Anda di halaman 1dari 4

Kegiatan pertambangan di bumi Indonesia telah banyak menimbulkan kontroversi.

Di
satu sisi kegiatan pertambangan menguntungkan pemerintah dan pengusaha namun
disatu sisi kegiatan pertambangan mengorbankan lingkungan hidup serta dalam banyak
kasus masyarakat di sekitar pertambangan. Misalnya saja PT International Nickel
Indonesia (PT INCO) yang melakukan kegiatan pertambangannya di Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.

Kegiatan pertambangan yang dilakukan PT INCO ini mengancam lingkungan hidup


disekitar kawasan pertambangan. Misalnya saja perusakan hutan di kawasan proyek
pembangunan PLTA milik PT INCO di aliran Sungai Larona, Desa Karebbe, Luwu Timur,
yang juga merupakan kawasan hutan lindung. Akibat aktivitas PT INCO tersebut,
kelestarian flora dan fauna di kawasan itu menjadi terancam. Hutan yang gundul tentu
akan berdampak pada terjadinya bencana. Jika hujan turun dengan deras, kawasan
tersebut terancam banjir dan longsor, yang akan menjadi ancaman serius bagi
penduduk yang berada di dataran rendah.[1]
Selama ini pemerintah seakan menutup mata akan dampak negatif yang ditimbulkan
dari kegiatan pertambangan dan hanya melihat keuntungannya saja. Padahal kegiatan
pertambangan ini dibanyak daerah telah mengancam hak asasi manusia terutama hak
ekonomi, sosial, politik warga yang bermukim disekitarnya yang sebagian besar
merupakan masyarakat asli daerah itu. Misalnya dalam kasus PT INCO, PT INCO
menyebabkan terjadinya praktek alienasi (pengasingan) terhadap penduduk-penduduk
asli dari tanah-tanah mereka (land alienation) yang merupakan warisan leluhur.
Kehadiran PT INCO, lanjut Sangaji, juga telah menyebabkan adanya kesenjangan sosial
yang sangat mencolok antara kehidupan karyawan PT INCO dengan penduduk asli yang
sangat miskin.[2]

Oleh karena itu pemerintah berkewajiban melindungi hak asasi manusia warga
pemerintahnya dalam kondisi apapun karena telah dijamin oleh Undang-undang Dasar
1945 dan Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) PBB tahun 1945.

B. IDENTIFIKASI MASALAH
1. Bagaimana dampak-dampak yang ditimbulkan akibat adanya kegiatan
pertambangan terhadap masyarakat sekitarnya?
2. Apakah kegiatan pertambangan yang dilakukan PT INCO telah melanggar
instrumen-instrumen HAM nasional dan internasional?

C. TINJAUAN HUKUM

1. Deklarasi Universal HAM PBB 1948


2. Undang-Undang Dasar 1945
3. Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International
Covenant on Economic, Sosial, and Cultural Rights), tahun 2005
4. ICCPR
5. Protocol Kyoto
6. UU Pertambangan tahun 1967
7. UU no 19/2004 tentang kehutanan
8. UU no 7/2004 tentang sumber daya air
BAB II
ANALISIS DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN OLEH PT INCO TERHADAP
HAK-HAK EKOSOB MASYARAKAT DISEKITARNYA DILIHAT DARI SISI
INSTRUMEN HAM NASIONAL DAN INTERNASIONAL

A. DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN OLEH PT INCO TERHADAP


HAK-HAK EKOSOB MASYARAKAT DISEKITARNYA
1. DAMPAK POSITIF
Sejak PT INCO berdiri, perusahaan tambang ini telah memberikan pemasukan kepada
kas pemerintah berdasarkan Kontrak Karya I, royalti yang diterima pemerintah
Indonesia hanya sebesar 0,015% dari harga setiap kilogram nikel. Sewa lahan tambang
setiap tahunnya hanya sebesar 1 US dollar per hektar per tahun. Dalam Kontrak Karya
II, sewa lahan tambang dinaikkan menjadi 1,5 US dollar per hektar per tahun, namun
royalti sama sekali tidak berubah. Pendapatan pemerintah jauh lebih rendah
dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh PT INCO. Misalnya saja, antara tahun
1988-1998, pendapatan pemerintah hanya 25,7 juta US dollar dalam bentuk royalti,
pajak perusahaan, sewa tanah, dan sewa air, sedangkan keuntungan bersih PT INCO
tahun 1989 sebesar 182 juta US dollar. Total keuntungan PT INCO dari 1988 hingga
1998-di luar tahun 1990, 1991, 1992, dan 1993-mencapai 588 juta US dollar. Adapun
pajak dari penghasilan PT INCO (terhitung sejak 1 April 2008), dikurangi menjadi hanya
sebesar 30%, yang sebelumnya mencapai 45% (Arianto Sangaji, 2002).[3]

2. DAMPAK NEGATIF

Perusahaan tambang PT INCO di Sulawesi selain memberikan dampak positif namun


juga memberikan dampak negatif bagi lingkungan sekitar, baik alam maupun manusia
disekitar pertambangan.

Akibat operasi PT International Nickel Indonesia (PT INCO), bencana lingkungan dan
kemanusiaan di sekitar kawasan tambang, terus meningkat. Komitmen PT INCO
terhadap lingkungan hidup, sangat-sangat buruk. Lihat saja perusakan hutan di
kawasan proyek pembangunan PLTA milik PT INCO di aliran Sungai Larona, Desa
Karebbe, Luwu Timur, yang juga merupakan kawasan hutan lindung. Akibat aktifitas PT
INCO tersebut, kelestarian flora dan fauna di kawasan itu menjadi terancam. Hutan
yang gundul tentu akan berdampak pada terjadinya bencana. Jika hujan turun dengan
deras, kawasan tersebut terancam banjir dan longsor, yang akan menjadi ancaman
serius bagi penduduk yang berada di dataran rendah.[4]
PLTA tersebut memasok sekitar 80 % tenaga listrik yang dibutuhkan. Kemewahan
inilah yang menyebabkan biaya pertambangan PT Inco sangat murah. Ironisnya, disaat
yang sama, pembangunan PLTA Larona juga telah menggenangi mesjid, rumah, sawah,
dan kebun-kebun penduduk.[5]
Model penambangan terbuka (strip mining) di kawasan dengan curah hujan relatif
tinggi, seperti Sorowako, akan menyebabkan tanah dari bukit-bukit dengan mudah
mengalir ke danau ketika hujan turun, yang mengakibatkan perubahan warna air
danau, serta mengakibatkan pula pendangkalan danau akibat endapan lumpur. Selain
itu, kadar bakteri e-coli di danau Matano terus meningkat dan telah mencapai lebih dari
2.400 ppm, dari kadar toleransi yang hanya 200 ppm. Belum lagi adanya dugaan
pencemaran limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dari PT INCO, setelah
ditemukannya beberapa lokasi pembuangan limbah yang dilakukan secara terbuka.
Dampak pencemaran limbah B3 tersebut akan berakibat buruk pada kesehatan
manusia.[6]
Lebih lengkap, Arianto Sangaji (2002) mengatakan, Kehadiran PT INCO, khususnya di
Sorowako, telah menyisakan sejumlah masalah pelik yang belum pernah selesai. Mulai
dari konflik tanah, munculnya fenomena sosial enklaf (enclave), masalah perburuhan,
rendahnya pendapatan pemerintah, dan bencana lingkungan yang diakibatkannya.
Sangaji menyatakan, PT INCO secara tidak langsung telah menyebabkan terjadinya
proses pemiskinan (proletarisasi), yang ditandai dengan hilangnya lahan pertanian
masyarakat akibat kegiatan eksplorasi. PT INCO juga telah menyebabkan terjadinya
praktek alienasi (pengasingan) terhadap penduduk-penduduk asli dari tanah-tanah
mereka (land alienation) yang merupakan warisan leluhur. Kehadiran PT INCO, lanjut
Sangaji, juga telah menyebabkan adanya kesenjangan sosial yang sangat mencolok
antara kehidupan karyawan PT INCO dengan penduduk asli yang sangat miskin.[7]
Salah satu akibatnya, masyarakat adat Karonsie Dongi kehilangan identitas
adatnya. Mereka cerai berai ke berbagai wilayah sekitarnya hinggga keluar propinsi.
Pada tahun 2000, mereka melakukan pengambil alihan lahan yang dulu adalah lahan
sawah mereka, yang kemudian masuk wilayah KK PT Inco. Saat ini hanya tersisa
sekitar 20 Kepala Keluarga Karonsie Dongi yang masih bertahan. Kini, untuk sekedar
bertahan hidup mereka bertani kecil-kecilan di dalam dengan menghadapi
intimidasi dan ancaman penggusuran oleh PT Inco.[8]
Meskipun telah beroperasi hampir empat dekade di Indonesia, pemerintah tidak mampu
memaksa PT Inco beranjak dari industri tahap pemula, yang ditandai dengan
pengerukan bijih nikel dan mengolahnya setengah jadi (Nikel matte 78%). Kanada dan
Jepang adalah negara yang mendapat manfaat paling besar dari tambang ini. Sebanyak
80% produksi PT Inco diekspor ke Jepang. Ironisnya, Indonesia harus
mengimpor Nikel yang sudah diolah dari Jepang. Ini menjadi bukti bagaimana bangsa
ini kehilangan momentum untuk mendapatkan nilai tambah dari bahan tambangnya.

Anda mungkin juga menyukai