Anda di halaman 1dari 18

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pandangan Tentang Kedatangan Yesus Yang Kedua Kali

Kedatangan Kristus yang kedua kalinya adalah pengharapan dari orang-orang

percaya bahwa Tuhan mengontrol segala sesuatunya dan setia pada janji-janji dan nubuatan

dalam Firman-Nya. Pada kedatangan-Nya yang pertama, Yesus Kristus datang ke dunia ini

sebagai seorang bayi di palungan di Betlehem, sebagaimana dinubuatkan. Yesus memenuhi

banyak nubuat mengenai Mesias dalam kelahiran, hidup, pelayanan, kematian dan

kebangkitan-Nya. Namun ada beberapa nubuat mengenai Mesias yang Yesus belum genapi.

Kedatangan Kristus kedua kali akan merupakan kembalinya Kristus untuk memenuhi

semua nubuat yang masih tersisa ini. Pada kedatangan-Nya yang pertama kali, Yesus

datang dalam keadaan yang sangat sederhana. Pada kedatangan-Nya yang kedua kalinya,

Yesus akan datang penuh kemuliaan yang diiringi oleh bala tentara Sorga.

Para nabi Perjanjian Lama tidak membedakan kedua kedatangan ini. Hal ini

dapat dilihat pada ayat-ayat seperti Yesaya 7:14; 9:6-7 dan Zakharia 14:4. Akibat dari

nubuat yang sepertinya berbicara mengenai dua individu banyak sarjana Yahudi yang

percaya bahwa akan ada Mesias yang menderita dan Mesias yang menang. Apa yang tidak

pahami adalah bahwa Mesias yang sama akan memenuhi kedua peranan ini. Yesus

menggenapi peran dari hamba yang menderita (Yesaya 53) pada kedatangan-Nya yang

pertama. Yesus akan menggenapi peran sebagai Pembebas dan Raja Israel pada

20
kedatangan-Nya yang kedua. Zakharia 12:10 dan Wahyu 1:7 menggambarkan Kedatangan

yang kedua kali, mengenang kembali saat Yesus ditikam. Israel, dan seluruh dunia, akan

meratap karena tidak menerima Mesias saat datang untuk pertama kalinya. Setelah Yesus

naik ke Sorga, para malaikat memberitahukan para rasul, Hai orang-orang Galilea,

mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke sorga

meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia

naik ke sorga (Kisah 1:11). Zakharia 14:4 mengidentifikasikan tempat kedatangan yang

kedua kalinya sebagai Bukit Zaitun. Matius 24:30 menyatakan, Pada waktu itu akan

tampak tanda Anak Manusia di langit dan semua bangsa di bumi akan meratap dan mereka

akan melihat Anak Manusia itu datang di atas awan-awan di langit dengan segala

kekuasaan dan kemuliaan-Nya. Titus 2:13 menggambarkan kedatangan yang kedua

kalinya sebagai pernyataan kemuliaan.

Mengenai kedatangan Kristus kedua kali untuk menjemput gereja dan orang

percaya ternyata mengundang perhatian banyak orang. Bahkan hal ini menjadi topik atau

tema penting dalam sepanjang zaman. Mengenai tema ini, para rasul dan generasi

sesudahnya serta generasi masa kini, tetap menyakini bahwa Kedatangan Kristus Kedua

Kali merupakan suatu peristiwa yang pasti akan terjadi. 1 Selain menarik perhatian banyak

orang, peristiwa yang pasti akan terjadi ini juga mengundang banyak pandangan yang

berbeda-beda dari berbagai kalangan. Seperti kalangan Amillenialisme berbeda pandangan

1
Chris Marantika, Masa Depan Dunia Ditinjau Dari Sudut Alkitab (Eskatologi) (Yogyakarta: Iman
Press, 2004), 105.

21
dengan Postmillenialisme dan Premillenialisme. Dari perbedaan interpretasi ini ternyata

berakibat pada orang-orang tertentu dan di wilayah tertentu pula.

Memang tidak bisa disangkal bahwa yang mengakibatkan demikian karena

kedatangan Kristus kedua kali ini benar-benar misteri, karena tidak ada yang tahu pasti

kapan Kristus datang kembali; termasuk Yesus sendiri dan para malaikat-malaikat kecuali

Bapa (Mat.24:36). Menanggapi tentang pandangan yang kontroversi ini, Chris Marantika

berpendapat demikian: Perbedaan itu tidak mengurangi betapa pentingnya pemahaman

atas pengajaran.2 Pemahaman terhadap suatu doktrin harus tetap diajarkan dengan jelas,

termasuk doktrin tentang kematian dan kebangkitan manusia. Sebaiknya pengajaran tentang

suatu doktrin harus dijelaskan berdasarkan yang Alkitabiah (Injili). Karena hanya

demikianlah pemahaman atas pengajaran (doktrin) tidak akan disesatkan. Selain itu, suatu

perbedaan pandangan tidak akan mengubah ataupun menunda kepastian terhadap

kedatangan Kristus kedua kali untuk menjemput gereja-Nya.

B. Eksposisi Teks Matius 25 : 1-13

Mengikuti pembahasan mengenai kedatangan Yesus yang kedua kali, menurut

penulis alangkah baiknya jika topik ini dibahas dengan menyoroti teks secara khusus.

Sesuai dengan judul dan teks yang penulis sudah tentukan dalam penelitian ini, berikut

pemaparan penulis terhadap teks Matius 25:1-13 :

2
Marantika, Masa Depan Dunia Ditinjau Dari Sudut Alkitab (Eskatologi), 105.

22
1. Latar Belakang Injil Matius

Injil Matius ini ditulis untuk memberikan kepada sidang pembacanya kisah

seorang saksi mata mengenai kehidupan Yesus, untuk meyakinkan pembacanya bahwa

Yesus adalah Anak Allah yang dinubuatkan oleh nabi-nabi Perjanjian Lama, yang sudah

lama dinantikan, dan untuk menunjukkan bahwa Kerajaan Allah dinyatakan di dalam dan

melalui Yesus Kristus dalam cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Matius ingin

sekali agar pembacanya memahami bahwa hampir semua orang Yahudi menolak Yesus dan

kerajaan-Nya. Orang Yahudi tidak mau percaya karena Yesus datang sebagai Mesias yang

rohani dan bukan sebagai Mesias yang politis (yang akan membebaskan orang Yahudi dari

penjajahan Romawi). Hanya pada akhir zaman, Yesus akan datang dalam kemuliaan-Nya

sebagai Raja segala raja untuk menghakimi dan memerintah semua bangsa.

Injil Matius menjadi penghubung yang sangat penting antara Perjanjian Lama

dan Perjanjian Baru. Matius memulai dengan menelusuri silsilah Yesus melalui Yusuf;

kelahiran Yesus oleh perawan Maria (1:1-2:23), pembaptisan Yesus oleh Yohanes

Pembaptis, dan pencobaan terhadap Yesus oleh Iblis di padang gurun. Yesus berbicara lebih

banyak di dalam Matius dari pada di kitab Injil lain (Injil Markus, Injil Lukas dan Injil

Yohanes). Khotbah pengajaran-Nya di bukit di pasal 5-7; pengutusan duabelas orang rasul

(pasal 10); perumpamaan tentang Kerajaan Sorga (pasal 13); persekutuan dalam Kerajaan

Sorga (pasal 18) dan khotbah tentang akhir zaman yang akan datang (pasal 24-25).

Pengkhianatan, pengadilan, penyaliban, penguburan dan kebangkitan-Nya, semua hal

tersebut terjadi pada minggu-minggu terakhir dalam kehidupan Yesus. Matius mengakhiri

dengan panggilan Agung bagi semua orang percaya.

23
Matius mengutip dari banyak kitab dalam Perjanjian Lama untuk memperkuat

lebih lanjut penegasan bahwa Yesus benar-benar adalah pengenapan dari Mesias yang

dijanjikan, Sang Juruselamat dunia. Istilah Kerajaan Sorga digunakan berulang-ulang

oleh Matius untuk memperkenalkan Kabar Baik bahwa Allah hadir dalam Yesus Kristus

dan hidup untuk memerintah dalam hidup manusia.

Injil ini dengan tepat sekali ditempatkan pertama sebagai pengantar Perjanjian

Baru dan Mesias, Anak Allah yang hidup (Matius 16:16). Walaupun nama pengarang

tidak disebutkan dalam nas Alkitab, kesaksian bapa-bapa gereja yang mula-mula seperti

Papias ( tahun 100), Ireneus ( tahun 150) dan (Eusebius ( tahun 325) 3 menyatakan

bahwa Injil ini ditulis oleh Matius, salah seorang murid Yesus.

Injil Matius ditulis untuk orang percaya bangsa Yahudi. Latar belakang Yahudi

dari Injil ini tampak dalam banyak hal, termasuk ketergantungannya pada penyataan, janji,

dan nubuat Perjanian Lama untuk membuktikan bahwa Yesus memang Mesias yang sudah

lama dinantikan, merunut garis silsilah Yesus, bertolak dari Abraham (Matius 1:1-17).

Pernyataannya yang berulang-ulang bahwa Yesus adalah Anak Daud (Matius 1:1; 9:27;

12:23; 15:22; 20:30-31; 21:9,15; 22:41-45). Penggunaan istilah yang khas Yahudi seperti

Kerajaan Sorga (yang searti dengan Kerajaan Allah) sebagai ungkapan rasa hormat

orang Yahudi sehingga segan menyebut nama Allah secara langsung dan petunjuknya

kepada berbagai kebiasaan Yahudi tanpa memberikan penjelasan apa pun (berbeda dengan

kitab-kitab Injil yang lain).

3
Merrill C. Tenney, Survei Perjanjian Baru, bag. II. Kitab-kitab Injil: Kisah Kehidupan Yesus, psl. 8
Injil Matius, (Malang: Gandum Mas, 1995), 183.

24
Sekalipun demikian, Injil ini tidak semata-mata untuk orang Yahudi. Seperti

amanat Yesus sendiri, Injil Matius pada hakikatnya ditujukan kepada seluruh gereja, serta

dengan saksama menyatakan lingkup universal Injil (Matius 2:1-12; 8:11-12; 13:38; 21:43;

28:18-20). Tanggal dan tempat Injil ini berasal tidak dapat dipastikan. Akan tetapi, ada

alasan kuat untuk beranggapan bahwa Matius menulis sebelum tahun 70 M ketika berada di

Palestina atau Antiokhia di Siria.

2. Penulis dan Permasalahan dalam Injil Matius

Secara tradisional, umat Kristen akan menyebutkan nama Matius atau Lewi

sebagai kandidat utama penulis Injil ini. Keraguan mungkin akan muncul akibat tiadanya

penyebutan yang jelas dalam Injil ini terhadap identitas penulisnya, bahkan cenderung

anonim. Keterangan paling jelas mengenai identitas Matius hanya terdapat dalam pasal 9:9

atau 10:3, di mana, disana pula kontroversi muncul akibat penyebutan tokoh Matius

seakan-akan sebagai orang kedua diluar penulis. Dalam ayat tersebut Matius digambarkan

sebagai seorang pemungut cukai yang bekerja untuk kekaisaran Romawi, selanjutnya orang

tersebut tertarik terhadap ajakan Yesus untuk menjadi muridnya.

Lewi yang kemungkinan adalah nama lain Matius beberapa kali disebutkan

dalam Injil sinoptik lain seperti Lukas atau Markus, tetapi tidak ada keterangan yang

menyebutkan bahwa Yesus pernah mengganti nama Lewi menjadi Matius (artinya Hadiah

dari Tuhan) seperti halnya saat Yesus mengganti nama Simon menjadi Cephas. Tidak ada

alasan bagi Yesus untuk mengubah nama Yahudi murid-Nya menjadi nama Romawi. Yesus

tidak pernah mengganti nama Simon menjadi Petrus, melainkan menggantinya dengan

25
nama Cephas yang artinya batu. Orang Romawi-lah yang menyebutnya sebagai Peter

atau Petrus. Adalah suatu keganjilan melihat pilihan penulis Injil Matius untuk lebih

memilih menggunakan nama Matius alih-alih nama Lewi yang lebih familiar di

kalangan Yahudi. Penulis Injil Markus dan Lukas yang menujukan karyanya bagi orang

gentile (Romawi) bahkan lebih memilih menggunakan nama Lewi bukannya Matius

(Mark.2:14; Luk.5:27).

Lewi atau Matius dikenal sebagai salah satu dari 12 murid Yesus. Sebagai murid

Yesus, Matius tentu saja akan terbiasa atau setidaknya tidak akan sembarangan

menggunakan Perjanjian Lama, persoalan akan timbul bila memperhatikan banyaknya

kesalahan dalam perujukannya terhadap Perjanjian Lama dalam karyanya. Ditambah

dengan adanya keparalelan antara Injil Matius dengan Injil Markus membuat beberapa

sarjana beranggapan Matius hanya menggunakan (bahkan menjiplak) karya Markus, yang

jelas-jelas bukan seorang murid Yesus. Siapa pun patut mempertanyakan apa gunanya bagi

seorang Matius, yang juga seorang murid Yesus, saat menggunakan sumber Markus yang

tidak kompeten karena dihasilkan oleh orang di luar lingkaran kerasulan (murid-murid

Yesus)?

Seorang murid Yesus sebenarnya dapat dengan leluasa menggunakan sumber

paling terpercaya yaitu gurunya sendiri (Yesus) sebagai referensi penulisan yang utama,

Matius sepatutnya menjadi seorang sekretaris berjalan yang senantiasa mencatat segala

perkataan maupun perbuatan gurunya tanpa perlu menggunakan sumber lain. Walau banyak

sarjana mempercayai penjiplakan Matius atas Markus, beberapa bahan yang terdapat dalam

26
Injil Matius ternyata sangat tua dan tampaknya asli, sehingga dapat mematahkan pendapat

tersebut.

Selain hal-hal di atas, keterangan mengenai pribadi Matius tampaknya tidak

diketahui. Beberapa tradisi mengatakan Matius martir di Ethiopia, sedangkan lainnya

mengatakan bahwa Matius menjadi martir di Hierapolis. Menurut Ephipanus, uskup

Cyprus, Matius sang evangelis (penulis Injil) martir di Hierapolis, sedangkan Matius

pengganti Yudas Iskhariot menjadi martir di Ethiopia. Bukan hanya terhadap Matius,

keterangan-keterangan mengenai para penulis Perjanjian Baru, atau bahkan kehidupan

sahabat-sahabat Yesus sangatlah kurang, seakan-akan ada suatu pihak yang sengaja

menutupinya.

Meskipun banyak berpendapat bahwa bukan Matius yang menulis Injil Matius,

namun secara umum rasul Matius disebut sebagai penulis Injil yang pertama ini. Merrill C.

Tenney menyatakan bahwa: tidak pernah dalam Injil pertama, ia disebut secara terang-

terangan sebagai penulisnya, tetapi para bapa gereja yang pertama yang membahas

kepenulisan Injil menetapkannya sebagai karya Matius. 4 Demikian juga tradisi sepakat

bahwa penulisnya adalah Matius, yang nama Yahudinya adalah Lewi, seorang pemungut

cukai yang dipanggil Yesus untuk menjadi murid-Nya (Mat.9:9-13). Pemungut cukai adalah

suatu istilah cercaan bagi pemungut pajak Roma, yang biasanya dilakukan dengan jalan

memeras, sehingga dibenci rakyat. Akan tetapi, dalam tulisannya Matius tidak malu

menyebut dirinya sebagai pemungut cukai ketika dirinya belum mengikut Yesus, sekalipun

dianggap rendah (Mat.9:9-10). Ini berarti sikapnya merendahkan diri dalam tulisannya.
4
Tenney, Survei Perjanjian Baru, 183.

27
Jack Kingsbury menyebutkan bahwa: Matius menulis suatu dokumen kuno dalam bahasa

Aram. Gereja kuno menerima pernyataan Papias itu sebagai bukti bahwa penulis Injil ini

adalah Matius.5 Matius memang orang yang tepat sekali untuk menulis sebuah buku

tentang pengajaran dan perbuatan Yesus, karena pekerjaan sebelumnya adalah pemungut

cukai. Pemungut cukai adalah orang-orang yang pandai berhitung, suka mencatat dan teliti

sampai pada bagian yang terkecil sekalipun. Ini berarti, pekerjaan sebagai pemungut cukai

membiasakan Matius membuat catatan-catatan; memperhatikan secara saksama kepada hal-

hal kecil. Sehubungan dengan hal itu, I. Suharyo menyatakan:

Banyak ahli modern juga berpendapat bahwa penulis Injil pertama ini adalah Rasul

Matius. Salah satu alasannya adalah dalam daftar rasul pada Matius 10:3 nama

Matius ditempatkan sesudah Tomas (pada Markus 3:18 dan Lukas 6:15 nama

Matius diletakkan sebelum Tomas) dan diberi tambahan pemungut cukai. Dua

hal/perubahan yang kiranya hanya dapat dilakukan oleh pihak yang berkepentingan

sendiri, yaitu penulisnya.6

Namun demikian, ada juga teolog yang menolak bahwa penulis Injil Matius

adalah rasul Matius. Salah satu alasannya adalah mustahil rasul Matius (sebagai saksi mata

kehidupan Yesus) menggunakan Injil Markus sebagai sumbernya. Akan tetapi, penulis tidak

meragukan bahwa penulis Injil Matius adalah rasul Matius, sebagaimana pernyataan bapa-

bapa gereja yang meyakini Alkitab sebagai firman Allah tanpa salah, bahwa mengenai Injil

Matius bersumber dari Injil Markus tidak menjadi masalah.

5
Jack Kingsbury, Injil Matius, www.misigracias.com
6

I. Suharyo, Injil Matius, www.misigracias.com

28
Jadi , berdasarkan beberapa pandangan bapa-bapa gereja yang menerima Alkitab

itu Firman Allah, saksi abad-abad pertama, dan bukti-bukti di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa penulis Injil Matius adalah rasul Matius, seorang murid Tuhan Yesus Kristus. Injil

Matius ditulis untuk orang percaya dari bangsa Yahudi dan menurut tradisi Injil ini ditulis

oleh Matius Lewi, seorang pemungut cukai, 7 ditulis sekitar tahun 61 sesudah Masehi. 8

Mengenai kitab Injil Matius ini, Merrill C. Tenney kembali berpendapat:

Tempat penulisannya mungkin di Antiokhia. Kutipan-kutipan Injil dalam karya para

penulis gereja yang pertama seperti Papias dan Ignatius sangat menyerupai ayat-

ayat dalam Injil Matius, dan ini menunjukkan bahwa Injil yang pertama ini mungkin

merupakan pilihan jemaat Siria Yahudi. Lagi pula, gereja di Antiokhia adalah gereja

pertama yang mempunyai anggota bukan Yahudi dalam jumlah lumayan yang

berbicara dalam bahasa Aram maupun Yunani. Meskipun tidak ada suatu bukti yang

pasti bahwa Injil ini ditulis di Antiokhia, tidak ada tempat lain yang lebih sesuai

daripadanya. Maka, dapat diperkirakan bahwa ia ditulis sekitar tahun 50 hingga 70

dan disebarluaskan oleh mereka yang bekerja di dan dari gereja di Antiokhia.9

Jadi, berdasarkan berbagai pendapat dan analisa, maka penulis pun sangat setuju

bahwa Injil Matius ini merupakan hasil karya yang indah yang ditulis oleh Matius Lewi,

seorang pemungut cukai. Meskipun ada kontroversi, sesungguhnya seorang pengikut Yesus

7
Tenney, Survei Perjanjian Baru, 183.

8
Sekolah Tinggi Theologia Injili Indonesia, Kepercayaan dan Kehidupan Kristen (Yogyakarta: STII,
2004), 252.
9

Tenney, Survei Perjanjian Baru, 185.

29
ini menuliskan menurut apa yang diketahui dan dialaminya bersama Sang Guru, Tuhan

Yesus Kristus.

3. Maksud Dan Tujuan Penulisan Injil Matius

Sehubungan dengan kitab Injil Matius ini ditulis untuk orang-orang Yahudi,

maka tujuan kitab Injil Matius ini pun lebih difokuskan untuk orang-orang Yahudi yang

sangat sulit untuk mempercayai Yesus adalah Mesias karena datang sebagai Mesias yang

rohani dan bukan sebagai Mesias yang politis (yang akan membebaskan orang Israel dari

penjajahan Romawi. Akan tetapi, maksud dan tujuan penulisan Injil Matius adalah untuk

menunjukkan bagaimana Yesus dari Nazaret mengembangkan serta menguraikan wahyu

ilahi yang telah dimulai dalam nubuat tentang Mesias dalam Perjanjian Lama. 10 Untuk

memberikan kepada sidang pembacanya kisah seorang saksi mata mengenai kehidupan

Yesus. untuk meyakinkan pembacanya bahwa Yesus adalah Anal Allah yang dinubuatkan

oleh nabi-nabi Perjanjian Lama, yang sudah lama dinantikan, dan untuk menunjukkan

bahwa Kerajaan Allah dinyatakan di dalam dan melalui Yesus Kristus dalam cara yang

belum pernah terjadi sebelumnya. Agar pembacanya memahami dan percaya serta

menerima Yesus Kristus dan kerajaan-Nya. Dan percaya bahwa pada akhir zaman, Yesus

Kristus akan datang dalam kemuliaan-Nya sebagai Raja segala raja untuk menghakimi dan

memerintah segala bangsa.

10
Tenney, Survei Perjanjian Baru, 192.

30
4. Konteks Matius 25:1-13

Sangatlah baik, jikalau mempelajari konteks dekat dan konteks jauh dari Matius

25:1-13 ini, supaya lebih jelas untuk dimengerti hubungan antara perikop sebelum dan

sesudahnya.

a. Konteks Dekat

Konteks dekat pasal 25:1-13 adalah pasal 24:45-51 tentang perumpamaan

tentang hamba yang setia dan hamba yang jahat. Dalam perumpamaan ini Yesus

menekankan kepada murid-murid-Nya supaya menjadi hamba yang setia dan bijaksana,

itulah yang pertama. Setia dan bijaksana merupakan sifat yang sangat diharapkan seorang

tuan terhadap hamba-hambanya.

Kedua, seorang hamba hendaknya melakukan tugasnya tepat sasaran atau sesuai

dengan kehendak tuannya yakni memberikan makanan kepada orang-orang pada waktunya

(Mat.24:45). Apabila seorang hamba itu seorang yang setia dan bijaksana, maka hamba itu

akan melaksanakan tugas-tugasnya dengan tepat atau sesuai dengan keinginan tuannya.

Bila hal itu terlaksana dengan baik, maka, tuannya akan senang dan akan mengangkat

hamba tersebut menjadi pengawas segala miliknya serta merta memuji hamba yang setia

dan bijaksana itu. (Mat.24:47; band. Mat.25:21,23). Akan tetapi, jikalau seorang hamba

tidak mau mengerjakan tugasnya sesuai dengan keinginan tuannya, maka hukumanlah yang

akan diterima hamba tersebut (Mat.24:51; band. Mat.25:26-30).

31
Ketiga, seorang hamba hendaknya mengerjakan tugas-tugasnya meskipun

tuannya tidak mengawasinya (Mat.24:46). Pengawasan seorang tuan terhadap hamba-

hambanya saat bekerja merupakan sesuatu yang sangat wajar. Tetapi, terkadang seorang

tuan akan membiarkan hamba-hambanya bekerja dengan sendirinya tanpa dibawah

pengawasan, dengan asumsi bahwa tuan tersebut yakin terhadap sikap para hambanya dan

apakah hambanya tersebut akan tetap bekerja dengan baik tanpa harus diawasi? Seorang

hamba yang setia dan bijaksana akan tetap bekerja dengan baik, tulus dan sungguh-sungguh

meskipun tidak diawasi oleh tuannya dan hamba itu akan berbahagia saat tuannya datang

akan mendapati dirinya bekerja dan akan memberi penghargaan, yakni mengangkat hamba

tersebut menjadi pengawas atas segala miliknya (Mat.25:46,47). Tetapi, jika hamba tersebut

tidak setia dan bijaksana maka ketika dirinya tidak diawasi kala melakukan pekerjaannya,

hamba tersebut akan melakukan hal-hal yang jahat, dengan asumsi tuannya tidak datang

lagi, memukul hamba-hamba yang lain, dan makan minum bersama-sama pemabuk-

pemabuk; tetapi tanpa disangka-sangka tuannya ternyata datang, maka hamba itu akan

dibunuh setelah dibuat menjadi senasib dengan orang-orang munafik untuk mengalami

ratapan dan kertakan gigi (Mat.24:51).

Berdasarkan uraian di atas, maka disimpulkan bahwa konteks dekat adalah

betapa pentingnya seseorang hidup dengan setia dan bijaksana. Karena, dengan sifat yang

setia dan bijaksana, seseorang akan dipercaya oleh seorang tuan untuk menjadi hamba yang

bekerja bagi tuannya. Setia dan bijaksana akan memotivasi seseorang untuk mengerjakan

tugas-tugasnya dengan baik dan tepat seperti yang diinginkan oleh tuannya, sungguh-

sungguh bekerja meskipun tidak diawasi oleh tuannya, tidak ada prasangka yang

32
buruk/jahat dalam hatinya, tidak kompromi dengan tindakan yang bodoh dan yakin tuannya

pasti datang, maka seseorang yang setia dan bijaksana itu akan berbahagia akan diangkat

menjadi pengawas segala milik tuannya.

b. Konteks Jauh

Adapun konteks dekat dengan pasal 25:1-13 adalah pasal 25:14-30

membicarakan perumpamaan tentang talenta. Dalam perumpamaan ini menggambarkan

tentang Kerajaan Sorga yang dialegorikan dengan seorang tuan yang mau bepergian ke luar

negeri dan mempercayakan hartanya kepada para hambanya (Mat.25:14). Hal ini akan

membantu gereja masa kini untuk menyingkapkan sedikit rahasia dari pribadi yang sangat

Agung ini. Oleh karena itu akan didapatlah pokok-pokok pemikiran teologis yang terdapat

dalam Injil Matius ini.

Bagi Matius dan penulis Injil yang lain, Kerajaan Allah atau Kerajaan Sorga

adalah inti pemberitaan Yesus: Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!

(Mat.4:17). Kerajaan Allah (Yunani: - h basileia tou theou) dan

Kerajaan Sorga atau Kerajaan Langit (Yunani: - h basileia

tn ourann), menggambarkan suatu gagasan yang sama. Istilah ini hanya ada di Injil

Matius, karena bagi orang Yahudi kata Allah sangat sakral untuk digunakan sembarangan

atau terlalu sering. Matius yang menulis kepada orang Yahudi, itulah yang menyebabkan

dirinya lebih sering memakai istilah Kerajaan Sorga (Kerajaan Langit), sedikit sekali

menggunakan istilah Kerajaan Allah. Tuhan Yesus sengaja tidak pernah mendefinisikan

secara gamblang apa yang dimaksudkan-Nya dengan Kerajaan Allah. Tetapi, ketika

dihadapan Pontius Pilatus, sebagai jawaban ketika Yesus dituduh sebagai pemberontak.

33
Tuhan Yesus menjawabnya dengan cermat menyatakan maksud-Nya bukan untuk memiliki

daerah kekuasaan yang bersifat fana di dunia ini, bunyinya: Kerajaan-Ku bukan dari dunia

ini; jika Kerajaan-Ku dari dunia ini, pasti hamba-hamba-Ku telah melawan, supaya Aku

jangan diserahkan kepada orang Yahudi, akan tetapi Kerajaan-Ku bukan dari sini.

(Yohanes 18:36). Kerajaan Allah dalam Alkitab pada umumnya berarti Allah yang aktif

memerintah di dunia. Kadang-kadang Tuhan Yesus mengatakan tentang memasuki

Kerajaan Allah, adalah sama halnya seperti seseorang memasuki sebuah negara, misalnya

dalam ayat berikut ini: Lalu Yesus memandang murid-murid-Nya di sekeliling-Nya dan

berkata kepada mereka: Alangkah sukarnya orang yang beruang masuk ke dalam Kerajaan

Allah (Markus 10:23). Tetapi, gagasan dibalik kata yang dipergunakan-Nya jauh lebih

berarti pemerintahan ketimbang kerajaan. Barangkali dalam Doa Bapa Kami, ada

definisi yang boleh dikatakan tepat, yaitu ketika datangnya Kerajaan Allah dipersamakan

dengan melakukan kehendak-Nya. Di mana kehendak Allah dilakukan dengan ketaatan

yang sempurna, disinilah arti yang menurut Perjanjian Baru (PB), Kerajaan Allah

dinyatakan. Walaupun para penulis Perjanjian Lama (PL) tidak menggunakan istilah

Kerajaan Allah, akan tetapi dengan penuh harapan menantikan Hari yang besar itu, yakni

saat YHWH akan memperlihatkan kemuliaan-Nya secara dramatis sehingga semua orang

akan mengakui pemerintahan-Nya, seperti yang tertulis di dalam Yesaya 24:23, bunyinya:

Bulan purnama akan tersipu-sipu, dan matahari terik akan mendapat malu, sebab TUHAN

semesta alam akan memerintah di gunung Sion dan di Yerusalem, dan Ia akan

menunjukkan kemuliaan-Nya di depan tua-tua umat-Nya. Pengharapan yang sangat dalam

ini, baik pengharapan dalam arti luas, maupun kerinduan akan kemerdekaan negeri itu,

34
masih terus berkobar sampai pada zaman Tuhan Yesus (Yusuf dari Arimatea, menurut

Markus (15:43), adalah salah seorang yang juga menanti-nantikan Kerajaan Allah).

Ketika Yohanes Pembaptis mengatakan bahwa Kerajaan Allah sudah dekat

(Matius 3:2), dirinya segera dikerumuni oleh sekumpulan orang yang dengan penuh

semangat datang untuk menyaksikan kuasa Allah, yang sudah lama mereka nanti-nantikan,

memerintah dalam sejarah manusia. Yohanes Pembaptis dan Tuhan Yesus bersama-sama

memberitakan Kerajaan Sorga/Kerajaan Allah. Tatkala Yohanes Pembaptis dan kemudian

Yesus sendiri memberitakan bahwa Kerajaan Allah sudah dekat pemberitaan ini

membangunkan perhatian dan mengandung arti universal. Diberitakan bahwa poros sejarah

yang lama dinanti-nantikan, yaitu campur tangan Allah untuk memulihkan segala sesuatu,

sudah dekat, bagaimanapun pengertiannya waktu itu. Jadi sangat penting meneliti isi

pemberitaan Perjanjian Baru mengenai kedatangan Kerajaan itu. Dan murid-murid Yesus

juga memberitakan hal yang sama, yakni: Kedua belas murid itu diutus oleh Yesus dan Ia

berpesan kepada mereka: Janganlah kamu menyimpang ke jalan bangsa lain atau masuk

ke dalam kota orang Samaria, melainkan pergilah kepada domba-domba yang hilang dari

umat Israel. Pergilah dan beritakanlah: Kerajaan Sorga sudah dekat (Matius 10:5-7). Matius

juga mencatat pengajaran Tuhan Yesus semua dilandaskan, karena, dan untuk Kerajaan

Sorga (Mat.5:3; 6:9-10,13,33; 7:21; 13:34).

Selain itu, rasul Paulus juga mempunyai pandangan teologis tentang Kerajaan

Allah/Kerajaan Sorga mengatakan demikian: Sebab Kerajaan Allah bukanlah soal

makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh

35
Kudus.11 Maksudnya ialah makanan atau minuman itu bukanlah hal yang sangat penting

melainkan bahwa kerajaan atau pemerintahan Allah merupakan suatu kenyataan yang sudah

ada sekarang. Kerajaan Allah didefinisikan sebagai cara hidup Kristen: perilaku yang benar,

damai sejahtera atau harmoni, dan sukacita. Hal ini adalah dalam lingkungan Roh Kudus

yang memberikan kemampuan kepada orang-orang percaya untuk berkenan pada Allah dan

dihormati oleh manusia. Sebaliknya daripada terlibat dalam percekcokan, Paulus

menasihati orang-orang percaya agar mengusahakan hal-hal yang mendatangkan damai

sejahtera dan pembangunan sesama orang percaya.

Selanjutnya, rasul Paulus juga menyampaikan tentang Kerajaan Allah kepada

orang-orang percaya yang ada di kota Korintus, demikian: Sebab Kerajaan Allah bukan

terdiri dari perkataan, tetapi dari kuasa (1 Kor.4:20). Kerajaan Allah menyatakan dirinya

dalam kuasa. Demikian, warga kerajaan itu harus memiliki lebih dari sekadar pembicaraan

ataupun berita; dan harus juga menyatakan kuasa Roh (1 Kor.2:4; Kis.1:8). Dalam PB ini

meliputi kuasa untuk menginsafkan orang akan dosa, kebenaran, dan penghakiman

(Yoh.16:8), untuk membawa orang-orang tersebut kepada keselamatan (1 Kor.4:15;

Kis.26:16-18), untuk mengadakan mukjizat dan kuasa untuk menjalankan kehidupan yang

benar (Rm.14:17). Juga dalam hal ini, rasul Paulus mengingatkan orang-orang Korintus

harus mengerti bahwa Allah bukan saja berbicara untuk mengingatkan dengan perkataan

yang lemah lembut dan penuh kasih tetapi Allah juga bisa melakukan cambuk untuk

mendisplinkan kehidupan rohani.

11
Roma 14:17.

36
Kerajaan Allah termasuk zaman yang akan datang, dan akan terjadi setelah

kebangkitan orang mati. Dalam I Korintus 15:50 Paulus berkata bahwa daging dan darah

tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. Paulus berbicara tentang kebangkitan.

Daging dan darah tidak dapat mewarisi Kerajaan Allah. Tubuh jasmaniah harus diubah

supaya tidak lagi terdiri atas daging dan darah yang dapat binasa, tetapi terdiri atas tubuh

rohaniah yang tidak dapat binasa, penuh kemuliaan dan kekuatan (1 Kor.15:42-44).

Dengan tubuh kebangkitan yang sudah diubah ini, akan memasuki Kerajaan Allah.

Kerajaan Allah akan datang setelah kebangkitan. Jadi, berita tentang Kerajaan Sorga yang

tersampaikan melalui pemberitaan Injil yang penuh kuasa merupakan harapan banyak

orang termasuk orang Yahudi dan gereja masa kini yang seharusnya untuk didengar dan

diterima.

Tafsir Matius 25:1-13

37

Anda mungkin juga menyukai