Anda di halaman 1dari 18

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha
Esa yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada kami semua sehingga
penyusunan tugas makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Tugas ini disusun
sebagai tugas mata kuliah ASPEK LEGAL dengan topik pembahasan PROSES
MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA MEDIS DAN PERAWAT

Terima kasih kami sampaikan kepada Bapak usman selaku dosen mata kuliah
kewirausahaan yang telah membimbing dan memberikan pengarahan sehingga
tugas makalah ini dapat terselesaikan.

Makalah ini mungkin masih banyak kekurangan, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Demikianlah
makalah ini kami susun semoga bermanfaat.

Singkawang, Oktober 2017

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................................... 1
DAFTAR ISI................................................................................................................................... 2
BAB I ............................................................................................................................................ 3
PENDAHULUAN ........................................................................................................................... 3
A. LATAR BELAKANG............................................................................................................ 3
B. RUMUSAN MASALAH ...................................................................................................... 4
C. TUJUAN ........................................................................................................................... 4
BAB II ........................................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN ............................................................................................................................. 5
1. Mediasi ............................................................................................................................ 5
A. Definisi Mediasi ............................................................................................................... 5
B. Keuntungan Mediasi ....................................................................................................... 6
C. Unsur-Unsur Mediasi ...................................................................................................... 7
D. Prinsip-Prinsip Mediasi.................................................................................................... 7
E. Para Pihak Dalam Mediasi............................................................................................... 9
2. Sengketa Medis ............................................................................................................. 10
A. Pengertian Sengketa Medis .......................................................................................... 10
B. Sengketa Medis Dalam Hukum ..................................................................................... 11
3. Kasus ............................................................................................................................. 12
A. Contoh Kasus................................................................................................................. 12
B. Analisis Kasus ................................................................................................................ 13
C. Mediasi Kasus................................................................................................................ 14
BAB III ........................................................................................................................................ 16
PENUTUP ................................................................................................................................... 16
A. Kesimpulan .................................................................................................................... 16
B. Saran ............................................................................................................................. 16

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sengketa di bidang kesehatan acapkali muncul karena tidak harmonisnya


hubungan dokter atau rumah sakit dengan pihak pasien. Sengketa kesehatan yang
bermula pada kesenjangan persepsi dan kepentingan antara pasien dan pihak pemberi
layanan kesehatan (dokter dan atau Rumah Sakit) sering berujung pada Secara
konvensional penyelesaian sengketa kesehatan dapat dilakukan melalui jalur
pengadilan atau litigasi, yang membuat posisi para pihak yang bersengketa menjadi
berseberangan, layaknya orang yang berseteru. Proses litigasi ini sebetulnya kurang
menguntungkan, antara lain karena: adanya beban pembuktian, lamanya proses
beracara, sidang pengadilan yang terbuka untuk umum sementara kerahasiaan
merupakan hal yang diutamakan, disamping itu putusan pengadilan yang bersifat win-
lose solution cenderung akan merenggangkan hubungan kedua belah pihak. Ditambah
dengan berbagai resiko lain, seperti kemungkinan adanya gugatan balik atas
pencemaran nama baik dan sebagainya. Selain itu makin memburuknya citra
pengadilan dalam menegakkan keadilan dan kebenaran, telah mendorong masyarakat
untuk mencari pilihan penyelesaian sengketa lainnya.

Penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien dapat dilakukan dengan lebih
mendayagunakan penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan. Dalam UU No.
30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terdapat beberapa
alternatif penyelesaian sengketa, yakni: negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase.
Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan sudah
lama dipakai dalam menyelesaikan berbagai perselisihan, sengketa konsumen,
sengketa pertanahan, perselisihan hubungan industrial, dan sebagainya. Ada banyak

3
keuntungan dari mekanisme mediasi ini, antara lain: penyelesaiannya yang bersifat
informal; dan diselesaikan sendiri oleh para pihak, sehingga akan sesuai dengan
kemauan para pihak

Secara konvensional penyelesaian sengketa kesehatan dapat dilakukan melalui


jalur pengadilan atau litigasi, yang membuat posisi para pihak yang bersengketa
menjadi berseberangan, layaknya orang yang berseteru. Proses litigasi ini sebetulnya
kurang menguntungkan, antara lain karena: adanya beban pembuktian, lamanya proses
beracara, sidang pengadilan yang terbuka untuk umum sementara kerahasiaan
merupakan hal yang diutamakan, disamping itu putusan pengadilan yang bersifat win-
lose solution cenderung akan merenggangkan hubungan kedua belah pihak. Ditambah
dengan berbagai resiko lain, seperti kemungkinan adanya gugatan balik atas
pencemaran nama baik

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaskud dengan mediasi?


2. Apa saja keuntungan mediasi?
3. Apa saja keuntungan mediasi?
4. Apa sajakah prinsip-prinsip dari mediasi?
5. Siapa sajakah pihak yang berperan dalam mediasi?
6. Apa yang dimaksud dengan sengketa medis?
7. Apa yang dimasud dengan sengketa medis dalam hokum?

C. TUJUAN

Agar mahasiswa dapat memahami proses mediasi dalam penyelesaian sengketa


medis dan perawat serta dapat menjelaskan kembali apa yang dimaksud denga proses
mediasi dalam penyelesaian sengketa medis dan perawat dan dapat dipergunakan
dalam proses praktik keperawatan

4
BAB II

PEMBAHASAN

1. Mediasi

A. Definisi Mediasi

Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa latin, mediare yang berarti
berada di tengah. Makna ini menunjukkan pada peran yang ditampilkan pihak ketiga
sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan
sengketa antara para pihak. Berada di tengah juga bermakna mediator harus berada
pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Mediator harus
mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama,
sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari para pihak yang bersengketa.
Penjelasan mediasi dari sisi kebahasaan (etimologi) lebih menekankan pada
keberadaan pihak ketiga yang menjembatani para pihak bersengketa untuk
menyelesaikan perselisihannya.

Kenyataan dilapangan tenaga kesehatan (khususnya dokter) yang ingin


menjaga reputasinya dan tidak ingin berperkara cenderung berdamai namun karena
belum diatur dalam sebuah sistim yang terstruktur baik, seringkali dimanfaatkan oleh
oknum yang tidak bertanggung jawab dan berubah menjadi perbuatan yang tidak
terpuji seperti suap-menyuap dan gratifikasi.

Sengketa yang terjadi antara dokter dengan pasien biasanya disebabkan oleh
kurangnya informasi dari dokter, padahal informasi mengenai segala sesuatu yang
berhubungan dengan tindakan medis yang dilakukan oleh dokter merupakan hak
pasien, hal tersebut terjadi karena pola paternalistik yang masih melekat dalam
hubungan tersebut. Upaya penyelesaian sengketa melalui peradilan umum yang
selama ini ditempuh tidak dapat memuaskan pihak pasien, karena putusan hakim

5
dianggap tidak memenuhi rasa keadilan pihak pasien. Hal ini disebabkan sulitnya
pasien atau Jaksa Penuntut Umum maupun Hakim untuk membuktikan adanya
kesalahan dokter. Kesulitan pembuktian dikarenakan minimnya pengetahuan mereka
mengenai permasalahan-permasalahan tehnis sekitar pelayanan medik.

B. Keuntungan Mediasi

Mediasi merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang melibatkan


pihak ketiga. Mediasi dapat memberikan sejumlah keuntungan antara lain:

1) Mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa secara cepat dan relatif


murah dibandingkan dengan membawa perselisihan tersebut ke pengadilan atau
ke lembaga arbitrase.
2) Mediasi akan memfokuskan perhatian para pihak pada kepentingan mereka
secara nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologis mereka, sehingga
mediasi bukan hanya tertuju pada hakhak hukumnya.
3) Mediasi memberikan kesempatan para pihak untuk berpartisipasi secara
langsung dan secara informal dalam menyelesaikan perselisihan mereka.
4) Mediasi memberikan para pihak kemampuan untuk melakukan kontrol terhadap
proses dan hasilnya.
5) Mediasi dapat mengubah hasil, yang dalam litigasi dan arbitrase sulit diprediksi,
dengan suatu kepastian melalui suatu konsensus.
6) Mediasi memberikan hasil yang tahan uji dan akan mampu menciptakan saling
pengertian yang lebih baik di antara para pihak yang bersengketa karena mereka
sendiri yang memutuskannya.
7) Mediasi mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang hampir selalu
mengiringi setiap putusan yang bersifat memaksa yang dijatuhkan oleh hakim di
pengadilan atau arbiter pada lembaga arbitrase.

6
C. Unsur-Unsur Mediasi

Berawal dari ketidakpuasan akan proses pengadilan yang memakan waktu


relatif lama, biaya yang mahal, dan rasa ketidakpuasan pihak yang merasa sebagai
pihak yang kalah, dikembangkan mediasi sebagai salah satu cara penyelesaian
sengketa di luar pengadilan. Penerapan mediasi diberbagai negara secara umum
mengandung unsur-unsur:

1) Sebuah proses sengketa berdasarkan perundingan .


2) Adanya pihak ketiga yang bersifat netral yang disebut sebagai mediator
(penengah) terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam
perundingan itu.
3) Mediator tersebut bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk
mencari penyelesaian atas masalah-masalah sengketa
4) Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat putusan selama proses
perundingan berlangsung

Mempunyai tujuan untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat


diterima para pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.

D. Prinsip-Prinsip Mediasi

Dalam berbagai literatur ditemukan sejumlah prinsip mediasi. Prinsip dasar


(basic principle) adalah landasan filosofis dari diselenggarakannya kegiatan mediasi.
Prinsip atau filosofi ini merupakan kerangka kerja yang harus diketehaui oleh
mediator, sehingga dalam menjalankan mediasi tidak keluar dari arah filosofi yang
melatarbelakangi lahirnya institusi mediasi. Lima prinsip ini dikenal dengan lima
dasar filsafat mediasi. Kelima prinsip tersebut adalah; prinsip kerahasiaan
(confidentiality), prinsip sukarela (volunteer), prinsip pemberdayaan (empowerment),
prinsip netralitas (neutrality), dan prinsip solusi yang unik (a unique solution).

7
1) Kerahasiaan atau confidentiality adalah bahwa segala sesuatu yang terjadi
dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh mediator dan pihak-pihak yang
bersengketa tidak boleh disiarkan kepada publik atau pers oleh masing-masing
pihak. Demikian juga sang mediator harus menjaga kerahasiaan dari isi
mediasi tersebut, serta sebaiknya menghancurkan seluruh dokumen diakhir sesi
yang ia lakukan. Mediator juga tidak dapat dipanggil sebagai saksi di
pengadilan dalam kasus yang ia prakarsai penyelesaiannya melalui mediasi.
Masing-masing pihak yang bertikai diharapkan saling menghormati
kerahasiaan tiap-tiap isu dan kepentingan masing-masing pihak. Jaminan ini
harus diberikan masing-masing pihak, sehingga mereka dapat mengungkapkan
masalahnya secara langsung dan terbuka. Hal ini penting untuk menemukan
kebutuhan dan kepentingan mereka secara nyata.
2) Suka rela atau volunteer adalah masing-masing pihak yang bertikai datang ke
mediasi atas keingina dan kemauan mereka sendiri secara sukarela dan tidak
ada paksaan dan tekanan dari pihak-pihak lain atau pihak luar. Prinsip
kesukarelaan ini dibangun atas dasar bahwa orang akan mau bekerja sama
untuk menemukan jalan keluar dari persengketaan mereka, bila mereka datang
ke tempat perundingan atas pilihan mereka sendiri.
3) Pemberdayaan atau empowerment. Prinsip ini didasarkan pada asumsi bahwa
orang yang mau datang ke mediasi sebenarnya mempunyai kemampuan untuk
menegosiasikan masalah mereka sendiri dan dapat mencapai kesepakatan yang
mereka inginkan. Kemampuan mereka dalam hal ini harus diakui dan dihargai,
dan oleh karena itu setiap solusi dan jalan penyelesaiannya sebaiknya tidak
dipaksakan dari luar. Penyelesaian sengketa harus muncul dari peemberdayaan
terhadap masing-masing pihak, karena hal itu akan lebih memungkinkan para
pihak untuk menerima solusinya.
4) Netralitas (neutrality). Dalam konteks ini, peran seorang mediator hanya
memfasilitasi prosesnya saja, dan isinya tetap menjadi milik para pihak yang
bersengketa. Mediator hanyalah berwenang mengontrol proses berjalan atau

8
tidaknya mediasi. Dalam mediasi, seorang mediator tidak bertindak layaknya
seorang hakim atau juri yang memutuskan salah atau benarnya salah satu pihak
atau mendukung pendapat dari slah satunya, atau memaksakan pendapat dan
penyelesaiannya kepada kedua belah pihak.
5) Solusi yang unik (a unique solution) yaitu solusi yang dihasilkan dari proses
mediasi tidak harus sesuai dengan standar legal, tetapi dapat dihasilkan dari
proses kreativitas. Oleh karena itu, hasil mediasi akan lebih banyak mengikuti
keingina kedua belah pihak, yang terkait erat dengan konsep pemberdayaan
masing-masing pihak.

E. Para Pihak Dalam Mediasi

Dalam proses mediasi kehadiran dan partisipasi para pihak memegang peranan
penting dan menentukan berjalan tidaknya proses mediasi ke depan. Misalnya para
pihak adalah sebuah perusahaan swasta atau instansi pemerintah, maka seharusnya
yang mewakilinya adalah pegawai senior dengan kewenangan penuh untuk
bernegosiasi dan menyelesaikan perselisihan. Dalam kasus di mana pihak tidak
mungkin atau tidak praktis bagi otoritas puncak untuk hadir dalam mediasi, misalnya
menteri yang memimpin departemen atau chief executive officer (CEO) sebuah
perusahaan multinasional, maka wakil mereka harus diberikan kewenangan yang layak
untuk membuat sebuah komitmen yang secara bertanggung jawab diharapkan dapat
disetujui oleh pembuat keputusan akhir.

Tentang diperlukannya penasihat bagi para pihak, hal itu adalah masalah
masing-masing pihak. Setiap pihak bebas membawa siapa pun yang diharapkan dapat
mendukung, membantu, menasihati atau berbicara untuk itu. Dalam perselisihan yang
masih sederhana, satu atau kedua belah pihak mungkin lebih suka menangani diskusi
mereka sendiri dengan pengarah mediator yang netral dengan atau tanpa kehadiran
seorang teman atau pembantu lainnya.

9
Untuk perselisihan yang kompleks, kedua belah pihak biasanya mengharapkan
penasihat profesional seperti pengacara, akuntan, atau ahli tertentu, yang dapat
membantu pencapaian perselisihan. Penasihat profesional diikutsertakan oleh
kliennya bertujuan un tuk memberikan nasihat dan dukungan kepadanya. Dalam
praktik, penasehat profesional kadang-kadang bertindak sebagai juru bicara pada tahap
tertentu atau pada aspek tertentu atau bahakan untuk keseluruhan perselisihan itu.

2. Sengketa Medis

A. Pengertian Sengketa Medis

Dalam kosa kata Inggris terdapat 2 (dua) istilah, yakni conflict dan dispute
yang keduanya mengandung pengertian tentang adanya perbedaan kepentingan di
antara kedua belah pihak atau lebih, tetapi keduanya dapat dibedakan. Conflict sudah
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia yakni konflik, sedangkan dispute dapat
diterjemahkan dengan arti sengketa. Konflik adalah sebuah situasi dimana dua pihak
atau lebih dihadapkan pada perbedaan kepentingan, tidak dapat berkembang dari
sebuah sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan
tidak puas atau keperihatinannya. Konflik, biasanya pihak tertentu belum mengetahui
atau menyadari adanya perselisihan, dan hanya disadari oleh pihak yang bertikai.

Konflik berkembang atau berubah menjadi sebuah sengketa apabila pihak yang
merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keperihatinannya, baik secara
langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau pihak lain. Ini
berarti sengketa merupakan kelanjutan dari konflik. Sebuah konflik yang tidak dapat
terselesaikan akan menjadi sengketa.

Sengketa medis mengandung pengertian sengketa yang objeknya adalah


pelayanan medis. Pelayanan medis selalu melibatkan health provider (pemberi
layanan) dan health receiver (penerima layanan). Pelayanan medis tersebut dilakukan
dengan tujuan untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan

10
kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan. Dalam kaitan ini, baik
rumah sakit maupun dokter yamg berpraktik di rumah sakit dapat menjadi health
provider, sedangkan pemahaman terhadap health receiver secara umum adalah pasien.

Sengketa medis tidak dimuat secara eksplisit dalam Undang-undang No. 36 tahun
2009 Tentang Kesehatan, tetapi UU tersebut mengatur mengenai ganti rugi akibat
kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan. Pasal 58 Undang-undang
No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, menyatakan:

1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga


kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian
akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi
tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau
pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 29 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
mengamanatkan penyelesaian sengketa dilakukan terlebih dahulu dengan
mediasi.

B. Sengketa Medis Dalam Hukum

Sengketa medis dalam hukum dikenal juga dengan istilah malpraktik.


Sebenarnya dari asal katanya malpraktik tidak hanya ditujukan pada profesi kesehatan
saja tetapi juga profesi pada umumnya, namun setelah secara umum mulai digunakan
di luar negeri maka istilah itu sekarang diasosiasikan atau ditujukan pada profesi
kesehatan. Pemahaman malpraktik sampai sekarang masih belum seragam. Dengan
belum diaturnya malpraktik dalam peraturan perundang-undangan yang ada sekarang
ini (tidak mempunyai kepastian hukum), penanganan dan penyelesaian masalah

11
malpraktik juga menjadi tidak pasti. Masalah tersebut ditambah dengan belum adanya
(dan hampir tidak mungkin dilakukan) standarisasi standar pelayanan profesi
kesehatan. Hal itu disebabkan masalah kesehatan amat kompleks, mulai dari dampak
penerapan pelayanan kesehatan pada tiap manusia yang berbeda-beda sampai dengan
beragamnya teknologi di tiap sarana pelayanan kesehatan dan kemampuan setiap
komunitas dokter atau tenaga kesehatan lainnya.

Tidak adanya standar pelayanan profesi kesehatan yang legal dan banyaknya
rumah sakit yang menerbitkan standar yang berbeda dengan rumah sakit lainnya akan
menyebabkan kesulitan dalam membedakan malpraktik dengan kelalaian, kecelakaan
dan kegagalan di lapangan. Lebih lanjut hal tersebut juga menyebabkan pembuktian
malpraktik akan semakin sulit jika pasien berpindah-pindah rumah sakit.Dengan
demikian yang paling tepat dan berhak menentukan pengingkaran atas standar
pelayanan profesi kesehatan adalah Komite Medik di rumah sakit yang bersangkutan.

3. Kasus

A. Contoh Kasus

Tn.T umur 55 tahun, dirawat di ruang 206 perawatan neurologi Rumah Sakit
AA, tn.T dirawat memasuki hari ketujuh perawatan. Tn.T dirawat di ruang tersebut
dengan diagnosa medis stroke iskemic, dengan kondisi saat masuk Tn.T tidak sadar,
tidak dapat makan, TD: 170/100, RR: 24 x/mt, N: 68 x/mt. Kondisi pada hari ketujuh
perawatan didapatkan Kesadaran compos mentis, TD: 150/100, N: 68,
hemiparese/kelumpuhan anggota gerak dextra atas dan bawah, bicara pelo, mulut
mencong kiri. Tn.T dapat mengerti bila diajak bicara dan dapat menjawab pertanyaan
dengan baik tetapi jawaban Tn.T tidak jelas (pelo). Tetapi saat sore hari sekitar pukul
17.00 wib terdengar bunyi gelas plastik jatuh dan setelah itu terdengar bunyi seseorang
jatuh dari tempat tidur, diruang 206 dimana tempat Tn.T dirawat. Saat itu juga perawat
yang mendengar suara tersebut mendatangi dan masuk ruang 206, saat itu perawat

12
mendapati Tn.T sudah berada dilantai dibawah tempatt tidurnya dengan barang-barang
disekitarnya berantakan.

Ketika peristiwa itu terjadi keluarga Tn.T sedang berada dikamar mandi,
dengan adanya peristiwa itu keluarga juga langsung mendatangi tn.T, keluarga juga
terkejut dengan peristiwa itu, keluarga menanyakan kenapa terjadi hal itu dan
mengapa, keluarga tampak kesal dengan kejadian itu. Perawat dan keluarga
menanyakan kepada tn.T kenapa bapak jatuh, tn.T mengatakan saya akan mengambil
minum tiba-tiba saya jatuh, karena tidak ada pengangan pad tempat tidurnya, perawat
bertanya lagi, kenapa bapak tidak minta tolong kami saya pikir kan hanya
mengambil air minum.
Dua jam sebelum kejadian, perawat merapikan tempat tidur tn.T dan perawat
memberikan obat injeksi untuk penurun darah tinggi (captopril) tetapi perawat lupa
memasng side drill tempat tidur tn.T kembali. Tetapi saat itu juga perawat
memberitahukan pada pasien dan keluarga, bila butuh sesuatu dapat memanggil
perawat dengan alat yang tersedia.

B. Analisis Kasus

Contoh kasus diatas merupakan salah satu bentuk kasus malpraktek dari
perawat dalam memberikan asuhan keperawatan, seharusnya perawat memberikan
rasa aman dan nyaman kepada pasien (Tn.T). rasa nyaman dan aman salah satunya
dengan menjamin bahwa Tn.T tidak akan terjadi injuri/cedera, karena kondisi Tn.T
mengalami kelumpuhan seluruh anggota gerak kanan, sehingga mengalami kesulitan
dalam beraktifitas atau menggerakan tubuhnya.
Pada kasus diatas menunjukkan bahwa kelalaian perawat dalam hal ini lupa
atau tidak memasang pengaman tempat tidur (side drill) setelah memberikan obat
injeksi captopril, sehingga dengan tidak adanya penghalang tempat tidur membuat

13
Tn.T merasa leluasa bergerak dari tempat tidurnya tetapi kondisi inilah yang
menyebabkan Tn.T terjatuh.
Bila melihat dari hubungan perawat pasien dan juga tenaga kesehatan lain
tergambar pada bentuk pelayanan praktek keperawatan, baik dari kode etik dan standar
praktek atau ilmu keperawatan. Pada praktek keperawatan, perawat dituntut untuk
dapat bertanggung jawab baik etik, disiplin dan hukum. Dan prinsipnya dalam
melakukan praktek keperawatan, perawat harus menperhatikan beberapa hal, yaitu:
Melakukan praktek keperawatan dengan ketelitian dan kecermatan, sesuai standar
praktek keperawatan, melakukan kegiatan sesuai kompetensinya, dan mempunyai
upaya peningkatan kesejaterahan serta kesembuhan pasien sebagai tujuan praktek.
Malpraktek implikasinya dapat dilihat dari segi etik dan hukum, bila
penyelesaiannya dari segi etik maka penyelesaiannya diserahkan dan ditangani oleh
profesinya sendiri dalam hal ini dewan kode etik profesi yang ada diorganisasi profesi,
dan bila penyelesaian dari segi hukum maka harus dilihat apakah hal ini sebagai
bentuk pelanggaran pidana atau perdata atau keduannya.

C. Mediasi Kasus

Penyelesaian Kasus Tn.T dan malpraktek perawat diatas, harus memperhatikan


berbagai hal baik dari segi pasien dan kelurga, perawat secara perorangan, Rumah
Sakit sebagai institusi dan juga bagaimana padangan dari organisasi profesi. Pasien
dan keluarga perlu untuk dikaji dan dilakukan testomoni atas kejadian tersebut, bila
dilihat dari kasus bahwa Tn.T dan kelurga telah diberikan penjelasan oleh perawat
sebelum, bila membutuhkan sesuatu dapat memanggil perawat dengan menggunakan
alat bantu yang ada. Ini menunjukkan juga bentuk kelalaian atau ketidakdisiplinan dari
pasien dan keluarga atas jatuhnya Tn.T.
Segi perawat secara perorangan, harus dilihat dahulu apakah perawat tersebut
kompeten dan sudah memiliki Surat ijin perawat, atau lainnya sesuai ketentuan

14
perudang-undangan yang berlaku, apa perawat tersebut memang kompeten dan telah
sesuai melakukan praktek asuhan keperawatan pada pasien dengan stroke, seperti
Tn.T.
Tetapi bagaimanapun perawat harus dapat mempertanggung jawabkan semua
bentuk kelalaian sesuai aturan perundangan yang berlaku. Bagi pihak Rumah Sakit,
harus juga memberikan penjelasan apakah perawat yang dipekerjakan di Rumah Sakit
tersebut telah memenuhi syarat-syarat yang diperbolehkan oleh profesi untuk
mempekerjakan perawat tersebut. Apakah RS atau ruangan tempat Tn.T dirawat
mempunyai standar (SOP) yang jelas. Dan harus diperjelas bagaimana Hubungan
perawat sebagai pemberi
praktek asuhan keperawatan di dan kedudukan RS terhadap perawat tersebut.
Bagi organisasi profesi juga harus diperhatikan beberapa hal yang memungkinkan
perawat melakukan kelalaian, organisasi apakah sudah mempunyai standar profesi
yang jelas dan telah diberlakukan bagi anggotannya, dan apakah profesi telah
mempunyai aturan hukum yang mengikat anggotannya sehingga dapat
mempertanggung jawabkan tindakan praktek keperawatannya dihadapan hukum,
moral dan etik keperawatan.
Keputusan ada atau tidaknya malpraktek bukanlah penilaian atas hasil akhir
pelayanan praktek keperawatan pada pasien, melainkan penilaian atas sikap dan
tindakan yang dilakukan atau yang tidak dilakukan oleh tenaga medis dibandingkan
dengan standar yang berlaku.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

16
17
18

Anda mungkin juga menyukai