Anda di halaman 1dari 36

PAJAK PENGHASILAN

Subyek Pajak Penghasilan

Yang menjadi subjek pajak penghasilan adalah:

a) 1. orang pribadi;
2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;
b) Badan
adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan
usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan
komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah
dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya,
lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha
tetap.
c) Bentuk Usaha Tetap
adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka
waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

Subyek Pajak Dalam Negeri

Subjek Pajak dalam negeri adalah:

a) orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia
lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun
pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
Kewajiban pajak subjektif orang pribadi dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan,
berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir pada saat meninggal
dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
b) badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan
pemerintah yang memenuhi kriteria:
1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah;
3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
dan
4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara;
Kewajiban pajak subyektif badan dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat
kedudukan di Indonesia.
c) warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. Kewajiban
pajak subyektif warisan yang belum terbagi dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum
terbagi tersebut dan berakhir pada saat warisan tersebut selesai dibagi.

Subyek Pajak Luar Negeri

a) orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; Kewajiban pajak subyektif
orang pribadi atau badan dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan dan berakhir pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap.
b) orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Kewajiban pajak subyektif orang pribadi atau badan dimulai pada saat orang pribadi atau
badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dan berakhir pada saat
tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut.

Obyek Pajak Penghasilan dan Pengecualiannya

a. Objek Pajak Penghasilan


Berdasarkan pasal 4 ayat (1) UU nomor 7 tahun 1983 sebagaimana yang diubah terakhir
kali dengan UU nomor 36 tahun 2008 tentang pajak penghasilan, yang menjadi objek pajak
adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib

pajak, baik yang berasal dari Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun,
termasuk :

Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekarjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, kecuali ditentukan lain dalam UU ini.
Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan.
Laba usaha
Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta.
Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak.
Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Royalty atau imbalan atas penggunaan hak.
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
Keuntungan karena pembebasan utang.
Selisih lebih karena penilaian kembali asset.
Premi asuransi.
Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya.
Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenai pajak.
Penghasilan dari usaha yang berbasis syariah.
Imbalan bunga.
Surplus Bank Indonesia.

b. Penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak penghasilan


Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan ;

Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat.
Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat.
Warisan.
Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau
sebagai pengganti penyertaan modal.
Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima dalam
bentuk natura/kenikmatan dari wajib pajak.
Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi
kesehatan, kecelakaan, dan beasiswa.
Dividen atau bagian laba yang diterima perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam
negeri dengan syarat :
- Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan.
- Bagi perseroan terbatas, BUMN, dan BUMD yang menerima dividen, kepemilikan
saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal
yang disetor.
Iuran yang diterima dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-bidang
tertentu.
Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham.
Penghasilan yang diterima perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan
pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan
syarat badan pasangan usaha tersebut :
- Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah.
- Sahamnya tidak diperdagangkan di BEI.
Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu.
Sisa lebih yang diterima badan/lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang
pendidikan/penelitian dan pengembangan.
Bantuan/santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada
wajib pajak tertentu.

Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Pengertian BUT

Bentuk Usaha Tetap (BUT) merupakan bentuk usaha ayng dipergunakan oleh Subjek Pajak Luar
Negeri (Baik orang pribadi atau badan) untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia.

Bentuk Usaha Tetap dapat berupa :


1. Tempat kedudukan manajemen.
2. Cabang perusahaan.
3. Kantor perwakilan.
4. Gedung Kantor.
5. Pabrik.
6. Benkel.
7. Pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yan digunakan
untuk eksplorasi pertambangan.
8. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebuanan, atau kehutanan.
9. Proyek kontruksi, istalasi, atau proyek perakitan.
10. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain se-panjang dilakukan
lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
11. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas.
12. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima premi atau menanggung resiko di Indonesia.
Bentuk Usaha Tetap dikenakan pajak atas penghasilan bagi yang berasal dari usaha atau
kegiatan, maupun yang berasal dari harta yang dimiliki atau dikuasainya. Dengan demikian
semua penghasilan tersebut dikenakan pajak penghasilan di Indonesia.

Obyek Pajak BUT

Yang menjadi objek pajak penghasilan BUT adalah :


Penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT tersebut dan dari harta yang dimiliki atau
dikuasai.
Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa
di Indonesia yang sejenis dengan yang dijakankan atau di lakukan di Indonesia.
Penghasilan sebagaimana tersebut dalam PPh Pasal 26 yang diterima atau diperoleh
kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan
yang memberikan penghasilan dimaksud.

Perhitungan Pajak BUT

Penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak penghasilan dari suatu Bentuk Usaha
tetap di Indonesia, akan dikenakan PPh pasal 26 sebesar 20%, kecuali penghasilan tersebut
ditanamkan kembali di Indonesia. Pemotongan pajak tersebut besifat final.

Sesuai Keputusan Mentri Keuangan Nomor 113/KMK.03/2002, maka penanaman


kembali atas penghasilan BUT di Indonesia tersebut tidak dikenakan pemotongan PPh pasal
26, dengan syarat sebagai berikut.

Peneneman kembali dilakukan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang
didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri.
Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau selambat-lambatnya
tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperolehnya pernghasilan tersebut.
Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut paling sedikit dalam
jangka waktu 2 tahun sesudah perusahaan tempat penanaman dilakukan berproduksi
komersial.

Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penananman kembali, wajib menyampaikan


pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman yang dilakukan kepada Dirjen
Pajak sebagai lampiran SPT tahunan PPh tahun pajak diterima atau diperolehnya penghasilan
yang bersangkutan.

Norma Perhitungan

Cara Penghitungan Pajak Penghasilan bagi WP Orang Pribadi Yang Memperoleh


Penghasilan Dari Usaha Atau Pekerjaan Bebas

Penghitungan PPh bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (OP) yang memperoleh penghasilan dari
usaha atau pekerjaan bebas dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu :
(1) menggunakan norma penghitungan.
(2) melalui pembukuan.

1. MENGGUNAKAN NORMA PENGHITUNGAN

Pasal 14
Ayat (1)
Norma Penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto yang
diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan disempurnakan terus-menerus. Penggunaan Norma
Penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal:
a. tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang lengkap, atau
b. pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan secara tidak
benar.
Norma Penghitungan disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau data lain, dan
dengan memperhatikan kewajaran.
Norma Penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu
menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan neto.

Ayat (2)
Norma Penghitungan Penghasilan Neto hanya boleh digunakan oleh Wajib Pajak orang pribadi
yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya kurang dari
jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah). Untuk dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto tersebut, Wajib
Pajak orang pribadi harus memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka
waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.

Ayat (3)
Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto tersebut
wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran brutonya sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
Pencatatan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan penerapan norma dalam menghitung
penghasilan neto.

Ayat (4)
Apabila Wajib Pajak orang pribadi yang berhak bermaksud untuk menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto, tetapi tidak memberitahukannya kepada Direktur Jenderal
Pajak dalam jangka waktu yang ditentukan, Wajib Pajak tersebut dianggap memilih
menyelenggarakan pembukuan.

Ayat (5)
Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, wajib menyelenggarakan pencatatan,
atau dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan, tetapi:
a. tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan kewajiban pencatatan atau pembukuan; atau
b. tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya
pada waktu dilakukan pemeriksaan sehingga mengakibatkan peredaran bruto dan
penghasilan neto yang sebenarnya tidak diketahui maka peredaran bruto Wajib Pajak yang
bersangkutan dihitung dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan dan penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto.

Ayat (7)
Menteri Keuangan dapat menyesuaikan besarnya batas peredaran bruto sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dengan memerhatikan perkembangan ekonomi dan kemampuan
masyarakat Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan.

Formula umum untuk mencari penghasilan neto itu : penghasilan kotor biaya = penghasilan
neto

Formula Norma Penghitungan untuk mencari penghasilan neto adalah :


Penghasilan kotor x Norma = penghasilan Neto

Untuk mencari PPh terutang untuk WP OP, penghasilan neto masih dikurangi lagi dengan PTKP.
Sehingga formula lengkap untuk mencari PPh terutang adalah :
((Penghasilan kotor x Norma) PTKP) x Tarif = PPh Terutang

Besarnya Norma penghitungan Penghasilan Neto


Norma penghitungan Penghasilan Neto dikelompokkan menurut wilayah sebagai berikut :
a. 10 (sepuluh) ibukota propinsi yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang,
Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak;
b. ibukota propinsi lainnya;
c. daerah lainnya.

Menghitung pajak pakai norma :


1. Dasar aturan UU 36 tahun 2008 pasal 14
2. Norma hanya dipakai oleh WP OP saja yang punya pekerjaan bebas
3. Peredaran bruto setahun < Rp. 4.800.000.000 milyar setahun
4. Syarat pemberitahuan ke KPP jangka waktu 3 bulan pertama
5. Rumus norma :
Peredaran burto setahun
(x)Tarif Norma
Penghasilan neto setahun
(-)PTKP setahun
PKP setahun
Pph terutang setahun
Pasal 7
Penghasilan Tidak Kena Pajak ( PTKP )
(1) Terhitung mulai 1 Januari 2013, PTKP (penghasilan tidak kena pajak) yang berlaku adalah
sebagai berikut:
- Untuk diri WP Rp 24.300.000
- Tambahan WP Kawin Rp 2.025.000
- Tambahan untuk penghasilan istri digabung dengan penghasilan suami Rp 24.300.000
- Tambahan untuk anggota keluarga yang menjadi tanggungan (max 3 orang) @ Rp
2.025.000
(2) Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada
awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak.

Pasal 17
(1) Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi:
a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negri adalah sebagai berikut :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000 5%
di atas Rp 50.000.000,- sampai dengan 15%
Rp 250.000.000
di atas Rp 250.000.000,- sampai dengan 25%
Rp 500.000.000
di atas Rp 500.000.000 30%

b. Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap adalah sebesar 28%
(2) Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diturunkan menjadi paling
rendah 25% (dua puluh lima persen) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2a) Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi 25% (dua puluh lima persen)
yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.
(4) Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jumlah
Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.

Wajib Pajak Badan


Pasal 31E
(1) Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan
tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran
bruto sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
(2) Besarnya bagian peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dinaikkan
dengan Peraturan Menteri Keuangan.

2. MENGGUNAKAN PEMBUKUAN
Kepusan Dirjen Pajak no. 536/PJ/2000 tentang pembukuan
Pasal 1
(1) Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran
bruto sebesar Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) atau lebih dalam 1 (satu) tahun wajib
menyelenggarakan pembukuan.
(2) Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran
bruto di bawah Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun wajib
menyelenggarakan pencatatan, kecuali Wajib Pajak yang bersangkutan memilih
menyelenggarakan pembukuan.
(3) Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak memilih untuk
menyelenggarakan pembukuan, menghitung penghasilan neto usaha atau pekerjaan bebasnya
dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

Yang Wajib Menyelenggarakan Pembukuan


1. Wajib Pajak (WP) Badan;
2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, kecuali
Wajib Pajak Orang Pribadi yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari
Rp4.800.000.000,00 (Empat milyar delapan ratus juta rupiah).

Yang Wajib Menyelenggarakan Pencatatan


1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang
peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat milyar
delapan ratus juta rupiah), dapat menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma
penghitungan penghasilan neto, dengan syarat memberitahukan ke Direktur Jenderal Pajak
dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan;
2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

Rumus Pembukuan
Peredaran bruto setahun
(-)Biaya usaha setahun
Laba bruto usaha setahun
(+) Penghasilan lainnya
Penghasilan neto setahun
(-)PTKP setahun
PKP setahun
Pph terutang setahun
3. MENGGUNAKAN PP 46 TAHUN 2013
a. Berlaku mulai 1 januari 2014
b. Tarif pph final sebesar 1% x peredaran bruto
c. Dikenakan atas WP OP dan WP badan yang mempunyai peredaran bruto setahun < Rp.
4.800.000.000 milyar
d. Dikenakan atas usaha WP yang bergerak di bidang usaha perdagangan barang
e. Pph final PP 46 tahun 2013 = 1% x omzet bruto setahun
f. WP tidak perlu lapor SPT Tahunan

Pasal 4 (ayat 1)
Yang termasuk objek pajak adalah :
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang
ini
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan
c. laba usaha
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya
sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota
yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun
4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali
yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan
badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau
orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan
usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihakpihak yang
bersangkutan; dan
5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan,
tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak;
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi
kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l. keuntungan selisih kurs mata uang asing;
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. premi asuransi;
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib
Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
q. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
s. surplus Bank Indonesia.

Pasal 4 (ayat 2)
Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang
negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang
pribadi;
a. penghasilan berupa hadiah undian;
b. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal
pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
c. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
d. penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Pasal 4 (ayat 3)
Yang bukan/tidak termasuk objek pajak adalah:
a. 1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat.
2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat
b. warisan;
c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah
e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib
Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari
penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia
dengan syarat:
1. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang
menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling
rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri
Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun
i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya
tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi,
termasukpemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
j. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari
badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia.
k. dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
l. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
m. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam
bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan
n. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada
Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 6 (Biaya yang dapat dikurangkan/ deductible expense)


Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap,
ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan, termasuk:
a. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara
lain:
1. biaya pembelian bahan;
2. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus,
gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang;
3. bunga, sewa, dan royalti;
4. biaya perjalanan;
5. biaya pengolahan limbah;
6. premi asuransi;
7. biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan;
8. biaya administrasi; dan
9. pajak kecuali Pajak Penghasilan;
b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A;
c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan;
e. kerugian selisih kurs mata uang asing;
f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
g. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
h. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:
1. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada
Direktorat Jenderal Pajak; dan
3. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi
4. pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai
penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan;
atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan
dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
5. Syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang
tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k;
i. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah;
j. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
k. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah;
l. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah
m. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 9 (Biaya yang tidak boleh dikurangkan/non deductible expense)


Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk
usaha tetap tidak boleh dikurangkan:
a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen
yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil
usaha koperasi;
b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham,
sekutu, atau anggota;
c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:
1. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan
kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan
perusahaan anjak piutang.
2. cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
3. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan.
4. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan.
5. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
6. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk
usaha pengolahan limbah industri.
d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi
bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi
kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam
bentuk natura dan kenikmatan
f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada
pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan
yang dilakukan;
g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan
h. Pajak Penghasilan;
i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang
yang menjadi tanggungannya;
j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham
k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda
yang berkenaan dengan pelaksanaan perundangundangan di bidang perpajakan.

Pasal 8
(1)Penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada
awal bagian tahun pajak dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya dan dikenai
pajak sebagai satu kesatuan. Penggabungan tersebut tidak dilakukan dalam hal penghasilan
isteri diperoleh dari pekerjaan sebagai pegawai yang telah dipotong pajak oleh pemberi kerja,
dengan ketentuan bahwa:
a. penghasilan isteri tersebut semata-mata diperoleh dari satu pemberi kerja, dan
b. penghasilan isteri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan
usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
(2) Penghasilan suami-isteri dikenai pajak secara terpisah apabila:
a. suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim;
b. dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan
penghasilan; atau
c. dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri.
(3)Penghasilan neto suami-isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c
dikenai pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suamiisteri dan besarnya pajak
yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-isteri dihitung sesuai dengan perbandingan
penghasilan neto mereka.
(4)Penghasilan anak yang belum dewasa digabung dengan penghasilan orang tuanya.

Hubungan Istimewa

Berdasarkan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh dan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang
PPN, Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau
keterikatan satu dengan yang lain. Adapun dijelaskan pada Pasal 8 Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan
Pelunasan pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan, ketergantungan atau keterikatan dapat
dilakukan secara langsung atau tidak langsung berkenaan dengan usaha, pekerjaan, atau
kepemilikan atau penguasaan, yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Penjelasan
terkait Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan adalah sebagai berikut:

1. berkenaan dengan usaha


Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan usaha antara
Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima, dapat terjadi apabila terdapat
transaksi yang bersifat rutin antara kedua belah pihak. Transaksi yang bersifat rutin
antara kedua belah pihak adalah berupa pembelian, penjualan, atau pemberian imbalan
lain dengan nama dan dalam bentuk apapun.
2. Berkenaan dengan pekerjaan
Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan pekerjaan antara
Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima terjadi apabila terdapat hubungan
yang berupa pekerjaan, pemberian jasa, atau pelaksanaan kegiatan secara langsung atau
tidak langsung antara kedua pihak tersebut.
3. Berkenaan kepemilikan atau penyertaan modal
Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan kepemilikan atau
penguasaan antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima terjadi apabila
terdapat kepemilikan atau penyertaan modal; atau adanya penguasaan melalui
manajemen atau penggunaan teknologi. Selain itu, hubungan istimewa di antara Wajib
Pajak orang pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah atau perkawinan.

Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau
keterikatan satu dengan yang lain baik dilakukan secara langsung atau tidak langsung berkenaan
dengan usaha, pekerjaan; atau kepemilikan atau penguasaan. Terkait dengan kepemilikan atau
penguasaan terdiri dari 3 (tiga) hal yaitu (1) Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal
langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain;
hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen)
pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang
disebut terakhir; (2) Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak
berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau (3) terdapat
hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke
samping satu derajat.

Beban yang Boleh Dikurangkan dan Pengecualiannya

Beban-beban yang boleh dijadikan sebagai pengurang penghasilan

Berdasarkan pasal 6 UU pajak penghasilan, besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak
dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk :

Biaya yang secara langsung/tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha.

- Biaya pembelian bahan

- Biaya berkenaan dengan pekerjaan/jasa termasuk upah, gaji yang diberikan dalam
bentuk uang.

- Bunga,sewa, dan royalty.

- Biaya perjalanan.

- Biaya pengolahan limbah.

- Premi asuransi.

- Biaya promosi dan penjualan.

- Biaya administrasi.

- Pajak kecuali Pajak Penghasilan.

Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain.

Iuran kepada dana pensiun.


Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang digunakan dalam perusahaan
untuk mendapatkan penghasilan.

Kerugian selisih kurs mata uang asing.

Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia.

Biaya beasiswa, magang dan pelatihan.

Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih.

Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional.

Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia.

Biaya pembangunan infrastruktur sosial.

Sumbangan fasilitas pendidikan.

Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga.

Beban yang tidak boleh dijadikan sebagai pengurang penghasilan

Berdasarkan pasal 9 UU Pajak Penghasilan :

Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen.

Biaya yang dibebankan/dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham.

Pembentukan/pemupukan dana cadangan, kecuali :

- Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain.

- Cadangan untuk usaha asuransi.

- Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan.

- Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan.


- Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan.

- Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industry.

Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham.

Harta yang dihibahka, bantuan atau sumbangan, dan warisan.

Pajak penghasilan.

Biaya yang dibebankan untuk kepentingan pribadi wajib pajak.

Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan yang modalnya tidak terbagi atas
saham.

Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda
yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang undangan di bidang perpajakan.

Penentuan Harga Perolehan Aktiva

Pengertian Harga Perolehan atas Aktiva/Harta Berwujud Sebagai Dasar Penyusutan


Dalam SPT Tahunan PPh Badan dan PPh Orang Pribadi Yang Menggunakan Pembukuan

Wajib Pajak memperoleh aktiva / harta berwujud dalam berbagai cara, sehingga dalam
menentukan berapa harga perolehan sebagai dasar penyusutan tentu saja berbeda-beda,
penentuan berapa harga perolehan aktiva / harta berwujud sebagai dasar penyusutan adalah
sebagai berikut :

a.Harga perolehan untuk aktiva/harta berwujud yang diperoleh dengan pembelian tunai terdiri
dari biaya/uang yang dikeluarkan/terjadi untuk memperoleh aktiva/harta berwujud sampai
ditempat dan siap dipakai, antara lain :

1. Harga beli aktiva/harta berwujud tersebut.

2. Biaya pengiriman.

3. Biaya asuransi.

4. Biaya pemasangan.
5. Biaya bea balik nama (notaris dan lain-lain)

6. Biaya lain yang berhubungan langsung dengan perolehan akiva/harta berwujud tersebut.

Apabila terhadap untuk pembelian tanah dan bangunan tidak bisa dipisahkan biaya notaris untuk
tanah dan bangunan maka biaya notaris dialokasikan sesuai harga masing-masing tanah dan
bangunan.

Penyusutan, Amortisasi dan Revaluasi Aktiva

Penyusutan

Harta tetap berwujud dalam UU PPh dikelompokkan ke dalam Harta Tetap Berwujud
Bukan Bangunan dan Harta Tetap Berwujud Bangunan. Bukan Bangunan terbagi ke dalam
empat kelompok dimulai dari:

Kelompok 1 dengan masa manfaat 4 tahun

Kelompok 2 dengan masa manfaat 8 tahun

Kelompok 3 dengan masa manfaat 16 tahun

Kelompok 4 dengan masa manfaat 20 tahun

Bukan bangun terdiri atas kelompok bangunan permanen dengan masa manfaat 20 tahun
dan bangunan tidak permanen dengan masa manfaat 10 tahun. Bangunan tidak permanen adalah
bangunan yang bersifat sementara, terbuat dari bahan yang tidak tahan lama, atau bangunan yang
dapat dipindah-pindahkan.

Metode penyusutan yang diperbolehkan untuk digunakan adalah metode garis lurus
(straight line methode) dan saldo menurun (declining balance methode). Metode garis lurus
boleh diterapkan untuk semua kelompok harta tetap bukan bangunan dan kelompok harta tetap
bangunan baik permanen dan tidak permanen sedangkan metode saldo menurun hanya boleh
diterapkan untuk semua kelompok dalam harta tetap bukan bangunan.
Amortisasi

Harta tak berwujud yang diamortisasi harga perolehannya terbagi ke dalam empat
kelompok:

Kelompok 1 dengan masa manfaat 4 tahun

Kelompok 2 dengan masa manfaat 8 tahun

Kelompok 3 dengan masa manfaat 16 tahun

Kelompok 4 dengan masa manfaat 20 tahun

Metode amortisasi garis lurus dan saldo menurun dapat diberlakukan atas semua
kelompok harta tak berwujud seperti diuraikan di atas. Namun demikian, terhadap
hak/pengeluaran di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, hak penambangan selain minyak
dan gas, hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber dan hasil alam lain, metode
amortisasi yang diperkenankan adalah metode satuan produksi. Jika terdapat sisa
hak/pengeluaran yang belum diamortisasi, maka atas sisa tersebut boleh diamortisasi sekaligus
dalam tahun pajak yang bersangkutan.

Revaluasi Aktiva

Revaluasi adalah penilaian kembali atas aktiva tetap yang dimiliki oleh perusahaan
dengan menggunakan nilai wajar atau nilai pasar riil aktiva per tanggal revaluasi. Adanya
revaluasi akan mengakibatkan aktiva tetap dinilai pada nilai wajar atau nilai pasarnya bukan nilai
buku aktiva tetap sehingga dapat menyebabkan kenaikan nilai atas aktiva tetap tersebut. Selisih
lebih antara nilai wajar dengan nilai buku aktiva tetap yang direvaluasi akan dikenakan PPh yang
bersifat final sebesar 10%.

Revaluasi atas aktiva tetap harus didasarkan pada nilai wajar atau nilai pasar aktiva tetap
yang berlaku pada saat revaluasi yang ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli penilai,
yang memperoleh izin dari pemerintah. Dalam hal nilai wajar atau nilai pasar yang ditetapkan
oleh ahli penilai tidak mencerminkan kondisi yang sebenarnya, Direktur Jenderal pajak
menetapkan kembali nilai wajar atau nilai pasar aktiva tetap yang bersangkutan.

Yang boleh melakukan revaluasi atas aktiva tetap adalah Wajib Pajak badan dan Badan
Usaha Tetap, tidak termasuk wajib pajak badan yang menyelenggarakan pembukuan dalam
bahasa inggris dan uang dollar Amerika Serikat, yang telah memenuhi semua kewajiban pajak
sampai dengan masa pajak terakhir sebelum masa pajak dilakukannnya revaluasi. Kewajiban
pajak tersebut mencakup seluruh kewajiban pajak badan yang bersangkutan seperti PPh, PPN
dan PPnBM, PBB, yang telah terutang sampai dengan masa pajak sebelum masa pajak
dilakukannya revaluasi.

Sejak bulan dilakukannya revaluasi berlaku hal-hal sebagai berikut:

Dasar penyusutan fiskal aktiva tetap adalah nilai pada saat revaluasi

Masa manfaat fiskal aktiva tetap yang direvaluasi disesuaikan kembali menjadi masa
manfaat penuh untuk kelompok aktiva tetap tersebut

Perhitungan penyusutan dilakukan sejak bulan dilakukannya revaluasi atas aktiva tetap

Untuk bagian tahun pajak sampai dengan bulan sebelum bulan dilakukannya revaluasi
atas aktiva tetap berlaku ketentuan sebagai berikut:

Dasar penyusutan fiskal aktiva tetap adalah dasar penyusutan aktiva tetap pada awal
tahun pajak yang bersangkutan

Sisa manfaat fiskal aktiva tetap adalah sisa manfaat fiskal aktiva tetap pada awal tahun
yang bersangkutan

Perhitungan penyusutan aktiva tetap dilakukan secara prorata sesuai dengan banyaknya
bulan dalam bagian tahun pajak tersebut.

Aktiva tetap yang tidak memperoleh persetujuan untuk direvaluasi disusutkan


menggunakan dasar penyusutan fiskal dan sisa manfaat fiskal semula sebelum dilakukannya
revaluasi atas aktiva tetap tersebut.
Kompensasi Kerugian

Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di
daerah-daerah tertentu memperoleh fasilitas PPh berupa kompensasi kerugian lebih lama dari 5
(lima) tahun namun tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun. Ketentuan fasilitas kompensasi kerugian
lebih lama dari 5 (lima) tahun namun tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun:

a. Tambahan 1 (satu) Tahun:

apabila Penanaman Modal baru pada bidang usaha yang diatur pada Pasal 2 ayat (1) huruf a Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015 dilakukan di kawasan industri dan/atau kawasan berikat

b. Tambahan 1 (satu) Tahun:

apabila Wajib Pajak yang melakukan Penanaman Modal baru mengeluarkan biaya untuk infrastruktur
ekonomi dan/atau sosial di lokasi usaha paling sedikit sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah)

c. Tambahan 1 (satu) Tahun:

apabila menggunakan bahan baku dan/atau komponen hasil produksi dalam negeri paling sedikit 70%
(tujuh puluh persen) sejak tahun ke 4 (empat)

d. Tambahan 1 (satu) Tahun atau 2 (dua) Tahun:

1. tambahan 1 (satu) tahun apabila mempekerjakan sekurang-kurangnya 500


(lima ratus) orang tenaga kerja Indonesia selama 5 (lima) tahun berturut-turut;
atau
2. tambahan 2 (dua) tahun apabila mempekerjakan sekurang-kurangnya 1000
(seribu) orang tenaga kerja Indonesia selama 5 (lima) tahun berturut-turut

e. Tambahan 2 (dua) Tahun:

apabila mengeluarkan biaya penelitian dan pengembangan di dalam negeri dalam rangka
pengembangan produk atau efisiensi produksi paling sedikit 5% (lima persen) dari jumlah Penanaman
Modal dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
f. Tambahan 2 (dua) Tahun:

apabila Penanaman Modal berupa perluasan dari usaha yang telah ada pada Bidang-bidang Usaha
Tertentu dan/atau Daerah-daerah Tertentu yang diatur pada ayat (1) huruf a dan/atau huruf b sebagian
sumber pembiayaannya berasal dari laba setelah pajak (earning after tax) Wajib Pajak pada satu tahun
pajak sebelum tahun diterbitkannya izin prinsip perluasan penanaman modal; dan/atau

g. Tambahan 2 (dua) Tahun:

apabila melakukan ekspor paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari nilai total penjualan, untuk
Penanaman Modal pada bidang-bidang usaha yang diatur pada ayat (1) huruf a yang dilakukan diluar
kawasan berikat.

Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf f adalah sebagai berikut:

a. diberikan untuk kerugian fiskal pada tahun pajak saat mulai berproduksi secara komersial
atas Penanaman Modal berupa perluasan dari usaha yang telah ada

b. besarnya kerugian fiskal dihitung berdasarkan proporsi laba setelah pajak (earning after
tax) yang ditanamkan kembali dalam perluasan usaha terhadap nilai buku fiskal seluruh
aktiva tetap pada akhir tahun pajak saat dimulainya berproduksi secara komersial

Pajak Final

Definisi PPh Final

Pajak Penghasilan Final (PPh Final) adalah pajak yang dikenakan dengan tarif dan dasar
pengenaan pajak tertentu atas penghasilan yang diterima atau diperoleh selama tahun berjalan.
Pembayaran, pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan Final (PPh Final) yang dipotong
pihak lain maupun yang disetor sendiri bukan merupakan pembayaran dimuka atas PPh terutang
akan tetapi merupakan pelunasan PPh terutang atas penghasilan tersebut, sehingga wajib pajak
dianggap telah melakukan pelunasan kewajiban pajaknya.
Dengan demikian maka penghasilan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan Final (PPh
final) ini tidak akan dihitung lagi Pajak Penghasilannya pada SPT Tahunan dengan penghasilan
lain yang non final untuk dikenakan tarif progresssif (pasal 17 UU PPh). Namun atas pelunasan
pemotongan atau pembayaran PPh final tersebut juga bukan merupakan kredit pajak pada SPT
Tahunan.

Penghasilan yang dikenakan pajak final adalah penghasilan yang menurut UU dikenakan
pajak bersifat final. Ketentuan tentang hal ini diatur dalam UU PPh pada pasal 4 ayat (2), pasal
15, pasal 19 ayat (1), pasal 21 ayat (1), dan pasal 22.

Berikut ini adalah perlakuan perpajakannya:

1. penghasilan yang dikenakan pajak final tidak digabungkan dengan penghasilan yang
dikenakan pajak dengan tarif progresif pada akhir tahun.

2. pajak penghasilan yang terutang/telah dipotong/dipungut oleh pihak lain atau yang
dibayar sendiri atas penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final, tidak dapat
diperhitungkan/ dikreditkan dengan pajak penghasilan yang terutang atas penghasilan
kena pajak yang dikenakan pajak dengan tarif progresif pada akhir tahun.

3. biaya/pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang


pengenaan pajaknya bersifat final tidak dapat dikurangkan dalam rangka penghitungan
penghasilan kena pajak.

4. tarif pajak yang dikenakan terhadap penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final
adalah tarif sepadan, kecuali terhadap uang pesangon, uang tebusan pensiun yang
dibayarkan oleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan
atau tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus oleh Badan
Penyelenggara Pensiun/ Jaminan Sosial Tenaga Kerja;

5. Pemenuhan kewajiban pajaknya dapat dilakukan melalui pemotongan atau pemungutan


oleh pihak lain yang ditunjuk maupun dibayar sendiri.
Pertimbangan penerapan PPh Final:

Penyederhanaan pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha

memberikan kemudahan serta mengurangi beban administrasi bagi Wajib Pajak.

Perbedaan Pajak Penghasilan yang bersifat Final dan Tidak Final

Pajak Penghasilan Tidak Final Pajak Penghasilan Final

1. Pajak Penghasilan dihitung dari Penghasilan netto yaitu penghasilan bruto biaya-biaya
untuk memperoleh, menagih dan memelihara penghasilan Pajak Penghasilan dihitung
dari penghasilan bruto tanpa memperhitungkan biaya-biaya untuk memperoleh, managih
dan memelihara penghasilan

2. Dikenakan tarif umum progressif (Pasal 17 UU PPh) Dikenakan tarif dan dasar
pengenaan pajak tertentu yang diatur dengan Peraturan Pemerintah atau KepMen.

3. Jumlah PPh yang dipotong pihak lain atau dibayar sendiri dapat dikreditkan pada SPT
Tahunan Jumlah PPh yang dipotong pihak lain atau dibayar sendiri tidak dapat
dikreditkan pada SPT Tahunan 4 biaya-biaya untuk memperoleh, menagih dan
memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto biaya-biaya untuk
memperoleh, menagih dan memelihara penghasilan tidak dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto 5 Dalam keadaan rugi Wajib Pajak tidak membayar Pajak Penghasilan
bahkan kerugian tersebut dapat dikompensasikan hingga ke 5 (lima) tahun pajak
berikutnya.

Dalam keadaan rugi Wajib Pajak tetap membayar Pajak Penghasilan karena pengenaan pajak
dikenakan pada penghasilan bruto dan bukan penghasilan netto.

Jenis PPh Final

Beberapa kategori penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan Final (PPh Final)
adalah sebagai berikut:

Berikut ini adalah jenis penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final berikut dasar
pengenaan tarif pajak yang berlaku (per Januari 2010):
1. Bunga deposito/ tabungan dan diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI):

20% dari jumlah bruto bagi wajib pajak dalam negeri;

20% dari jumlah bruto bagi wajib pajak luar negeri atau tarif berdasarkan
perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) yang berlaku.

2. Hadiah undian

25% dari jumlah bruto nilai hadiah yang dibayarkan atau nilai pasar hadiah
berupa natura atau kenikmatan.

3. Bunga simpanan anggota koperasi

0% untuk bunga simpanan s.d. Rp240.000 per bulan

10% untuk bunga simpanan lebih dari Rp240.000 per bulan

4. Bunga obligasi

15% dari jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan obligasi bunga
bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap;

20% atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran pajak


berganda (P3B) bagi wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap.

5. Diskonto obligasi

15% dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan
obligasi, tidak termasuk bunga berjalan, bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk
usaha tetap;

20% atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran pajak


berganda (P3B) bagi wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap.

6. Bunga atau diskonto obligasi yang diterima dan atau diperoleh wajib pajak reksadana
yang terdaftar pada pasar modal
0% untuk tahun 2009 sd tahun 2010

5% untuk tahun 2011 sd tahun 2013

15% untuk tahun 2014 dan seterusnya

7. Penjualan saham pendiri dan bukan pendiri di bursa efek

0,1% dari jumlah bruti nilai transaksi penjualan saham

0,5% tambahan PPh bagi pemilik saham pendiri, dari nilai saham pada saat
penawaran umum perdana.

8. Penyaur/dealer/agen produk pertamina dan premix

0,3% dari penjualan premium/ solar/ premix dari SPBU swasta

0,25% penjualan premiun/ solar/ premix dari SPBU pertamina

0,3% dari penjualan minyak tanah

0,3% dari penjualan gas LPG/ pelumas

9. Pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan (baik wajib pajak orang pribadi maupun
badan)

5% dari jumlah bruto nilai penjualan/ pengalihan tanah dan atau bangunan
lainnya.

1% atas rumah susun dan rumah susun sederhana

10. Persewaan tanah dan atau bangunan

10% dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan atau bangunan baik yang
diterima/ diperoleh wajib pajak orang pribadi maupun badan.

11. Usaha jasa konstruksi

2% atas pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang memiliki
kualifikasi usaha kecil.
4% atas pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang tidak
memiliki kualifikasi usaha.

3% atas pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa selain kedua
penyedia jasa di atas.

4% atas perencanaan atau pengawasan konstruksi yang memiliki kualifikasi


usaha.

6% atas perencanaan atau pengawasan konstruksi yang tidak memiliki kualifikasi


usaha.

12. Uang pesangon uang dibayarkan sekaligus.

0% untuk nilai s.d. Rp50 juta

5% untuk nilai bruto di atas Rp50 juta s.d. Rp100 juta.

15% untuk nilai bruto di atas 100 juta s.d. Rp500 juta.

25% untuk nilai bruto di atas Rp500 juta.

13. Uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang dibayarkan
sekaligus

0% untuk nilai s.d. Rp50 juta.

5% untuk nilai bruto di atas Rp50 juta.

14. Penghasilan wajib pajak yang bergerak di bidang usaha pelayaran dalam negeri

1,2% dari peredaran bruto (norma khusus)

15. Penghasilan wajib pajak yang bergerak di bidang usaha pelayaran atau penerbangan luar
negeri

2,64% dari peredaran bruto (norma khusus)


16. Penghasilan wajib pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di
Indonesia

0,44% dari nilai ekspor bruto (normal khusus)

17. Honorarium dan imbalan lain dengan nama apapun atas beban APBN/APBD yang
diterima pejabat negara, PNS, anggota TNI, Polri, dan pensiunan

0% untuk PNS gol. I dan II, TNI/ Polri Tamtama dan Bintara, dan pensiunannya.

5% untuk PNS gol. III, TNI/ Polri Perwira Pertama, dan pensiunannya.

15% untuk PNS gol. IV, TNI/ Polri Perwira Menengah dan Tinggi dan
pensiunannya.

18. Nilai bangunan yang diterima dalam rangka Bangun Guna Serah sehubungan dengan
berakhirnya masa perjanjian

5% dari nilai penyerahan bangunan

19. Penjualan saham milik perusahaan modal ventura

0,1% dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal

20. Selisih penilaian kembali aktiva

10% dari selisih penilaian kembali setelah dikurangi dengan kompensasi kerugian
fiskal.

21. Diskonto surat utang negara (SPBN dan ORI)

20% dari jumlah diskonto SPN

22. Penghasilan dari transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di
bursa

2,5% dari margin awal


23. Dividen yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi

10% dari jumlah bruto dividen

24. Penghasilan istri semata-mata dari satu pemberi kerja

Tarif pasal 17 dari penghasilan kena pajak

Tata Cara Pelaporan

PPh Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto SBI

Pengertian
- Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia
(SBI) dipotong Pajak Penghasilan (PPh) yang bersifat final.
- Termasuk bunga yang diterima atau diperoleh dari deposito dan tabungan yang ditempatkan di
luar negeri melalui bank yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank
luar negeri di Indonesia.

Objek dan Tarif

Atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI dikenakan PPh final sebesar:
a. 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto, terhadap Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk
Usaha Tetap (BUT).

b. 20% (duapuluh persen) dari jumlah bruto atau dengan tarif berdasarkan Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku, terhadap Wajib Pajak luar negeri.

Pemotong PPh

Pemotong PPh atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto adalah :
- Bank Pembayar Bunga;

- Dana Pensiun yang telah disahkan Menteri Keuangan dan Bank yang menjual kembali
sertifikat Bl (SBI) kepada pihak lain yang bukan dana pensiun yang pendiriannya belum
disahkan oleh Menteri Keuangan dan bukan bank wajib memotong PPh atau diskonto SBI
tersebut.
Dikecualikan dari Pemotongan PPh

1. Jumlah deposito dan tabungan serta SBI tersebut tidak melebihi Rp 7.500.000 (tujuh juta lima
ratus ribu rupiah) dan bukan merupakan Jumlah yang dipecah pecah.
2. Bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di Indonesia atau
cabang Bank luar negeri di Indonesia.

3. Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI yang diterima atau diperoleh Dana Pensiun
yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sepanjang dananya diperoleh dari
sumber pendapatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 Undang-undang 11 tahun 1992
tentang Dana Pensiun, diberikan berdasarkan Surat Keterangan Bebas (SKB), yang diterbitkan
oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat dana pensiun terdaftar.
4. Bunga tabungan pada Bank yang ditunjuk Pemerintah dalam rangka pemilikan Rumah
Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana; kavling siap bangun untuk Rumah Sederhana dan
Rumah Sangat Sederhana atau Rumah Susun Sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
untuk dihuni sendiri. Ketentuan pada butir 3 dan 4 diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri
terkait.

Lain-lain :

Orang pribadi subyek pajak dalam negeri yang seluruh penghasilannya dalam satu tahun pajak
termasuk bunga dan diskonto tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak, atas pajak yang
telah dipotong, dapat mengajukan permohonan pengembalian (Restitusi).

Anda mungkin juga menyukai