PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Sindroma Croup, atau juga dikenal sebagai laringotrakeobronkitis
adalah suatu infeksi virus yang menyebabkan peradangan dan pembengkakan
pada saluran pernafasan bagian atas (laring, trakea dan bronkus) yang sering
menyerang anak-anak, ditandai dengan suara serak, batuk menggonggong,
stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya stres pernapasan. 2,3,5
B. Epidemiologi
Croup biasanya terjadi pada anak berusia 6 bulan-3 tahun, dengan
puncaknya pada usia 1-2 tahun. Croup dapat dijumpai pada bayi kurang dari 3
bulan dan remaja usia 12-15 tahun, namun jarang sekali dijumpai pada orang
dewasa. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak
perempuan, dengan rasio 3:2. Angka kejadiannya meningkat pada musim
dingin dan musim gugur, tetapi penyakit ini tetap dapat terjadi sepanjang
tahun. Pasien croup merupakan 15% dari seluruh pasien dengan infeksi
respiratori yang berkunjung ke dokter. Suatu studi retrospektif di Belgia
mendapatkanbahwa 16% dari anak berusia 5-8 tahun mengalami minimal satu
kali episode croup, sedangkan 5% mengalami croup berulang (sedikitnya 3
episode). Setiap tahun, kejadian 50 kasus baru per 1000 anak berusia 2 tahun.
Intubasi endotrakeal jarang terjadi (pada 0,4% sampai 1,4% kasus rawat inap)
dan kematian sangat jarang terjadi (pada 0,5% kasus intubasi. 2, 3,6
C. Etiologi
Croup disebabkan oleh infeksi virus pada saluran pernafasan dan paling
sering oleh tipe parainfluenza 1 dan tipe 3. Virus lainnya adalah influenza A
dan B, adenovirus, virus sinsitial pernafasan dan metapneumovirus. Infeksi ini
menyebabkan peradangan jalan napas umum dan edema mukosa saluran napas.
Wilayah subglotis menjadi menyempit, menyebabkan penyumbatan saluran
napas bagian atas dan gejalanya biasanya terkait dengan croup. Penyebab
2
bakteri Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Corynebacterium
diphtheriae, Streptococcus pneumoniae, dan Moraxella catarrhalis. Penyebab
croup non-infeksi meliputi croup spasmodik namun bentuk ini seringkali sulit
dibedakan dari kelompok infeksi. 2, 3, 10
Nama lain menggunakan istilah yang lebih luas, untuk menyertakan
laringotrakeitis akut, batuk tidak teratur, difteri laring, trakeitis bakteri ,
laringotrakeo-bronkitis, dan laringotrakeobronkopneumonitis. 5, 10
D. Klasifikasi
Terminologi untuk sindrom croup berubah setiap waktu. tetapi
klasifikasinya tidak begitu jelas. Sebagai contoh, laringotrakeobronkitis
sering digunakan untuk mengambarkan spasmodic croup atau laringotrakeitis.
Secara umum kasus sindroma croup adalah spasmodic croup dan
laringotrakeobronkitis (tabel. 1).7
Tabel 1: klasifikasi, definisi, dan gambaran klinis sindrom croup 7, 8
3
Gejala Demam, biasanya 37.8-40.5 : Tanpa demam, tanpa
biasanya dengan faringitis faringitis, epiglottis normal
minimal, epiglottis normal
Lama sakit 2-7 hari 2-4 jam
Temuan radiologi Penyempitan subglotis pada Penyempitan subglotis
posterior-anterior, densitas pada sudut posterior-
jaringan trakea irregular pada anterior
sudut lateral
Predisposisi asma Tidak ada Ada
4
Infeksi menyebar secara distal sehingga menyebabkan eritema
laryngeal dan trakea dan edema dengan peradangan di dinding saluran napas.
Karena peradangan ini, saluran udara mengeluarkan eksudat fibrinous yang
menyebabkan obstruksi parsial pada lumen trakea. Infeksi ini juga melibatkan
pita suara dan laring subglotis.2,6
Peradangan pada pita suara menyebabkan imobilitas pita suara dan
suara serak. Di daerah subglotis dimana lumen saluran napas tersempit karena
adanya cincin tulang rawan di sekitar daerah tersebut, sejumlah kecil edema
membatasi aliran udara yang mengarah ke stridor inspirasi dan batuk pengikat
seperti segel. Pada anak yang lebih muda, infeksi dan pembengkakan dapat
menyebabkan obstruksi jalan nafas yang signifikan sebagai akibat dari lingkar
lumen yang lebih kecil. Jika derajat obstruksi memburuk, anak akan terlihat
meningkatkan laju pernapasan namun anak tidak bisa lagi mempertahankan
kompensasi yang diperlukan. Kemudian akan terjadi penurunan volume tidal
sebagai akibat penurunan laju pernapasan, hiperkarbia dan hipoksemia
sekunder terjadi kemudian.2, 3, 11
F. Manifestasi klinik
Gejala Croup biasanya didahului dengan coryza, demam yang tidak
begitu tinggi selama 1272 jam, hidung berair, nyeri menelan, dan batuk
ringan dapat disertai malaise. Pada kasus tertentu demam dapat mencapai 40
C. Gejala dan tanda Croup akan muncul setelah 1-2 hari, biasanya menetap
selama 3-7 hari, meskipun kadang dijumpai kasus yang persisten sampi 2
minggu. Croup ditandai dengan batuk "menggonggong", stridor, suara serak,
dan sulit bernapas yang biasanya memburuk pada malam hari. batuk
"menggonggong" sering digambarkan sebagai suara yang menyerupai dari
singa laut. 3, 11
Bila keadaan memberat dapat terjadi sesak napas, stridor inspiratorik
yang berat, retraksi, dan anak tampak gelisah, dan akan bertambah berat pada
malam hari. Anak akan sering menangis, rewel, dan akan merasa nyaman jika
duduk di tempat tidur atau digendong. Timbulnya stridor umumnya terjadi
pada malam hari, dan dalam kasus-kasus ringan dapat meningkatkan di pagi
5
hari, dan memperburuk lagi pada malam hari. Anak-anak yang menderita croup
ditandai dengan onset yang muncul secara tiba-tiba pada malam hari dengan
gejala prodrome dari infeksi saluran pernapasan, bila keluhan diikuti dengan
peningkatan keluhan siang hari, sering dicurigai sebagai "croup spasmodic".
Pada khasus ini anak tersebut sering mengalami keluhan berulang dalam
beberapa hari atau bulan. 3,11
G. Diagnosis
1. Anamnesis
Demam yang tidak begitu tinggi selama 1272 jam, hidung berair, nyeri
menelan, dan batuk ringan dapat disertai malaise. batuk "menggonggong",
stridor, suara serak, dan sulit bernapas yang biasanya memburuk pada
malam hari. Anak akan sering menangis, rewel, dan akan merasa nyaman
jika duduk di tempat tidur atau digendong.2,3
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan ditemukan suara serak, batuk
menggonggong, stridor inspirasi, kadang disertai hidung berair, peradangan
faring, dan frekuensi napas yang sedikit meningkat. Jika croup mulai parah
akan ada stridor saat ekspirasi, pembengkakan hidung dan juga retraksi
suprasternal dan interkostal. Kelesuan dan agitasi bisa terjadi akibat
hipoksemia. Kondisi pasien bervariasi sesuai dengan derajat distres
pernapasan yang diderita. 2,3
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium dan
radiologis tidak perlu dilakukan karena diagnosis biasanya dapat
ditegakkan hanya dengan anamnesis, gejala klinis, dan pemeriksaan fisik.
Bila ditemukan peningkatan leukosit >20.000/mm3 yang didominasi PMN,
kemungkinan telah terjadi superinfeksi, misalnya epiglotitis. Pemeriksaan
penunjang lain yang cukup berguna untuk menegakkan diagnosis
sindromcroup ini yaitu bisa dengan pemeriksaan radiologis dan CT-Scan.
3, 8, 12
6
Pada foto polos leher menunjukkan tanda klasik yaitu steeple sign,
dengan penyempitan kolum udara pada daerah subglotis yang terlihat pada
foto posterioranterior (AP). Pada hipofaring terlihat gambaran
overdistended pada foto lateral (Gambar 1 dan 2). Temuan ini didapatkan
pada 50% kasus croup, banyak anak-anak dengan sindrom croup
ditemukan hasil radiografi yang normal. 8,12
Gambar 1. Anak dengan croup. Ada tanda menara atau pensil trakea proksimal
yang terlihat pada film anteroposterior 12
7
udara, dan retraksi. Hal-hal yang diberikan untuk setiap faktor terdaftar dalam
tabel ke kanan, dan skor akhir berkisar dari 0 sampai 17.1,13
Skor 2 diklasifikasikan sebagai croup ringan.
Skor 3-5 diklasifikasikan sebagai croup moderat.
Skor>6 diklasifikasikan sebagai croup berat.
85% dari anak-anak yang datang ke bagian darurat dengan penyakit
ringan, batuk parah sangat jarang (<1%). (tabel 1)
Tabel. 2 klasifikasi keparahan batuk13
Skor Westley: Klasifikasi keparahan batuk
Jumlah poin yang ditugaskan untuk fitur ini
Ciri
0 1 2 3 4 5
Retraksi Dinding Tidak
Ringan Moderat Parah
dada ada
Tidak Dengan
Stridor Diam
ada agitasi
Tidak Dengan
Sianosis Diam
ada agitasi
Tingkatkesadaran Normal Bingung
Menurun
Udara masuk Normal Penurunan
tajam
H. Diagnosis banding
a. Epiglotitis
b. Angioedema
c. Abses Peritonsilar 1,13
I. Tatalaksana
Tatalaksana utama bagi pasien sindrom croup adalah mengatasi
obstruksi jalan napas. Anak yang mengalami croup dengan gejala yang ringan
dan tidak didapatkan stridor saat istirahat dapat dirawat di rumah. Parasetamol
dapat diberikan jika didapatkan demam atau nyeri tenggorok. Pemberian
steroid oral dosis tunggal merupakan opsi yang bisa dikerjakan. Orang tua
diberi edukasi tentang gejala dan tanda perburukan klinis yang mengharuskan
anak dibawa kembali ke rumah sakit. 3,8
8
Sebagian besar pasien sindrom croup tidak perlu dirawat di rumah sakit
melainkan cukup dirawat dirumah. Pasien dirawat di rumah sakit apabila
dijumpai salahsatu dari gejala-gejala berikut: anak berusia di bawah 6 bulan,
terdengar stridor progresif, stridor terdengar ketika sedang beristirahat, terdapat
gejala gawat napas, hipoksemia, gelisah, sianosis, gangguan kesadaran, demam
tinggi, anak tampak toksik, dan tidak ada respons terhadap terapi. 3,8,12
J. Terapi sindrom croup
1. Epinefrin
Nebulisasi epinefrin sebaiknya juga diberikan kepada anak dengan
sindrom croup sedang-berat yang disertai dengan stridor saat istirahat dan
membutuhkan intubasi, serta pada anak dengan retraksi dan stridor yang
tidak mengalami perbaikan setelah diberikan terapi uap dingi. Nebulisasi
epinefrin akan menurunkan permeabilitas vascular epitel bronkus dan
trakea, memperbaiki edema mukosa laring, dan meningkatkan laju udara
pernapasan. Pada penelitian dengan metode double blind, efek terapi
nebulisasi epinefrin ini timbul dalam waktu 30 menit dan bertahan selama
dua jam.Epinefrin yang dapat digunakan antara lain adalah sebagai berikut:
6,8
9
2. Kortikosteroid
Kortikosteroid mengurangi edema pada mukosa laring melalui
mekanisme anti radang.Uji klinik menunjukkan adanya perbaikan pada
pasien laringotrakeitis ringan-sedang yang diobati dengan steroid oral atau
parenteral dibandingkan dengan plasebo. 6, 8
3. Dekstrametason
Deksametason diberikan dengan dosis 0,6 mg/kgBB per
oral/antimuskular sebanyak satu kali, dan dapat diulang dalam 6-24 jam.
Efek klinis akan tampak 2-3 jam setelah pengobatan. Tidak ada penelitian
yang menyokong keuntungan penambahan dosis. Keuntungan pemakaian
kortikosteroid adalah sebagai berikut: 3, 6
a) Mengurangi rata-rata tindakan intubasi
b) Mengurangi rata-rata lama rawat inap
c) Menurunkan hari perawatan dan derajat penyakit.
Selain deksametason, dapat juga diberikan prednisone atau
prednisolon dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Berdasarkan dua penelitian meta-
analisis tentang pemakaian kortikosteroid sistemik, dengan pemberian
kortikosteroid 6 dan 12 jam, tetapi tidak sampai 24 jam, disimpulkan bahwa
tidak ada pengaruh dari kortikosteroid sistemik . 3, 8
4. Intubasi endotrakeal
Intubasi endotrakeal dilakukan pada pasien sindrom croup yang
berat, yang tidak responsif terhadap terapi lain. Intubasi endotrakeal
merupakan terapi alternatif selain trakeostomi untuk mengatasi obstruksi
jalan napas. Indikasi melakukan intubasi endotrakeal adalah adanya
hiperkarbia dan ancaman gagal napas. Selain itu, intubasi juga diperlukan
bila terdapat peningkatan stridor, peningkatan frekuensi napas, peningkatan
frekuensi nadi, retraksi dinding dada, sianosis, letargi, atau penurunan
kesadaran. Intubasi hanya dibutuhkan untuk jangka waktu yang singkat,
yaitu hingga edema laring hilang/teratasi. 5, 6
10
5. Terapi oksigen
Terapi oksigen tambahan mungkin diperlukan untuk anak-anak
dengan kelompok virus berat yang memiliki de-saturasi oksigen signifikan
(SaO2 <93%). Oksigen dapat diberikan tanpa menyebabkan anak tersebut
mengalami agitasi melalui selang plastik dengan lubang yang dipegang
dalam beberapa sentimeter dari hidung dan mulut (oksigen lebah minimal
10 liter per menit). Penggunaan inhalasi uap belum terbukti bermanfaat
secara signifikan dalam perawatan croup akut. Hal ini juga
dikontraindikasikan karena penggunaan inhaler uap telah dikaitkan dengan
luka bakar dan luka bakar pada anak kecil. 5, 6
6. Kombinasi Oksigen-Helium
Kombinasi oksigen dan helium (Heliox) digunakan oleh beberapa
sentra untuk mengatasi sindrom croup. Helium bersifat inert, tidak beracun,
serta mempunyai densitas dan viskositas yang rendah. Hal ini sangat
membantu mengurangi obstruksi jalan napas, yaitu dengan meningkatkan
aliran gas dan mengurangi kerja otot-otot respiratorius. Bila helium
dikombinasikan dengan oksigen, maka oksigenasi darah akan meningkat.
Dengan terapi oksigen-helium ini, pasien sindrom croup beratakan merasa
nyaman dan kemungkinan besar tidak memerlukan tindakan intubasi. Efek
klinis pemberian kombinasi oksigen-helium hampir sama dengan pemberian
nebulisasi epinefrin.6,8
K. Komplikasi
Komplikasi jarang terjadi setelah episode croup. Komplikasi yang
paling umum adalah penyumbatan saluran napas dengan gangguan pernapasan.
Jika seorang anak mulai mengembangkan hipoksemia, takikardia, dan
takipneu, intubasi endotrakeal mungkin diperlukan. Pneumotoraks,
pneumomediastinum, dan stenosis subglotis dapat menjadi komplikasi intubasi
endotrakeal. Dehidrasi dapat disebabkan oleh ketidakmampuan anak untuk
mempertahankan asupan oral yang cukup. Komplikasi lainnya termasuk media
lymphadermatitis dan ottitis. 2,7
11
Gambar 3. Algoritma penatalaksanaan sindrom Croup 1
CROUP
Diagnosis banding
Aspirasi benda asing
Obstruksi jalan napas yang Abnormalitas kongenital
mengancam jiwa Epiglotitis
Sianosis
Penurunan kesadaran O2 100% dengan sungkup muka dan nebulisasi
adrenalin (5ml) 1:1000
Intubasi anak sesegera mungkin oleh seorang yang
TIDAK YA berpengalaman
Hubungi pusat rujukan pelayanan kesehatan anak
Membaik
Tidakmembaik
Dipulangkan bila Perbaikan Evaluasiulang
tidak ada stridor saat
Rawat
istirahat
Hubungikonsulen
Edukasi orang tua
Evaluasi diagnosis
pasien
Rawat/observasi di IGD
Ulangi pemberian Nebulisasi adrenalin
Sebagian
kortikosteroid oral/12 jam (dosissama) dan kortikosteroid
Edukasi ortu pasien sistemik (dosissama)
Sediakan penjelasan Persiapkan pelayanan untuk
tertulis untuk dokter tindakan darurat
umum yang akan follow Pertimbangkan intubasi
up Evaluasi diagnosis
12
L. Prognosis
Sindrom croup biasanya bersifat self-limited dengan prognosis yang
baik. Pada 15% kasus dilaporkan terjadi komplikasi, misalnya otitis media,
dehidrasi, dan pneumonia (jarang terjadi).3, 11
13
BAB III
KESIMPULAN
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Mark Lee, et al. Infants and children Acute Management Of Croup. 2th
Edition. Clinical Pratice Guidlines. 2010
2. Spencer. J, Mintz. M. L. Croup. Disorder of the lower airway. Part III.
2012. Available from :
www.eknygos.Isumi.It.Springer/621/103-113.pdf. diakses pada tanggal 14
september 2017.
3. Kaswandani Nastiti. Croup. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan LXI.
Cetakan 1. 2012
4. Candice L. Bjornson, David w. Johnson. Croup in children. Canadian
Medical Association. 2013. available from:
http/dollco:/croup.com.pdf
5. Mckee Sue. Croup. Emergency Management in Children. Childrens Health
Queensland Hospital and healt Service. Version 2. 2014.
6. Oliva Ortiz-Alvarez. Acute management of croup in the emergency
department. Canadian Paediatric Society.2017. available from :
www. Wps.ca.com. diakses pada tanggal 13 september 2017.
7. Cherry D. James. Croup. The New England Journal of Medicine. 2008;
8. Malhotra Amisha, Krilov Leonard R. Viral Croup. American Academy of
Pediatrics. 2013. Hal:1-6
9. Alberta. Diagnosis and management of croup. Guidlines. Alberta medical
associatiom. 2008.
10. Arthur M, Torok Thomas J, Holman Robert C, Pediatric
Hospitalizations for Croup (Laringotracheobronchitis): Biennial Increases
Associated with Human Parainfluenza Virus 1 Epidemics. The Journal of
Infectious Disease. 2013
11. Murtaza Mustafa. Acute Laryngitis and Croup: Diagnosis and Treatment.
IOSR Journal Of Pharmacy. Volume 5, Issue 4 . 2015. Hal: 19-23
12. Defendi Germaine L. Croup Treatment & Management. Emedicine.
medscape. 2013.
15
13. Bhatt JM. Croup (Laryngotracheobronchitis). Nottingham University
Hospitalls. 2012. Hal: 1-5
16