Anda di halaman 1dari 79

Materi : I .

PENDAHULUAN

A. Status Mata Kuliah


Mata kuliah Dasa-dasar Penginderaan Jauh adalah mata kuliah wajib bagi
mahasiswa Departemen Manajemen hutan dan juga menjadi mata kuliah
pilihan dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Teknologi
Hasil Hutan. Mata kuliah ini mempunyai 3 SKS yang dilaksanakan dalam
bentuk kuliah tatap muka selama 2 jam kuliah dan 3 jam praktikum

B. Materi Praktikum
Materi praktikum Dasar-dasar Penginderaan Jauh ini mencakup:
1. Pengenalan alat dan bahan
2. Pandangan tiga dimensi
3. Penafsiran potret udara
4. Pengukuran kemiringan lereng
5. Pengukuran Peubah-peubah Tegakan dan Pendugaan Potensi Tegakan
6. Pemetaan
7. Stereogram dan Mozaik

C. Tata Tertib Praktikum


1. Seluruh Mahasiswa yang mengambil mata kuliah Dasar-dasar
Penginderaan Jauh
2. Mahasiswa diwajibkan datang ke dalam laboratorium sebelum
praktikum, keterlambatan hanya diperbolehkan paling lambat 15 menit
sebelum praktikum dimulai
3. Mahasiswa yang tidak dapat mengikuti praktikum karena alasan sakit
atau alasan yang dapat dipertanggungjawabkan diwajibkan mencari
waktu praktikum pengganti
4. Mahasiswa tidak diperkenankan membawa makanan dan minuman ke
dalam ruang kelas atau laboratorium dan wajib menjaga kebersihan
kelas dan laboratorium
5. Mahasiswa tidak diperkenankan mengaktifkan “suara” telepon
genggamnya dan tidak diperkenankan membuat kegaduhan selama
mengikuti praktikum.
6. Mahasiswa diwajibkan menjaga keselamatan alat dan apabila terjadi
kerusakan, maka mahasiswa diwajibkan mengganti peralatan tersebut.

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 1


7. Setiap mahasiswa diwajibkan membuat laporan untuk setiap materi
praktikum yang diberikan dengan mengikuti format laporan yang
ditetapkan oleh pengasuh mata kuliah ini. Setiap laporan harus dijilid
rapi yang memuat:
a. Cover
b. Daftar Isi
c. Pendahuluan (latar belakang dan tujuan)
d. Metode Pelaksanaan praktikum
e. Hasil dan Pembahasan
f. Kesimpulan
g. Daftar Pustaka

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 2


Materi : II. PENGENALAN ALAT

A. Pengantar
Sebelum melangkah pada praktikum dasar-dasar penginderaan jarak jauh
yang sesungguhnya, setiap praktikan diwajibkan mengenal terlebih dahulu
sebagian besar alat dan bahan yang akan digunakan selama praktikum.
Pada pengenalan alat ini setiap praktikan diharapkan memahami bagian-
bagian atau komponen-komponen dari setiap alat serta cara kerjanya.
Beberapa alat dan bahan yang umum digunakan selama melakukan
penafsiran potret udara mencakup :
 Streoskop cermin
 Streoskop saku
 Meja sinar
 Potret Udara
 Sketmaster
Adapun skema dari stereoskop cermin, paralak bar dapat dilihat pada
Gambar 1 dan 2.

Lensa perbesaran (binokuler)

Stereoskop cermin

Cermin

Light table (Meja sinar)

Potret Kiri Potret Kanan

P1 P’2 P’1 P2

Gambar 1. Skema stereoskop beserta sepasang potret

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 3


Plat kaca dengan 3
macam titik apung

Pegas Plotter

(a)
Skala (1 mm )
Skala nonius (0,01)

(b)

Skala alat pada


keadaan B
terbaca: 30,45

(c)

Gambar 2. Skema paralaks meter beserta bagian-bagiannya

Gambar informasi tepi dari potret udara yang perlu diperhatikan dapat
dilihat pada Gambar 3.

6 3 4 5

1 7
2
Keterangan:
(1) Fiducial mark ;
(2) Instansi pemotretan dan tanggal pemotretan;
(3) Waktu pemotretan (dan pemotretan);
(4) Nivo dan fokus lensa yang digunakan;
(5) Tinggi terbang pesawat di atas permukaan laut;
(6) Nomor film;
(7) Nomor pemotretan.

Gambar 3. Informasi tepi potret udara

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 4


Gambar 4. Stereoskop Cermin Tanpa Binokuler dan dengan Binokuler

Gambar 5. Cara melihat stereoskopis sepasang potret udara tanpa


binokuler dan dengan binokuler

Gambar 6. Sepasang Potret Udara yang saling overlap

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 5


Gambar 7. Stereoskop Saku

Tujuan praktikum :
Untuk mengenal peralatan dan bahan penafsiran potret udara secara
detail serta memahami prinsip-prinsip kerjanya.

B. Metode praktikum
1. Gambarkan stereoskop cermin, stereoskop saku serta berikan
keterangan tentang bagian-bagian dari peralatan yang diamati.
2. Gambarkan dan kenali bagian-bagian penting dari paralaks bar dan
paralaks templete
3. Gambarkan meja sinar
4. Gambar/buat skema potret udara dan jelaskan bagian-bagiannya

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 6


Materi : III & IV. PANDANGAN STEREOSKOPIS
(Stereoscopic Vision)

A. Pengantar

Potret udara adalah suatu potret yang pemotretannya didisain sedemikian


rupa sehingga citra hasil rekamannya dapat direkontruksi lagi dan dilihat
secara tiga dimensi yang dikenal juga dengan istilah pandangan
setereoskopis (stereoscopic vision). Kemampuan sepasang potret udara
untuk dilihat secara stereoskopis merupakan salah satu keunggulan
tersediri dibandingkan dengan citra pengeinderaan jauh lainnya.
Melakukan interpretasi dengan tiga dimensi akan mampu memberikan
kesan yang lebih detail dibandingkan dengan pandangan 2 dimensi,
sehingga kegiatan interpretasi dapat dilakukan secara efektif dan lebih
akurat.
Pandangan 3-dimensi atau stereoskopis memungkinkan melihat obyek
secara simultas dari presepekti yang berbeda. Ilmu dan seni tentang
sterepskopis terkait dengan pandangan bonokuler untuk mendapatkan
kesan tiga dimensi. Setiap orang yang mempunyai sepasang mata normal
secara tidak sadar telah mampu membedakan jarak dan kedalaman.
Kemampuan mata melihat secara stereoskopis bagi benda-benda yang
relatif jauh (lebih besar dari 640,08 m) akan menjadi lebih besar jika jarak
mata kiri dengan mata kanan diperbesar yang sekaligus akan
memperbesar sudut-sudut paralaksnya. Jarak antar mata manusia (eye
base) sekitar 6,35 cm dengan kemampuan membedakan sudut paralaks
sekitar 20 detik. Dalam potret udara, agar kemampuan mata melihat
secara stereoskopis menjadi lebih besar karena dilakukan dengan
memanipulasi sudut-sudut paralaks dan beda paralaksnya melalui
manipulasi jarak mata (eye base). Manipulasi jarak mata tersebut
dilakukan dengan cermin (2 pasang) pada stereoskop cermin (mirror
stereoscope). Pada Gambar 1 tampak bahwa jarak mata e1 e2 dimanipulasi
menjadi M1 M2 melalui cermin m1 dan m2.

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 7


e1 e2

Sterepskop
cermin
M1 M2

m2
m1

a1 P2
P1 b1 A a2 b2

Gambar 8. Diagram proses pandangan tiga dimensi sepasang potret


menggunakan stereoskop cermin

Pandangan tiga dimensi (3-D) atau stereoskopis bagi obyek-obyek yang


terdapat pada bagian overlap potret udara dapat dilakukan dengan:
a. Mata telanjang (naked eye),
b. Bantuan alat (stereoskop cermin dan atau saku).
c. Analgip
Pandangan tiga dimensi menggunakan mata telanjang memerlukan
latihan yang cukup intensif dan membutuhkan keuletan. Oleh karena
jarak antar mata kiri dengan mata kanan (eye base) manusia cukup
pendek, yaitu sekitar 6,3 cm, maka daerah-daerah yang dapat dilihat tiga
dimensi juga relatif sempit dibandingkan menggunakan stereoskop
cermin. Jarak mata yang relatif pendek tersebut menyebabkan sudut
paralaks suatu titik yang dilihat oleh mata relatif kecil. Pada stereoskop
cermin, jarak mata tersebut diperpanjang melalui cermin yang dipasang
pada alat tersebut. Dengan demikian, maka dengan menggunakan
stereoskop dapat diperoleh kesan tiga dimensi yang lebih luas

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 8


dibandingkan dengan menggunakan stereoskop saku. Jarak mata
telanjang (tanpa menggunakan stereoskop) adalah e1 e2, sedangkan setelah
menggunakan stereoskop cermin maka jarak mata seolah-olah
diperpanjang menjadi M1 M2 setelah melalui cermin m1 dan m2 (lihat
Gambar 9).

Pada penafsiran potret udara, pandangan mata yang diharapkan adalah


pandangan mata normal yaitu garis pandang mata kiri sejajar dengan
garis pandang mata kanan. Sedangkan pandangan mata convergen
(garis pandang mata saling mendekat/berpotongan) dan divergen (garis
pandang mata saling menjauh) tidak bisa digunakan tanpa bantuan alat-
alat khusus. Secara skematis, pandangan mata normal, convergen dan
divergen disajikan pada Gambar 9.

(a) (b)

(c)

Gambar 9. Skema posisi arah pandang mata normal (a), mata konvergen
(b) dan mata divergen (c)

Pada potret udara, sudut paralaks suatu titik dinyatakan dengan paralaks
stereoskopis atau paralaks absolut, sedangkan perbedaan sudut
paralaks dinyatakan dengan beda paralaks atau paralaks relatif.
 Paralaks absolut (absolute parallax) suatu titik adalah panjang garis
pada potret udara yang dibentuk oleh sudut paralaks titik
bersangkutan, terhadap titik pusat potret,
 Paralaks relatif (beda paralaks/parallax difference) adalah panjang
garis pada potret yang dibentuk oleh sudut beda paralaks atau selisih
paralaks absolut antara dua buah titik pada potret udara.

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 9


Sama halnya dengan sudut paralaks, paralaks absolut suatu titik akan
semakin besar jika letak titik tersebut semakin dekat dengan stasiun
pemotretan. Dengan kata lain, semakin tinggi letak obyek akan
mempunyai paralaks absolut yang semakin besar pula sebaliknya dan bagi
titik-titik yang mempunyai ketinggian yang sama akan mempunyai
paralaks absolut yang sama pula. Pada Gambar 10 paralaks absolut titik A,
B, P1 , dan P2 adalah sebagai berikut:
Paralaks absolut A (PA ) = P1 a’1 + P2 a’2
= P1 P2 - a1 a2
Paralaks absolut B (PB ) = P1 b’1 + P2 b’2
= P1 P2 - b1 b2
Paralaks absolut P1 (PP1 ) = P1’ P2
= P1 P2 - P1 P1’
= foto base potret kanan
Paralaks absolut P2 (Pp2 ) = P1 P2’
= P1 P2 – P2 P2’
= foto base potret kiri
Sedangkan paralaks relatif antara titik-titik tersebut dapat diperoleh dari
selisih paralaks absolutnya.

a1 a2

P1 P2’ P1’ P2

a1’ a2’ b2’


b1’

b1 b2

Gambar 10. Skema paralaks absolut suatu titik

Dalam melakukan pandangan tiga dimensi (stereoskopis) dalam


penafsiran potret udara, dikenal beberapa istilah yaitu :
a. Eye base (basis mata), adalah garis imajiner yang menghubungkan titik
pusat mata kiri dan mata kanan pada saat mata tersebut melihat benda
yang sangat jauh (tidak terhingga), sehingga tidak terjadi pandangan
yang memusat (convergen) atau menjauh (divergen).

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 10


b. Stereoscopic base (basis stereoskopis), adalah jarak antara suatu titik
pada potret udara dengan titik komplemen/konyugasinya pada potret
pasangan stereoskopisnya pada saat potret tersebut dalam kedudukan
stereoskopis yang baik (menyenangkan/nyaman). Stereoscopic base ini
berbeda-beda untuk setiap jenis alat yang digunakan baik
menggunakan mata telanjang, stereoskopis saku maupun stereoskopis
cermin (lihat jarak a1-a2 pada Gambar 11 atau jarak b1-b2 pada Gambar
10).
c. Photo base (basis potret), adalah panjang garis pada setiap potret udara
yang menghubungkan titik pusat potret bersangkutan dengan titik
komplemen (titik konyugasi) dari titik pusat potret pasangan
stereoskopisnya (potret sebelum atau sesudahnya). Dengan kata lain,
pada potret udara vertikal foto base adalah jarak antara titik-titik
proyeksi stasiun pemotretan. Jika masing-masing titik pusat potret
udara terletak pada ketinggian yang sama, maka foto base setiap potret
udara vertikal adalah sama. Sebaliknya, jika titik-titik pusat potret
tersebut mempunyai ketinggian (elevasi) yang berbeda-beda maka foto
base masing-masing potret berbeda-beda (perhatikan Gambar 10 dan
11). Seperti yang telah dijelaskan terdahulu, foto base kiri juga
merupakan paralaks abdolut titik pusat potret kanan dan foto base
kanan sama dengan paralaks absolut titik pusat potret kiri. Oleh karena
itu jika datum terletak di antara elevasi titik-titik pusat potret maka
untuk tujuan praktis, paralaks absolut datum sama dengan foto base
rata-rata.
Untuk mendapatkan stereoskopis yang baik dan benar, diharapkan
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Potret mempunyai overlap (pertampalan) antar potret pasangan
stereoskopisnya.
b. Skala potret relatif sama.
c. Orientasi potret tersebut benar, yaitu arah eye base, stereoskopic
base dan photo base sejajar satu dengan lainnya (Sumbu
stereoskopis sejajar dengan jalur terbang pesawat pada waktu
pemotretan).
d. Kedudukan pada waktu disesuaikan dengan posisi overlapingnya
(tidak terbalik) agar tidak terjadi kesan pseudoskopis.

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 11


a1 a2

P1 P2’ P1’ P2

a1’ a2’

Photo base
Photo base

Gambar 11. Skema contoh menghitung photo base P1P2’ dan P1’P2) dan
stereoscopic base suatu titik a (a1-a2).

Tujuan praktikum:
Setelah melakukan praktikum ini, mahasiswa diharapkan mampu:
1. Melakukan pandangan 3-dimensi menggunakan potret udara secara
benar
2. Mampu mengidentifikasi titik-titik utama potret udara (principal
point)
3. Mampu menghitung besarnya pertampalan potret baik pertampalan
kesamping (side lap) maupun pertampalan ke depan/kebelakang (end
lap).

B. Metode Praktikum

1. Persiapan Potret Udara

Untuk mendapatkan pandangan stereoskopis yang benar dan baik


sehingga kesan 3-dimensi obyek dapat terlihat, posisi sepasang potret
haruslah tepat. Beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah sebagai
berikut:
a. Orientasi potret udara. Pastikan bahwa sepasang potret yang akan
diamati atau diinterpretasi mempunyai nomor yang berurutan dan
pada jalur terbang yang sama. Perhatikan nomor potret, nomor jalur
dan/atau nomor film. (Gambar 12)

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 12


+ +

15/II 16/II
Nomor potret

Gambar 12. Skema nomor urut potret


b. Posisi pertampalan. Posisi pertampalan (overlap) dari sepasang potret
tersebut di atas meja harus sesuai dengan urutan overlapnya. Posisi
garis yang menghubungkan titik-titik utama (principal point) sering
disebut foto base harus menjadi satu garis (P1-P2) dan sejajar (lihat
Gambar 13). Pada saat dipisahkan (jika dilihat dengan stereoskop
cermin) maka daerah P1-P2’ dan P1’-P2 harus dalam satu garis lurus.
Arah eye base interpreter harus sejajar dengan garis ini (foto base).
Besarnya end lap (e) juga dapat dihitung sebagai berikut:

fb = (100 – e/100) pf
e = 100- (fb / pf) 100

dimana e adalah end lap (dalam persen), pf adalah panjang potret dan
fb adalah panjang photo base.

(a) (b) Posisi yang benar

P1 P2’ P1 P2’ P1’ P2


P2P2 P2 ’ P2

endlap endlap
endlap
(c)

+ +
P2 P1

Posisi yang salah (Pseudoskopis)

Gambar 13. Posisi overlap (a), posisi urutan stereoskopis yang benar (b)
dan urutan potret yang terbalik (c)

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 13


c. Orientasi bayangan obyek. Arah bayangan obyek (jika ada) diharapkan
sebagian besar menghadap ke arah interpreter (pengamat) (Lihat
Gambar 14).

+ +
P1 P2

Arah bayangan Posisi interpreter


(e)
Gambar 14. Skema posisi interpeter terhadap arah bayangan

d. Jika menggunakan stereoskop saku, pisahkan potret sepanjang jalur


terbang dengan tetap mempertahankan arah foto base kiri yang sejajar
dengan foto base kanan, sehingga jarak antara obyek pada potret kiri
dengan obyek konyugasi pada potret kanan relatif sama dengan jarak
antara lensa kiri dan kanan stereoskop saku.

 
 a a’ 
P1 P2

Overlap

Gambar 15. Skema penggunaan stereoskop saku (lens stereoscope)

2. Prosedur Melihat Pandangan Stereoskopis


a) Buat garis lurus pada meja sinar (light table), kemudian letakkan
sepasang potret dimana titik-titik utama dari potret tersebut melalui
garis yang bersangkutan

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 14


fbi fba

Gambar 16. Skema peletakan sepasang potret di atas meja sinar

b) Letakkan salah satu potret (kiri atau kanan) menggunakan selotip


(cellotipe) pada meja sinar. Atur posisi dan orientasinya langsung di
bawah stereoskop cermin (fbi, fba dan eyebase harus sejajar). Catatan
arah eb (eye base) sama dengan arah lensa stereoskop cermin.
c) Melalui stereoskop, letakkan telunjuk jari kiri pada suatu obyek di
potret kiri dan telunjuk kanan pada obyek yang sama di potret kanan.
Lihat melalui stereoskop (tanpa binokuler), atur geser potret kanan
(yang tidak ditempelkan dengan selotip) sehingga tampak telunjuk kiri
berhimpit dengan telunjuk kanan.

Stereoskop cermin

eb

Gambar 17. Skema posisi stereoskop cermin (dilihat dari atas)

d) Posisi potret harus diatur sedemikian rupa sehingga pandangan 3–D


menjadi nyaman (mata tidak lelah). Kenyamanan dapat diperoleh
dengan mengatur jarak antar potret dan orientasinya. Kenyamanan
tidak akan diperoleh apabila posisi potret belum benar. Latihan
pandangan 3-D ini dapat dilakukan dengan memejamkan mata
(beberapa saat), kemudian mata dibuka, dipergunakan lagi dilakukan
secara berulang-ulang. Apabila 3-D dapat dilihat dengan cepat dan
nyaman itu berarti pandangan 3-D sudah benar. Faktor-faktor yang

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 15


mempengaruhi pandangan stereoskopis. Secara praktis, beberapa faktor
yang mempengaruhi pandangan stereoskop adalah:
a. Ketidaksamaan tinggi terbang. Hal ini menyebabkan perbedaan skala
potret.
b. Tilt potret
c. Posisi jalur terbang yang tidak segaris
d. Posisi stereoskop yang tidak sejajar
e. Perbedaan paralaks yang besar antar potret yang bersebelahan

C. Tugas Praktikum

1. Buat titik-titik utama (Principal point) masing-masing potret udara


2. Buat dan hitung panjang foto base kiri dan kanan dari sepasang potret
yang digunakan
3. Hitung berapa besarnya overlap, khususnya end lap dari potret yang
digunakan
4. Lakukan pandangan 3-D (streoskopis) menggunakan stereoskop saku,
dan hitung stereoscopic base dari titik-titik utama (principal point)
dan beberapa titik lainnya (minimal 3 titik)
5. Lakukan pandangan 3-D (streoskopis) menggunakan streoskop
cermin, kemudian juga hitung stereoscopic base dari titik-titik utama
(principal point) dan beberapa titik lainnya (minimal 3 titik)

D. Format Laporan Praktikum


1. Pendahuluan, mencakup latar belakang dan tujuan praktikum dan
sebaiknya ditambahkan dengan tinjauan pustaka
2. Metode (prosedur praktikum)
3. Hasil dan pembahasan ( bisa dibahas dari segi teori, hasil praktik dan
hasil penelitian peneliti lain melalui kajian pustaka).
4. Kesimpulan (simpulkan dari apa yang diperoleh dari praktikum)

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 16


Materi : V. PENAFSIRAN POTRET UDARA

A. Pengantar
Interpretasi visual merupakan suatu kegiatan dalam rangka mendeteksi
dan mengidentifikasi obyek-obyek yang terdapat pada potret udara atau
citra lainnya melalui unsur-unsur spasial dan spektral utama dari obyek
yang bersangkutan. Di bidang kehutanan, kadang-kadang juga mengguna-
kan unsur kondisi temporal. Menurut American Society of Photogrametry
(1966) dalam Paine (1981) Interpretasi didefinisikan sebagai kegiatan
memeriksa potret atau citra guna mengidentifikasi obyek dan menguji
signifikasinya.
Penafsiran gambar yang terekam pada potret udara merupakan suatu seni
yang memerlukan ketrampilan. Pada potret udara vertikal, obyek-obyek
yang disajikan hanya penampang melintang bagian atas dari obyek-obyek
bersangkutan. Dengan demikian penafsiran gambar/obyek pada potret
udara vertikal lebih sukar dilakukan dibandingkan dengan potret udara
miring. Untuk memudahkan penafsiran obyek ataupun bentuk-bentuk
penggunaan lahan, sangatlah penting jika diketahui terlebih dahulu
tentang teknik diagnosis penutupan lahan.
Elemen-elemen diagnostik penafsiran citra.
Berdasarkan urutan tingkat kepentingan, elemen-elemen diagnostik
penutupan lahan adalah sebagai berikut :

a. Warna atau Tone


Menurut Manual of Remote Sensing (1983), tone/warna adalah elemen
diagnostik yang ditempatkan pada “urutan pertama” sebagai elemen dasar
dari penafsiran potret, selanjutnya diikuti oleh elemen diagnostik lainnya
yang merupakan susunan spasial dari tone.
Tone dan warna merupakan unsur interpretasi yang dihasilkan dari proses
penyinaran suatu obyek dan pengaruhnya terhadap film yang digunakan.
Kontras tertentu dari tone/warna dari obyek sangat penting untuk
identifikasi. Tanpa adanya kontras maka elemen diagnostik lain seperti
ukuran, bentuk, tekstur dan pola tidak akan dapat diketahui (dengan kata
lain menjadi tidak relevan) yang terpenting adalah gradasi tone dari
tepi/batas obyek.

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 17


Pada potret hitam-putih, tone bervariasi dari hitam pekat sampai putih
dan dengan berbagai tingkat keabu-abuan di antara warna tersebut. Pada
potret berwarna, aneka warna yang terjadi memudahkan interpreter
melalukan interpretasi dan mampu membedakan obyek minimal 100 kali
lebih banyak dibandingkan dengan menggunakan potret hitam-putih.
Tone juga digambarkan dalam bentuk pola seperti uniform (seragam),
mottled (burik/bercorang-coreng), banded (pita) dan dalam ketajaman
batas-batas seperti tajam, berangsur-angsur (peralihan) dan atau kabur
(tidak bisa ditentukan batasnya).

5
4

1 2 6

3 4

(a) (b)

Gambar 18a dan 18b. Klasifikasi berdasarkan tone : (1) air dalam/sungai
dalam (gelap); (2) air dangkal (abu-abu tua); (3)
hutan/vegetasi rapat (abu-abu); (4) vegetasi jarang
(abu-abu terang); (5) tanah kosong/ permukiman/
jalan (terang/putih); (6) permukiman (pola teratur)
Potret Udara wilayah Maluku (Skala 1:20.000)

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 18


2
1 Gambar 18c.
Potret udara pankromatik hitam
putih. (1) awan (tone putih); (2)
bayangan awan (tone gelap);
vegetasi (tone abu-abu). Potret
2 Udara (Skala 1:20.000)
3

(c)

Gambar 18d.
3 Potret udara pankromatik hitam
putih. (1) pohon-pohon muda
6 2 (ukuran tajuk relatif kecil); (2)
1
pohon-pohon lebih tua (ukuran
3 tajuk relatif lebih besar); (3)
sungai (bentuk dan lebar garis
tidak teratur); (4) jalan (bentuk
belokan tipis); (5) jalan lori (rel)
pengangkut (belokan dengan jari-
4 jari besar); (6) bayangan
5 tegakan/pohon. Potret udara
(Skala 1:8.000)
(d)

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 19


1
2
5
3

(e) (f)

Gambar 18e dan 18f. Potret udara areal Perum Perhutani di


Randublatung skala 1:8.000. (1) Tegakan muda
(tekstur halus); (2) tegakan umur sedang (tekstur
sedang); (3) tegakan tua (tekstur besar); (4)
tebangan liar (pola tidak teratur); (5) tebangan
habis (pola teratur mengelompok)
Faktor utama yang mempengaruhi tone adalah kadar air tanah dan
vegetasi. Variasi tone yang disebabkan oleh vegetasi dan kelembaban
tanah berhubungan erat oleh karena pengaruh vegetasi juga disebabkan
oleh pengaruh kadar air yang terdapat padanya. Baik pada potret
panchromatik maupun inframerah, hitam-putih, permukaan yang basah
akan tampak lebih gelap dibandingkan dengan permukaan yang lebih
kering. Tone dari beberapa obyek dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Tone dari beberapa tutupan lahan
Potret
Potret Panchromatik
Jenis Obyek Inframerah
Hitam-Putih
Hitam-Putih
a. Tanah basah gelap gelap
b. Jalan tanah abu-abu terang abu-abu terang
c. Vegetasi rapat abu-abu gelap abu-abu terang
d. Vegetasi jarang abu-abu agak terang abu-abu gelap
e. Rumput kering abu-abu terang abu-abu gelap

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 20


Lokasi relatif terhadap titik utama (principal point) juga mempengaruhi
tone obyek. Pohon-pohon dari jenis yang sama akan tampak berangsur-
angsur lebih gelap pada bagian tepi potret (lebih gelap daripada yang
dekat dengan titik pusat potret). Perlu diketahui bahwa warna dan tone
adalah relatif dan bervariasi di dalam tubuh potret sendiri dan antara
potret lainnya untuk obyek yang sama. Hal ini dapat disebabkan karena
perbedaan pada waktu pemotretan, pencucian maupun pencetakannya.
Tone dari suatu obyek juga dapat bervariasi yang disebabkan karena
pengaruh musim dalam setahun dan posisi matahari terhadap kamera
pada waktu pemotretan. Suatu tubuh air kadang-kadang terlihat putih
(tidak seperti biasanya berwarna gelap) apabila posisi kamera pada waktu
pemotretan menangkap sinar matahari yang dipantulkan oleh tubuh air
bersangkutan.
Pada gambar 1a. (potert udara panchromatic hitam putih) terlihat bahwa
tone air laut dalam tampak gelap (hitam), sementara garis pantai, tanah
kosong terlihat mempunyai tone terang dan vegetasi hutan tampak abu-
abu. Pada gambar 1c, awan tampak putih dan bayangan awan gelap
(hitam).

b. Ukuran

Ukuran dibedakan atas ukuran absolut dan ukuran relatif. Ukuran relatif
obyek diartikan sebagai ukuran obyek bersangkutan dibandingkan dengan
obyek-obyek lainnya. Dalam penafsiran obyek, ukuran-ukuran sangatlah
penting untuk diketahui, karena dengan membandingkan obyek-obyek
yang akan dikenali dengan obyek-obyek yang ada di sekitarnya (yang
masih dalam satu potret) dapat dipakai salah satu faktor penentu jenis
obyek yang bersangkutan. Contoh :
 Ukuran bangunan rumah relatif lebih kecil dibandingkan dengan
bangunan industri/pabrik;
 Ukuran tajuk kayu berdaun lebar relatif lebih besar dibandingkan
dengan tajuk kayu berdaun jarum.
Ukuran absolut suatu obyek juga merupakan suatu unsur penafsiran yang
penting, karena dengan mengetahui skala potret maka analisa tentang
kebenaran ukuran obyek tersebut dapat dilakukan.
Kadang-kadang 3 elemen diagnostik seperti bentuk, ukuran dan lokasi
(site) dikombinasikan dan membentuk istilah “Informasi kontekstual”.
Ukuran umumnya diamati melalui stereoskop. Ukuran absolut relatif

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 21


sangat membantu identifikasi suatu obyek. Pada Gambar 18c (skala 1:
8.000), ukuran individu-individu pohon dalam tegakan tua relatif besar
jika dibandingkan dengan tegakan kelas umur muda yang tampak ada di
tengah-tengah potret. Identifikasi sungai dan jalan yang terekam pada
Gambar 1f juga dengan mudah dilakukan berdasarkan ukuran relatif dan
absolutnya.

c. Bentuk

Bentuk dan ukuran adalah elemen-elemen yang saling berkaitan. Bentuk


pohon sangat penting dalam interpretasi hutan. Tanaman muda berdaun
lebar mempunyai bentuk tajuk yang mirip kerucut, mirip dengan tanaman
konifer. Bentuk tajuk pohon berdaun lebar cenderung berubah dengan
bertambahnya umur pohon. Bagi interpreter, pengetahuan tentang
bentuk-bentuk pohon per jenis pohon menurut umur, lokasi dan waktu.
Bentuk-bentuk obyek di lapangan cukup penting diketahui oleh seorang
penafsir untuk digunakan sebagai pengetahuan penafsiran obyek-obyek
yang terdapat pada potret udara. Obyek-obyek dapat dikenali melalui
bentuk-bentuk obyek yang terdapat pada potret tunggal (dua dimensi)
maupun dengan bantuan stereoskop (tiga dimensi).

Contoh :
 Jalan raya mempunyai bentuk belokan yang relatif lebih tajam
dibandingkan dengan rel kereta api dan sungai (Gambar 18d);
 Bentuk tajuk-tajuk pohon berdaun lebar (hard wood) lebih tidak
teratur dibandingkan dengan tajuk-tajuk conifer (soft wood).
 Bentuk petak-petak sawah tadah hujan akan terlihat berbentuk petak-
petak yang tidak teratur dan tidak mengikuti garis tinggi (kontur).
Sedangkan sawah irigasi akan terlihat berbentuk petak-petak yang
teratur dengan mengikuti garis tinggi. Pada dataran rendah, bentuk
sawah irigasi cenderung berbentuk persegi empat (Gambar 18f).

d. Tekstur

Tekstur merupakan frekuensi perubahan tone pada potret, dihasilkan dari


suatu agregat obyek-obyek yang kecil yang tidak dapat diletakkan satu per
satu. Semakin kecil skala, semakin halus teksturnya. Sebagai contoh,
pada skala 1:5.000, daun dan cabang-cabang mempengaruhi tekstur,
sementara pada skala 1: 10.000 ~ 1: 20.000 individu pohonlah yang
membentuk tekstur.

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 22


Tekstur merupakan ukuran kekasaran (tingkat kekasaran) dari suatu
obyek atau kumpulan suatu obyek yang terekam pada potret udara.
Tekstur dapat dibedakan menjadi beberapa golongan yaitu : sangat halus,
halus, sedang, kasar dan sangat kasar. Pembedaan tekstur tersebut sesuai
dengan kemampuan interpreter dalam menafsir obyek-obyek yang
terdapat pada potret. Permukaan air biasanya mempunyai tekstur yang
sangat halus, padang rumput halus, tanaman jagung sedang, hutan muda
kasar dan hutan tua sangat kasar.
Tingkat kekasaran (tekstur) juga dipengaruhi oleh skala potret
bersangkutan. Bandingkan tekstur hutan yang tampak pada potret udara
skala 1: 20.000 (Gambar 18a ~ 18c) dengan tekstur hutan yang lebih besar
pada potret udara skala 1: 8.000 (Gambar 18d ~ 18f). Tekstur dapat
digunakan untuk menentukan tipe tegakan, tegakan pada kelas umur yang
lebih muda mempunyai tekstur yang lebih halus dibandingkan dengan
tegakan yang lebih tua.
Sama halnya dengan tone, tekstur dari suatu bagian tegakan yang
homogen ada kemungkinan berbeda dengan tekstur pada bagian lainnya
untuk tegakan yang sama. Tekstur suatu tegakan yang terdapat pada
bagian tengah potret akan tampak lebih halus dibandingkan dengan yang
terdapat pada bagian tepi potret untuk tegakan yang sama, hal ini
disebabkan karena posisi pandang dari obyek bersangkutan. Untuk obyek-
obyek yang terletak pada atau dekat dengan titik pusat akan terlihat
penampang bagian atas saja, sedangkan yang terdapat pada bagian tepi
potret akan terlihat dari arah miring (penampang samping dan atas
obyek). Dengan kata lain, perbedaan tersebut disebabkan karena
perbedaan perspektif. Sebagai contoh, tajuk-tajuk pohon yang terdapat
dekat dengan titik pusat akan terlihat relatif lebih bulat dibandingkan
dengan tajuk-tajuk yang terdapat pada bagian tepi potret, akan terlihat
lebih tidak teratur.

e. Bayangan

Apabila bayangan dapat diinterpretasi secara benar maka dapat digunakan


sebagai salah satu indikator penentu jenis obyek. Bayangan suatu obyek
akan memperlihatkan bentuk profil dan ukuran relatif dari obyek
bersangkutan. Di lain pihak, bayangan dapat menyulitkan interpretasi
obyek-obyek di sekitarnya (Perhatikan bayangan awan pada Gambar 18c).
Bayangan pohon tampak lebih jelas pada skala yang lebih besar (1: 8.000
pada Gambar 18d). Perlu diperhatikan antara bayangan dengan relief

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 23


displacement, relief displacement akan selalu radial terhadap nadir
sedangkan bayangan tidak (Gambar 19). Salah satu contoh bentuk profil
bayangan pohon berdaun lebar dan berdaun jarum disajikan pada Gambar
20. Pada analisis citra dijital, bayangan sangat mengganggu hasil analisis.
Bayangan pohon juga dapat digunakan untuk mengukur tinggi pohon.

Gambar 19. Arah dan bentuk bayangan pada potret udara vertikal

Gambar 20. Bentuk profil bayangan pohon berdaun lebar dan berdaun
jarum

f. Pola

Pola merupakan karakteristik makro yang digunakan untuk


menggambarkan susunan spasial dari obyek pada potret, termasuk
pengulangan obyek-obyek alam. Pola ini sangat terkait dengan geologi,
topografi, tanah, iklim dan masyarakat tumbuh-tumbuhan.

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 24


Pola merupakan susunan ruang dari suatu obyek. Pola ada yang
merupakan buatan manusia dan ada yang alamiah. Pola buatan manusia
pada umumnya mudah dibedakan dengan pola alamiah. Buatan manusia
pada umumnya mempunyai pola geometri yang lebih teratur
dibandingkan dengan pola alamiah (Perhatikan pola pemukiman yang
teratur pada Gambar 18b). Sebagai contoh, pemukiman yang secara
sengaja dibuat akan tampak barisan-barisan rumah penduduk dengan
ukuran dan jarak yang relatif seragam, sedangkan perkampungan yang
terbentuk secara alamiah akan terlihat lebih tidak teratur baik ukuran
maupun jarak antara rumah yang satu dengan yang lainnya. Demikian
pula antara hutan tanaman dengan hutan alam akan mempunyai pola
penanaman yang berbeda. Pola adanya penebangan liar yang tidak teratur
dapat teridentifikasi secara jelas pada Gambar 18e.

g. Lokasi dan asosiasi

Lokasi merupakan elemen penting dalam interpretasi, sebagai contoh


lokasi zone pesisir di daerah tropis yang merupakan lokasi dari vegetasi
mangrove, lokasi hutan pantai. Hutan rawa umumnya terdapat di lokasi
dataran rendah. Bentuk dari sungai yang berliku-liku pada umumnya ada
di daerah rawa-rawa.
Pengetahuan tentang lokasi atau letak obyek-obyek di permukaan bumi
sangat membantu untuk memastikan jenis suatu obyek dalam kegiatan
interpretasi pada potret udara. Untuk lebih meyakinkan hasil penafsiran
obyek, juga perlu diketahui hubungan antara obyek yang satu dengan
obyek lainnya (asosiasi). Dalam bidang kehutanan, perlu diketahui
asosiasi biologi apabila untuk tujuan pembuatan peta tipe-tipe vegetasi.
Contoh hutan rawa akan terdapat di dataran rendah, dimana di sela-sela
hutan tersebut akan tampak genangan-genangan air yang merupakan
rawa-rawa daerah bersangkutan. Demikian pula untuk menentukan jenis-
jenis obyek yang lainnya. Interpreter pada umumnya jarang menggunakan
satu unsur dalam penafsiran potret udara. Dengan menggunakan
gabungan dari unsur dengan unsur lainnya, interpretasi suatu obyek lebih
mudah dilakukan.
Asosiasi pada umumnya mempunyai 2 yang berbeda. Dalam konteks
ekologi, asosiasi menyatukan masyarakat tumbuhan dari suatu komposisi
floristik tertentu yang menyajikan kondisi fisiognomi dan pertumbuhan
yang inform/seragam. Dalam konteks lain, asosiasi merupkan keterkaitan
antara keberadaan satu obyek dengan obyek lainnya. Dalam hal ini

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 25


digunakan hubungan korelasi, “hubungan jika  maka”. Contoh: Jika ada
bangunan di atas rel maka bangunan tersebut adalah stasiun. Jika alur-
alur terbuka (jalan) menuju suatu titik (lokasi) itu berarti adalah jalur
pengangkutan kayu dengan kabel.

h. Tinggi

Tinggi pohon kadang-kadang dimasukkan sebagai salah satu elemen


penafsiran, khususnya untuk penafsiran tegakan. Dalam hal ini lebih
cocok diistilahkan dengan “tinggi yang tampak”. Ada banyak faktor yang
mempengaruhi perbedaan pengukuran tinggi pada potret dan di lapangan.
Tidak juga berarti bahwa pengukuran lapangan selalu lebih teliti
dibandingkan dengan pengukuran menggunakan potret udara. Istilah
“ground truth” kadang-kadang menjadi kurang tepat dan “mislteading”.
Dalam pandangan 3-D, topografi dan tinggi pohon umumnya mengalami
“eksagerasi” (pembesaran), dimana sering disebut dengan rasio
eksagerasi (RE) atau rasio penampakan yang dihitung sebagai berikut:

AB AVD
RE= x
H EB
dimana:
EB = air base;
H = tinggi terbang di atas datum;
EB = eye base;
AVD/EB = 1/0,15 = 17/2,6

Dalam penafsiran obyek, selain elemen-elemen kualitatif berupa rona,


tekstur, bentuk dan pola, juga dibutuhkan pengukuran elemen-elemen
kuantitatif dari peubah-peubah tegakan. Salah satu contoh klasifikasi
hutan jati menggunakan elemen-elemen kualitatif dan kuantitatif adalah
sebagaimana disajikan pada Tabel 2.

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 26


Tabel 2. Klasifikasi data lemen interpretasi potret udara
No. Elemen Klasifikasi Kategori
1. Rona (R) a. Cerah 1
b. Kelabu muda 2
c. Kelabu 3
d. Kelabu tua 4
e. Gelap 5
2. Tekstur (T) a. Kasar 1
b. Agak kasar 2
c. Sedang 3
d. Agak halus 4
e. Halus 5
3. Bentuk (B) a. Bulat 1
b. Agak bulat 2
c. Lonjong 3
4. P o l a a. Teratur 1
b. Agak teratur 2
c. Tidak teratur mengelompok 3
d. Tidak teratur menyebar 4
5. Penutupan tajuk (C) a. 0-5% 1
b. 6-20% 2
c. 21-60% 3
d. >60% 4
6. Diameter tajuk (D) a. 0-5 m 1
b. 5-10 m 2
c. 10-15 m 3
d. >15 m 4
7. Tinggi puncak pohon (H) a. 0-10 m 1
b. 11-20 m 2
c. 21-30 m 3
d. > 30 m 4
Sumber: Kunci interpretasi potret udara hutan tanaman jati (Perhutani
& Fahutan IPB, 1995)

Tujuan Praktikum:
1. Untuk mengetahui dan mengimplementasikan tehnik-tehnik
mendiagnose atau mengintepretasi tutupan lahan melalui potret udara
2. Untuk mengetahui dan memahami tehnik menentukan daerah efektif
dan image motion (pergeseran gambar)

B. Metode Praktikum

1. Gunakan lembar plastik transparans kemudian overlaykan dan


lekatkan di atas potret udara, ditempelkan dengan isolasi type.
2. Buat daerah efektif dari masing-masing potret udara yang akan
diinterpretasi (lihat Gambar 21)
a. Hitung endlap dan sidelap

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 27


b. Ukur panjang dan lebar daerah efektif pada tengah-tengah potret
udara

(1-s) fm

(1-e) fm

Gambar 21. Sketsa Daerah Efektif

3. Lakukan interpretasi dan delineasi dibawah stereoskop cermin.


Gunakan elemen-elemen interpretasi yang ada sesuai dengan obyek
yang ada dalam daerah efektif.

e1 e2

M2
M1
m2


m1

Potret kiri Potret kanan

Gambar 22. Sketsa Stereoskop

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 28


4. Hitung pergeseran gambar/image motion dengan rumus :

v.t.f 1
M= = v.t.
Ht fs
Keterangan:
M : image motion dalam mm fs : faktor skala
v : kecepatan pesawat dalam m/detik
t : shutter speed dalam detik
f : panjang fokus dalam mm
Ht : tinggi terbang dalam mm

C. Tugas Praktikum

1. Buat batas-batas daerah efektif pada sepasang potret udara yang


digunakan pada plastik transparansi
2. Hitung luas daerah efektif panjang, lebar dan luas dalam Ha dan
“image motion” jika shutter speed = 1/125 detik
3. Hitung berapa besarnya vertikal eksagerasi yang terjadi.
4. Lakukan interpolasi terhadap tutupan lahan pada daerah efektif.
Berikan penjelasan berdasarkan elemen-elemen penafsiran yang anda
gunakan (mulai dari warna/tone, ukuran, bentuk, tekstur, bayangan,
pola, lokasi dan asosiasi sampai dengan tinggi obyek).

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 29


Materi : VI & VII. PENGUKURAN TINGGI OBYEK

A. Pengantar
Dalam bidang kehutanan, pengukuran tinggi pada umumnya dilakukan
terhadap pohon-pohon untuk tujuan pendugaan potensi tegakan.
Disamping itu, tinggi pohon merupakan komponen yang cukup penting
dalam menentukan struktur tegakan/hutan. Tinggi adalah salah satu
unsur dimensi obyek yang dapat dilihat melalui potret udara dalam
keadaan stereoskopis. Oleh karena itu, pengukuran tinggi obyek pada
potret udara dapat dilakukan. Metode pengukuran tinggi pohon melalui
potret udara dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu : 1) metode bayangan;
metode displacement, dan metode paralaks.
1. Metode Bayangan (Shadow Method)
Pengukuran tinggi pohon dengan metode bayangan ini dilakukan pada
selembar potret, khususnya untuk pohon-pohon yang mempunyai
bayangan. Dengan demikian, metode ini cukup jarang digunakan oleh
karena tidak semua pohon maupun obyek-obyek lainnya yang
mempunyai bayangan.
Pada metode bayangan, peubah-peubah yang perlu diketahui adalah
sudut datang matahari, skala potret atau skala titik pada obyek yang
diamati. Khusus pada daerah-daerah miring, peubah yang juga
menentukan perrhitungan tinggi obyek adalah kemiringan lereng
sepanjang bayangan. Pengukuran dengan metode bayangan ini
digunakaan rumus sebagai berikut :

a. Untuk daerah datar (Gambar 1a), tinggi pohon dihitung


menggunakan rumus (1)

h = b. tg  . fs (1)
dimana :
h = tinggi obyek/pohon;
 = sudut datang matahari;
fs = faktor skala.
b. Untuk daerah miring dimana matahari membelakangi lereng
(bayangan menuruni lereng, lihat Gambar 23), tinggi pohon
dihitung dengan rumus (2):

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 30


h = b. cos  (tg  - tg ) . fs (2)
dimana :
 = kemiringan lereng sepanjang bayangan.
c. Untuk daerah miring dimana arah sinar matahari menghadap lereng
(bayangan obyek menaiki lereng) (Gambar 23c) tinggi pohon diperoleh
dengan menggunakan rumus (3):

h = b . Cos  (tg  + tg ) . fs (3)


Kelemahan lain dari metode bayangan ini adalah perlunya mengetahui
posisi geografis dari lokasi pengukuran (garis lintang dan bujur) serta
waktu pemotretan dilakukan guna mengetahui besarnya sudut datang
matahari. Menurut Spurr (1960), salah satu cara yang paling sederhana
yang dapat digunakan untuk menghitung sudut datang matahari tanpa
harus mengetahui lintang tempat adalah dengan mencari obyek-obyek
yang proyeksi bayangannya (proyeksi matahari) tertutup oleh proyeksi
gambarnya sendiri (proyeksi perspektif lensa) pada potret udara
(Perhatikan Gambar 24). Pada Gambar 24 tersebut tampak pohon T
adalah pohon yang bayangannya tertutup oleh proyeksi gambarnya sendiri
sehingga pada potret bayangannya tidak tampak. Untuk penentuan sudut
datang matahari maka jarak titik T ke titik nadir (N) diukur, selanjutnya
digunakan rumus (4):

f Ht
tgα   (4)
TN TN.fs

dimana :
TN = jarak dari titik T ke titik N pada potret udara;
 = sudut datang matahari;
f = fokus lensa;
Ht = tinggi terbang pesawat di atas titik T.
N = titik nadir
T = titik dimana proyeksi gambarnya menutupi bayangan

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 31


Sinar matahari

(a) 
h

(b)
h

 

h1
b1

(c)
h

h1 
b

Gambar 23. Diagram terjadinya bayangan pada daerah datar (a), lereng
membelakangi arah sinar matahari (b) dan lereng menghadap
matahari (c)

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 32


A N B T

T
N
B
Arah Sinar
Matahari
A

Gambar 24. Karakteristik bayangan dan relief displacement pada potret


udara vertikal

2. Metode Penyimpangan (Displacement Method)


Metode pengukuran tinggi pohon dengan metode displacement
(metode pergeseran topografi/penyimpangan) juga menggunakan
selembar potret. Peubah yang diukur pada potret udara guna
menghitung tinggi pohon adalah panjang proyeksi gambar (image)
obyek bersangkutan pada potret udara serta jarak obyek tersebut dari
titik nadir (bukan panjang bayangan obyek yang merupakan hasil
proyeksi matahari). Untuk membedakan antara displacement
(proyeksi image) dengan bayangan maka perlu diingat prinsip dari

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 33


relief displacement yaitu radial terhadap titik nadir. Sedangkan
bayangan tidak selalu radial terhadap titik nadir.
Penggunaan metode ini cukup sederhana dan relatif mudah dilakukan.
Akan tetapi kelemahan dari metode displacement ini adalah tidak
dapat melakukan pengukuran panjang pergeseran/displacement
obyek secara teliti. Metode ini hanya dapat digunakan pada obyek-
obyek yang pangkal dan puncak obyek tersebut terlihat pada potret
udara (Gambar 25). Rumus yang digunakan untuk menghitung tinggi
menggunakan rumus (5)

d.Ht
h (5)
r
dimana :
h = tinggi pohon (m);
d = panjang image (displacement) (mm);
r = jarak dari titik nadir ke puncak obyek yang diukur (pada
Gambar ... sama dengan oa untuk proyek A; (mm)
Ht = tinggi terbang di atas pangkal pohon (obyek) yang diukur (m)

b
d
r

Gambar 25. Prinsip relief displacement pada potret udara

3. Metode Paralaks (Parralax Method)


Metode ini pada hakekatnya sama dengan metode displacement, hanya
saja pada metode paralaks menggunakan sepasang potret (dalam
kondisi stereoskopis). Prinsip metode paralaks ini merupakan

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 34


gabungan dari prinsip pada metode displacement. Pada metode
paralaks digunakan alat bantu untuk mengukur beda paralaks yang
disebut paralaks meter atau paralaks bar. Alat tersebut mempunyai
ketelitian yang cukup tinggi yaitu 0,01 mm, oleh karena itu hasil
perhitungan tinggi pohon dengan metode paralaks ini cukup teliti.
Secara matematis rumus untuk menghitung tinggi pohon dengan
metode paralaks ini dapat dinyatakan dengan rumus (6):

ΔPBA ΔPBA
hBA  .Ht  .Ht (6)
PA ΔPBA  PB

dimana :
hBA = tinggi pohon (beda tinggi titik A dan B (~ pangkal dan puncak
pohon);
PBA = beda paralaks antara titik A dengan B (pangkal dan puncak
pohon);
Ht = tinggi terbang di atas titik B (pangkal pohon/obyek).
PA = paralaks absolut titik A (puncak pohon);
PB = paralaks absolut titik B (pangkal pohon);
h = tinggi pohon;
P = beda paralaks;
P = paralaks absolut datum (fotobase rata-rata)
Untuk tujuan praktis, bagi daerah-daerah yang relatif datar rumus
pengukuran tinggi pohon dengan metode paralaks dapat
disederhanakan menjadi (rumus 7) :
P
h  Ht (7)
P  P

dimana :
P = paralaks absolut titik pangkal pada ketinggian rata-rata (datum)
(mm) (bisa menggunakan panjang basis foto rata-rata);

P = beda paralaks antara pangkal dan puncak pohon (mm) ;


Ht = tinggi terbang pesawat di atas permukaan datum (m);
h = tinggi pohon (m).

Rumus tersebut digunakan pada daerah-daerah datar dimana semua


pohon (pangkal pohon terletak pada permukaan tanah rata-
rata/datum). Dengan demikian, paralaks absolut titik pangkal sama
dengan paralaks datum atau foto base rata-rata. Menurut Smith (1976),
rumus tersebut di atas masih dapat dipergunakan bagi daerah-daerah
bergelombang dimana perbedaan letak/kedudukan pangkal pohon
dengan tinggi terbang pesawat di atas datum tidak melebihi 2 %. Jika

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 35


rumus tersebut dipergunakan untuk perbedaan letak yang melebihi 2 %,
maka hasil perhitungan yang diperoleh akan menghasilkan kesalahan
yang cukup besar.
Pada kegiatan praktis, kadangkala informasi tentang tinggi terbang
pesawat dari permukaan datum (Ht) tidak tersedia. Tinggi pohon dapat
pula dihitung berdasarkan informasi panjang fokus, jarak sembarang
titik di potret dan di peta lokasi yang sama. Rumus tersebut diturunkan
dengan memsubstitusi Ht, dengan f.fsf sebagai berikut:

P
h  .H t
P  P
P H
 f. t
P  P f
P
 f .fsf
P  P
P JR p .fs p
 f. (mm)
P  P JR f

atau
P JR p .fsp
h .f . (m) (8)
P  P 100JR f

dimana:
f = panjang fokus kamera (mm);
JRf = jarak sembarang titik di potret (mm);
JRp = jarak sembarang titik di peta (mm);
Jsp = faktor skala peta
Paralaks Barr dan Paralaks Wedge
Seperti yang telah disebutkan terdahulu, pada metode paralaks ini
digunakan alat paralaks meter. Pada paralaks meter terdapat sepasang
plat kaca yang mengandung 3 macam titik apung (floating mark). Pada
keadaan stereoskopis, titik apung (foating point) pada paralaks meter
tersebut akan tampak mengapung dan dapat digerakkan naik atau
turun yaitu dengan memutar skala mikrometer (nonius) ke arah
putaran jarum jam atau berlawanan dengan arah putaran jarum jam.
Titik apung tersebut berfungsi untuk mengetahui posisi ketinggian
suatu titik yang diukur. Skala pada paralaks meter terdiri atas dua
bagian yaitu skala milimeter yang mempunyai ketelitian 1 mm dan skala
mikrometer (nonius) dengan ketelitian 0,01 mm. Bagian lain yang
terdapat pada paralaks meter adalah plotter yang berfungsi untuk
mentransfer detail-detail pada potret yang diamati.

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 36


Alat lain yang juga dipergunakan untuk mengukur beda paralaks dalam
penentuan tinggi atau beda tinggi adalah paralaks wedge. Alat ini
disajikan dalam transparan overlay dengan ketelitian 0,001 inchi
(Gambar 47), Baji (wedge) yang dimaksud pada alat ini adalah dua buah
garis yang mempunyai slope yang sama tetapi arah yang berlawanan
sehingga apabila kedua garis tersebut diperpanjang akan berpotongan
antara satu dengan lainnya. Untuk pengukuran beda paralaks dengan
paralaks wedge dilakukan dalam keadaan stereoskopis, sehingga untuk
suatu titik tertentu garis-garis pada paralaks wedge akan tampak saling
berpotongan. Pembacaan paralaks wedge dilakukan pada perpotongan
kedua garis tersebut. Selisih pembacaan skala paralaks tersebut adalah
beda paralaks antara dua titik yang diukur.
Pada daerah-daerah berbukit (pegunungan), dimana kedudukan
pangkal pohon dengan datum melebihi 2 % terhadap tinggi terbang
maka letak titik pangkal tersebut harus diketahui (perhatikan Gambar
5.10). Pada gambar tersebut diperlihatkan pohon A, B dan C terletak
pada ketinggian yang relatif berbeda (asumsi perbedaan tersebut lebih
besar dari 2 %), maka untuk pohon A dipergunakan HA (lebih besar dari
HB dan HC), demikian pula untuk pohon B menggunakan HB dan pohon
C menggunakan HC sebagai substitusi Ht pada rumus metode paralaks
yang telah disebutkan terdahulu. Untuk pohon D menggunakan HD (HD
= HB = Hdatum) sedangkan pohon C menggunakan HC yang sama dengan
HA.
Selanjutnya tinggi terbang dari masing-masing titik dapat dihitung
dengan rumus 9, 10 dan 11.

Pdat  H dat
HA  (9)
PA

Pdat  H dat
HC  (10)
PC

dan

Pdatum .H datum
HB  (11)
PB

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 37


Dengan mensubstitusi rumus pengukuran tinggi pohon dengan metode
paralaks (h = P . Ht / (P + P)), dengan rumus-rumus tersebut di atas
maka diperoleh :

hA 
P  H A

P Pdat  H dat   P  H A
PA  P PA  P  PA Pdat  H dat / H A   P (12)

Demikian pula untuk pohon C dapat dihitung dengan rumus sebagai


berikut :

P  H C
hC 
Pdat  H dat / H C   P (13)

Penentuan letak pangkal pohon dapat dilakukan dengan menggunakan


rumus paralaks berdasarkan titik lain yang telah diketahui tingginya,
atau dengan menggunakan peta planimetri (kontur). Berdasarkan titik
B (yang terletak pada datum), titik pangkal pohon A dan C dapat
dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 38


PBC
TBC   H dat (14)
Pdat  PBC

dan

PBA
TBA   H dat (15)
Pdat  PBA

dimana :
TBC, TBA = beda tinggi titik B dengan titik C dan titik A;
PBC , PBA = beda paralaks antara titik B dengan C dan A (selisih
paralaks absolut kedua titik tersebut);
Pdat = paralaks absolut titik B yang terletak pada datum
(paralaks datum)
Hdat = tinggi terbang pesawat di atas datum.

Tujuan :
Praktikum ini bertujuan untuk memahami dan melatih mahasiswa dalam
1. mengukur tinggi pohon dan tinggi tegakan menggunakan metode yang
tersedia, khususnya metode displacement dan metode paralaks
2. Mengukur ketinggian suatu titik menggunakan potret udara

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 39


B. Metode
1. Metode Displacement
a. Letakkan potret udara pada meja sinar
b. Pilih beberapa pohon (minimal 5 pohon) yang akan diukur dengan
metode displacement. Pilih pohon-pohon yang agak jauh dari titik
pusat potret supaya diperoleh displacementnya relatif besar dan
mudah diukur
c. Ukur peubah-peubah panjang displacement (image) dan jarak dari
titik utama (r) (lihat Gambar 26)

Gambar 26. Panjang displacement (image)


Buat tabel hasil pengukuran :
No. Pohon d r
1.
2.
3.
4.
5.

d. Hitung tinggi pohon/tegakan

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 40


2. Metode Paralaks
a. Letakkan sepasang potret dibawah stereoskop dalam kondisi 3-
Dimensi
b. Pilih minimal 5 pohon untuk diukur tingginya
c. Ukur beda jarak (puncak dan pangkal pohon) dengan paralaks mater,
minimal 2 kali ulangan
d. Buat tabel hasil pengukuran

Beda paralaks pangkal dan puncak***


No. P** H**
dP1 dP2 dP3 rata-rata
1
2
3
4
5
*) : Paralaksabsolut pangkal pohon
**) : Tinggi terbang di atas pangkal pohon
***) : dP1, dP2 dan dP3 merupakan harga mutlak selisih ........ awal dan
akhir dari paralaks bar
e. Hitung tinggi pohon
3. Hitung Tinggi Titik
a. Pilih sembarang titik (minimal 5) pada daerah efektif
b. Ukur paralaks absolutnya
c. Hitung fungsi ke lima titik tersebut berdasarkan salah satu titik yang
diketahui (misalnya diasumsikan titik pusat potret kanan sama
dengan ketinggian datum)

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 41


Materi : VIII. PENGUKURAN KEMIRINGAN
LERENG (Slope)

A. Pengantar

Di bidang kehutanan, pengukuran kemiringan areal perlu dilakukan


terutama dalam:

 Menyusun rencana pembuatan jalan,


 Rencana logging (pembalakan),
 Survey Daerah Aliran Sungai (DAS),
 Pengendalian erosi dan sebagainya.
Kemiringan lereng dapat dinyatakan dengan :

 Persentase,
 Gradien atau sudut kemiringan lereng (derajat),

Rumus pengukuran Kemiringan Lereng (Slope) :

beda tinggi (1)


Slope (%)  100%  tg  100%
jarak datar

dimana :  = sudut kemiringan


Slope lereng 100% berarti mempunyai sudut kemiringan 45o atau gradien
1 (1 : 1). Pengukuran kemiringan lereng di lapangan dapat dilakukan
dengan alat :

 Clinometer,

 Abney level,

 Hypsometer Sounto,

 Haga, Blumeleiss dan alat-alat sejenis lainnya.


Pada peta topografi dapat diukur langsung melalui garis kontur yang
terdapat didalamnya.

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 42


Pengukuran slope pada potret udara pada hakekatnya sama dengan
pengukuran slope di lapangan dan atau pada peta topografi, yaitu melalui
pengukuran beda tinggi dan jarak datar antara dua buah titik yang diukur.

Beda Tinggi

Sedangkan beda tingginya dapat dihitung menggunakan rumus paralaks


sebagai berikut :

h ij (2)
h ij   Hi
Pi  Pij

dimana :
 hij = beda tinggi antara titik i dengan j (m);
 Pij = beda paralaks antara titik i dengan j (mm);
Pi = paralaks absolut titik i (mm);
Hi = tinggi terbang pesawat di atas titik i (m).

Jarak Datar

Pengaruh relief displacement pada potret udara menyebabkan jarak datar


antara dua buah titik yang mempunyai elevasi berbeda pada potret tidak
sama dengan garis yang menghubungkan kedua titik tersebut. Secara
skematis pengaruh topografi pada pengukuran jarak datar disajikan pada
Gambar 27.
Sifat relief, relief displacement pada potret udara radial terhadap titik
nadir, dimana titik-titik yang terletak di atas datum akan diproyeksikan
menjauhi nadir dan sebaliknya yang terletak di bawah datum akan
diprroyeksikan mendekati nadir. Sifat-sifat displacement tersebut dapat
digunakan untuk menentukan jarak datar antar titik-titik yang
mempunyai elevasi yang berbeda pada potret udara.

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 43


L2
L1 L’2

c’
a2
c b1 o’2 b2 o2
o1 a1

A
o C datum
O1 O2

a1c’c ~ ABC

Gambar 27. Prinsip Proyeksi Sentral pada Potret Udara dalam Penentuan
Jarak Datar
Keterangan :
ac = jarak datar titik a dengan titik b pada potret (jarak di lapangan
dibagi dengan faktor skala potret).

Tujuan :

Praktikum ini bertujuan untuk memahami dan melatih mahasiswa dalam


mengukur kemiringan lereng (slope) melalui potret udara.

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 44


B. Metode

Pengukuran kemiringan lereng menggunakan rumus :

beda tinggi (3)


Slope (%)  100%  tg  100%
jarak datar

dimana :  = sudut kemiringan

Pengukuran Jarak Datar


Pengukuran jarak datar antar titik-titik yang mempunyai elevasi yang
berbeda pada potret udara dilakukan menggunakan sifat-sifat dari relief
displacement.

Tahapan pengukuran :
a. Lakukan orientasi 3 Dimensi dari sepasang foto udara
b. Letakkan plastik transparan diatas foto udara
c. Buat foto base foto kiri dan foto kanan
d. Gambarkan Daerah Efektifnya
e. Tentukan 2 titik yang akan diukur kemiringan lerengnya pada daerah
efektif.
f. Beri simbol titik A untuk daerah lembah dan B untuk puncak bukit
pada foto kiri
g. Pindahkan titik-titik tersebut pada potret kanan dan beri simbol A’
dan B’ masing-masing untuk pindahan titik A dan B
h. Pada foto kiri buat garis dari titik A dan B ke titik P1 dan pada foto
kanan buat garis dari titik A’ dan B’ ke titik P2
i. Ambil plastik transparan pada foto kanan dan himpitkan ke foto kiri
dengan cara :
 Titik A dihimpitkan dengan titik A’
 Titik P1 dihimpitkan dengan titik P1’
 Titik P2 dihimpitkan dengan titik P2’
 Perpotongan antara titik B dan B’ beri simbol titik C
j. Ukur jarak dari titik A ke titik C
k. Jarak AC merupakan jarak datar.
l. Perhatikan Gambar 28.

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 45


b1 b2
a1
a2

P1 P2
P’2 P’1

Potret kiri Potret kanan

Dipindahkan pada kertas


transparan dan selanjutnya
dihimpitkan

Jarak datar titik a b2 b1


dan b
a c

P1P’1 P’2P2

Gambar 28. Skema penentuan jarak datar pada potret udara vertikal

Pengukuran beda tinggi


Pengukuran beda tinggi antara titik A dan B dapat dihitung menggunakan
rumus paralaks seperti yang dilakukan pada praktikum pengukuran tinggi
yaitu :

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 46


h ij
h ij   Hi (4)
Pi  Pij

dimana :
 hij = beda tinggi antara titik A dengan B (m);
 Pij = beda paralaks antara titik A dengan B (mm);
Pi = paralaks absolut titik A (mm);
Hi = tinggi terbang pesawat di atas titik A (m).

Lakukan tahapan 1 dan 2 untuk beberapa tempat yang diukur


kemiringan lerengnya

Pengukuran kemiringan lereng menggunakan slope templets.


Slope templet merupakan alat pengukuran slope berbentuk transparansi
yang didalamnya terdapat skala-skala tertentu .
Cara penggunaannya :

 Slope templet diletakkan (di-superimpose-kan) di atas potret yang


mengandung titik-titik yang akan diukur slopenya.
 Skala panjang fokus yang digunakan pada templet disesuaikan (atau
dipilih yang mendekati sama) dengan skala potret udara yang
digunakan.
 Skala panjang fokus yang digunakan tersebut diletakkan sedemikian
rupa sehingga melalui kedua titik yang akan diukur, sedangkan garis
yang tegak lurus dengan skala panjang fokus tersebut melalui titik pusat
potret (Gambar 29).

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 47


C1 1
C21
C31
C41
C 51
C61
C71
C81

Q tb
ta

Gambar 29. Skema posisi slope templets pada saat pengukuran slope
antara titik A & B

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 48


 Selanjutnya, hasil pembacaan skala slope templets tersebut dimasukkan
ke dalam rumus berikut :
2
P U2
Cotg   ( t A  t B ) A  t A 
PAB c2 (5)

dimana :
 = sudut kemiringan antar titik A dan B;
tA, tB = hasil pembacaan pada skala panjang fokus ke titik A dan titik B;
PA = paralaks absolut titik A;
 PAB = beda paralaks antar titik A dan B;
U = hasil pembacaan skala (jarak) dari titik pusat potret ke skala
panjang fokus yang digunakan;
c = panjang fokus yang digunakan.

Keterangan :
c1, c2 ... c8 = skala panjang fokus yang akan dipilih (disesuaikan
dengan panjang fokus pada potret udara yang
digunakan);
QA = tA ; QB = tB = hasil pembacaan skala pada skala panjang fokus yang
digunakan;
PQ = U = jarak dari titik pusat potret (P) ke skala panjang fokus
yang digunakan (Q).

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 49


Materi : IX. PENGUKURAN PEUBAH-PEUBAH
TEGAKAN DAN PENDUGAAN
POTENSI TEGAKAN

A. Pendahuluan

Di bidang kehutanan pendugaan potensi hutan selain dilakukan secara


teristris juda dapat dilakukan melalui foto udara. Parameter-parameter
tegakan yang bisa dilihat dan diukur pada potret udara adalah tinggi
pohon, jumlah pohon per satuan luas, diameter tajuk pohon, dan
persentase penutupan tajuk dan atau vegetasi.

A.1. Jumlah Pohon Per Satuan Luas


Untuk pohon-pohon muda (permudaan), penghitungan jumlah
pohon per ha biasanya dilakukan dengan menghitung jumlah baris
per cm dan jumlah pohon per baris, keteraturan letak pohon-pohon
pada potret memudahkan penaksiran jumlah pohon-pohon tersebut
per satuan luas.
Pada tegakan-tegakan yang sudah tua dan atau pada hutan-hutan
alam, sebaran letak pohon-pohon tersebut tidak beraturan. Oleh
karena itu, jumlah pohon-pohon yang terlihat dihitung dengan
bantuan plot-plot berbentuk lingkaran atau persegi yang tergambar
pada transparant overlay (Gambar 30).
Ukuran plot-plot pada transparant sudah tertentu dan luas plot di
lapangan adalah hasil perkalian antara luas plot dengan faktor skala
kuadrat. Untuk tujuan praktis, ukuran plot dibuat antara 0,1 - 1,0 ha
dan dibuat untuk berbagai skala.
Masalah-masalah yang biasanya dijumpai pada penghitungan jumlah
pohon adalah :
 batas-batas plot yang kurang jelas, untuk menentukan mana
pohon-pohon yang termasuk dan tidak termasuk dalam plot;
 untuk pohon-pohon bertajuk kecil, dan atau lebih tajuk pohon
kadang-kadang dihitung satu pohon;
 untuk pohon-pohon bertajuk lebar dengan cabang-cabang yang
banyak (seperti jati), satu pohon kadang-kadang dihitung menjadi
dua atau lebih karena tampak seperti dua pohon atau lebih.

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 50


Gambar 30. Bentuk plot-plot contoh pada transparant overlay
Dua hal yang mempengaruhi ketelitian dalam penghitungan jumlah
pohon-pohon dalam tegakan adalah :
1. skala potret udara dan
2. kerapatan tegakan.
Pada umumnya pohon-pohon yang tidak terhitung pada potret udara
adalah pohon-pohon berdiameter kecil, dan oleh karena itu
perbedaan hasil penghitungan di potret dengan di lapangan tidak
menyebabkan perbedaan volume yang besar. Paine (1958) yang
melakukan pengamatan pada potret panchromatic skala 1 : 9.600
memperoleh perbedaan hasil sebesar 19,3 % dari pengamatan
langsung di lapangan (untuk penghitungan jumlah pohon),
sedangkan untuk volume tegakan hanya diperoleh perbedaan sebesar
2,3 %.

A.2. Persentase Penutupan Tajuk


Persentase penutupan tajuk didefinisikan sebagai persentase areal
yang tertutup oleh proyeksi vertikal tajuk-tajuk pohon. Namun
demikian, perlu diberikan penjelasan tentang tajuk pohon yang
dimaksud (pohon dominan, kedominanan ataupun tajuk seluruh
vegetasi hutan). Definisi tersebut seyogyanya didasarkan pada
parameter-parameter yang digunakan dalam mencapai tujuan yang
diharapkan.
Sebagai contoh, apabila penaksiran persentase penutupan tajuk
dalam kaitannya dengan penaksiran keadaan hutan, maka persentase
penutupan tajuk yang dimaksud adalah persentase penutupan tajuk
oleh semua pohon-pohon yang terlihat pada potret udara.

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 51


Sedangkan apabila tujuan penaksiran persentase penutupan tajuk
dalam kaitannya dengan penaksiran volume tegakan, maka hasil
yang diperoleh akan mendekati kebenaran jika hanya memperhati-
kan penutupan tajuk oleh pohon-pohon yang mempengaruhi volume
tegakan. Penaksiran persentase penutupan tajuk sangat lebih
subyektif dibandingkan dengan pengukuran tinggi pohon dan
diameter tajuk melalui penafsiran potret udara.
Sedangkan apabila tujuan penaksiran persentase penutupan tajuk
dalam kaitannya dengan penaksiran volume tegakan, maka hasil
yang diperoleh akan mendekati kebenaran jika hanya memperhati-
kan penutupan tajuk oleh pohon-pohon yang mempengaruhi volume
tegakan. Penaksiran persentase penutupan tajuk sangat lebih
subyektif dibandingkan dengan pengukuran tinggi pohon dan
diameter tajuk melalui penafsiran potret udara. Dalam kaitannya
dengan penaksiran volume pohon dan atau volume tegakan,
persentase penutupan tajuk yang diperhatikan adalah persentase
penutupan tajuk oleh pohon-pohon yang menentukan volume pohon
atau tegakan. Untuk keperluan tersebut, perlu diketahui luas
penutupan tajuk dari pohon-pohon bersangkutan. Dengan
demikian maka parameter yang dapat diukur langsung pada potret
udara guna menaksir luas penutupan tajuk adalah
 Diameter tajuk yang dapat dilihat (visible crown diameter/VCD).
 Tinggi tegakan dan penutupan tajuk merupakan variabel terbaik
guna penaksiran volume tegakan, akan tetapi penambahan
variabel VCD tidak menyebabkan perbaikan hasil penaksiran yang
nyata (Paine, 1981).

A.3. Diameter Tajuk


Pada dasarnya, pengukuran diameter tajuk sama dengan pengukuran
jarak. Diameter tajuk di lapangan dapat dicari dengan mengalikan
diameter tajuk hasil pengukuran di potret dengan faktor
skala. Beberapa penyimpangan terhadap prosedur pengukuran
diameter adalah :
 ukuran tajuk di potret yang terlalu kecil,
 pengaruh bayangan dan atau relief displacement

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 52


Beberapa macam alat pengukur diameter tajuk adalah :
 micrometer wedge, ada yang terdiri atas serangkaian garis-garis
sejajar yang dilengkapi dengan skala dan ada tipe yang terdiri atas
sepasang garis yang membentuk sudut lancip (Gambar 31);
 crown diameter scale, terdiri atas serangkaian titik-titik (bulatan-
bulatan) dengan berbagai ukuran (Gambar 31).

Gambar 31. Alat-alat pengukur diameter tajuk pohon pada potret


udara yang disajikan dalam bentuk transparant overlay
Baik micrometer wedge maupun crown diameter scale disajikan
pada transparant overlay.

Tujuan Praktikum
Praktikum ini bertujuan untuk memahami dan melatih mahasiswa dalam :
Melakukan pendugaan potensi tegakan melalui potret udara.

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 53


B. Metode Praktikum

1. Pembuatan plot-plot contoh pada daerah efektif. Buat minimal 10


plot contoh dan masing-masing plot diukur tinggi dan diameter tajuk
minimal 5 pohon, persentase penutupan tajuk dan jumlah pohon.
Letakkan plastik transparan di atas foto, dan buat plot-plot
berukuran 0,5 x 0,5 cm, secara purposive.
2. Pengukuran peubah-peubah parameter-parameter tegakan:
 Tinggi pohon
 Jumlah pohon per satuan luas;
 Diameter tajuk pohon;
 Persentase penutupan tajuk dan atau vegetasi.

3. Penghitungan peubah-peubah tinggi pohon, jumlah pohon per


satuan luas, diameter tajuk pohon, dan persentase penutupan tajuk:
a. Tinggi pohon
Metode pengukuran tinggi pohon dapat menggunakan
(metode displacement atau metode paralaks)
b. Jumlah pohon per satuan luas
Penghitungan jumlah pohon pada tiap-tiap plot dilakukan
beberapa kali ulangan (minimal 3 kali ulangan), dan prosedur
penghitungan jumlah pohon tersebut adalah :
 Plot ke-i (Pi) dihitung sampai ke-n kali dan didapatkan hasil
Pi1, Pi2, ...,Pin (minimal n = 3)

Rata-rata jumlah pohon pada plot Pi = Pi1 + Pi2 + ... + Pin


n
 Pada plot-plot berikutnya, misalnya Plot ke-2 (P2) diperoleh
hasil P21, P22, ..., P2n

Rata-rata jumlah pohon pada plot P2 = P21 + P22 + ... + P2n


n
 Dan seterusnya sampai plot ke-N (PN) diperoleh hasil
penghitungan sebesar PN1, PN2, ..., PNn

Rata-rata jumlah pohon pada plot PN = PNI + PN2 + ... + PNn


n

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 54


 Rata-rata jumlah pohon per plot (P) = P1 + P2 + ... + PN
N
c. Persentase Penutupan Tajuk

Ukur penutupan tajuk minimal 3 kali ulangan dari setiap plot.


Pada praktikum ini persentase penutupan tajuk yang diukur
adalah persentase penutupan tajuk oleh pohon-pohon yang
mempengaruhi volume tegakan. Metode yang dapat dipakai
untuk menghitung persentase penutupan tajuk yaitu :
1. Oculer estimation, satu cara yang paling sederhana
untuk mensistematiskan penafsiran secara okuler adalah
dengan mengajukan pembagian secara berturut-turut dan
interpreter mengajukan serangkaian pertanyaan-pertanya-
an. Misalnya dalam suatu plot pengamatan apakah
persentase penutupan tajuknya lebih atau kurang dari 50%
? Jika lebih, apakah lebih besar atau lebih kecil dari 75 %.
Jika lebih kecil, apakah mendekati 55% atau 65% ?
Pembagian secara berturut-turut tersebut untuk
mempersempit pilihan sehingga hasil yang diperoleh
mendekati kebenaran.
2. Tree cramming (penjejalan pohon). Metode ini
memerlukan latihan mental untuk memindahkan pohon-
pohon yang tersebar secara tidak teratur di dalam plot
menjadi satu kelompok, sehingga persentase penutupan
tajuk tersebut dapat diduga dengan kesalahan yang relatif
kecil. Metode ini sangat baik apabila letak pohon-pohon
dalam plot tidak beraturan atau membentuk suatu
rumpun/bergerombol.
Tahap-tahap kegiatan dalam metode ini adalah sebagai
berikut :
 Plot dibagi menjadi beberapa bagian (biasanya menjadi
empat bagian) dengan berorientasi kepada
rumpun/kelompok pohon dalam plot;
 Secara okuler, pindahkan pohon-pohon yang terpencar
untuk memenuhi bagian-bagian gap yang terdapat dalam
rumpun;

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 55


 Jika semua pohon telah terlihat menjadi satu rumpun
tanpa ada gap, maka selanjutnya dapat ditaksir
persentase penutupan tajuknya (Gambar 32).
Metode ini lebih mudah dilakukan pada pohon-pohon yang
membentuk rumpun dibandingkan pohon-pohon tersebut
tersebar merata di dalam plot.

Gambar 32. Prosedur penaksiran persentase penutupan tajuk


dengan metode tree cramming

d. Diameter Tajuk

 Ukur diameter tajuk minimal 5 pohon per plot


 Pengukuran diameter tajuk dilakukan dalam keadaan
stereoskopis dengan bantuan stereoskop.
 Untuk tajuk-tajuk pohon yang bentuknya beraturan
(berbentuk bulat) diameter tajuknya dapat diukur dengan
crown diameter scale, karena pengukuran cukup dilakukan
satu kali.
 Bagi pohon-pohon yang terletak jauh dari titik nadir maka
diameter tajuk yang diukur adalah yang tegak lurus
terhadap garis radial dari nadir sampai ke puncak pohon.
 Sedangkan apabila bentuk tajuk pohon tidak beraturan,
maka diameter tajuknya diukur dengan micrometer wedge

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 56


dimana pengukuran dilakukan dua kali dan saling tegak
lurus (Gambar 33). Diameter tajuk pohon di potret
bersangkutan adalah rata-rata dari hasil pengukuran
tersebut di atas.

Tajuk
pohon

Micrometer
wedge

Gambar 33. Cara pengukuran diameter tajuk pohon yang tidak beraturan

Untuk mengurangi pengaruh relief displacement dan tilt displacement,


pengukuran dilakukan terhadap pohon-pohon yang terdapat di daerah
efektif atau dekat dengan titik pusat potret (principal point).
Pengukuran diameter tajuk pohon yang mempunyai bayangan dimana
bayangan tajuk tersebut overlap dengan proyeksi tajuknya sendiri
dilakukan terhadap diameter tajuk yang posisinya tegak lurus dengan
arah bayangan. Apabila diameter tajuk yang searah dengan arah
bayangan diukur, maka sulit menentukan batas dari diameter tajuk
bersangkutan karena pengaruh bayangan. (Gambar 34.).

Gambar 34. Pengukuran diameter tajuk bagi pohon-pohon yang ada


bayangannya

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 57


Penaksiran persentase penutupan tajuk melalui pengukuran
diameter tajuk dan Jumlah Pohon.

Tahap-tahap kegiatan pengukuran diameter tajuk dalam rangka


penaksiran persentase penutupan tajuk adalah sebagai berikut :
 Letakkan plot-plot contoh secara acak pada daerah efektif potret yang
diamati;
 Pada setiap plot contoh diamati diameter tajuk setiap pohon yang
terlihat (pengamatan dilakukan dalam keadaan stereoskopis);
 Masing-masing tajuk pohon yang terlihat diukur dua kali dari arah
yang saling tegak lurus;
 Hitung rata-rata diameter tajuk per pohon, per plot dan seluruh plot;
 Sajikan hasil pengukuran dalam bentuk tabel 2.
 Hitung rata-rata luas penutupan tajuk per pohon dengan rumus :

L = 1/4  D2 fs2
dimana :
L= rata-rata luas penutupan di lapangan;  = 3,14; D= diameter tajuk
rata-rata di potret; fs = faktor skala potret yang digunakan

 Rata-rata luas penutupan tajuk per plot diperoleh dari hasil kali antara
rata-rata luas penutupan tajuk per pohon dengan rata-rata jumlah
pohon per plot dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Lt = L . P
dimana :
Lt = rata-rata luas penutupan tajuk per plot;
P = rata-rata jumlah tajuk/pohon per plot.

 Rata-rata luas penutupan tajuk per ha (Lh) merupakan hasil kali antara
rata-rata luas penutupan tajuk per pohon dengan rata-rata jumlah
tajuk pohon per ha (B):

Lh = L . B

 Persentase penutupan tajuk pohon adalah hasil bagi antara luas


penutupan tajuk dengan luas plot :

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 58


Lt
Pt  100%
Lp

dimana :
Pt = persentase penutupan tajuk;
Lp = luas plot di lapangan.
Tabel 1. Bentuk penyajian data hasil pengukuran jumlah tajuk pohon dan
percentase tutupan tajuk (C) setiap plot pada potret udara
Jumlah tajuk setiap Persentase Rata-
Jumlah tajuk pohon plot (rata-rata Tutupan rata (H)
No. hasil hitungan (N) ke : hitungan ke- 1, 2, dan Tajuk C (%) (m)
Plot 3) (N) Ke:
1 2 3 1 2 3
1

10
Jumlah
Rata-rata jumlah tajuk per plot
Rata-rata jumlah tajuk per ha

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 59


Tabel 2. Bentuk penyajian data hasil pengukuran diameter tajuk melalui potret
udara
Hasil Pengukuran Rata-rata
Diameter tajuk Diameter tajuk diameter tajuk Tutupan
Pohon ke- rata-rata pohon pada plot ke-i Jumlah
Plot Tajuk
j dalam ke-j dalam plot (Di) = pohon
ke-i (6) x
plot ke-i dj1 dj2 ke-i (dj) = m (Tabel 1)
(7)/LP
(dj1 + dj2) / 2  dj /m
j1
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1 1 ... ... ...
2 ... ... ...
. ... ... ...
m ... ... ...
2 1 ... ... ...
2 ... ... ...
. ... ... ...
m ... ... ...
3 1 ... ... ...
2 ... ... ...
. ... ... ...
m ... ... ...
n 1 ... ... ...
2 ... ... ... ... ... ...
.
m ... ... ...
n
 di / n
...
Rata-rata diameter tajuk seluruh plot (D) = i 1

Keterangan : LP = Luas plot = 0.5 x 0.5 x fs


Jika fs. 1:20000, maka LP = 10000 m2

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 60


Tabel 3. Rekapitulasi hasil pengukuran peubah-peubah tegakan

Rata-rata
Plot
Cd Cl H D N
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Cd = Pengukuran penutupan tajuk dengan pendekatan diameter dan N
Cl = Pengukuran penutupan tajuk secara langsung

Pendugaan Potensi Tegakan


Pendugaan potensi tegakan dihitung melalui beberapa metode sebagai
berikut :
A. Metode pengukuran lapang
1. Hitung Volume Pohon plot ke-i (Vi) dengan asumsi perbandingan
diameter batang dan tajuk adalah 1:8 (hutan daun jarum) dan 1:20
untuk hutan daun lebar
Untuk daun jarum

Vi = ¼  (1/8DTj)2. Hi.Ni.f

Untuk daun lebar

Vi = ¼  (1/20DTl)2. Hi.Ni.f

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 61


dimana : f = angka bentuk = 0.7; DTj = diameter tajuk pada daun
jarum; DTl = diameter tajuk pada daun lebar; Ni = jumlah pohon pada
plot ke-i; Hi = rata-rata tinggi pohon pada plot ke-i; dan n = jumlah
plot

2. Hitung Rata-Rata Volume Pohon per Plot dengan rumus :


n

Vi
V i 1

n
3. Hitung Potensi Tegakan dengan rumus :

V
P
L
Keterangan :
Vi = Volume Pohon pada plot ke-i (m3)
di = rata-rata diameter Pohon pada plot ke-I (m)
hi = rata-rata tinggi Pohon pada plot ke-I (m)
f = angka bentuk
V = Volume rata-rata pohon per plot (m3)
P = Potensi tegakan (m3/ha)

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 62


B. Metode Menggunakan Tabel Volume Udara
No. Tipe Hutan Lokasi Persamaan (Koefisien diterminasi)
1. Hutan Jati Cikampek, Purwakarta V = -10,2 + 0,169 N + 8,20 D
(Suar, 1993) (r2 = 53,8%)
2. Hutan Jati Madiun, Nganjuk & Bonita < 3
Jombang (Perhutani, Ln V= -1,65 + 0,798 Ln C + 1,58 Ln D
1996) (r2 = 74,5%)
Bonita < 4
Ln V= -0,713 + 1,206 Ln C + 0,219 Ln D
(r2 = 64,90%)
3. Hutan Jati KPH Jombang V = 0,0013182 C0.989 D2,50
(Effendi, 1998) (r2 = 85,90%)
4. Hutan Pinus Jawa Barat: Bonita < 3
Sukabumi, Cianjur Ln V= 2,84 + 0,506 Ln C + 0,432 Ln D
(Perhutani, 1996) (r2 = 42,9%)
Bonita < 4
Ln V= -0,44 + 0,410 Ln C + 2,47 Ln D
(r2 = 83,8%)
Jawa Timur: Bonita < 3
Lawu DS, Kediri Ln V= 3,61 + 0,525 Ln C + 0,434 Ln D
Malang (r2 = 39,3%)
(Perhutani, 1996) Bonita < 4
Ln V= 2,49 + 0,570 Ln C + 0,230 Ln D
(r2 = 83,8%)
5. Hutan Pinus KPH Pekalongan V = 0,000147 H1,42D0,35N2,21
(Hidayatullah, 1996) (r2 = 81%)
6. Hutan Pinus KPH Pekalongan V = 13,6 + 0,000040 D2
(Somad, 1997) (r2 = 77,7%)
7. Hutan Alam Tropis Penajam, Kaltim V = -219,13 + 11,07 C + 5,82 D + 0,963 H
(Santoso, 1991) (r2 = 45,09%)
8. Hutan Alam Tropis Muarakaman, Kaltim LnV = -5,577+0,427 Ln N+2,591 Ln H
(Atmosoemarto, 1993) (r2 = 67,4%)
9. Hutan Alam Tropis HPH Sura Asia Log V = 0,60+1,11Log C+0,133 Log D
Riau (r2 = 69,2%)
(Budi, 1998)
10. Hutan Alam Tropis PT. Batasa Kalbar V = 14+1,11C+0,583 H+5,77 D
(Yamin, 1996 dalam (r2 = 71,5%)
Sujiatmoko, 1998) V = 0,393C0,555H0,158D0,503
(r2 = 67,9%)
V = 621,1+1,25 C+0,0120 D2H
(r2 = 73,8%)
11 Hutan Alam Tropis Hutan Penajam & V = 20,7205C0,5443D-1,7398H1,2745
Bongen Hulu, Kaltim (r2 = 23,63%)
(Santoso, 1991 dalam V= -219,1344+11,0713 C+5,8119 D+0,9627 H
Sujiatmoko, 1998) (r2 = 45,09%)
12 Hutan Alam Tropis Hutan Penajam & V = 9,79 + 0,23 C+0,299 H+0,586 D
Bongen Hulu, Kaltim (r2 = 66,3%)
(Sitompul, 1996 dalam LogV = -1,2+0,783Log C+0,362Log H+0,576 Log D
Sujiatmoko, 1998) (r2 = 68,50%)
13 Hutan Tanaman Hutan pendidikan V = -31,3985+0,453 N – 0,01070 + 1,977 H
Agathis Gunung Walat (r2 = 0,86352)
(Darmawangsa, 1976) V = -33,1323+0,4349 N – 1,7906 H
(r2 = 0,85892)
V = 2,1041+0,00075 ND2H
(r2 = 0,81012)
V = -26,7028 + 0,0519 D +0,4632 N
(r2 = 0,75472)

1. Hitung volume per plot menggunakan persamaan referensi yang sesuai


2. Lakukan langkah 2 dan 3 seperti pada Point A

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 63


Materi : X. PEMETAAN SEDERHANA DAN
MOSAIK

A. Pemetaan
Perbedaan Peta dan Foto udara
Peta

 Peta adalah gambaran sebagian atau seluruh permukaan bumi yang


diproyeksikan pada suatu bidang datar secara tegak lurus (proyeksi
orthogonal/sejajar).
 Pada peta disajikan informasi dengan menggunakan simbol-simbol
tertentu mengenai obyek-obyek yang ada dipermukaan bumi.
 Keterangan-keterangan yang disajikan pada peta disebut “legenda”.
 Dari segi dimensi, peta hanya dapat dilihat secara dua dimensi (2-D)
 Kesalahan-kesalahan peta hanya terdapat pada arah horizontal
 Skala pada peta adalah uniform yang artinya skala peta sama pada setiap
bagian

Foto udara
 Foto udara, yang merupakan gambaran aktual/nyata dari sebagian atau
seluruh permukaan bumi.
 Foto udara memuat penampang atas dari obyek-obyek yang ada di
permukaan bumi yang diproyeksikan dengan proyeksi sentral (proyeksi
perspektif).
 tidak memuat keterangan-keterangan tentang obyek-obyek yang ada
didalamnya.
 foto udara dapat dilihat secara 3 (tiga) dimensi (3-D), karena foto udara
mengandung overlap (pertampalan).
 Kesalahan-kesalahan yang ada pada foto udara terdiri atas kesalahan ke
arah vertikal dan horizontal.
 mempunyai skala yang tidak sama pada setiap bagian foto.
Berdasarkan kegunaannya potret udara dan peta mempunyai beberapa
persamaan, diantaranya :

 Sama-sama merupakan proyeksi sebagian atau seluruh permukaan bumi


dalam suatu bidang datar. Sehingga baik peta maupun potret udara

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 64


dapat digunakan sebagai salah satu sumber informasi tentang obyek-
obyek yang tergambar didalamnya.
 Sama-sama mempunyai skala sehingga jarak sebenarnya di lapangan
dapat diperkirakan atas dasar jarak yang terdapat pada peta dan atau
potret.

a
b c d

A
C
D

Gambar 35. Bagian-bagian foto yang mempunyai skala tidak sama

Peta-peta yang dibuat dari potret udara dapat dibedakan atas :


Peta tidak terkontrol (Uncontrolled Map)

 Peta tidak terkontrol adalah peta yang dibuat dari potret udara yang
belum direktifikasi, sehingga potret masih mengandung relief dan atau
tilt dicplacement.
 Dalam pembuatannya, tanpa menggunakan titik lapangan (ground
control).

Peta terkontrol (Controlled Map)

 Peta terkontrol adalah peta yang dibuat dari potret udara yang telah
direktifikasi baik rektifikasi konvensional (untuk menghilangkan tilt
displacement) maupun rektifikasi diferensial (untuk menghilangkan
relief displacement).

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 65


Aerial Line Map

 Aerial line map adalah peta yang memuat detail-detail/obyek-obyek


yang ditransfer dari potret udara, tetapi tidak dengan garis tinggi atau
garis bentuk (kontur).
 Peta ini juga dikenal dengan peta planimetri.

Aerial Topographic Map

 Aerial topographic map adalah peta yang dibuat dengan bahan dasar
potret udara serta memuat garis bentuk.
 Dalam hal ini garis bentuk diperoleh dari hasil pengukuran lapangan.

Aerial Stereo Topographic Map

 Aerial stereo topographic map adalah peta yang dibuat dengan peta
dasar potret udara termasuk pembuatan garis tingginya langsung dibuat
dari potret udara berdasarkan pandangan stereoskopis (tiga dimensi).
 Titik-titik kontrol yang diperlukan dalam pemetaan ini dapat berupa :
1. “kontrol mendatar” yaitu diperoleh dengan metode geodetik,
2. “kontrol vertikal” yaitu yang diperoleh dengan sifat datar, waterpas
trigonometri dan atau waterpas barometris dan “kontrol gambar” yang
terdiri dari titik-titik pasti di potret.
 Titik kontrol gambar tidak ada hubungannya dengan titik kontrol
lapangan (ground control point) tetapi sangat diperlukan bilamana akan
mengikat dengan ground control point tersebut.
Pembuatan peta dengan meggunakan foto udara dapat dilakukan dengan
berbagai metode baik secara metode sederhana maupun dengan
metode yang kompleks. Salah satu prinsip yang biasa dikembangkan
adalah prinsip radial line plotting.
1. Prinsip Radial Line Plotting

 Prinsip ini dikembangkan dari metode survey lapangan (ground


survey) yang digunakan untuk membuat peta garis (peta planimetri).
 Prinsip ini sangat tergantung dari sifat-sifat geometris dari foto udara
tunggal dan sangat sesuai bagi foto udara yang benar-benar vertikal
(bebas tilt), terkecuali pada foto udara tersebut mengandung distorsi
tangensial yang disebabkan oleh lensa kamera yang digunakan pada
waktu pemotretan.

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 66


Foto udara yang benar-benar vertikal mempunyai :
 principal point yang berhimpit dengan titik tegak (nadir), sehingga
sudut-sudut yang diukur pada principal point akan sama dengan sudut-
sudut yang diukur dengan menggunakan alat-alat pengukur sudut datar
(horizontal) di lapangan (misalnya transit level, theodolit dan
sebagainya).
 Apabila garis yang menghubungkan antara titik pusat proyeksi (O)
dengan titik nadir (N) diperpanjang, maka akan bertemu dengan titik
potong antara garis/sumbu vertikal dan horizontal dari transit level
maupun theodolit. Dengan demikian, bidang potret udara yang benar-
benar vertikal akan sama dengan bidang horizontal dari transit level.
foto udara tersebut mengandung tilt :

 Maka titik pusat foto (principal point) tidak menyatu dengan titik nadir
sehingga sudut-sudut yang diukur pada titik pusat foto tidak sama
dengan sudut-sudut yang diukur di lapangan.
Rektifikasi.
Rektifikasi dibedakan atas :
1. rektifikasi konvensional bertujuan untuk menghilangkan tilt
displacement.
2. rektifikasi diferensial selain menghilangkan tilt displacement juga
menghilangkan relief displacement.
Alat yang digunakan dalam kegiatan rektifikasi disebut dengan rectifier.
Untuk lebih jelasnya, prinsip radial line plotting disajikan pada Gambar 36
dan untuk foto miring disajikan pada Gambar 37.

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 67


L2

L1
b2 a2
o

b1 a1
o
H2
H1

A A

B B

B’ o o
B’ A’
A’

o’ o’

Gambar 36. Prinsip radial line plotting pada foto udara vertikal dengan tinggi
terbang yang berbeda (H1 < H2) (Sumber : Moffit, 1967)

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 68


Gambar 37. Skema proyeksi titik-titik permukaan bumi pada potret udara
miring (Sumber: Moffit, 1967)

Walaupun daerah tersebut difoto dari ketinggian yang berbeda (lihat


Gambar 11.2), namun sudut-sudut horizontal yang disajikan pada foto
udara tersebut tidak mengalami perubahan apabila dibandingkan dengan
foto yang disajikan dari penerbangan yang lebih rendah. Yang mengalami
perubahan hanya pada relief displacementnya saja (radial terhadap titik
nadir). Distorsi lensa yang radial dan relief displacement tidak berpengaruh
terhadap perhitungan sudut-sudut dalam pemetaan dan yang berpengaruh
hanyalah distorsi tangensial lensa.

2. Posisi Peta dari Titik-titik pada Foto Udara

 Posisi peta suatu titik diartikan sebagai suatu posisi yang diproyeksikan
secara vertikal.

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 69


 Untuk foto yang benar-benar vertikal, titik pusat fotonya adalah posisi
peta. Dengan demikian pengukuran-pengukuran sudut dapat dilakukan
pada masing-masing titik pusat foto yang bersangkutan.
 Sedangkan titik yang terletak di luar titik pusat foto bukan merupakan
posisi peta karena masih merupakan proyeksi sentral sehingga masih
mengandung relief displacement (apabila ketinggiannya tidak sama
dengan ketinggian datum).
 posisi titik-titik yang ada pada foto udara (kecuali titik pusat) perlu
dilakukan koreksi untuk dijadikan posisi peta yang sebenarnya.
 Besar-kecilnya koreksi tersebut tergantung dari besar-kecilnya relief
displacement.
 Posisi peta dari titik-titik yang ada pada foto udara (titik-titik sayap/pass
point) dapat dicari dengan menghimpitkan garis yang menghubungkan
titik-titik tersebut dengan titik pusat foto pada masing-masing foto.

Prosedur pemindahan titik pada foto udara dapat dilakukan sebagai


berikut :
a. Tentukan titik sayap (pass point wing point) pada masing-masing foto,
syarat-syaratnya adalah :
 mudah dikenal dan dicari pada foto berikutnya;
 gambar harus tajam;
 letaknya lebih kurang 2,5 dari tepi foto;
 jarak ke titik pusat foto yang saling overlap relatif sama;
 harus terlihat pada tiga buah foto secara berturut-turut;
 jika lebih dari satu jalur terbang maka titik sayap (pass point) harus
terlihat pada jalur terbang berikutnya.
b. Masing-masing titik diberikan nomor (penomoran pass point dan
principal point).
c. Pindahkan titik-titik tersebut pada kertas transparan dengan melakukan
pricking (penusukan) dengan menggunakan jarum.
d. Buat garis radial dari titik pusat foto ke masing-masing pass point pada
transparan yang tersebut pada butir c (transparant tracing paper).
 Pada pembuatan peta dengan metode slotted template, garis
radialnya, berupa lubang-lubang radial (slot radial) yang dibuat
menggunakan template lister/cutting template.
 Bahan yang digunakan untuk slotted template adalah kertas yang
tebal/kuat yang disebut corectostaat.
 Slotted template dapat juga dibuat menggunakan alat Zazy Daizy
Mechanical Trianggulator (Suprapto, 1975).

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 70


 Sedangkan metode metal arm template, garis-garis radial tersebut
sudah tersedia pada bagian tengah dari masing-masing tangan
template tersebut yang berupa lubang radial.
e. Transparant tracing paper yang telah berisi titik pusat foto dan pass
point disebut dengan tracing paper template.
 Tracing paper template tersebut kemudian diletakkan di atas lembar
peta yang akan dibuat (map sheet).
 Titik perpotongan dari masing-masing garis tersebut adalah posisi
peta dari masing-masing titik yang bersangkutan.
Untuk lebih jelasnya prosedur pemetaan dengan tracing paper template
disajikan pada Gambar 34.
Apabila pada saat pemetaan tidak disertai dengan titik kontrol maka
pemetaan tersebut disebut pemetaan yang tidak terkontrol
(Uncontrolled mapping). Sebaliknya, yang disertai dengan titik kontrol
pada waktu pemetaan disebut dengan pemetaan terkontrol (Controlled
mapping). Skala yang diperoleh melalui uncontrolled mapping tidaklah
persis sama dengan skala yang diharapkan. Pada base line tidak akan
terjadi titik potong karena garis yang menghubungkan titik tersebut sejajar
satu dengan yang lainnya. Apabila titik-titik pusat foto tidak mempunyai
ketinggian yang sama maka foto base kiri dan kanan tidak sama, hal ini
dapat menyebabkan tidak tepatnya posisi peta dari titik-titik yang akan
ditransfer dari foto udara ke lembar peta.

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 71


Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 72
Gambar 38. Prosedur pemetaan dengan tracing paper template (Moffit,
1967)

Pemetaan dengan metode slotted template dan metal arm template pada
hakekatnya sama dengan metode tracing paper hanya saja metode slotted
template menggunakan kertas karton sebagai templatenya dan metode
metal arm template menggunakan logam sebagai templatenya.

Kedua metode yang terakhir ini pada umumnya lebih mudah digunakan,
sehingga pemetaan banyak dilakukan dengan salah satu dari kedua metode
yang terakhir. Bentuk slotted template disajikan pada Gambar 39
sedangkan metal arm template disajikan pada Gambar 40.

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 73


(a) (b)

(a)

Gambar 39. Skema pembuatan garis-garis radial (a), slotted template (b) dan
penggabungan slotted template (c)

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 74


(b)

Gambar 40. Skema rangkaian slotted template (a) peralatan menggunakan


metal arm template (b)

(a) (b)

Gambar 41. Peletakan “Stud” dan jarum prick pada potret udara (a) serta
peletakan metal arm templatenya (b)

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 75


Gambar 42. Rangkaian metal arm templete

B. Mosaik

Mosaik merupakan susunan sejumlah foto udara vertikal (tilt < 3 o) yang
disusun menjadi suatu rangkaian sehingga membentuk suatu gambar
tunggal (foto tunggal) dari suatu areal.
Dalam beberapa hal, mosaik mempunyai persamaan dengan peta
planimetri, yaitu :
a. Sama-sama merupakan gambaran proyeksi permukaan bumi yang
disajikan secara horizontal;
b. Sama-sama mempunyai skala;
c. Sama-sama dapat direproduksi.
Namun demikian, antara mosaik dengan peta mempunyai banyak
perbedaan sebagai berikut :

Mosaik

a. Merupakan hasil proyeksi sentral (perspektif) dari suatu permukaan


bumi;
b. Apabila disusun dari foto yang belum direktifikasi maka mosaik masih
mengandung tilt dan relief displacement. Sedangkan apabila disusun
dari foto yang telah direktifikasi, mosaik masih mengandung relief
displacement. Adanya displacement pada mosaik menyebabkan posisi

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 76


titik-titik permukaan bumi yang disajikan tidak pada posisi horizontal
yang sebenarnya (posisi peta);
c. Skala mosaik tidak uniform (tidak sama di setiap bagian mosaik,
tergantung ketinggian tempat);
d. Merupakan gambaran nyata dari permukaan bumi.

Peta Planimetri
a. Merupakan hasil proyeksi orthogonal (sejajar) dari suatu permukaan
bumi;
b. Tidak mengandung tilt dan relief displacement, sehingga posisi titik-titik
permukaan bumi yang disajikan terletak pada posisi horizontal yang
sebenarnya;
c. Skala uniform;
d. Gambar disajikan dalam bentuk simbol-simbol.
Walaupun mosaik merupakan gambaran nyata dari permukaan bumi,
mosaics masih mengandung beberapa kesalahan. Besar-kecilnya kesalahan
tersebut tergantung dari:
1. fotografi permukaan bumi;
2. ketepatan/ketelitian pada waktu rektifikasi;
3. variasi skala; ketepatan dan kerapatan pada waktu penyusunan mosaics
(penyambungan foto yang satu dengan foto yang lainnya).
Pada daerah-daerah yang relatif datar, mosaics yang disajikan lebih
mendekati peta planimetri khususnya bagi foto yang telah direktifikasi.
Sedangkan bagi daerah-daerah yang bertopografi berat sekalipun telah
dilakukan rektifikasi, mosaik yang terbentuk akan selalu memberikan relief
displacement yang relatif besar demikian pula variasi skalanya.
Dibandingkan dengan peta, mosaik mempunyai keuntungan dalam
beberapa hal, yaitu :
a. Proses pembuatan mosaics lebih cepat dibandingkan dengan peta dan
dalam luasan yang cukup luas akan lebih ekonomis;
b. Mencakup seluruh obyek yang tampak di atas permukaan bumi.
Sehingga mosaik dapat digunakan untuk menginterpretasi keadaan
permukaan bumi secara lebih detail dibandingkan menggunakan peta.
Sedangakan peta hanya mengandung beberapa detail yang ada di
permukaan bumi, hal ini sangat erat hubungannya dengan faktor biaya
yang ada. Di samping itu, ketidaklengkapan detail-detail yang dapat

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 77


disajikan pada peta disebabkan karena kesukaran dalam pemberian
simbol-simbol yang cukup banyak.
c. Bagi orang awam, mosaik lebih cepat dan mudah dimengerti, karena
gambar yang disajikan merupakan gambaran nyata dari penampang atas
obyek-obyek yang tampak di permukaan bumi.
Namun demikian, apabila mosaik dipergunakan untuk tujuan pengukuran-
pengukuran maka mosaik mempunyai beberapa kelemahan diantaranya
adalah :
a. Mosaik tidak dapat dipergunakan untuk pengukuran luas suatu areal dan
jarak antar suatu titik, oleh karena masih mengandung tilt dan atau relief
displacement. Dengan adanya displacement, maka posisi horisontal
suatu titik tidak terletak pada posisi yang sebenarnya (seharusnya).
Variasi skala pada mosaik juga menyebabkan terjadinya kesalahan
pengukuran jarak dan atau luas. Pada umumnya mosaik digunakan
untuk tujuan-tujuan yang bersifat kualitatif.
b. Mosaik yang telah terbentuk tidak dapat digunakan untuk pengukuran-
pengukuran kuantitatif, kecuali sebelum foto disusun menjadi mosaics
terlebih dahulu diberi garis tinggi (kontur).
c. Pengaruh bayangan dan penyinaran yang terdapat pada mosaik dapat
mengganggu penilaian secara kualitatif (misalnya untuk membedakan
jalan, sungai, selokan, kemiringan dan lain sebagainya).
d. Banyaknya detail-detail yang terdapat pada mosaik dapat menjadikan
kabur obyek-obyek penting lainnya, dan dapat menyulitkan interpretasi.
Tipe-tipe Mosaik
a. Mosaik Indeks (Indeks Mosaics)
 Indeks mosaik adalah bentuk mosaik yang paling sederhana, dimana
foto-foto disusun berdasarkan urutan nomor pemotretan tanpa
dilakukan pemotongan pada bagian ujung (trimming) dan bagian tepi
foto (featheredging).
 masing-masing foto masih mengandung nomor foto dan nomor jalur
terbang.
 Dalam penyusunan foto indeks, kontrol hanya dilakukan secara visual.
Pada umumnya foto indeks digunakan sebagai arsip, yaitu untuk
memudahkan pencarian nomor foto dan nomor jalur terbang dari
suatu areal yang terpotret.
 Indeks mosaics seyogyanya segera disusun setelah dilakukan
pemotretan. Hal ini bertujuan agar mudah dilakukan koreksi apabila

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 78


terjadi kesalahan-kesalahan pada waktu pemotretan, misalnya terjadi
overlap kurang dari persyaratan yang diperlukan, terjadi gap antar
jalur terbang dan lain sebagainya. Koreksi dapat dilakukan secara
cepat dan tepat dengan mengetahui nomor foto dan nomor jalur
terbang yang mengalami kesalahan.

Mosaik Jalur (Strip Mosaics)

 Mosaik yang disusun dari foto-foto yang terdapat dalam satu jalur
terbang disebut dengan strip mosaics.

Praktikum: Dasar-dasar Penginderaan Jauh 79

Anda mungkin juga menyukai