Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Gunung berapi merupakan peristiwa yang terjadi akibat endapan magma di dalam perut
bumi yang didorong keluar oleh gas yang bertekanan tinggi.Magma adalah cairan pijar yang
terdapat di dalam lapisan bumi dengan suhu yang sangat tinggi, yakni diperkirakan lebih dari 1.000
C. Cairan magma yang keluar dari dalam bumi disebut lava. Suhu lava yang dikeluarkan bisa
mencapai 700-1.200 C. Letusan gunung berapi yang membawa batu dan abu dapat menyembur
sampai sejauh radius 18 km atau lebih, sedangkan lavanya bisa membanjiri sampai sejauh radius
90 km.Tidak semua gunung berapi sering meletus. Gunung berapi yang sering meletus disebut
gunung berapi aktif. Gunung berapi yang akan meletus dapat diketahui melalui beberapa tanda,
antara lainSuhu di sekitar gunung naik.Mata air menjadi keringSering mengeluarkan suara
gemuruh, kadang disertai getaran (gempa)Tumbuhan di sekitar gunung layuBinatang di sekitar
gunung bermigrasi

Seperti banyak gunung api lainnya di Pulau Jawa, Gunung Kelud terbentuk akibat proses
subduksi lempeng benua Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia. Sejak tahun 1300 Masehi,
gunung ini tercatat aktif meletus dengan rentang jarak waktu yang relatif pendek (9-25 tahun),
menjadikannya sebagai gunung api yang berbahaya bagi manusia. Kekhasan gunung api ini adalah
adanya danau kawah (hingga akhir tahun 2007) yang membuat lahar letusan sangat cair dan
membahayakan penduduk sekitarnya. Akibat aktivitas tahun 2007 yang memunculkan kubah lava,
danau kawah nyaris sirna dan tersisa semacam kubangan air. Puncak-puncak yang ada sekarang
merupakan sisa dari letusan besar masa lalu yang meruntuhkan bagian puncak purba. Dinding di
sisi barat daya runtuh terbuka sehingga kompleks kawah membuka ke arah itu. Puncak Kelud
adalah yang tertinggi, berposisi agak di timur laut kawah. Puncak-puncak lainnya adalah Puncak
Gajahmungkur di sisi barat dan Puncak Sumbing di sisi selatan. Peristiwa meletusnya Gunung
Kelud, Jawa Timur, mendapatkan perhatian luas dari dunia internasional. Sejumlah media massa
dan kantor berita asing memberitakan peristiwa bencana alam tersebut. Letusan Gunung Kelud
kali ini tercatat menimbulkan dampak yang cukup parah bagi kawasan sekitarnya, seperti
Kabupaten dan Kota Kediri, Blitar, dan Kabupaten Malang. Bencana ini mengakibatkan 35
kelurahan dan tiga kecamatan tertutup abu tebal. Diperkirakan sebanyak 200 ribu jiwa harus

1
mengungsi dari tempat tinggalnya. Dengan demikian alas an kami mengangkat tema tersebut
adalah untuk member wawasan pada pambaca agar dapat menyikapinya dengan bijak jika terjadi
letusan Gunung Kelud

1.2 Tujuan dan Manfaat


1. Untuk mengenal tentang Gunung Kelud
2. Untuk mengetahui sejarahnya Gunung Kelud
3. Sebagai penambah wawasan bagi pembaca

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Gunung Kelud


Gunung Kelud merupakan gunung api strato andesitik yang tergolong masih aktif, terletak
di Jawa Timur . Letusan 1586 merupakan letusan yang paling banyak menimbulkan korban jiwa
yaitu sebanyak 10.000 orang meninggal. Selama abad 20 telah terjadi 5 kali letusan masing masing
pada tahun 1901, 1919, 1951, 1966 dan 1990 dengan jumlah korban jiwa seluruhnya mencapai
5400 jiwa. Letusan tahun 1901 Letusan Gunung Kelud terjadi pada tengah malam antara tanggal
22 dan 23 Mei 1901. Letusan pertama terjadi sekitar pukul 00.00 01.00. Selama dua jam aktivitas
erupsi semakin meningkat dan pada pukul 03.00 letusan utama terjadi. Asap letusan pekat
membumbung dari kawah Kelud, kemudian hujan lapilli mulai terjadi di sekitar Kelud. Segera
setelah lapilli jatuh, diikuti dengan debu basah dan lumpur. Kejadian selanjutnya berupa hujan abu
panas. Di Kediri abu panas mulai turun sekitar pukul 03.30 dan bau belerang tercium di segala
tempat. Letusan terdengar sampai jarak jauh bahkan sampai di Pekalongan. Distribusi hujan abu
sampai mencapai Sukabumi dan Bogor. Letusan Mei 1901 ini terjadi setelah selang waktu sekitar
37 tahun masa tenang yaitu sejak letusan tahun 1864. Letusan ini terjadi masih berada di dalam
kawah Kelut dan tidak mengakibatkan hancurnya dinding kawah. Informasi yang diperoleh
menjelang letusan bahwa sekitar 12 hari sebelum letusan terlihat air danau kawah Kelut mendidih.
Zona pendidihan tersebut membentuk lingkaran besar di permukaan danau kawah. Pada saat
letusan sebagian air danau kawah terlemparkan. Diperkirakan terdapat volume air danau kawah
sekitar 38 juta meter kubik sebelum letusan. Material padat yang dilemparkan gunung Kelut
selama letusan kira- kira 200 juta meter kubik. Korban jiwa cukup banyak namun informasi
tentang jumlahnya tidak jelas. Pada tanggal 11 Juli 1907 dilakukan penggalian di lereng barat
untuk mengurangi volume air danau kawah, namun demikian air danau kawah hanya berkurang
setinggi 7,4 meter atau pengurangan volume sebesar 4,3 juta meter kubik.

3
Gambar 2.1. Peta Lokasi Gunung Kelud

2.2 Karakteristik dari Gunung Kelud

Abu Gunung Kelud yang berasal dari Kediri, Nganjuk, Solo, dan Yogyakarta dianalisis secara
kimia dan mineralogi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum dari ke empat lokasi,
abu volkan yang berasal dari Yogyakarta memiliki sebaran ukuran butir abu dominan halus.
Mineral dominan yang banyak ditemukan adalah plagioklas, hiperstein, gelas volkan, augit,
4
sedangkan hornblende, opak, kuarsa jernih, dan bahan amorf sedikit ditemukan. Berdasarkan
susunan mineralnya, abu volkan Gunung Kelud bersifat andesitik. Fraksi berat pada abu volkan
Gunung Kelud didominasi oleh hiperstein-augit. Analisis kimia total menunjukkan bahwa abu
volkan Gunung Kelud mengandung oksida-oksida yaitu SiO2, Al2O3, Fe2O3, MnO, MgO, CaO,
Na2O, K2O, TiO2, P2O5, SO3, Cr2O3, CuO, SrO, ZnO, dan ZrO2. Analisis pH menunjukkan
bahwa pH abrasi abu volkan dari ke empat lokasi secara umum meningkat seiring dengan
meningkatnya waktu pengabrasian. Kelarutan unsur hara makro dan mikro tertinggi diperoleh dari
abu volkan segar yang diekstrak dengan menggunakan asam sitrat 2% dibandingkan dengan
pengekstrak akuades dan HCl 0.05 N. Kalsium diketahui memiliki kelarutan yang lebih tinggi
dibanding unsur lainnya.

2.3 Dampak Erupsi Gunung Kelud dan Korban Jiwa


Letusan tahun 1919 Letusan tahun 1919 merupakan bencana terbesar yang dihasilkan oleh
aktivitas gunung Kelut pada abad ke 20, yang mengakibatkan sekitar 5160 orang meninggal.
Letusan terjadi pada tengah malam antara tanggal 19 dan 20 Mei 1919 yang ditandai dengan suara
dentuman amat keras bahkan terdengar sampai di Kalimantan. Sekitar pukul 01.15, terdengar suara
gemuruh yang sangat keras dari arah gunung Kelut . Diperkirakan pada saat itulah terjadi letusan
utama. Beberapa saat kemudian hujan abu mulai turun. Selain hujan abu, di daerah perkebunan di
lereng Kelut terjadi hujan batu dan kerikil. Di Darungan hujan batu cukup hebat sehingga sebagian
besar atap rumah hancur. Hujan abu menyebar akibat tiupan angin terutama ke arah timur. Di Bali
hujan abu terjadi pada tanggal 21 Mei 1919. Dari perhitungan endapan abu dapat ditaksir bahwa
sekitar 284 juta meter kubik abu terlemparkan, jumlah ini setara dengan sekitar 100 juta meter
kubik3 batuan andesit. Secara keseluruhan diperkirakan 190 juta meter kubik material telah keluar
dari perut gunung Kelud. Bencana letusan Gunung Kelud itu sendiri berasal dari kejadian lahar
panas yang menyertainya. Sebelum letusan, volume air danau kawah mencapai 40 juta meter
kubik, air sejumlah itu terlempar keluar kawah pada saat letusan. Lahar yang terbentuk merupakan
lahar primer yang terjadi secara langsung oleh air danau kawah yang tertumpahkan pada saat
letusan . Sekitar pukul 01.30 aliran lahar yang merupakan campuran dari air panas, lumpur, pasir,
batu- batuan memasuki kota Blitar menciptakan kehancuran yang hebat. Kecepatan lahar yang
mengalir di kota Blitar sekitar 18 m/detik atau sekitar 65 km/jam. Jarak maksimum aliran lahar
primer mencapai 37,5 km (dihitung dari puncak Kelut). Letusan 1919 ini mengakibatkan 104 desa

5
rusak berat, kerusakan sawah,tegal,pekarangan dan perkebunan kopi,tebu dan ketela mencapai
20.200 bau (5050 hektar) dan korban binatang sebanyak 1571 ekor. Bencana letusan 1919
memberikan pelajaran bagi pemerintah saat itu untuk mengurangi volume air yang ada di danau
kawah. Dari pengamatan yang dilakukan antara tahun 1901 sampai 1905, diperkirakan air yang
masuk ke danau kawah mencapai rata- rata 6,5 juta meter kubik3 per tahun. Air yang cukup banyak
yang selalu menjadi jaminan bahwa kawah Kelut akan selalu menjadi danau itu harus dikeluarkan
sehingga volume air akan terjaga pada volume yang tetap kecil. Mulai tahun 1920 dibangun
terowongan pembuangan air dengan panjang sekitar 980 meter dan garis tengah 2 meter.
Terowongan tersebut di buat mulai dari kawah menuju barat untuk mengalirkan air danau kawah
ke Kali Badak, namun demikian kecelakaan yang disebabkan oleh runtuhnya dinding kawah
menyebabkan pekerjaan pembuatan terowongan dihentikan pada tahun 1923. Pekerjaan kontruksi
terowongan akhirnya selesai tahun 1924. Dengan adanya terowongan tersebut, ketinggian air dapat
dikurangi sebesar 134,5 m dengan volume tersisa hanya sebesar 1,8 juta meter kubik. Letusan
tahun 1951 Dua kali gempa terasa terjadi sekitar 3 minggu sebelum letusan. Letusan terjadi pada
tanggal 31 Agustus 1951. Pukul 06.15 terlihat asap tebal berwarna putih keluar dari puncak Kelut.
Makin lama makin besar dan disertai dengan suara gemuruh. Beberapa saat kemudian, sekitar
pukul 06.30, terdengar suara letusan. Sesaat terlihat asap tebal kehitaman membumbung dari
kawah Kelut condong ke selatan. Sekitar 4 suara dentuman terdengar dari Wlingi. Tiga puluh
menit kemudian di Margomulyo terjadi hujan batu sebesar buah mangga dan abu. Pandangan mata
hanya dapat mencapai 3 4 meter. Informasi dari Candisewu menyebutkan hujan batu yang
berlangsung sekitar 1 jam, disamping itu juga terasa gempa sebanyak 2 kali. Abu tercatat turun
sampai di Bandung. Pengamatan menyebutkan bahwa pada saat letusan terjadi angin kencang ke
arah barat. Diperkirakan sekitar 200 juta meter kubik material dilontarkan selama letusan. Sebab
terowongan telah dibangun maka volume air danau kawah sebelum letusan hanya sekitar 1,8 juta
meter kubik. Pada saat letusan, air tersebut sebagian besar diuapkan dan tidak mengalir sebagai
lahar primer besar. Kejadian lahar besar sebagaimana pada letusan 1919 tidak terjadi. Lahar kecil
hanya mencapai jarak maksimal sekitar 12 km jauh lebih kecil dari lahar primer 1919 yang
mencapai jarak maksimal sekitar 37 km. Terdapat korban letusan sebanyak 7 orang meninggal,
tiga diantaranya adalah pegawai Dinas Vulkanologi yang bertugas yaitu Suwarnaatmadja, Diman
dan Napan. Sedangkan yang luka-luka sebanyak 157 orang. Sekitar 320 hektar areal perkebunan
dan kehutanan rusak. Gejala menjelang letusan telah diamati sebelumnya yaitu suhu air kawah

6
naik dari sekitar 28C pada bulan Pebruari 1951 menjadi sekitar 40,8C pada bulan Agustus 1951.
Kenaikan suhu air tersebut berlanagsung dalam dua tahaap secara perlahan dari bulan Pebruari ke
pertengahan Agustus (dari 28C menjadi 38,5C) namun terjadi kenaikan suhu air yang cepat
mulai tanggal 19 Agustus 1951 dan mencapai 40,8C pada tanggal 24 Agustus, sekitar seminggu
sebelum letusan. Pada keadaan suhu maksimal tersebut warna air danau mulai berubah dari hijau
tua ke hijau muda kekuningan. Gelembung dan bualan bertambah banyak dan semakin melebar.
Penurunan suhu air tercatat pada tanggal 26 Agustus. Diperkirakan, karena tidak ada data
sesudahnya sampai kejadian letusan terjadi penurunan secara pelan-pelan sejak tanggal 25
Agustus. Letusan tahun 1966 Sesudah letusan tahun 1951, dasar kawah baru lebih rendah 79 meter
dari pada dasar kawah sebelumnya. Penurunan dasar kawah ini menyebabkan volume air danau
mencapai sekitar 21,6 juta meter kubik sebelum letusan 1966. Volume ini jauh lebih besar dari
volume air sebelum letusan 1951 yang hanya 1,8 juta meter 3. Letusan terjadi pada tanggal 26
April 1966 pukul 20.15 yang menyebabkan terjadinya lahar pada alur K.Badak, K.Putih, K.Ngobo,
K.Konto, dan K.Semut. Korban manusia berjumlah 210 orang di daerah Jatilengger dan Atas
Kedawung. Letusan ini menghasilkan tephra sekitar 90 juta meter 3. Seismograf yang berada di
Pos Margomulyo mencatat gempa pada 15 menit menjelang letusan. Warna air danau menjelang
letusan juga berubah, dimana sebulan sebelum letusan air yang semula berwarna hijau tua berubah
menjadi hijau kekuningan dan perubahan tersebut merata di seluruh permukaan kawah. Dua hari
menjelang letusan teramati bahwa warna air berubah kembali seperti semula. Perkembangan
perubahan suhu air kawah tidak teramati demikian pula tumbuhan di sekitar mulut kawah tetap
segar saat menjelang letusan. Letusan tahun 1990 Letusan terjadi pada tanggal 10 Februari 1990,
letusan ini merupakan kejadian letusan G.Kelut yang dipantau dengan seksama oleh Direktorat
Vulkanologi yang tergabung dalam suatu tim khusus yang disebut sebagai Tim Vulkanik G.Kelut.
Pemantauan yang dilakukan menggunakan berbagai metoda yaitu seismik, pengukuran suhu,
geolistrik potensial diri, dan pemantauan visual EDM dan Tiltmeter. Volume air danau yang
hannya sekitar 1,8 juta meter kubik merupakan faktor yang membuat tidak terjadinya lahar panas
pada letusan kali ini. Sebagaimana pada letusan 1951 volume air yang kecil tersebut teruapkan
ketika terjadi letusan. Letusan terjadi secara beruntun mulai pukul 11.41 sampai 12.21 wib. Tahap
awal dari letusan merupakan fase freatomagmatik yang mengakibatkan sebaran abu tipis di sekitar
puncak, sedangkan letusan berikutnya lebih besar dengan lemparan pasir, lapilli, dan batu yang
tersebar pada radius 3,5 km 2 . Jarak jangkau 1,5 km ke arah timur dan sekitar 5 km ke arah barat,

7
barat laut dan barat daya. Letusan utamanya berupa letusan plinian dengan awanpanas menyusuri
lembah di baratdaya sejauh 5 km dari kawah. Letusan tersebut berintensitas sedang dengan tephra
sekitar 130 juta meter 3. Daerah yang rusak tidak terlalu luas, hanya dalam jangkauan radius sekitar
2 km dari kawah, namun demikian sebaran abu letusan jauh lebih luas dan diperkirakan mencapai
luasan sekitar 1700 km 2. Kerusakan rumah penduduk dan fasilitas publik pada umumnya
disebabkan oleh hujan abu tersebut. Sekitar 500 rumah dan 50 gedung sekolah rusak, kerusakan
terjadi dalam isopach 10 cm yaitu pada jarak maksimum sekitar 15 km dari puncak, korban
manusia tercatat 32 orang. Gejala menjelang letusan teramati pada bulan November 1989 yaitu
adanya peningkatan suhu air danau kawah dari sekitar 31 - 34 C menjadi sekitar 35 C. Suhu
permukaan air danau kawah ini secara rata- rata mengalami peningkatan terus sampai saat
terjadinya letusan, bahkan sampai sekitar 41 C menjelang letusan. Warna air danau kawah
berubah dari hijau muda jernih menjadi hijau muda agak putih. Tingkat keasamaan air danau
meningkat dari pH sekitar 5,5 6 pada bulan Oktober 1989 berangsur semakin asam sampai
mencapai pH 4,2 pada bulan Januari 1990. Peningkatan aktivitas seismik mulai terlihat pada
tanggal 9 November 1989, yang ditandai dengan kenaikan jumlah Gempa Vulkanik yang biasanya
kurang dari satu kejadian perhari menjadi 9 kejadian Gempa Vulkanik perhari pada tanggal 9
November 1989. Kemudian pada tanggal 20 November 1989 gempa vulkanik bahkan tercatat
sebanyak 40 kali. Jumlah gempa harian kemudian mengalami penurunan dari tanggal 22
November sampai minggu pertama Januari 1990. Secara rata- rata penurunan tersebut terjadi dari
sekitar 12 gempa per hari pada sekitar tanggal 27 November 1989 sampai hanya sekitar 1-2 gempa
per hari pada awal Januari. Penurunan kejadian gempa ini diakhiri dengan munculnya tremor
antara tanggal 3 9 Januari 1990. Kejadian tremor ini yang mengakhiri kecenderungan penurunan
dan juga menjadi awal peningkatan secara mencolok aktivitas kegempaannya. Dari tanggal 14
januari sampai 21 januari merupakan episode dimana aktivitas gempa vulkanik cukup intensif.
Tanggal 22 Januari sampai 8 Februari merupakan periode tenang. Gempa vulkanik tidak lebih dari
5 gempa per hari. Pada periode ini terjadi peningkatan derau akustik di dalam danau kawah .
Intensitas derau meningkat sekitar 4 kali lipat dari rata- rata ambang sebelumnya. Kejadian letusan
diawali dengan munculnya swarm gempa vulkanik pada tanggal 9 Februari pada pukul 12.17 wib.
Secara cepat gempa meningkat dan pada tanggal 10 Februari muncul tremor vulkanik pada pukul
09.32 dengan amplitudo yang semakin membesar dan berlanjut pada kejadian letusan. Aktivitas
gunung ini meningkat pada akhir September 2007 dan masih terus berlanjut hingga November

8
tahun yang sama, ditandai dengan meningkatnya suhu air danau kawah, peningkatan kegempaan
tremor, serta perubahan warna danau kawah dari kehijauan menjadi putih keruh. Status awas
(tertinggi) dikeluarkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi sejak 16 Oktober
2007 yang berimplikasi penduduk dalam radius 10 km dari gunung (lebih kurang 135.000 jiwa)
yang tinggal di lereng gunung tersebut harus mengungsi. Namun letusan tidak terjadi. Setelah
sempat agak mereda, aktivitas Gunung Kelut kembali meningkat sejak 30 Oktober 2007 dengan
peningkatan pesat suhu air danau kawah dan kegempaan vulkanik dangkal. Pada tanggal 3
November 2007 sekitar pukul 16.00 suhu air danau melebihi 74 derajat Celsius, jauh di atas normal
gejala letusan sebesar 40 derajat Celsius, sehingga menyebabkan alat pengukur suhu rusak.
Getaran gempa tremor dengan amplitudo besar (lebih dari 35mm) menyebabkan petugas pengawas
harus mengungsi, namun kembali tidak terjadi letusan. Akibat aktivitas tinggi tersebut terjdi gejala
unik yang baru terjadi dalam sejarah Kelut dengan munculnya asap putih dari tengah danau diikuti
dengan kubah lava dari tengah-tengah danau kawah sejak tanggal 5 November 2007 dan terus
tumbuh hingga berukuran selebar 100m. Para ahli menganggap kubah lava inilah yang
menyumbat saluran magma sehingga letusan tidak segera terjadi.
2.4 Tipe dan Material Erupsi Gunung Kelud
Hasil penelitian yang didasarkan pada kejadian letusan pada tahun 1919, memberikan
penjelasan bahwa tipe dan produk letusan Gunung Kelud bertipe St. Vincent dengan jenis erupsi
eksplosif, yaitu erupsi yang terjadi ketika magma yang keluar ke permukaan bumi secara meletus
atau letusan. Ciri-ciri dari tipe letusan St. Vincent yaitu lava yang dihasilkan agak kental, tekanan
gas sedang, dan kawahnya memiliki danau. Ciri-ciri ini sama seperti yang terjadi di Gunung Kelud.
Pad tahun 1919 ini letusan yang terjadi di Gunung Kelud mengelurkan asap letusan dengan
ketinggian hingga mencapai lebih dari 10 km. Proses erupsi selalu diawali oleh letusan uap
(freatik) yang basah dan lembab. Kemudian berkembang menjadi letusan freato-magmatik yang
disertai surge hingga letusan magmatik yang menghasilkan pasir, batu apung, lapili dan abu, yang
terjadi dalam waktu relatif singkat (kurang dari 10 jam). Setiap letusannya selalu diakhiri dengan
pembentukan sumbat lava pada lubang kepundannya. Lahar letusan tidak terjadi pada letusan
tahun 1990, karena isi (volume) danau kawah pada saat terjadi letusan tidak lebih dari 2,5 juta
m3. Hal ini terjadi berkat usaha pengendalian isi danau kawah dengan pembuatan terowongan
yang dibangun pada tahun 1920, dan mengalami perbaikan setiap kali setelah terjadi letusan

9
gunung api ini. Terowongan pengendali volume danau kawah ini hingga saat ini berfungsi dengan
baik.

10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa bencana letusan Gunung Kelud itu sendiri
berasal dari kejadian lahar panas yang menyertainya. Sebelum letusan, volume air danau kawah
mencapai 40 juta meter kubik, air sejumlah itu terlempar keluar kawah pada saat letusan. Lahar
yang terbentuk merupakan lahar primer yang terjadi secara langsung oleh air danau kawah yang
tertumpahkan pada saat letusan . Sekitar pukul 01.30 aliran lahar yang merupakan campuran dari
air panas, lumpur, pasir, batu- batuan memasuki kota Blitar menciptakan kehancuran yang hebat.
Kecepatan lahar yang mengalir di kota Blitar sekitar 18 m/detik atau sekitar 65 km/jam.

3.2 Saran
Pembaca disarankan untuk lebih banyak meneliti dan mencari tahu gunung gunung api
yang ada dan masih aktif di Indonesia. Sehingga kita bisa memperluas ilmu pengetahuan kita baik
di sekolah formal maupun non formal.

11
DAFTAR PUSTAKA

http://bahankuliah-tha.blogspot.co.id/2011/11/erupsi-gunung-kelud.html

https://www.slideshare.net/nayanay3/gunung-kelud-55367155

12

Anda mungkin juga menyukai