Anda di halaman 1dari 3

Suami Sebagai Kepala, Istri Sebagai

Penolong?
edisi - 47 Mengasihi Suami

Kekacauan peranan dan tanggung jawab antara suami dan istri sangat berpotensi menyebabkan
konflik serius dan menjadi sumber berbagai persoalan dalam kehidupan keluarga. Alkitab dengan
jelas menyatakan bahwa suami adalah kepala bagi istri (Efesus 5:22-31) dan istri adalah
penolong bagi suami (Kejadian 2:18). Namun tidak sedikit pasangan suami istri yang mengalami
kebingungan bagaimana seharusnya menerapkan peranan tersebut dengan benar.

Sebelum kita berbicara tentang peranan, yang terpenting adalah mengetahui lebih dahulu visi
Allah mengenai pernikahan, karena semua peranan yang dipraktikkan itu tujuannya untuk
menggenapi visi Allah. Allah berinisiatif menciptakan keluarga dengan visi untuk memenuhi
bumi dengan keturunan yang mencerminkan citra atau gambar-Nya, suatu generasi ilahi yang
diberi mandat untuk menaklukkan bumi bagi kemuliaan-Nya (Kejadian 1:27-28). Jadi dilihat dari
konteks ini sebenarnya pernikahan adalah "peperangan rohani". Oleh sebab itu Allah
menempatkan suami sebagai kepala/pemimpin dalam keluarga, yaitu berfungsi sebagai raja,
nabi, dan imam.

Sebagai raja, maksudnya menjadi pemimpin yang mengasihi istri dan anak-anaknya, dan
mengambil keputusan-keputusan ilahi bagi keluarganya. Sebagai nabi, yaitu bertanggung jawab
menyampaikan visi Tuhan dan mendidik istri serta anak-anaknya di dalam jalan Tuhan. Sebagai
imam, bertugas melindungi istri dan anak-anaknya dengan doa syafaat, menjadi pembimbing
rohani serta memimpin ibadah keluarga.

Sedangkan istri sebagai penolong yang sepadan artinya sebagai sahabat, partner yang
mendukung dan melengkapi suami untuk menggenapi visi Allah tersebut. Kata "sepadan"
menunjukkan fungsi dan tanggung jawab suami istri yang sama besarnya, walaupun
secara otoritas suami memegang peranan sebagai kepala dan istri sebagai penolong (suami
dan istri punya tanggung jawab yang sama dalam menggenapi visi Allah). Istri yang hanya
diperintah oleh suaminya dan sama sekali tidak tahu "dunia" visi yang Tuhan percayakan
pada suami, bukanlah definisi istri yang sepadan.

Dalam praktiknya sehari-hari, kepemimpinan suami bisa diwujudkan melalui sikap memedulikan
dan mengasihi istri dan anak. Menyediakan waktu untuk berkomunikasi dengan mereka.
Mengajarkan firman Tuhan, berdoa bersama, dan berdiskusi untuk membuat keputusan-
keputusan yang sesuai dengan kehendak Allah.

Yang terutama suami harus bisa membangun atmosfir ilahi di dalam keluarga. Menetapkan visi,
arah tujuan keluarga, menetapkan kebijakan dan nilai-nilai dalam keluarga. Suami juga
bertanggung jawab menyediakan kebutuhan keuangan keluarga, serta mengatur kebijakan
penggunaannya. Misalnya, belanja di atas jumlah tertentu harus ada persetujuan bersama.
Sedangkan istri membantu mengingatkan suami supaya tetap dalam prinsip Tuhan! Mendukung
pekerjaan/pelayanan suami, antara lain dengan berdoa syafaat bagi suami. Membantu
mengerjakan urusan rumah tangga serta istri dan suami harus terlibat bersama-sama dalam
mendidik anak.

Sebelum kami menikah, Tuhan pernah menyatakan kebenaran firman-Nya kepada saya, "Satu
mengejar 1.000, tetapi dua orang akan membuat lari 10.000" (baca Ulangan 32:30). Saya
mendapat pengertian (rhema) dari ayat ini bahwa bila dulu sebelum menikah kami masing-
masing (sendiri-sendiri) melayani Tuhan namun setelah kami menikah, Tuhan ingin
melipatgandakan kuasa-Nya atas kehidupan dan pelayanan kami berdua. Kenyataannya, kami
memang mengalami hal itu, baik dalam pertumbuhan rohani kami berdua, maupun dalam
pelayanan kami masing-masing.

Dalam menjalankan peran suami istri yang benar tentunya kami pun tidak luput dari kesulitan-
kesulitan yang harus kami hadapi. Sebelumnya saya ingin menceritakan latar belakang keluarga
kami berdua. Saya memunyai figur papa yang bisa dikategorikan dengan istilah "bapak
gampang" (tipe seorang bapak yang menggampangkan segala sesuatu, jarang berinisiatif untuk
mengambil keputusan, bahkan sering kali berkata "terserah" kepada istri dan anak-anaknya).
Sebaliknya mama saya memiliki tipe yang dominan. Sedangkan istri saya memiliki figur seorang
papa yang otoriter sehingga mengakibatkan keluarganya berantakan.

Latar belakang ini tentunya berpengaruh terhadap hubungan kami berdua, khususnya ketika kami
menjalankan peran kami masing-masing. Saya mengakui seringkali salah prioritas dan kurang
memerhatikan istri dan anak sehingga membuat istri terluka dan anak susah diatur atau bahkan
sakit. Memang jika suami "bocor" yang menjadi korban adalah istri dan anak. Meskipun istri
saya telah berusaha untuk mengingatkan saya, namun ketika kesalahan ini terulang-ulang lagi
akhirnya akan menyebabkan konflik. Tetapi bersama Tuhan kami melihat bahwa konflik yang
terjadi justru membuat kami semakin bertumbuh dewasa dalam hal karakter. Kuasa dan kasih
Tuhan juga semakin nyata melindungi dan mengikat hati kami. Kami teringat kembali bahwa
kami menikah karena Tuhan yang berfirman bagi kami dan kami juga telah berkomitmen di
hadapan Tuhan dan jemaat. Kami bertekad, konflik sebesar apa pun harus kami hadapi dan
selesaikan dalam kasih Tuhan. Paling tidak suami harus mengambil inisiatif untuk
menyelesaikan konflik dengan penuh kerendahan hati. Ketika kami saling merendahkan hati,
selalu anugerah Allah mengalir buat keluarga kami. Kita harus memenangkan peperangan secara
roh di dalam keluarga kita.

Jika kekacauan peranan ini tidak ditangani dengan benar, dampak secara langsung akan
dirasakan oleh seluruh anggota keluarga. Perasaan terluka, kekecewaan, dan pemberontakan
akan muncul di tengah keluarga. Akibat jangka panjangnya bisa terjadi "Pola Babel" (Kejadian
3:16), yaitu kekacauan peranan istri yang terluka akhirnya mengambil alih peranan
kepemimpinan. Hal ini membuka celah untuk Iblis menghancurkan seluruh keluarga, khususnya
anak-anak kita. Kenyataan inilah yang sering terjadi di depan mata kita, anak-anak dan remaja
yang berontak kepada orang tuanya dan terikat dengan berbagai kenajisan. Allah rindu untuk
memakai setiap keluarga menggenapi rencana-Nya. Berbagai konflik yang terjadi dipakai Allah
untuk mendewasakan kita agar keluarga kita siap dipakai-Nya!
Diambil dari:

Judul artikel : Suami sebagai Kepala, Istri sebagai Penolong?


Judul majalah : Abbavoice, Volume 3, Edisi Pembentukan dan Pengabdian
Penulis : Tidak dicantumkan
Penerbit : Abbalove Ministries
Halaman : 17 -- 20

Anda mungkin juga menyukai