Anda di halaman 1dari 5

KAJIAN PUSTAKA

BPJS KESEHATAN SEBAGAI ASURANSI SYARIAH UNTUK KESEHATAN

Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akuntansi Keuangan Syariah


yang Diampu oleh Bapak Achmad Zaky,MSA.,Ak.,SAS.,CMA.,CA

DisusunOleh:

Anas Isnaeni
NIM 165020304111002

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
BPJS KESEHATAN SEBAGAI ASURANSI SYARIAH UNTUK KESEHATAN

BPJS yang dipermasalahkan MUI adalah BPJS untuk dua program, Pertama, untuk program
jaminan kesehatan mandiri dari BPJS, dimana peserta membayar premi iuran dengan tiga
kategori kelas. Kedua, jaminan kesehatan Non PBI (Peserta Bantuan Iuran) yang
diperuntukkan bagi PNS/POLRI/TNI, lembaga dan perusahaan. Dimana dana BPJS sebagian
ditanggung oleh instansi yang bersangkutan dan juga sebagiannya ditanggung peserta.

Dalam program ini, MUI menimbang adanya 3 unsur pelanggaran dalam BPJS, Pertama,
gharar (ketidak jelasan) bagi peserta dalam menerima hasil dan bagi penyelenggara dalam
menerima keuntungan. Kedua, mukhatharah (untung-untungan), yang berdampak pada unsur
maisir (judi). Ketiga, Riba fadhl (kelebihan antara yang diterima & yang dibayarkan).
Termasuk denda karena keterlambatan.

Pertama, Peserta bayar premi bulanan, namun tidak jelas berapa jumlah yang akan diterima.
Bisa lebih besar, bisa kurang. Di situlah unsur gharar (ketidak jelasan) dan untung-
untungan. Ketika gharar itu sangat kecil, mungkin tidak menjadi masalah. Karena hampir
dalam setiap jual beli, ada unsur gharar, meskipun sangat kecil. Dalam asuransi kesehatan
BPJS, tingkatannya nasional. Artinya, perputaran uang di sana besar. Anda bisa bayangkan
ketika sebagian besar WNI menjadi peserta BPJS, dana ini bisa mencapai angka triliyun. Jika
dibandingkan untuk biaya pemeliharaan kesehatan warga, akan sangat jauh selisihnya.
Artinya, unsur ghararnya sangat besar. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, beliau
mengatakan, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang jual beli gharar. (HR.
Muslim 1513).

Kedua, secara perhitungan keuangan bisa jadi untung, bisa jadi rugi. Kita tidak menyebut
peserta BPJS yang sakit berarti untung, sebaliknya ketika sehat berarti rugi. Namun dalam
perhitungan keuangan, yang diperoleh peserta ada 2 kemungkinan, bisa jadi untung, bisa jadi
rugi. Sementara kesehatan peserta yang menjadi taruhannya. Jika dia sakit, dia bisa
mendapatkan klaim dengan nilai yang lebih besar dari pada premi yang dia bayarkan. Karena
pertimbangan ini, MUI menyebutnya, ada unsur maisir (judi).

Ketiga, ketika klaim yang diterima peserta BPJS lebih besar dari premi yg dibayarkan,
berarti dia mendapat riba Fadhl. Demikian pula, ketika terjadi keterlambatan peserta dalam
membayar premi, BPJS menetapkan ada denda. Dan itu juga riba. Menimbang 3 hal di atas,
MUI dan beberapa pakar fikih di Indonesia, menilai BPJS belum memenuhi kriteria sesuai
syariah.

Diantaranya pernyataan Dr. Muhammad Arifin Badri, pembina pengusahamuslim.com,


ketika memberikan kesimpulan tentang BPJS bahwa BPJS Kesehatan termasuk dalam
katagori Asuransi Komersial, jadi hukumnya haram. Kemudian juga keterangan DR.
Erwandi Tarmizi, pada kajian di al-Azhar 18 Mei 2014, beliau manyatakan bahwa sebagian
besar dengan adanya BPJS ini sangat baik dan bagus dari pemerintah terhadap rakyatnya.
Hanya saja, karena ada satu akad yang mengandung unsur ribawi, yakni bila terjadinya
keterlambatan pembayaran maka pada bulan berikutnya akan dikenakan denda Rp 10 ribu,
unsur inilah yang pada akhirnya dipermasalahkan dan menjadikan BPJS haram.

BPJS Kesehatan menggunakan sistem seorang nasabah menyetorkan sejumlah uang tiap
bulan atau tiap tahun kepada perusahaan asuransi, dengan ketentuan perusahaan akan
menanggung biaya pengobatan nasabah bila diperlukan. Perlu diketahui bahwa, bila tidak
ada keperluan untuk pengobatan nasabah, maka ia tidak berhak menarik kembali uang yang
telah ia setorkan kepada perusahaan asuransi. Dengan demikian, hukum syariat untuk produk
BPJS Kesehatan tidak diperbolehkan. Karena pada akad tersebut terdapat gharar
(ketidakjelasan) dan praktik untung-untungan. Seorang nasabah bisa saja sering jatuh sakit,
dan biaya pengobatannya jauh lebih banyak daripada uang setorannya, padahal ia tidak
berkewajiban untuk membayar tambahan. Bisa saja berbulan-bulan ia tidak pernah sakit dan
perusahaan asuransi tidak akan pernah mengembalikan setorannya. Setiap akad yang
demikian ini halnya, maka itu adalah salah satu bentuk perjudian.

Menindaklanjuti permasalahan hukum syariat di atas, telah diupayakan solusinya bagi


masyarakat yang membutuhkan asuransi untuk kesehatan berbasis syariah. Pasalnya, Majelis
Ulama Indonesia (MUI), dalam hal ini Dewan Syariah Nasional (DSN) telah merampungkan
sebuah fatwa dengan Nomor: 98/DSN-MUI/XII/2015 tentang Penyelenggaraan BPJS
Syariah. Demikian keterangan disampaikan oleh Ketua Umum MUI Pusat, KH. Maruf
Amin saat dihubungi hidayatullah.com, belum lama ini.

BPJS Syariah, jelas Maruf, nantinya akan berbentuk sebuah produk, bukan badan ataupun
lembaga tersendiri. Sehingga, pengelolaannya tetap berinduk kepada BPJS Kesehatan yang
sudah ada. Karena itu, tegasnya, BPJS kesehatan bakal memiliki dua produk, yaitu
konvensional dan syariah. Bagi masyarakat, khususnya Muslim, bisa memilih di antara
keduanya. MUI yakin kalau diberi pilihan produk konvensional atau syariah, masyarakat
akan lebih memilih yang syariah.

Konsep BPJS syariah, kata Maruf, sesuai dengan prinsip-prinsip yang sudah ditetapkan
dalam fatwa tersebut. Dan yang jelas, tegasnya, tidak mengandung unsur-unsur gharar
(ketidakjelasan), maysir (perjudian), maupun riba. Sebagaimana diketahui, pertengahan Juli
2015 lalu, MUI menggelar Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia di Pondok
Pesantren at-Tauhiddiyah Cikura, Bojong, Tegal, Jawa Tengah. Salah satu hasil
keputusannya menyatakan bahwa BPJS Kesehatan adalah haram. Sejak itu, MUI mendapat
sorotan dari berbagai pihak sehingga menyebabkan terjadinya kegaduhan (kontroversi) di
tengah publik. Untuk menjernihkan persoalan, akhirnya digelar pertemuan beberapa lembaga
terkait di Jakarta pada awal Agustus 2015.

Pihak yang hadir di antaranya BPJS Kesehatan, DSN, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dewan
Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Kementerian Keuangan dan juga Kementerian Kesehatan.
Dari pertemuan itu, dihasilkan sejumlah poin kesepakatan yang dituangkan dalam sebuah
siaran pers. Pada poin kedua ditegaskan, hasil keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI
se-Indonesia 2015 tidak menyebutkan BPJS Kesehatan haram. Tapi, dijelaskan bahwa,
sejumlah ketentuan BPJS Kesehatan belum sesuai syariah karena mengandung unsur-unsur
seperti gharar (ketidakjelasan), maysir (perjudian) dan riba.

Untuk itu, pada poin ketiga disepakati, program BPJS akan disempurnakan agar sesuai
dengan nilai-nilai syariah untuk menfasilitasi masyarakat (peserta) yang lebih memilih
program BPJS Kesehatan Syariah.
DAFTAR PUSTAKA

http://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2016/03/21/91481/mui-akan-keluarkan-
fatwa-tentang-bpjs-syariah.html sebagaimana diakses pada tanggal 22 November
2016.

http://pengusahamuslim.com/1901-hukum-asuransi-kesehatan.html sebagaimana diakses


pada tanggal 22 November 2016.

https://konsultasisyariah.com/25276-hukum-bpjs.html sebagaimana diakses pada 22


November 2016.

Sri Nurhayati dan Wasilah. 2015. Akuntansi Keuangan Syariah. Jakarta : Penerbit Salemba
Empat.

Anda mungkin juga menyukai