Anda di halaman 1dari 5

Orde Lama Soekarno: Kelahiran

Indonesia
Soekarno (1901-1970), yang lahir di Surabaya pada masa pemerintahan kolonial Belanda, adalah
pemimpin nasionalis dan pahlawan nasional yang mendedikasikan hidupnya kepada perjuangan
kemerdekaan Indonesia. Meskipun bertumbuh dalam lingkungan tradisional Jawa (dan
dikombinasikan dengan pengaruh Bali dari sisi keluarga ibunya), Soekarno mendapatkan
pendidikan di sekolah-sekolah modern kolonial Belanda. Sejak usia muda minat utamanya adalah
membaca buku-buku dengan topik filosofi, politik dan sosialisme. Waktu masih sekolah di
Surabaya, Soekarno tinggal di rumahnya Oemar Said Tjokroaminoto, pemimpin pertama dari
Sarekat Islam (yang kemudian menjadi gerakan penting untuk kebangkitan nasional Indonesia).
Tjokroaminoto menjadi mentor politik dan inspirasi bagi Soekarno.

Pada tahun 1927 Soekarno mendirikan dan menjadi pemimpin sebuah organisasi politik yang
disebut Partai Nasional Indonesia (PNI) yang bertujuan untuk mencapai kemerdekaan penuh
untuk Indonesia. Namun, aktivitas politik subversif ini menyebabkan penangkapan dan juga
pemenjaraannya oleh rezim Pemerintah Kolonial Belanda yang represif di tahun 1929. Bagi
orang-orang Indonesia pada saat itu, pembuangan Soekarno itu malah memperkuat saja
citranya sebagai pahlawan nasional dan pejuang kemerdekaan. Setelah pembebasannya,
Soekarno berada dalam konflik yang terus berkelanjutan dengan pemerintahan kolonial
selama tahun 1930an, menyebabkan Soekarno berkali-kali dipenjara.

Waktu Jepang menginvasi Hindia Belanda pada bulan Maret 1942, Soekarno menganggap
kolaborasi dengan Jepang sebagai satu-satunya cara untuk meraih kemerdekaan secara
sukses. Sebuah taktik yang terbukti efektif.

Sampai saat ini, masyarakat Indonesia sangat menghormati dan mengagumi Soekarno,
pencetus dari nasionalisme Indonesia, karena mendedikasikan hidupnya untuk kemerdekaan
Indonesia dan membawa identitas politik baru kepada negara Indonesia.

Kelahiran yang Sulit Bangsa Indonesia

Waktu Soekarno (Presiden pertama Indonesia) bersama Mohammad Hatta (Wakil Presiden
pertama Indonesia), dua nasionalis paling terkemuka di Indonesia, memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, bersama dengan publikasi konstitusi yang
pendek dan sementara (UUD 1945), tantangan-tantangan mereka masih jauh dari berakhir.
Nyatanya akan membutuhkan empat tahun revolusi lagi untuk melawan Belanda yang -
setelah dibebaskan dari Jerman di Eropa - kembali untuk mengklaim kembali koloni mereka.

Belanda berkeras untuk tidak melepaskan koloni mereka di Asia Tenggara yang sangat
menguntungkan namun kemudian harus menghadapi kenyataan juga. Di bawah tekanan
internasional, Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949 (kecuali
untuk wilayah barat pulau Papua). Namun, negosiasi dengan Belanda menghasilkan
'Republik Indonesia Serikat' yang memiliki konstitusi federal yang dianggap terlalu banyak
dipengaruhi oleh Belanda. Oleh karena itu, konstitusi ini segera diganti dengan Undang-
Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) yang kemudian menjadi dasar hukum sistem
pemerintahan parlementer, yang menjamin kebebasan individu dan mengharuskan tentara
untuk tunduk kepada supremasi sipil. Posisi presiden, secara garis besar, hanya memiliki
fungsi seremonial dalam sistem ini.

Perdebatan antara beberapa pihak yang berpengaruh mengenai dasar ideologis Indonesia dan
hubungan organisasional antara sejumlah badan negara telah dimulai sebelum proklamasi
tahun 1945. Pihak-pihak ini adalah: (1) tentara, (2) kaum Islam, (3) para komunis, dan (4)
para nasionalis.

Pertama, tentara Indonesia, para pahlawan Revolusi, selalu memiliki aspirasi politik sendiri.
Namun, UUDS 1950, tidak menyediakan peran politik bagi para militer ini. Ini merupakan
sebuah kekecewaan untuk mereka dan sumber kecurigaan terhadap pihak-pihak lain yang
mendapatkan kekuatan melalui UUDS 1950.

Para perwakilan dari partai-partai Islam dalam pembicaraan-pembicaraan konstitusi -


meskipun dalam topik-topik lain tidak mewakili kelompok yang homogen - ingin Indonesia
menjadi sebuah negara Islam yang diatur dengan hukum syariah. Namun kelompok-
kelompok lain menganggap bahwa pendirian sebuah negara Islam akan membahayakan
persatuan Indonesia dan bisa memicu pemberontakan dan gerakan-gerakan separatisme
karena terdapat jutaan orang non-Muslim serta banyak Muslim yang tidak terlalu strik di
Indonesia.

Hal lain yang menyebabkan kecemasan di pihak perwakilan partai-partai Islam maupun
militer adalah kembalinya Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah dilarang oleh
pemerintahanan kolonial pada tahun 1927 karena mengorganisir pemberontakan-
pemberontakan di Jawa Barat dan Sumatra Barat, PKI meraih dukungan di Jawa Tengah dan
Jawa Timur dan menjadi salah satu partai paling populer dalam skala nasional maka
merupakan kekuatan politik.

Dan terakhir, ada juga para nasionalis yang menekankan kebutuhan akan jaminan hak-hak
individu versus negara. Para nasionalis berjuang dalam PNI (versi partai politik dari gerakan
PNI yang telah disebutkan sebelumnya, yang didirikan oleh Soekarno pada tahun 1927 dan
yang bertujuan meraih kemerdekaan). PNI meraih banyak dukungan di Indonesia.

Makanya Soekarno harus mencari sebuah cara untuk menyatukan sudut pandang yang
berbeda-beda ini. Pada bulan Juni 1945, Soekarno menyampaikan pandangannya mengenai
kebangsaan Indonesia dengan memproklamasikan filosofi Pancasila. Pancasila ini adalah
lima prinsip yang akan menjadi dasar Negara Indonesia:

Namun, ada satu masalah berkelanjutan yang menjadi penghalang persatuan masyarakat
Indonesia yang sangat pluralistis melalui Pancasila yaitu adalah tuntutan pendirian negara
Islam oleh partai-partai Islam. Pada awalnya, Panitia Sembilan (komite yang terdiri dari
sembilan tokoh kemerdekaan yang merumuskan dasar negara Indonesia) setuju untuk
menambahkan tambahan pendek pada sila pertama: 'Ketuhanan dengan kewajiban menjalani
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.' Namun, sebelum diumumkan ke publik, tambahan
pada dasar negara tahun 1945 versi pertama ini (dikenal sebagai "Piagam Jakarta")
dihapuskan karena kekuatiran bahwa hal ini bisa menimbulkan kemarahan dari kelompok
non-Muslim atau para Muslim yang tidak terlalu religius. Penghapusannya kemudian
menyebabkan ketidakpercayaan yang dalam pada kelompok nasionalis sekuler oleh
komunitas Muslim yang lebih ortodoks.
Demokrasi Parlementer

Demokrasi parlementer di Indonesia pada tahun 1950an ditandai oleh ketidakstabilan. Alasan
utamanya adalah perbedaan sudut pandang mengenai dasar ideologis negara. Situasi ini
terlihat dalam pemilihan umum pertama di Indonesia. Pemilihan umum pertama ini terjadi
pada tahun 1955 dan dianggap jujur dan adil (dan akan membutuhkan waktu lebih dari 40
tahun sebelum Indonesia bisa memiliki contoh lain dari pemilu yang jujur dan adil). Dua
partai Islam yang besar yaitu Masyumi dan Nahdlatul Ulama, atau NU (Nahdatul Ulama telah
memisahkan diri dari Masyumi pada tahun 1952) mendapatkan masing-masing 20,9% dan
18,4% suara. PNI meraih 20,3% suara, sementara PKI meraih 16,4%. Ini berarti tidak ada
mayoritas satu partai yang bisa menguasai pemerintahan sehingga kabinet di masa
parlementer dibentuk dengan membangun koalisi-koalisi antara berbagai aliran ideologi. Dari
1950 sampai 1959, tujuh kabinet yang memerintah berganti-ganti secara cepat, dan setiap
kabinet gagal membuat perubahan yang signifikan untuk negara.

Pemilu Indonesia 1955:

Suara
Partai Politik Ideologi
(%)
Masyumi 20.9 Islam
Partai Nasionalis Indonesia (PNI) 20.3 Nationalis
Nahdlatul Ulama (NU) 18.4 Islam
Partai Komunis Indonesia (PKI) 16.4 Komunis
Sumber: M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia since c.1200

Selain perselisihan dalam elit politik Jakarta, ada masalah-masalah lain yang membahayakan
persatuan Indonesia pada era tahun 1950an. Gerakan militan Darul Islam, yang bertujuan
mendirikan negara Islam dan menggunakan teknik perang gerilya untuk mencapai tujuannya,
telah memenangkan wilayah-wilayah di Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh. Gerakan ini
telah dimulai selama periode kolonial namun cepat merubah arahnya melawan pemerintahan
di bawah Soekarno hingga penyerahannya pada tahun 1962.

Gerakan subversif lain yang berdampak adalah Piagam Perjuangan Semesta (Permesta) di
Sulawesi Utara dan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra Barat.
Keduanya dimulai pada akhir tahun 1950an dan menkonfrontasi pemerintah pusat dengan
tuntutan-tuntutan reformasi politik, ekonomi, dan regional. Gerakan-gerakan ini dipimpin
para perwira militer, didukung oleh anggota-anggota Masyumi dan Central Intelligence
Agency (CIA) dari Amerika Serikat (AS) yang menganggap popularitas PKI sebagai sebuah
ancaman besar.

Dengan menggunakan kekuatan militer, pemerintah pusat berhasil menghancurkan gerakan-


gerakan ini pada awal 1960an. Terakhir, para mantan anggota militer bentukan Pemerintah
Kolonial Belanda yang bernama Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL)
memproklamasikan Republik Maluku Selatan pada tahun 1950. Sekalipun berhasil
dikalahkan oleh kekuatan militer Indonesia pada tahun yang sama, konflik bersenjata
berlanjut hingga tahun 1963.

Demokrasi Terpimpin Soekarno


Soekarno sadar bahwa periode demokrasi liberal telah menghambat perkembangan Indonesia
karena perbedaan-perbedaan ideologis di dalam kabinet. Solusi yang disampaikan Soekarno
adalah "Demokrasi Terpimpin" yang berarti pengembalian kepada UUD 1945 yang mengatur
sistem kepresidenan yang kuat dengan tendensi otoriter. Dengan cara ini, ia memiliki lebih
banyak kekuasaan untuk melaksanakan rencana-rencananya. Pihak militer, yang tidak senang
dengan perannya yang kecil dalam soal-soal politik hingga saat itu, mendukung perubahan
orientasi ini. Pada tahun 1958, Soekarno telah menyatakan bahwa militer adalah sebuah
'kelompok fungsional' yang berarti mereka juga menjadi aktor dalam proses politik dan pada
periode Demokrasi Terpimpin, perannya tentara dalam politik akan menjadi lebih besar.

Pada tahun 1959, Soekarno memulai periode Demokrasi Terpimpin. Ia membubarkan


parlemen dan menggantinya dengan parlemen baru yang setengah dari anggotanya ditunjuk
sendiri oleh Soekarno. Soekarno juga sadar akan bahayanya bagi kedudukannya bila militer
menjadi terlalu kuat. Karena itu, Soekarno mengandalkan dukungan dari PKI untuk
mengimbangi kekuatan militer. Baik militer maupun PKI merupakan bagian dari filosofinya
yang disebut 'Nasakom', sebuah akronim yang mencampurkan tiga buah ideologi yang paling
penting dalam masyarakat Indonesia pada tahun 1950an dan awal 1960an yaitu nasionalisme,
agama, dan komunisme. Ketiga komponen ini hanya memiliki sedikit kesamaan, bahkan tiap
komponen bermasalah dengan komponen lainnya. Semuanya tergantung pada kemampuan
politik, kharisma dan status Soekarno untuk tetap menjaga kesatuan ketiga komponen ini.

Karakteristik penting lain dari Demokrasi Terpimpin Soekarno adalah tendensi anti Barat
dalam kebijakan-kebijakannya. Beliau memperkuat usaha-usaha untuk mengambil alih
bagian Barat pulau Papua dari Belanda. Setelah sejumlah konflik bersenjata, Belanda
menyerahkan wilayah ini ke Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang kemudian
menyerahkannya kepada Indonesia pada tahun selanjutnya.

Dari 1962 sampai 1966, Soekarno menggelar politik konfrontasi melawan Malaysia. Ia
menganggap pendirian Federasi Malaysia, termasuk Malaka, Singapura, dan wilayah
Kalimantan yang sebelumnya dikuasai Inggris (Sarawak dan Sabah), sebagai kelanjutan dari
pemerintah kolonial dan melaksanakan kampanye militer yang tidak sukses untuk
menghancurkan Malaysia. Bagian dari kebijakan konfrontasi ini adalah keluarnya Indonesia
dari PBB karena PBB mengizinkan Malaysia menjadi negara anggota. Pada tahun 1965,
Soekarno terus memutuskan hubungan dengan dunia kapitalis Barat dengan mengeluarkan
Indonesia dari keanggotaan International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia, yang berarti
bantuan asing yang sangat dibutuhkan berhenti dialirkan ke Indonesia. Hal ini memperburuk
situasi ekonomi Indonesia yang telah mencapai level ekstrim berbahaya pada saat itu.
Kudeta Misterius Gerakan 30 September

Masalah antara ketiga komponen Nasakom membesar. Pada 30 September 1965, menjadi
jelas betapa berbahayanya campuran politis yang telah diciptakan Soekarno. Pada malam itu,
enam jenderal dan satu letnan diculik dan dibunuh oleh perwira-perwira aliran kiri yang
menamakan diri Gerakan 30 September. Berdasarkan tuduhan yang ada, para perwira militer
yang terbunuh ini merencanakan kudeta untuk menjatuhkan Soekarno. Namun, tidak ada
bukti bahwa akan ada kudeta militer melawan Soekarno.

Juga tidak ada bukti bahwa PKI berada di belakang serangan untuk mencegah kudeta militer
ini. Namun, Suharto, kepala dari Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad)
yang kemudian mengambil alih kekuasaan militer karena menjadi perwira militer tertinggi
setelah pembunuhan atasannya, dengan cepat menyalahkan PKI. Dengan segera, pengikut
komunis dan orang-orang yang diduga mengikuti komunis dibantai terutama di Jawa Tengah,
Jawa Barat, Bali dan Sumatra Utara. Dugaan jumlah korban bervariasi di antara 400.000
sampai satu juta orang. Diduga bahwa pihak-pihak yang melakukan pembantaian adalah unit-
unit militer, kelompok-kelompok kriminil sipil (yang mendapatkan senjata dari militer) dan
Ansor (organisasi pemuda militan dari NU). Pembantaian ini berlanjut sepanjang 1965 dan
1966.

Namun, banyak isu mengenai kudeta ini dan tindakan-tindakan anti-komunis selanjutnya
tetap tidak jelas sampai saat ini dan kemungkinan besar tidak akan diketahui kebenarannya.
Setelah Orde Baru Suharto berakhir pada tahun 1998, masyarakat Indonesia mulai meragukan
penjelasan resmi dari Pemerintah yang menyalahkan komunis namun bab sejarah ini tidak
menerima perhatian besar dalam diskusi publik, kecuali sebuah laporan dari Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada tahun 2012 yang menyatakan pembantaian ini
sebagai pelanggaran hak asasi manusia luar biasa.

Kudeta ini dan peristiwa-peristiwa selanjutnya menyebabkan konsekuensi-konsekuensi


politis dramatis untuk Soekarno. Indonesia berada di bawah hukum darurat militer yang
membuat kekuasaan nyata berada di tangan Jenderal Suharto. Selama dua tahun selanjutnya,
Suharto dengan pelan namun pasti memperluas kekuasaannya dan menyudutkan Soekarno ke
pinggir. Hal ini menandai dimulainya Orde Baru Suharto. Soekarno ditempatkan di bawah
tahanan rumah di Bogor (Jawa Barat) dan kesehatannya menurun hingga kematiannya pada
tahun tahun 1970.

Anda mungkin juga menyukai