Di
satu sisi kegiatan pertambangan menguntungkan pemerintah dan pengusaha namun
disatu sisi kegiatan pertambangan mengorbankan lingkungan hidup serta dalam banyak
kasus masyarakat di sekitar pertambangan. Misalnya saja PT International Nickel
Indonesia (PT INCO) yang melakukan kegiatan pertambangannya di Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.
Oleh karena itu pemerintah berkewajiban melindungi hak asasi manusia warga
pemerintahnya dalam kondisi apapun karena telah dijamin oleh Undang-undang Dasar
1945 dan Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) PBB tahun 1945.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
1. Bagaimana dampak-dampak yang ditimbulkan akibat adanya kegiatan
pertambangan terhadap masyarakat sekitarnya?
2. Apakah kegiatan pertambangan yang dilakukan PT INCO telah melanggar
instrumen-instrumen HAM nasional dan internasional?
C. TINJAUAN HUKUM
2. DAMPAK NEGATIF
Akibat operasi PT International Nickel Indonesia (PT INCO), bencana lingkungan dan
kemanusiaan di sekitar kawasan tambang, terus meningkat. Komitmen PT INCO
terhadap lingkungan hidup, sangat-sangat buruk. Lihat saja perusakan hutan di
kawasan proyek pembangunan PLTA milik PT INCO di aliran Sungai Larona, Desa
Karebbe, Luwu Timur, yang juga merupakan kawasan hutan lindung. Akibat aktifitas PT
INCO tersebut, kelestarian flora dan fauna di kawasan itu menjadi terancam. Hutan
yang gundul tentu akan berdampak pada terjadinya bencana. Jika hujan turun dengan
deras, kawasan tersebut terancam banjir dan longsor, yang akan menjadi ancaman
serius bagi penduduk yang berada di dataran rendah.[4]
PLTA tersebut memasok sekitar 80 % tenaga listrik yang dibutuhkan. Kemewahan
inilah yang menyebabkan biaya pertambangan PT Inco sangat murah. Ironisnya, disaat
yang sama, pembangunan PLTA Larona juga telah menggenangi mesjid, rumah, sawah,
dan kebun-kebun penduduk.[5]
Model penambangan terbuka (strip mining) di kawasan dengan curah hujan relatif
tinggi, seperti Sorowako, akan menyebabkan tanah dari bukit-bukit dengan mudah
mengalir ke danau ketika hujan turun, yang mengakibatkan perubahan warna air
danau, serta mengakibatkan pula pendangkalan danau akibat endapan lumpur. Selain
itu, kadar bakteri e-coli di danau Matano terus meningkat dan telah mencapai lebih dari
2.400 ppm, dari kadar toleransi yang hanya 200 ppm. Belum lagi adanya dugaan
pencemaran limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dari PT INCO, setelah
ditemukannya beberapa lokasi pembuangan limbah yang dilakukan secara terbuka.
Dampak pencemaran limbah B3 tersebut akan berakibat buruk pada kesehatan
manusia.[6]
Lebih lengkap, Arianto Sangaji (2002) mengatakan, Kehadiran PT INCO, khususnya di
Sorowako, telah menyisakan sejumlah masalah pelik yang belum pernah selesai. Mulai
dari konflik tanah, munculnya fenomena sosial enklaf (enclave), masalah perburuhan,
rendahnya pendapatan pemerintah, dan bencana lingkungan yang diakibatkannya.
Sangaji menyatakan, PT INCO secara tidak langsung telah menyebabkan terjadinya
proses pemiskinan (proletarisasi), yang ditandai dengan hilangnya lahan pertanian
masyarakat akibat kegiatan eksplorasi. PT INCO juga telah menyebabkan terjadinya
praktek alienasi (pengasingan) terhadap penduduk-penduduk asli dari tanah-tanah
mereka (land alienation) yang merupakan warisan leluhur. Kehadiran PT INCO, lanjut
Sangaji, juga telah menyebabkan adanya kesenjangan sosial yang sangat mencolok
antara kehidupan karyawan PT INCO dengan penduduk asli yang sangat miskin.[7]
Salah satu akibatnya, masyarakat adat Karonsie Dongi kehilangan identitas
adatnya. Mereka cerai berai ke berbagai wilayah sekitarnya hinggga keluar propinsi.
Pada tahun 2000, mereka melakukan pengambil alihan lahan yang dulu adalah lahan
sawah mereka, yang kemudian masuk wilayah KK PT Inco. Saat ini hanya tersisa
sekitar 20 Kepala Keluarga Karonsie Dongi yang masih bertahan. Kini, untuk sekedar
bertahan hidup mereka bertani kecil-kecilan di dalam dengan menghadapi
intimidasi dan ancaman penggusuran oleh PT Inco.[8]
Meskipun telah beroperasi hampir empat dekade di Indonesia, pemerintah tidak mampu
memaksa PT Inco beranjak dari industri tahap pemula, yang ditandai dengan
pengerukan bijih nikel dan mengolahnya setengah jadi (Nikel matte 78%). Kanada dan
Jepang adalah negara yang mendapat manfaat paling besar dari tambang ini. Sebanyak
80% produksi PT Inco diekspor ke Jepang. Ironisnya, Indonesia harus
mengimpor Nikel yang sudah diolah dari Jepang. Ini menjadi bukti bagaimana bangsa
ini kehilangan momentum untuk mendapatkan nilai tambah dari bahan tambangnya.