Anda di halaman 1dari 12

DAMPAK KEMOREDUKSI TERHADAP TERAPI KONSERVATIF

RETINOBLASTOMA DI ARGENTINA

Guillermo L. Chantada, Adriana C. Fandi~no, Enrique Schvartzman, Elsa Raslawski, Paula


Schaiquevich, and Julio Manzitti. Impact of Chemoreduction for Conservative Therapy for
Retinoblastoma in Argentina. Pediatr Blood Cancer. 2014; 61: 821826

ABSTRAK

Latar Belakang: Beberapa penelitian yang dilaporkan dari negara-negara berkembang


mengenai luaran pasien dan survival okular pada anak-anak dengan retinoblastoma yang
ditangani dengan komoreduksi, dibandingkan dengan external beam radiotherapy
(EBRT).

Prosedur: Kami melakukan suatu penelitian retrospektif pada tiga era penanganan (1)
(1988-1995) n=68, ketika ERBT digunakan sebagai terapi konservatif utama, (2) (1995-
2003) n=46, ketika kemoreduksi sistemik berbasis carboplatin diperkenalkan dan (3)
(2003-2009) (n=83) ketika kemoreduksi periokular ditambahkan untuk penanganan
tumor lanjut dan kemoredusi pra-enukleasi diberikan untuk pasien dengan buftalmus
masif.

Hasil: Kemungkinan survival bebas penyakit selama 5 tahun sebesar 0,94 (interval
kepercayaan 95% [CI]) 0,91-0,98%), tanpa perbedaan yang signifikan antara ketiga era
tersebut. Kemoreduksi menurunkan penggunaan EBRT dari 84,6% menjadi 68,7%
masing-masing di era 1 dan 3 (p<0,008), yang lebih terbukti pada kasus-kasus penyakit
yang kurang lanjut. Kemoreduksi juga secara signifikan memperbaiki probabilitas
reservasi mata 5 tahun pada mata dengan penyakit lanjut dari 0.13 (95% CI 0.040.27)
selama era 1 menjadi 0.49 (95% CI 0.340.62) di era 3 (p<0,0001). Kemoreduksi tidak
terkait dengan perubahan pada kemungkinan terjadinya relaps ekstraokular, yang
mengalami penurunan setelah pengenalan kemoterapi pra-enukleasi. Keganasan kedua
terjadi pada sembilan kasus, leukemia mieloid akut menjadi keganasan yang paling
fatal. Retinoblastoma trilateral terjadi pada tiga kasus dan semuanya pernah terpapar
kemoterapi.
Kesimpulan: Kemoreduksi menurunkan kebutuhan EBRT pada mata dengan penyakit
yang kurang lanjut dan memperbaiki preservasi mata dengan penyakit lanjut, sedangkan
efeknya pada keganasan sekunder atau penyakit trilateral masih belum jelas.

Kata kunci: kemoterapi, negara berkembang, retinoblastoma, keganasan kedua

PENDAHULUAN

Terapi konservatif untuk retinoblastoma telah mengalami perubahan dari penanganan


konservatif dengan external beam radiotherapy (EBRT) menjadi regimen berbasis
kemoterapi pada pertengahan tahun 1990-an. Berdasarkan pengalaman awal dari
Kingston dkk, kemoreduksi dengan protokol berbasasi carboplatin digunakan sebagai
penanganan utama untuk penyakit intraokular yang tidak bisa ditangani dengan terapi
fokal, bertujuan untuk mengurangi ukuran tumor dan menjadikan tumor sesuai untuk
tindakan terapi lokal. Pencapaian utama dari terapi ini adalah untuk menghindari EBRT
dan potensi mutageniknya pada sejumlah anak-anak yang substansial. Dengan
kemoreduksi, kebanyakan pasien dengan penyakit yang kurang lanjut, yang
dikelompokkan sebagai kelompok A, B, dan C pada klasifikasi internasional berespon
dengan baik terhadap kemoterapi, sehingga enukleasi dan EBRT dapat dihindari pada
kebanyakan kasus. Di sisi lain, pasien dengan tumor intraokular lanjut (kelompok D),
khususnya pasien dengan pembenihan sel tumor di vitreus, angka penyelamatan okular
secara substansial lebih rendah dan konsolidasi dengan EBRT, serta biasanya
dibutuhkan enukleasi. Untuk memperbaiki luaran pada populasi ini, modalitas
penanganan yang berbeda seperti pemberian kemoterapi periokular dan yang terbaru,
kemoterapi intraoarterial tengah digunakan. Penanganan kemoterapi membutuhkan
personalia yang terlatih, peralatan yang canggih untuk terapi lokal, yang semuanya tidak
selalu tersedia di negara-negara berkembang, sehingga publikasi masih relatif jarang.
Situasi khusus ini harus ditujukan untuk membuat keputusan strategi penanganan yang
relevan untuk masing-masing kondisi. Dengan demikian, paradigma untuk
meninggalkan EBRT, yang berefikasi tinggi untuk terapi konserrvatif pada
retinoblastoma berdasarkan pada potensi toksisitas jangka panjang regimen berbasis
kemoterapi yang lebih rendah, kemungkinan tidak terlalu jelas di negara-negara yang
berpendapatan menengah, karena berat relatif masalah yang disebutkan di atas. Untuk
diketahui, tidak ada laporan dari kohort berskala besar, bahkan teramasuk di pusat
rujukan di negara maju, yang membandingkan hasil terapi konservatif dengan EBRT
dan dengan kemoreduksi.

Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis luaran pasien dan
survival okular pada pasien dengan retinoblastoma bilateral yang ditangani dengan
kemoreduksi, dibandingkan dengan EBRT di senter rujukan besar di Argentina.

METODE

Lokasi

Rumah Sakit JP Garrahan merupakan pusat pediatrik untuk pelayanan tersier dan semua
penanganan disubsidi oleh pemerintah atau jaminan sosial dan gratis untuk semua
pasien, kecuali tindakan brachiterapi, yang hanya tersedia untuk pasien asuransi.
Meskipun demikian, terdapat banyak jarak waktu tidak tersedianya terapi lokal seperti
laser yang mengalami keterbatasan karena kurangnya peralatan. Izin dari Human
Investigations Committee diperoleh untuk penelitian ini.

Pasien

Semua pasien retinoblastoma bilateral yang didaftarkan dan ditangani di senter kami
dari Januari 1988 hingga Desember 2009 dilibatkan dalam penelitian ini. Pada dua era
pertama, digunakan klasifikasi ReeseEllsworth (RE) untuk perluasan evaluasi penyakit
intraokular dan digantikan dengan klasifikasi internasional (versi asli) pada era ke-tiga.
Untuk penelitian ini, daftar klinis secara retrospektif ditinjau dan setiap mata
diklasifikasikan ulang menurut sistem klasifikasi internasional berdasarkan gambaran
funduskopi. Luaran penelitian dianalisis menurut klasifikasi internasional.
Penanganan Konservatif

Dibagi ke dalam 3 era, yaitu:

1. Januari 1998 April 1995: Semua mata kelompok E dan kebanyakan kelompok
D awalnya dienukleasi dan pasien dengan penyakit kelompok A-C diberikan
EBRT awal menggunakan teknik lens sparing yang menghantarkan 45Gy
melalui akselator linear 10 MeV.

2. Mei 1995-April 2003: Pada era ini, terapi kemoreduksi diperkenalkan. Tumor-
tumor yang tidak dapat dikontrol dengan kemoreduksi dan terapi lokal,
diberikan EBRT dengan dosis yang sama dan lapangan serta yang gagal dengan
EBRT dienukleasi. Keputusan konservasi mata yang sakit dengan EBRT juga
dipengaruhi oleh status mata kontralateral, sehingga anak-anak dengan mata
sebelahnya yang mengalami penyakit kurang lanjut biasanya dienukleasi tanpa
pemberian EBRT. Tidak ada regimen kemoterapi lini kedua yang tersedia dan
kemoterapi lokal tidak digunakan. Jumlah siklus tidak ditetapkan dan
kemoterapi dihentikan jika tumor menjadi tidak aktif sebagaimana kriteria
oftalmologil. Semua mata kelompok E dienukleasi secara dini dan keputusan
usaha terapi konservatif untuk mata kelompok D dibuat secara individual,
tergantung dari status mata kontralateral dari perluasan penyakit.

3. Mei 2003 Desember 2009: Mengikuti strategi yang sama dengan era kedua
untuk mata dengna penyakit yang kurang lanjut. Untuk mata kelompok D,
diberikan kemoterapi periokular awal dengan carboplatin atau topotecan secara
konkomitan dengan kemoreduksi pada siklus 3-4 pertama. Pada anak-anak ini,
jumlah siklus kemoterapi sistemik ditetapkan sebanyak 6 siklus dan EBRT
digunakan sebagai konsolidasi di kebanyakan kasus. Meskipun semua mata
kelompok E dienukleasi saat diagnosis, pasien-pasien tersebut yang mengalami
glaukoma dan buftalmus menjalani terapi neoadjuvan, diikuti dengan enukleasi
sekunder dan terapi adjuvan, tanpa memperhatikan laporan patologi. Anak-anak
ini menerima regimen kemoterapi yang lebih intensif.
Luas Evaluasi Penyakit

Pada dua era pertama, semua anak yang menjalani CT scan otak dan orbita dengan
kontras, secara bertahap digantikan dengan MRI standar untuk semua pasien pada era
ketiga. Aspirasi sumsum tulang dan pemeriksaan CSF dilakukan pada semua pasien di
era pertama dan dibatasi untuk pasien beriko tinggi (namun tidak termasuk biopsi 2
lokasi) untuk era kedua.

Penanganan Kemoterapi

Regimen kemoreduksi disesuaikan untuk perluasan penyakit, meliputi carboplatin 18,7


mg/kgBB (atau 500 mg/m2 untuk anak-anak dengan berat >12 kg) pada hari 1 dengan
vincristine 0,05 mg/kgBB (atau 1,5 mg/m2 untuk anak-anak dengan berat >12 kg, dosis
maksimal 2 mg) untuk anak-anak dengan mata R-E I-III. Etoposide dengan dosis 3,3
mg/kg/hari (atau 100 mg/m2 untuk anak-anak dengan berat >12 kg) (hari 1 dan 2)
ditambahkan untuk pasien dengan kelompok IV dan V serta mata kelompok I-III yang
gagal dikontrol dnegan 2 siklus kombinasi vincristine dan carborplatin. Pada
penanganan era 3, semua anak-anak dengan mata kelompok D yang menjalani terapi
konservatif diberikan injeksi periokular sebesar 20 mg carboplatin (2003-2008) yang
digantikan oleh topetecan (2 mg) setelah studi fase I diselesaikan (2008-2009). Pada
kedua kasus, kemoterapi periokular dimulai setelah siklus kemoreduksi yang kedua dan
diberikan hingga 4 dosis setelah 7 hari untuk setiap siklus kemoterapi intravena.

Terapi adjuvan diindikasikan jika ada faktor risiko patologi setelah tindakan enukleasi,
keduanya untuk mata yang dienukleasi dari awal atau enukleasi sekunder. Faktor risiko
patologi berikut yang dipertimbangkan untuk terapi adjuvan, yaitu: ssetiap derajat invasi
sklera, umumnya kasus dengan keterlibatan nervus optik post laminar dan tumor pada
tepi reseksi dari nervus optik, yang juga diberikan radioterapi orbital adjuvan (45 Gy)
hingga mencapai kiasma. Regimen kemoterapi yang digunakan untuk terapi adjuvan
telah dipublikasikan sebelumnya.

Pemantauan Pasien

Semua pasien diikuti oleh kelompok kami sekurang-kurangnya hingga usia 18 tahun.
Pada pasien yang menjalani kemoterapi, dijadwakan evaluasi audiologi per tahun dari
usia 5 tahun hingga selama 3-5 tahun setelah waktu tersebut. Semua pasien yang
survival memiliki sekurang-kurangnya satu evaluasi audiologi yang lengkap.

Analisis Statistik

Tabel kontingensi dibuat dan digunakan uji Chi-square atau uji pasti Fischer untuk
variabel kategorik dan uji Mann-Whitney digunakan untuk variabel kontinyu. Status
survival diperabarui hingga Agustus 2013. Perbandingan kurva dilakukan dengan uji
Log Rank (Manted Cox).

HASIL

Selama periode penelitian, total pasien anak-anak dengan retinoblastoma bilateral yang
didaftar adalah 197 orang. Dua puluh lima pasien lainnya dengan retinoblastoma
bilateral ditemukan di senter kami pada periode ini, namun mereka dianggap tidak bisa
dievaluasi karena mereka didagnosis berdasarkan opini kedua dan ditangani di tempat
lain. Dua pasien tambahan didiagnosis di senter kami, namun memilih untuk ditangani
di institusi lain. Dari 197 anak-anak yang memenuhi syarat (tabel I), 22 anak (11,3%)
mengeluhkan tumor bilateral namun memiliki tumor bilateral asinkronous. Sejumlah
177 pasien (89,8%) diberikan terapi konservatif untuk sekurang-kurangnya 1 mata dan
dianalisis untuk terapi konservatif.

Penanganan Awal

Enukleasi bilateral dibutuhkan pada sembilan kasus (4,6%), terapi konservatif untuk
kedua mata diupayakan pada 69 kasus (35%) (58 kasus dengan kemoreduksi, 7 kasus
dengan EBRT bilateral, 4 kasus dengan terapi lokal), enukleasi unilateral awal dan
terapi konservatif pada mata dilakukan pada 105 kasus (53,2%) (50 kasus dengan
kemoreduksi, 40 dengan EBRT, 8 kasus dengan terapi lokal, dan 7 kasus menjalani
enukleasi awal dan terbentuk keterlibatan metakronous pada mata yang ditangani
dengan terapi lokal). Tiga puluh dua mata yang dienukleasi dari awal memiliki faktor
risiko yang membutuhkan terapi adjuvan (tabel I) dan 13 pasien memiliki tumor
residual di tepi reseksi nervus optik. Empat pasien dengan invasi nervus optik post
laminar dan invasi sklera konkomitan pada era ketiga diberikan regimen yang lebih
intensif meliputi carboplatin dan etopside dengan dosis yang lebih tinggi, diselingi
dengan cyclophosphamide, idarubicin, dan vincristine. Kasus ini tidak dianalisis untuk
toksisitas kemoterapi. Dua belas pasien (6,1%) diberikan terapi neoadjuvan untuk
penanganan penyakit ekstraokular yang jelas dan buftalmus masif pada empat pasien.
Dua pasien (1%) diberikan perawatan paliatif akibat penyakit metastasis lanjut.

Perluasan Penyakit Intraokular saat Diagnosis

Dari 177 anak yang menjalani terapi konservatif, 25 orang (14,1%) dengan kedua mata
yang tergolong kelompok A-C, 58 pasien (32,8%) memiliki satu mata yang
dikategorikan kelompok D dan mata satunya dikategorikan sebagai kelompok A-C, 48
kasus (27,1%) memiliki satu mata yang dikelompokkan sebagai kelompok E dan mata
satunya termasuk kelompok A-C, 19 kasus (10,7%) memiliki dua mata yang
dikategorikan kelompok D dan 27 kasus (15,3%) memiliki satu mata kategori kelompok
D dan mata satunya kategori kelompok E. Tidak ada perbedaan yang signifikan
berdasarkan era penanganan (tabel I).

Preservasi mata

Pada waktu analisis in, sejumlah 163 anak-anak yang hidup dengan terapi konservatif,
109 kasus (67,3%) memiliki sekurang-kurangnya satu mata dengan penglihatan yang
masih berguna, 27 kasus (16,7%) memiliki dua mata dengan penglihatan yang masih
berguna, sementara 26 kasus (16%) telah penjalani enukleasi bilateral. Kemungkian
preservasi mata yang menghindari tindakan EBRT pada 4 tahun untuk mata yang
dikategorikan kelompok A-C pada dua era terakhir (n=95) sebesar 0,49 (CI 95% 0,39-
0,6) karena kebanyakan pasien menjalani EBRT untuk penanganan pada mata satunya,
biasanya dikategorikan kelompok D. Dalam hal untuk mengevaluasi preservasi mata
dengan penyakit yang kurang lanjut yang ditangani dengan kemoreduksi, untuk
menghindari efek perancu ini, kami mengevaluasi pasien-pasien dengan mata kelompok
A-C (n=16) tersebut secara terpisah dan pasien dengan mata sebelahnya dikategorikan
kelompok E yang dienukleasi dari awal (n=25) secara bersama-sama. Probabilitas
menghindari EBRT pada waktu 5 tahun sebesar 0,73 (CI 95% 0,62-0,91) pada populasi
khusus ini,. Probabilitas preservasi mata selama 5 tahun berdasarkan era penanganan
dan pengelompokan mata yang yang dienukleasi ditunjukkan pada gambar 1. Untuk
estimasi ini, semua mata pasien yang tidak disertai penyakit metastasis, termasuk pasien
yang dari awal dienukleasi, dimasukkan dalam estimasi ini.

Survival Pasien

Dengan median pemantauan selama 115 bulan (rentang 31-290 bulan), kemungkinan
survival keseluruhan selama 5 tahun untuk seluruh kelompok adalah 0,94 (95% interval
kepercayaan (CI) 0,91-0,98%), tanpa perbedaan yang signifikan di antara periode
penanganan.

Hasil Kemoterapi Pra-Enukleasi pada Anak-anak dengan Buftalmus

Empat anak yang mengalami buftalmus masif menjalani kemoterapi pra-enukleasi.


Semua pasien menunjukkan regresi manifestasi penyakit dan dienukleasi setelah 1-3
siklus kemoterapi. Pemeriksaan patologi mata yang dienukleasi meliputi: nekrosis
lengkap pada satu kasus, invasi nervus optik post laminar pada satu kasus, invasi
prelaminar pada satu kasus, dan invasi koroid fokal pada satu kasus. Semua pasien
hidup dan bebas penyakit dengan median pemantauan 73 bulan (rentang 31-120 bulan).

Deskripsi Kejadian

Relaps atau progresivitas ekstraokular terjadi pada 16 pasien (8,1%). Sembilan di


antaranya mengalami penyakit metastasis yang progresif atau relaps saat diagnosis.
Kasus non penyakit metastasis yang mengalami relaps ekstraokular dijelaskan pada
tabel II. Tiga anak mengalami penyakit trilateral (1,5%) dan dua dari mereka meninggal
meskipun telah diberikan penanganan dengan kemoterapi dosis tinggi dan sel punca
autolog. Semua pasien tersebut merupakan pasien penanganan era ketiga dan menjalani
kemoterapi sebelum terjadinya penyakit trilateral (tabel III). Sembilan anak mengalami
keganasan sekunder (tabel III) (tujuh dari mereka terjadi di luar lapangan radioterapi)
dan lima di antaranya meninggal. Satu orang pasien yang menerima terapi adjuvan
karena tumor di tepi reseksi nervus optik, meninggal akibat konsekuensi toksisitas
kemoterapi karena terjadi sepsis selama episode neutropenia. Seorang pasien lainnya
meninggal akibat sepsis selama terapi untuk retinoblastoma metastasis.
Toksisitas Kemoterapi

Tujuh puluh tujuh pasien tidak mengalami episode demam dan neutropenia selama
penanganan dan tidak ada perbedaan yang signifikan antara penanganan era 2 dan 3
serta terjadinya demam dan neutropenia (5,7% siklus pada era kedua vs 6,8% pada era
ketiga). Tercatat sejumlah 18 infeksi berat dan 10 pasien membutuhkan dukungan
transfusi. Dua anak memiliki evaluasi audiologi yang abnormal, namun tidak
dibutuhkan intervensi terapeutik.

DISKUSI

Pengenalanan kemoreduksi sistemik di program kami tidak memengaruhi survival


keseluruhan atau survival bebas penyakit, namun kemoreduksi secara signifikan
mengurangi pengunaan EBRT untuk penanganan mata dengan penyakit yang kurang
lanjut, memperbaiki angka preservasi mata dengan penyakit yang lebih lanjut, dan
menunda penggunaan EBT pada anak-anak yang membutuhkannya.

Angka survival 5 tahun bebas penyakit pada anak-anak dengan retinoblastoma bilateral
telah mencapai lebih dari 90% selama dua dekade terakhir di senter kami dan
pengenalan kemoreduksi tidak menciptakan perubahan yang signifikan pada luaran
survival. Meskipun saran bahwa kemoreduksi bisa memiliki efek positif dalam
pencegahan metastasis sistemik pada anak-anak yang berisiko tinggi karena kemoterapi
yang diberikan secara sistemik akan berguna untuk menangani penyakit yang menyebar
secara mikroskopik, tidak ada efek semacam itu yang terbukti di populasi kami. Pada
era EBRT, 28 pasien ditangani tanpa pemberian kemoterapi dan tidak tampak adanya
relaps ektraokular. Faktanya, relaps ektraokular hanya terjadi pad anak-anak yang baru
saja teridentifikasi berisiko tinggi yang menjalani kemoterapi untuk tumor residual pada
nervus optik.berdasarkan data kami, proteksi tambahan tidak nyata jika terapi adjuvan
ditujukan untuk faktor risiko patologi pada mata yang dienukleasi. Pada populasi kami,
perbedaan mayor dalam hal terjadinya relaps ekstraokular antara kohort yang ditangani
dengan EBRT dengan pasien yang ditangani dengan kemoreduksi berdasarkan
kemungkinan pencegahan pada terjadinya residu tumor di nervus optik retrolaminar
dengan menggunakan kemoterapi pra-enukleasi karena komplikasi ini memungkinkan
untuk dicegah dengan penggunaan kemoterapi pra-enukleasi pada era ketiga. Pada seri
kasus kami, 4 dari 7 pasien mengalami relaps ektraokular, tumor relaps berasal dari
mata yang ditangani dengan terapi konservatif pada keluarga yang tidak menyetujui
enukleasi yang tepat waktu untuk mata yang sakit. Angka penolakan sebesar 2,3%
relatif rendah untuk negara berkembang. Penggunaan regimen berbasis kemoreduksi
tidak memengaruhi keputusan persetujuan secara signifikan untuk enukleasi di tempat
kami.

Meskipun tidak ada bukti manfaat pada angka preservasi mata, sebagaimana yang
dilaporkan di negara-negara maju, anak-anak dengan penyakit yang kurang lanjut secara
signifikan cenderung untuk mendapatkan terapi EBRT jika diberikan kemoreduksi.
Meskipun demikian, EBRT kurang sering digunakan di tempat kami, kemungkinan
karena dibutuhkan untuk mata kontralateral kelompok D atau kurangnya ketersediaan
brachiterapi atau terapi laser atau jika masalah pemantauan diantispasi dan EBRT
dirasakan sebagai alternatif yang lebih aman. Dengan demikian, jika hanya mata dengan
penyakit bilateral yang kurang lenjut atau mata dengan yang dienukleasi yang
dievaluasi, penggunaan EBRT agak lebih tinggi saja daripada laporan gambaran
internasional yang berkisar 20%.

Pasien kohort kami meliputi jumlah anak yang substansial mengalami penyakit lanjut
bilateral dengan risiko tinggi kebutaan, dan dengan demikian pada populasi ini, kami
merasa bahwa pembenaran untuk mengenalkan kemoterapi periokular dan konsolidasi
dengan EBRT di depan era ketiga. Dampak kemoreduksi yang diharapkan untuk mata
dengan penyakit lanjut di kelompok D telah terbukti. Meskipun demikian, meski angka
preservasi pada 5 tahun menjadi dua kali lipat daripada EBRT saja, terjadinya relaps
lambat atau komplikasi okular menyebabkan enukleasi mempersempit perbedaan ini
dalam jangka panjang dan kami tidak dapat menentukan secara pasiti efek jangka
panjang positif dari penanganan ini dalam kohort ini.

Toksisitas akut akibat reginemn kemoreduksi dapat ditangani dan tidak ada kematian
toksik yang diakibatkan dari komplikasi tersebut. Pasien yang meninggal karena
komplikasi sepsis di kohort kami mengalami penyakit ekstraokular dan menerima
regimen yang lebih intensif. Komplikasi berat dan mengancam nyawa terjadi pada
kurang dari 10% kasus yang menjalani kemoreduksi standar, namun meskipun mereka
yang berhasil ditangani oleh tim kami, situasi tersebut tidak serupa pada lokasi lain
dengan kemoreduksi standar. Toksisitas signifikan terbukti pada kurang dari 2% kasus
dan tidak terjadi toksisitas yang tidak diharapkan lainnya.

Terjadinya leukemia akut yang diinduksi kemoterapi merupakan kasus yang tidak
umum, namun berpotensi sebagai komplikasi kemoreduksi yang fatal. Kedua untuk
sarcoma, AML terhitung pada sepertiga kasus tumor sekunder dan sekitar dua pertiga
fatalitas untuk keganasan sekunder di kohort kami. Individu dengan mutasi germline
Rb1 tidak menunjukkan peningkatan kerentanan mengalami AML dan kebanyakan
kasus yang dilaporkan merupakan kasus yang terkiat terapi. Pada salah satu kasus kami
terdeteksi adanya MLL, berhuungan dengan etoposide namun hubungannya dengan
paparan kemoterapi lebih sulit untuk ditentukan pada 2 anak lainnya. Angka keganasan
sekunder secara keseluruhan relatif rendah pada populasi kami dan hanya dua anak yang
tidak diradiasi mengalami kegasanan sekunder pada lapangan iradiasi, yang
kemungkinan dipengaruhi oleh pemantauan yang relatif singkat. Mortalitas anak-anak
yang mengalami tumor solid sekunder lebih rendah daripada pasien dengan leukemia
sekunder. Sedikit data mengenai keganasan sekunder pada anak-anak dengan
retinoblastoma yang ditangani dengan kemoreduksi. Turaka dkk melaporkan bahwa 4%
dari 187 kasus dengan retinoblastoma dan mutasi germline mengalami keganasan
sekunder, yang sebanding dengan data kami jika dipertimbangkan kohort yang lengkap.
Dengan demikian, tidak ada kesimpulan definitif pada efek perbandingan dari
kemoterapi terhadap keganasan sekunder yang bisa diperoleh dari data kami.
Sebagaimana yang sebelumnya dilaporkan, anak-anak yang menjalani kemoterapi dan
radioterapi tampak memiliki risiko keganasan sekunder yang lebih tinggi daripada
pasien yang menjalani salah satu terapi saja. Karena EBRT dapat secara signifikan
ditunda pada anak-anak yang diberikan kemoreduksi, maka tumor yang diinduksi
radiasi bisa lebih jarang terjadi karena efek yang tergantung usia dilaporkan untak
potensi mutagenik EBRT untuk anak-anak ini.

Terjadinya retinoblastoma trilateral sebesar 1,5% pada seri kasus kami, yang berada
pada garis dengan estimasi terkini, namun lebih rendah daripada penelitian sebelumnya
dari kelompok lainnya yang melaporkan insidensi sebesar 6-15%. Reduksi yang jelas
pada sejumlah kasus trilateral dalam tahun-tahun terakhir menimbulkan potensi efek
protektif dari kemoterapi. Shields dkk melaporkan bahwa tidak ada dari 99% kasus
yang rentan ditangani dengan kemoterapi yang mengalami penyakit trilateral,
dibandingkan dengan 1 kasus pada 18 anak-anak yang rentan tanpa paparan kemoterapi.
Pada seri kasus kami, 3 daru 159 anak yang menjalani kemoterapi mengalami penyakit
trilateral, dibandingkan dengan 0 dari 38 yang tidak menjalani kemoterapi, yang bisa
menunjukkan hasil yang berlawanan. Tidak bisa dibantah bahwa beberapa kasus dengan
retinoblastoma trilateral bisa luput pada seri awal kami jika hanya pemeriksaan CT-scan
yang dilakukan untuk evaluasi perluasan penyakit. Meskipun demikian, semua kasus
yang meninggal akibat penyebaran retinoblastoma di SSP di era pertama kami,
menjalani kemoterapi dan tidak ada kejadian SSP yang terjadi pada ksus lain yang tidak
menjalani kemoterapi. Evaluasi kasus-kasus yang meninggal akibat keterlibatan SSP
tidak konsisten dengan massa pineal atau sellar, namun dari progresivitas via nervus
pada anak-anak dengan tumor pada tepi reseksi. Karena retinoblastoma trilateral
merupakan kondisi yang fatal jika tidak diterapi, maka sangat tidak mungkin kasus-
kasus ini terlewatkan. Hipotesis kami adalah bahwa berdasarkan prevalensi
retinoblastoma yang rendah, kemungkinan peran kemoterapi dalam pencegahannya
atau induksi tidak dapat diandalkan, didukung dari data yang tersedia berdasarkan
jumlah yang relatif rendah, membutuhkan kohort berskala lebih besar untuk
mengonfrimasi hipotesisi ini.

Sebagai kesimpulan, implementasi program kemoreduksi sistemik dapat dilakukan dan


terkait dengan toksisitas yang bisa ditangani di tempat kami. Metode ini efektif dalam
menurunkan penggunaan EBRT secara signifikan pada mata dengan tumor stadium
kurang lanjut. Untuk pasien dengan penyakit yang lebih lanjut, terdapat peningkatan
angka preservasi mata dibandingkan dengan EBRT, namun tambahan kemoterapi
periokular diikuti oleh konsolidasi dengan EBRT tidak secara signifikan meningkatkan
preservasi mata.

Anda mungkin juga menyukai