oleh laboratorium di
Gadjah Mada (UGM) laboratory to measure diagnostic Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk mengukur kesepakatan
agreement. In addition, all medical record of malaria cases diagnosis Kappa. Seluruh rekam medik pasien yang diduga
were used to identify diagnosis and treatment errors. menderita malaria juga digunakan untuk mengetahui kejadian
Interviews were carried out with general practitioners, kesalahan diagnosis dan terapi. Untuk penelitian kualitatif,
specialists, laboratory staff and nurses who dealt with malaria dilakukan wawancara terhadap dokter umum, dokter spesialis,
case management. petugas laboratorium dan perawat yang menangani kasus
Result: Kappa index was low (0.04). Among all patients malaria. Data kualitatif dikumpulkan dengan cara observasi dan
diagnosed or treated as malaria (n=92), the occurrence of wawancara mendalam.
medical error was 1.87 per patient. Among these, this study Hasil: Uji kesepakatan Kappa menunjukkan nilai kesepakatan
identified 98 diagnostic errors, consisting of 16 cases of error diagnosis yang lemah (koefisien Kappa 0,04). Kejadian
of ommission (17.39%) and 82 cases of error of commission kesalahan medis pada penatalaksanaan malaria sebesar 1,87
(89.13%). Treatment errors occurred in 92 cases, i.e. 19 cases kali per pasien. Studi ini menemukan 98 kejadian kesalahan
of error of ommission (20.65%) and 73 cases of error of diagnosis, terdiri dari 16 kejadian error of ommission (17,39%)
commission (79.35%). Provider behaviour contributed to dan 82 error of commission (89,13%). Selain itu, terdapat 92
medical errors. The behaviour was supported by lack of kejadian kesalahan terapi, terdiri atas 19 kejadian error of
training on malaria for the hospital staff, absence of standard ommission (20,65%) dan 73 kejadian error of commission
operational procedure in managing malaria cases, incompetent (79,35%). Perilaku klinis petugas berkontribusi terhadap
laboratory staff and lack of reward for good performance. terjadinya kesalahan medik. Faktor yang mempengaruhi perilaku
Conclusion: The occurrence of medical error in case klinis tersebut adalah tidak adanya pelatihan bagi petugas rumah
management of malaria was high. Improvements in clinical sakit, belum tersusunnya standar operasional prosedur,
quality should be prioritized, taken into account the underlying rendahnya kompetensi petugas laboratorium serta tidak adanya
factors. penghargaan atas kinerja klinis yang tinggi.
Kesimpulan: Studi ini menemukan tingginya kejadian
Keywords: medical errors, malaria case management, hospital, kesalahan medis pada penatalaksanaan kasus malaria.
Nias Peningkatan mutu klinis penatalaksanaan malaria perlu
diprioritaskan, dengan mempertimbangkan faktor yang
ABSTRAK mempengaruhi perilaku klinis petugas.
Latar Belakang: Malaria masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat utama di Kabupaten Nias. Bahkan, pada saat ini Kata kunci: medical errors, penatalaksanaan malaria, rumah
telah terjadi kasus resistensi pengobatan malaria di Pulau Nias. sakit, Nias

12 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

PENGANTAR BAHAN DAN CARA PENELITIAN


Malaria merupakan penyakit endemik di 109 Jenis penelitian yang digunakan adalah cross-
negara di dunia dengan jumlah kasus sebesar 247 sectional survey untuk mengukur kejadian kesalahan
juta di antara 3,3 milyar populasi berisiko malaria medik, disertai dengan penelitian kualitatif mengenai
pada tahun 20061. Malaria menjadi penyebab perilaku klinis petugas kesehatan sebagai
kematian pada kelompok risiko tinggi, yaitu bayi, pendukung. Populasi penelitian adalah semua pasien
anak balita, ibu hamil dan secara langsung dapat yang terdiagnosis malaria klinis pada bulan Mei 2007
menurunkan produktivitas kerja.2 Di Indonesia, (n=888 orang). Diagnostic errors ditemukan
insidensi kasus malaria pada tahun 2005 sebesar berdasarkan pemeriksaan sediaan darah malaria,
4,02 per 1000 populasi, dengan insidensi tertinggi dibedakan menjadi errors of ommission apabila tidak
di Indonesia bagian timur.3 Di Kabupaten Nias, kasus dilakukan pemeriksaan tersebut dan errors of
malaria menempati urutan pertama sepuluh besar commission apabila tidak ada kesepakatan hasil
penyakit, dengan jumlah kasus sebanyak 23.237 pembacaan slidenya antara Laboratorium RSU
(34,45%)4 sedangkan di RSU Gunung Sitoli Nias, Gunung Sitoli dengan Laboratorium Parasitologi
terdapat 1.189 kasus malaria pada tahun yang sama. Fakultas Kedokteran UGM (FK-UGM) sebagai gold-
Selain tingginya beban kasus, masalah yang standard. Treatment errors diidentifikasi atas dasar
lain adalah ditemukannya kasus resistensi terhadap penggunaan antimalaria, yaitu tidak diberikan
obat anti malaria klorokuin di sebagian besar daerah antimalaria (errors of ommission) dan diberikan
endemik malaria, termasuk di Pulau Nias.5,6 Kejadian antimalaria secara tidak tepat jenis obat, frekuensi,
resistensi dapat terjadi karena ketidaktepatan dalam dosis, waktu pemberian, dan lama pemberiannya
penatalaksanaan kasus malaria, termasuk pula menggunakan standar Departemen Kesehatan
penanganannya di rumah sakit. Kesalahan dalam tahun 2006 (errors of commission). Data tentang
penatalaksanaan malaria dapat dikatakan sebagai treatment error diperoleh dari rekam medik.
kesalahan medis (medical error) jika dalam proses Penelitian kualitatif digunakan sebagai
asuhan medisnya terdapat kejadian yang dapat pendukung untuk memahami perilaku klinis petugas
mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan kesehatan dalam penanganan malaria dan faktor
cedera (harm) pada pasien. Terdapat dua jenis yang mempengaruhinya. Faktor tersebut dibedakan
kesalahan medis, yaitu kegagalan dalam menjadi faktor predisposisi (predisposing factors),
melaksanakan suatu rencana atau menggunakan faktor pemungkin (enabling factors) dan faktor
rencana yang salah untuk mencapai tujuannya (error penguat (reinforcing factors). Faktor predisposisi
of commission) dan tidak melakukan tindakan yang adalah faktor yang dapat memungkinkan terjadinya
seharusnya dilakukan (error of ommission). 7 perilaku tenaga kesehatan, misalnya pendidikan,
Keduanya dapat terjadi pada kesalahan diagnosis pengetahuan dan sikap, kepercayaan, tradisi,
maupun terapi. terhadap sesuatu yang dilakukan. Faktor pemungkin
Penelitian sebelumnya yang mengkaji masalah adalah faktor yang dapat memfasilitasi perilaku,
medical error di Indonesia masih terbatas. Data misalnya tersedianya fasilitas, sarana atau
tentang angka kejadian medical error secara prasarana. Faktor penguat adalah faktor yang
nasional belum tersedia, termasuk pada penyakit mendorong atau memperkuat perilaku tersebut,
yang mempunyai prioritas kesehatan masyarakat misalnya supervisi disertai pemberian umpan balik
yang tinggi seperti halnya malaria. Sebagian besar serta pemberian penghargaan atas kinerja tertentu.
kasus medical error teridentifikasi karena menjadi Pengumpulan data dilakukan dengan observasi pada
masalah hukum akibat adanya tuntutan dari pasien.8 saat dokter memberikan pelayanan kepada pasien
Penelitian ini memfokuskan pada malaria, wawancara mendalam kepada 3 dokter
penataksanaan klinis malaria di rumah sakit dan umum, 2 dokter spesialis dan 1 petugas
bertujuan untuk: (1) mengukur kejadian kesalahan laboratorium, serta 1 Diskusi Kelompok Terfokus
diagnosis dan terapi, (2) mengukur kejadian error of (DKT) dengan kelompok perawat. Data dianalisis
ommission dan error of commission; (3) dengan thematic content analysis.
mengeksplorasi perilaku klinis petugas kesehatan
yang terkait; dan (4) mengidentifikasi faktor HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
predisposing, enabling dan reinforcing terhadap Diagnostic error
perilaku klinis petugas dalam penatalaksanaan kasus Dari 92 pasien yang didiagnosis atau
malaria. mendapatkan pengobatan malaria, diagnostic error
of ommission dalam penelitian ini terjadi pada 16

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009 l 13


Oktavianus Hulu, dkk.: Medical Error dan Perilaku Klinis ...

Malaria klinis 888 orang

Tidak diperiksa darah 4 Positif malaria: Negatif malaria


orang (0,45%) 64 orang (7,21%) 820 orang (92,34%)

Diberi obat Tidak Diberi Tidak Diberi obat Tidak diberi


malaria diberi obat diberi malaria obat malaria
4 orang obat malaria obat 24 orang 796 orang
(0,45%) malaria 45 orang malaria (2,70%) (88,64%)
- (5,07%) 19 orang
(2,14%)

Terdiagnosis/mendapat pengobatan
malaria 92 orang (10,36%)

Gambar 1. Hasil pemeriksaan laboratorium dan pengobatan malaria di RSU Gunung Sitoli

kasus (17,39%), terdiri dari tanpa pemeriksaan diberi pengobatan malaria secara tidak tepat (errors
sediaan darah malaria (4 kasus) dan mendapatkan of commission). Dengan demikian, total kejadian
pengobatan malaria sebelum dilakukan pemeriksaan medical errors pada penatalaksanaan malaria di
sediaan darah malaria (12 kasus) (Gambar 1). rumah sakit Gunung Sitoli Nias adalah 1,87 per
Diagnostic error of commission dalam penelitian ini pasien malaria (172/92). Hal ini berarti setiap pasien
adalah pasien yang dilakukan pemeriksaan darah dapat mengalami hampir 2 kejadian medical errors.
malaria dengan pembacaan yang tidak sepakat (82
kasus atau 89,13%). Kejadian ini lebih tinggi dari Perilaku petugas kesehatan yang terkait dengan
pada kejadian diagnostic error of ommission. kesalahan medik
Hasil uji kesepakatan antara laboratorium RSU Sesuai dengan temuan penelitian di atas, hasil
Gunungsitoli dengan Bagian Parasitologi FK-UGM penelitian kualitatif menggambarkan bahwa sebagian
menunjukkan nilai kesepakatan yang lemah (indeks dokter tidak melakukan pemeriksaan laboratorium
Kappa 0,04) (Tabel 1). pada pasien dengan malaria klinis. Dalam hal
pengobatan pasien malaria, dokter yang telah bekerja
Tabel 1. Koefisien kesepakatan Kappa Cohen dalam
lebih dari 5 tahun cenderung memberikan obat
pemeriksaan sediaan darah malaria antara
laboratorium RSU Gunungsitoli dengan bagian malaria tanpa didasarkan oleh hasil pemeriksaan
Parasitologi FK-UGM (Mei 2007) laboratorium. Sebagai ilustrasi,
Hasil Hasil pemeriksaan ...Walaupun hasil labnya negatif, tapi kalau
pemeriksaan di Laboratorium Jumlah klinisnya sudah yakin, ya tetap kita kasih obat
malaria di FK-UGM malaria (Wawancara, R5).
laboratorium RS (+) (-)
(+) 64 0 64
(-) 82 146 228 Fenomena yang sebaliknya pun terjadi. Terdapat
Jumlah 146 146 292 dokter yang tidak memberikan obat malaria atau
Keterangan: Po: (64/146)/292 atau 0,72; Pe: (32+114)/292 atau hanya memberikan antibiotika kepada pasien
0,5; Kappa: (0,72-0,5)/(1-0,5) atau 0,04 meskipun hasil pemeriksaan laboratorium
menunjukkan positif malaria.
Kalau saya ya, mau positif atau negatif hasil
Treatment error labnya itu, saya nggak kasih obat malaria.
Kejadian treatment error diidentifikasi pada 92 kasus. Saya cuma kasih antibiotik, sembuh koq...
Diidentifikasi sebanyak 19 kasus (20,65%) dengan (Wawancara, R4).
errors of omission serta 73 kasus (79.35%) yang

14 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Selain keputusan terapi yang tidak berdasarkan Dokter: Bapak dapat darimana
hasil pemeriksaan laboratorium, didapatkan pula resochinnya?
variasi pola pengobatan pada kasus malaria yang Pasien: Saya beli di warung dekat rumah,
disebabkan oleh P. Vivax yang merupakan kasus dok.
yang paling banyak ditemukan. Variasi yang dijumpai
adalah pemberian klorokuin tanpa primakuin dan Sedangkan error of commision dalam
kombinasi antimalaria dan antibiotika. mendiagnosis malaria cenderung terjadi dengan
faktor predisposisi antara lain ketidaksesuaian
Faktor yang mempengaruhi perilaku terkait kompetensi petugas laboratorium malaria dan
kesalahan medik dalam penanganan malaria petugas laboratorium tidak pernah mengikuti
pelatihan. Di RSUD Nias, pemeriksaan sediaan darah
Faktor predisposisi (predisposing factor) malaria dilakukan oleh seorang petugas yang bukan
Penelitian ini menemukan beberapa faktor analis laboratorium, meskipun telah bekerja lebih dari
predisposisi dalam perilaku klinis petugas kesehatan 18 tahun dalam pemeriksaan malaria. Rumah Sakit
yang terkait dengan diagnostic error of ommission. (RS) sebenarnya memiliki tenaga analis
Faktor tersebut adalah: (1) perasaan khawatir pada laboratorium, tetapi tidak dimanfaatkan untuk
petugas apabila pasien mengalami kejang pada saat pemeriksaan malaria. Meskipun petugas
pengambilan darah, (2) keraguan dokter dan perawat laboratorium malaria di RS ini mempunyai masa kerja
atas kemampuan petugas laboratorium dalam yang lama, akan tetapi para dokter mempunyai
memeriksa sediaan darah malaria dan (3) persepsi pengalaman yang meragukan kompentensi petugas
bahwa gejala malaria yang khas jarang ditemukan laboratorium tersebut. Dalam DKT, perawat juga
pada pasien rumah sakit karena masyarakat telah menyatakan bahwa terdapat sebagian dokter yang
melakukan pengobatan sendiri sebelumnya. Obat- tidak memberikan obat malaria karena meragukan
obat malaria juga dapat diperoleh dengan mudah oleh hasil laboratorium pemeriksaan malaria:
masyarakat. ... dokter kami selama ini sudah koordinasi
[untuk] tidak dikasih obat malaria. [Kenapa?]
Memang di Nias ini saya lihat karena mungkin Dia ragu-ragu pemeriksaan malaria di labor
sudah terlalu banyak penyakit malaria, [laboratorium] (DKT Perawat).
sehingga masyarakat sudah pintar, sudah
pintar melakukan [pengobatan] secara
sendiri-sendiri sehingga banyak gejala- Hasil yang sama juga diperoleh dari hasil triangulasi,
gejalanya yang kami jumpai sudah tidak khas yaitu dengan wawancara baik pada dokter maupun
lagi di RS. (Wawancara, R1) perawat.
Dialog berikut ini diperoleh dari observasi dokter dalam . . . Ada juga itu pasien, hari ini saya suruh
memberikan pelayanan kepada pasien malaria. periksa darah hasilnya positif, besok paginya
saya suruh ulang periksa lagi, eh negatif.
Dokter: Dari hasil lab bapak ternyata bapak Padahal nggak ada saya kasih obat apapun.
malaria. Apa bapak pernah demam beberapa Makanya, kalau sudah begitu saya jadi kurang
hari yang lalu? ya kurang yakinlah dengan hasil lab itu. Ntah
bagaimana mereka periksa. (Wawancara, R4)
Pasien: Iya, dok. Kira-kira seminggu yang
lalu saya demam, tapi tidak demam sekali, Faktor predisposisi terjadinya perilaku yang
kadang-kadang menggigil. Lalu saya minum mendukung treatment error adalah tidak adanya
resochin. informasi terkini tentang penyakit malaria bagi para
Dokter: Koq minum resochin, pak? Kenapa? dokter, contohnya dalam masalah resistensi obat
Berapa hari bapak minum resochinnya? malaria. Dokter cenderung meragukan bahwa
(dengan pandangan heran). masalah resistensi terhadap obat malaria sudah
terjadi di Nias. Menurut mereka masalah resistensi
Pasien: Hanya 2 tablet, dok. Waktu saya
demam dan menggigil itu saya pikir saya obat malaria di Nias masih merupakan dugaan yang
pasti kena malaria, makanya saya minum saja harus dibuktikan dan diteliti lebih lanjut. Pengetahuan
resochin. tentang penyakit malaria diperoleh petugas
Dokter: Bapak tau darimana resochin itu
kesehatan melalui buku-buku yang dipelajari selama
obat untuk malaria? pendidikan dan berdasarkan pengalaman pribadi
selama menangani penderita malaria. Seluruh
Pasien: Ya sudah biasa di sini, dok. Rata- responden menyatakan sama sekali belum pernah
rata orang di sini sudah tahu kalau resochin
itu obat malaria.
mengikuti pelatihan malaria.

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009 l 15


Oktavianus Hulu, dkk.: Medical Error dan Perilaku Klinis ...

Faktor pemungkin (enabling factor) Diagnostic error antara lain ditentukan oleh
Faktor pemungkin terjadinya diagnostic error adalah akurat tidaknya hasil pemeriksaan laboratorium.
tidak ada staf laboratorium yang bertugas pada shift Keakuratan diagnosis malaria dapat dipengaruhi oleh
malam hari, sehingga tidak dapat melakukan (1) kualitas sampel darah dari tersangka malaria,
pemeriksaan laboratorium pada malam hari (2) kualitas ruang pemeriksaan dan mikroskop serta
meskipun sebenarnya dibutuhkan. Selain itu, belum (3) kemampuan petugas laboratorium dalam
tersusunnya Standar Operasional Prosedur (SOP) pembuatan dan pemeriksaan apusan darah malaria.
dalam penanganan malaria di RSUD Nias Selama ini, pengambilan sediaan darah untuk pasien
merupakan faktor pemungkin lainnya untuk terjadi suspek malaria di RSUD Nias dilakukan tidak pada
diagnostic dan treatment error. saat pasien malaria mengalami periode berkeringat
pada akhir periode demam tetapi hanya mengacu
Faktor penguat (reinforcing factors) pada kebiasaan waktu dinas. Padahal, diagnosis
Perilaku dokter yang tidak melakukan diagnosis definitif demam malaria ditegakkan dengan
dengan dasar hasil pemeriksaan laboratorium atau ditemukannya parasit plasmodium dalam darah
memberikan pengobatan tanpa memperhitungkan penderita. Selain itu, seharusnya dilakukan
hasil pemeriksaan laboratorium diperkuat dengan pemeriksaan serial dengan interval antar
tidak adanya suatu mekanisme evaluasi kinerja dan pemeriksaan satu hari karena pemeriksaan
penghargaan. Kesempatan untuk memperoleh mikroskopis satu kali dengan hasil negatif tidak
pelatihan pun sangat kecil seperti halnya ungkapan menyingkirkan diagnosis malaria. Agar pemeriksaan
dokter berikut ini: mikroskopis mempunyai nilai diagnostik yang tinggi
(sensitivitas dan spesifisitas mencapai 100%) maka
Saya lihat sangat terbatas bu untuk saya bisa waktu pengambilan sampel harus tepat yaitu pada
ikut pelatihan di tempat ini (Wawancara, R1).
akhir periode demam memasuki periode berkeringat.
Pihak manajemen RS dipandang kurang Pada fase ini jumlah trophozoite dalam sirkulasi
memberikan perhatian kepada petugas mencapai maksimal dan cukup matur sehingga
kesehatannya. Responden sangat mengharapkan memudahkan identifikasi spesies parasit.7
agar pihak RS Gunungsitoli dapat memperhatikan Angka 28% false negative yang ada dan
kualitas sumber daya manusianya, baik melalui ketidakpercayaan para klinisi terhadap hasil
kesempatan untuk mengikuti pelatihan ataupun pemeriksaan laboratorium mengindikasikan perlunya
kesempatan untuk menempuh pendidikan. Selain peningkatan keterampilan petugas laboratorium dan
itu, terjadi kurang koordinasi antara pihak RS dan sistem monitoring mutu laboratorium yang kontinyu
Dinas Kesehatan dalam hal pelatihan malaria bagi dan sistematis.9 Suatu penelitian studi kasus di
staf di RS. Para responden sangat mengharapkan sebuah RS Tanzania menunjukkan adanya
peran Dinas Kesehatan untuk melibatkan mereka kecenderungan penurunan masalah overdiagnosis
dalam seminar atau pelatihan malaria. Ketika hal ini kasus malaria setelah dilakukan external quality
dikonfirmasi dengan Dinas Kesehatan setempat, assurance.10 Penerapan prosedur pembuatan dan
terdapat berbagai pelatihan malaria yang telah pemeriksaan apusan darah lebih bermanfaat daripada
diadakan di Kabupaten Nias, baik oleh Dinas peningkatan peralatan mikroskop. Perbaikan SOP
Kesehatan Kabupaten Nias maupun bekerjasama diperkirakan menyumbang 72% penurunan
dengan Global Fund for AIDS, TB and Malaria overdiagnosis error dan dapat menurunkan biaya
(GFATM). Namun demikian, tidak terdapat peserta diagnosis dan pengobatan malaria, sedangkan
yang berasal dari RS. peningkatan aspek peralatan mikroskopis hanya
menyumbang 28% perbaikan.11
Pembahasan Kesalahan pengobatan yang terjadi
Angka kejadian kesalahan medik yang menggambarkan bahwa pengobatan malaria semata-
ditemukan dalam penelitian ini cukup tinggi, yaitu mata diberikan atas dasar keinginan dan pengalaman
lebih dari satu kesalahan per pasien. Selain itu, hasil dokter dan tidak ada monitoring pengobatan dengan
uji kesepakatan hasil pemeriksaan laboratorium pemeriksaan apusan darah. Pengambilan sediaan
menunjukkan kecenderungan underdiagnosis kasus darah di RSU Gunungsitoli biasanya dilakukan hanya
malaria, dengan angka 28% negatif palsu dari seluruh sekali saja. Jika hasilnya negatif, tidak diperiksa
slide apusan darah yang diuji. Treatment error ulang. Apabila hasilnya positif, maka akan dilakukan
terutama terjadi karena ketidaktepatan pengobatan pengobatan. Dalam standar pengobatan nasional
dalam hal jenis, dosis dan interval pengobatan. untuk penderita tersangka malaria yang dirawat

16 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

dinyatakan bahwa apabila pemeriksaan sediaan Selain itu, kesempatan untuk mengetahui
darah pertama negatif, perlu diperiksa ulang setiap informasi terkini dapat mendukung proses
6 jam selama 3 hari berturut-turut. Apabila hasil pengambilan keputusan klinik yang tepat. Informasi
pemeriksaan sediaan darah tebal selama 3 hari yang bersumber dari buku teks seringkali kurang
berturut-turut tidak menemukan parasit, maka memadai, sering keliru, bahkan menyesatkan.20
diagnosis malaria dapat disingkirkan.12 Selain itu, Pelatihan kepada tenaga kesehatan agar dapat
efikasi pengobatan pada malaria vivax harus mendiagnosis dan menangani penderita malaria
dilakukan setelah 28 hari pengobatan, dengan menjadi komponen yang sangat penting dalam
melakukan pemeriksaan parasitologi.13 Namun, menghindari kesalahan diagnosis. Pelatihan
dalam penelitian ini didapatkan praktik yang tidak merupakan salah satu cara yang efektif untuk
sesuai, yakni evaluasi pengobatan tidak dilakukan meningkatkan keterampilan serta mengubah sikap
dengan pemeriksaan laboratorium ulang, namun dan perilaku dalam penanganan malaria.12 Pelatihan
hanya mengacu pada berkurangnya keluhan pasien. dapat memacu penanganan kasus malaria secara
Penelitian ini juga memperkuat temuan adanya bermutu berbasis bukti, tidak lagi berdasarkan pada
pemberian antibiotika yang tidak sesuai dengan pengalaman klinis.21 Penghargaan terhadap kinerja
indikasi pada pasien malaria. Penelitian sebelumnya karyawan dapat meningkatkan rasa memiliki
oleh Utarini menyimpulkan adanya peresepan karyawan terhadap suatu organisasi, menimbulkan
antibiotik pada 76,4% dari pasien malaria, 14 perasaan betapa pentingnya karyawan tersebut bagi
Penggunaan antibiotik sebagai obat antimalaria organisasi yang akhirnya akan meningkatkan
diperkenankan jika antibiotik yang digunakan adalah motivasi kerja karyawan.22
doksisiklin dengan anjuran dosis 1 kali per/hari Hasil penelitian ini juga menggambarkan
selama 7 hari digabung dengan kina 3 kali per/hari kemungkinan bahwa RS belum proaktif dalam
selama 7 hari (dosis 10 mg/kg bb/hari). Selain program penanggulangan malaria di Kabupaten Nias.
doksisiklin, tetrasiklin juga dapat digunakan sebagai Hubungan antara RS dengan Dinas Kesehatan dalam
obat antimalaria dengan anjuran dosis 250 mg 4 kali penanggulangan dan pemberantasan malaria di
sehari selama 7 hari digabung dengan kina 3 kali Kabupaten Nias tampak belum memadai. Padahal,
sehari selama 7 hari (dosis 10 mg/kg bb). Baik RS merupakan bagian integral dari manajemen
doksisiklin maupun tetrasiklin ini tidak dapat kesehatan dan manajemen penyakit di suatu
diberikan pada anak usia di bawah 8 tahun, ibu hamil wilayah. Rumah Sakit (RS) memiliki informasi
dan menyusui dan hanya digunakan untuk malaria tentang penderita yang dirawat, termasuk kontak
dengan P. falsiparum.15 Apabila pelayanan yang dengan sumber penyakit yang sangat penting untuk
diberikan tidak sesuai dengan standar, maka hal ini penelusuran suatu kasus.17 Rumah Sakit (RS) dan
bertentangan dengan Undang-Undang No.23/1992 Dinas Kesehatan perlu mengembangkan hubungan
tentang kesehatan pasal 53 ayat 2, menyatakan yang lebih fungsional. Belajar dari program
bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan pengendalian tuberkulosis, telah dikembangkan
tugasnya berkewajiban untuk memenuhi standar kemitraan antara Dinas Kesehatan dan semua
profesi dan menghormati hak pasien, serta Undang- penyedia layanan kesehatan termasuk rumah sakit
Undang Praktik Kedokteran pasal 51 (a) yang dan praktisi swasta dalam bentuk Public-Private Mix
menyatakan bahwa dokter atau dokter gigi dalam (PPM). Pendekatan PPM terbukti dalam
melaksanakan praktik kedokteran mempunyai memperbaiki aspek surveilens (penemuan kasus)
kewajiban memberikan pelayanan medis sesuai dan meningkatkan kualitas pengobatan kasus TB.23
dengan standar profesi dan standar prosedur Dalam program malaria, initiatif untuk menjalin
operasional, serta kebutuhan medis pasien.16 kemitraan dengan praktisi swasta sudah dimulai
Oleh karena itu, penyusunan SOP yang untuk kepentingan memperluas akses terhadap
evidence-based sangat diperlukan untuk mendukung pengobatan anti malaria yang efektif.24 Kemitraan
pelayanan medis yang aman bagi pasien dan tenaga selanjutnya perlu dikembangkan untuk memperbaiki
kesehatan.17 Hal ini sesuai dengan konsep dasar praktik penatalaksaan kasus malaria di semua
clinical governance yang menyatakan bahwa dalam penyedia layanan kesehatan.
melakukan pelayanan pada pasien harus Gejala awal penyakit malaria tidak spesifik dan
mempunyai ciri accountable, continuous quality penduduk yang tinggal di daerah endemis malaria
improvement, high quality standard of care, telah terbiasa dengan gejala-gejala tersebut dan
memfasilitasi dan menciptakan lingkungan yang mendiagnosis dirinya sendiri.13 Penelitian di Butajira,
menjamin pelayanan kesehatan yang bermutu.18,19 Ethiopia Selatan, menyatakan bahwa sebagian besar

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009 l 17


Oktavianus Hulu, dkk.: Medical Error dan Perilaku Klinis ...

pasien malaria datang berobat ke RS setelah 3. WHO SEARO. Malaria profile: Indonesia 2005
mengkonsumsi obat malaria di rumah (294 atau http://www.searo.who.int/LinkFiles/Malaria_
46,7%). Sedangkan pasien yang berobat ke RS Profile_Indonesia.pdf (diakses April 2008)
tanpa mengkonsumsi obat malaria di rumah lebih 4. Achmadi, U.F. Manajemen Penyakit Berbasis
sedikit (yaitu 210 atau 33,3%).25 Perilaku ini dapat Wilayah. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.2005.
mempengaruhi terjadinya kesalahan diagnosis dan 5. Dinas Kesehatan Kabupaten Nias. Profil Dinas
pengobatan pada penanganan malaria. Kesehatan Kabupaten Nias Tahun 2006.
Secara keseluruhan, hasil penelitian ini semakin Pemerintah Kabupaten Nias. Jakarta. 2006.
menguatkan bahwa kesalahan medik umumnya 6. Fryauff, D.J., Leksana, B., Masbar, S., Wiady,
disebabkan oleh suatu kegagalan pola sistem I., Sismadi, P., Susanti, A.I. et al. The drug
sehingga memberikan peluang bagi terjadinya suatu sensitivity and transmission dynamics of human
error. Unsur manusia hanya merupakan salah satu malaria on Nias Island, North Sumatera,
mata-rantai dalam sistem tersebut.26 Indonesia. Annals of Tropical Medicine &
Parasitology. 2002; 96 (5):447-62
KESIMPULAN 7. Harijanto, P.N. Malaria Epidemiologi,
Penelitian ini menyimpulkan bahwa kejadian Patogenesis, Manifestasi Klinis, dan
medical error dalam penanganan malaria di RSU Penanganan, Penerbit Buku Kedokteran, EGC,
Gunung Sitoli cukup tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh Jakarta. 2000.
perilaku klinis tenaga kesehatan yang kurang 8. Depkes RI. Panduan Nasional Keselamatan
mendukung penatalaksanaan malaria di rumah sakit. Pasien Rumah Sakit (Patient Safety). Direktorat
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya Jenderal Pelayanan Medis. Jakarta. 2006.
kesalahan medik dalam penanganan malaria adalah 9. Depkes RI. Keputusan Menteri Kesehatan
tidak adanya pelatihan dan informasi terkini lainnya, Republik Indonesia Nomor 496/MENKES/SK/
kompetensi petugas kesehatan yang tidak memadai, IV/2005 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah
belum tersusunnya SOP penatalaksanaan malaria Sakit. Direktorat Jenderal Pelayanan Medis.
dan belum tersedianya sistem penghargaan bagi Jakarta. 2005.
kinerja klinis yang tinggi. 10. Masika, P.M., Semarundu, W.J., Urassa, R.,
Dari hasil penelitian ini, rumah sakit disarankan Mosha, J., Chandramohan,D., Gosling, R.D.
untuk membangun sistem pelayanan klinis yang Overdiagnosis of malaria is not a lost
mendorong pelayanan yang bermutu serta cause.Malaria Journal. 2006; 5:120. doi:10.1186/
meningkatkan koordinasi dengan Dinas Kesehatan, 1475-2875-5-120 (tersedia pada http://
terutama dalam penanganan penyakit-penyakit yang www.malariajournal.com/content/5/1/120)
mempunyai kepentingan kesehatan masyarakat 11. Zurovac,D., Larson, B.A., Akhwale,W., Snow,
yang tinggi seperti halnya malaria. R.W. The financial and clinical implications of
adult malaria diagnosis using microscopy in
UCAPAN TERIMA KASIH Kenya. Tropical Medicine and International
Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Health. 2006;11(8):1185-94.
seluruh pihak yang telah berpartisipasi dalam 12. Depkes RI. Modul Pemeriksaan Parasit Malaria
penelitian ini. Penelitian ini dibiayai oleh Young Secara Mikroskopik. Direktorat Jenderal PPM
Researcher Grant Phase II Promoting evidence- & PL, Direktorat Pemberantasan Penyakit
based hospital policy and management by Bersumber Binatang. Jakarta. 2003.
strengthening the quality and use of research findings 13. World Health Organization. Guidelines for the
in the decision making. dari Alliance for Health Treatment of Malaria. Geneva. 2006.
Policy and Systems Research tahun 2006. 14. Utarini A. Evaluation of the User-Provider
Interface in Malaria Control Programme: the case
KEPUSTAKAAN of Jepara Districts, Central Java Province,
1. WHO.World Malaria Report 2008. World Health Indonesia. Umea University Medical
Organization. Geneva.2008. Dissertations. 2002.
2. Departemen Kesehatan RI. Pedoman 15. Depkes RI. Pedoman Penatalaksanaan Kasus
Penatalaksanaan Malaria di Indonesia. Malaria Di Indonesia. Direktorat Jenderal
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Penyehatan Lingkungan. Jakarta.2006. Lingkungan. Jakarta. 2006.

18 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

16. Depkes RI. Undang-Undang Republik Indonesia 22. Djasri, H. Penerapan Clinical Governance
Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Melalui ISO 9000 : Studi Kasus di Dua RSUD
Jakarta. 1992. Provinsi Jawa Timur. Jurnal Manajemen
17. Mukti, A.G. Strategi Terkini Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan. 2006;09(03):121-8.
Pelayanan Kesehatan: Konsep dan 23. Dewan, P.K., Lal, S.S., Lonnroth, K., Wares,
Implementasi. PT. Karya Husada Mukti. F. Uplekar, M., Sahu, S., et.al. Improving
Yogyakarta. 2007. tuberculosis control through public-private
18. Wright, J. & Hill, P. Clinical Governance. Elsevier collaboration in India: literature review. BMJ.
Science Limited. Newcastle. 2003. 2006;332:574-8.
19. Sabarguna, B.S. & Sumarni. Sumber Daya 24. Roll back Malaria. Roll Back Malaria Consultative
Manusia Rumah Sakit. Konsorsium Rumah Meeting on the Role of Medicine Sellers in the
Sakit Islam Jateng-DIY. Yogyakarta. 2004. Management of Malaria: whats worked and
20. Dwiprahasto, I. Clinical Governance Konsep where do we go from here?. Meeting report Roll
Modern Pelayanan Kesehatan Yang Bermutu. Back Malaria/Malaria Case Management
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. Working Group, Accra-Ghana, 26-27 May 2004.
2001;04(04):197-202 25. Deressa, W., Ali, A., Enqusellassie, F. Self-
21. Hung, L.Q., Vries, P.J., Giao, P.T., Nam, N.V., Treatment of Malaria in Rural Communities,
Binh, T.Q., Chong, M.T. et al. Control of Malaria: Butajira, Southern Ethiopia. Ethiopian Journal
A Successful Experience From Vietnam. of Health Development. 2003; 81(4):262-3.
Bulletin of The World Health Organization. 2002; 26. Guwandi, J. Medical Error Dan Hukum Medis,
80(8):660-6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 2005.

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009 l 19

Anda mungkin juga menyukai