Anda di halaman 1dari 2

Sekitar tahun 1900, Belanda berhasil menegakan kekuasaannya di seluruh kepulauan Indonesia.

Pelapisan masyarakat kolonial menurut garis ras, yang lazim terdapat di Jawa, mulai meluas ke pulau-
pulau seberang. Tetapi pada abad 20 terjadi perkembangan dinamis yang menerobos pola yang kaku ini
dan meningkatkan mobilitas sosial. Para pedagang kota di Indonesia melakukan pemberontakan
menentang tradisi dan kekuasaan suku. Penanaman tanam-tanaman yang hasilnya untuk dijual di
daerah-daerah luar kota juga telah menimbulkan sebentuk paham individualisme ekonomi tertentu yang
memberontak terhadap ikatan-ikatan tradisioal dan terhadap kekuasaan ketua-ketua adat. Pendidikan
juga mempunyai pengaruh dinamis di ulau-pulau luar Jawa, walaupun tidak sehebat di Jawa.

Semenjak tahun 1900, di Jawa dapat pula diperhatikan bertambah meningkatnya perbedaan
profesi. Bertambah meluasnya ekonomi uang dan meningkatnnya hubungan dengan barat menyebabkan
timbulnya lapangan pekerjaan baru dan suatu kelompok baru yang naik sampai ke suatu tingkat diatas
masyarakat pada umumnya karena kemampuan teknis mereka. Orang Indonesia semakin banyak bekerja
dibidang perdagangan dibandingkan dengan sebelumnya, mual-mula sebagai pedagang kecil, kemudian
sebagai pedagang menengah. Dalam kasus Hindia Belanda tahun 1930 terdapat 908.940 orang
Bumiputera yang menyebutkan perdagangan sebagai pekerjaan mereka yang utama.

Perkembangan selanjutnya ketika masa depresi tahun 30-an juga menunjukkan bahwa bahkan
sebelum tahun 1930, suatu kelas bumiputrera yang baru tumbuh telah mulai ada, mendobrak susunan
masyarakat tradisional lama dan melakukan pengaruh yang bersifat individual. Tetapi di Jawa, pengaruh
faktor-faktor ini seluruhnya terlindung oleh cara tradisional masyarakat. Akibatnya terasa bahkan dalam
bentuk mengajar yang paling sederhana di desa. Terlepas dari bentuk pendidikan yang diberikan dan
sebagaimana lumrahnya pendidikan itu bertentangan sekali dengan konsep-konsep bumiputera,
kenyataan adanya pendidikan itu saja telah mendobrak struktur masyarakat pertanian.

Dengan demikian, pendidikan telah menciptakan suatu kelas baru kaum cendikiawan atau
setengah yang menduduki suatu posisi khusus dalam masyarakat. Pertama-tama, adanya kelas ini
mempengaruhi sistem nilai kemasyarakatan dalam masyarakat Indonesia (dalam arti sempit) yang tidak
hanya mendobrak susunan kemasyarakatan Jawa tradisional saja, namun mendobrak pelapisan sosial
kolonial abad 20 yang berdasarkan perbedaan ras. Pendidikan Barat telah memberikan kesempatan
kepada orang-orang Indonesia untuk mengisi jabatan-jabatan yang hanya disediakan untuk kasta Eropa.
Dengan cara begini, dasar sistem status kolonial berangsur-angsur rubuh. Disini sebagaimana juga di
tempat-tempat lain, pendidikan telah bertindak sebagai dinamit terhadap sistem kasta kolonial. Orang-
orang Indonesia yang telah mendapat sedikit pendidikan tidak dapat lagi menerima pelapisan sosial
kolonial berdasarkan ras sebagai suatu yang semestinya begitu. Diskriminasi hukum dan sosial
berkurang, tetapi sisa-sisanya semakin menusuk perasaan. Garis batas-batas sosial mulai mencair. Di
pihak lain, di kalangan orang-orang Indonesia terdapat kecenderungan yang lebih besar untuk
mengadakan persatuan. Ini disertai dengan kesadaran kebangsaan yang semakin meningkat dan rasa
hormat yang semakin berkurang terhadap bahasa Belanda sebagai suatu faktor sosial, juga terhadap
pengangkatan di dalam dinas pemerintahan Belanda dan terhadap sikap berasimilasi ke dalam kalangan-
kalangan Belanda. Penggunaan bahasa Indonesia, suatu bentuk bahasa Melayu yang dipermodern, serta
pemakaian kopiah, suatu tutup kepala berwarna hitam, telah menjadi lambing dari kesadaran nasional.
Terdapat suatu kecendrungan yang kuat kearah suatu sistem nilai yang baru berdasarkan
kemakmuran individu dan kemampuan intelektual seseorang; tetapi perkembangan ini pada umumnya
masih ditahan, baik oleh sisa-sisa struktur feodal maupun kolonial.

Anda mungkin juga menyukai