I.
TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Mampu memahamai fotogrametri dan sejarahnya secara singkat
2. Melatih kemampuan persepsi kedalaman
3. Menghitung jarak dan perbedaan ketinggian antar obyek dengan
pandangan stereoskopis tanpa bantuan alat
4. Menghitung jarak dan perbedaan ketinggian antar obyek dengan
pandangan stereoskopis dengan bantuan alat (stereoskop)
5. Dapat menghitung basis mata seseorang
6. Dapat menghitung basis alat stereoskop lensa
7. Dapat membuat stereogram secara mandiri
II.
MEDIA PEMBELAJARAN
1. Stereogram
2. Stereoskop saku
3. Mistar/ penggaris
4. Alat tulis
III.
TEORI SINGKAT
Fotogrametri dan Sejarah Singkatnya
Fotogrametri adalah seni, ilmu pengetahuan dan teknologi tentang
perolehan informasi yang dapat dipercaya tentang obyek fisik dan
lingkungan melalui proses perekaman, pengukuran dan interpretasi citra
fotografi dan pola rekaman energi elektromagnetik dan fenomena lainnya
(the American Society for Photogrammetry and Remote Sensing/ ASPRS).
Fotogrametri mempunyai dua kajian utama, yaitu fotogrametri metrik dan
interpretatif. Fotogrametri metrik termasuk di dalamnya pengukuran akurat
berdasarkan foto atau sumber informasi lain untuk menentukan lokasi relatif
dari titik, jarak, sudut, volume, elevasi, ukuran dan bentuk obyek.
Sedangkan fotogrametri interpretatif termasuk ke dalam cabang interpretatif
fotografik (Wolf & Dwitt, 2004).
Sejarah fotogrametri diawali dari tahun 350 sebelum Masehi
Aristoteles mengutarakan proses memproyeksikan gambaran obyek secara
optik. Awal abad ke-18 Dr. Brook Taylor menyatakan tentang perspektif
linier, selanjutnya J.H. Lambert menyatakan asas perspektif dapat
dimanfaatkan untuk membuat peta. Fotogrametri dikembangkan setelah
proses fotografi dikembangkan yaitu tahun 1839, Louis Daguerre dari Paris
mengumumkan proses fotografi secara langsung. Tahun 1840, geodesiwan
Akademi Sains Perancis bernama Arago mempergakan penggunaan foto
udara untuk survei topografi. Tahun 1949, Ix penggunaan fotogrametri untuk
pemetaan tipografi (Kolonel Aime Laussedat) dengan menggunakan layang2
dan balon untuk pemotretan dari udara (gagal). Tahun 1859 Kolonel
Laussedat mengutarakan keberhasilan dalam menggunakan foto untuk
pemetaan yaitu dengan menggunakan foto teresterial dikenal BAPAK
FOTOGRAMETRI (Wolf & Dwitt, 2004).
Sedangkan
metode
pengamatan
menggunakan 4 cara yaitu :
stereoskop
dilakukan
dengan
1.
2.
3.
4.
5.
1.
2.
3.
1.
2.
3.
4.
LANGKAH KERJA
Pengamatan Stereogram dan kesan kedalaman Tanpa Bantuan
Alat ( Stereoskop)
Mengambil satu stereogram kode F dan mengamatinya.
Menghitung jarak antar obyek dengan mistar dengan mata telanjang.
Mengamati stereogram dengan pengamatan stereoskopis parallel mata
telanjang. Untuk memudahkan pengamtan dapat meletakkan bukur atau
kertas berdiri sebagai pemisah antara kedua sisi obyek stereogram yang
diamati. Mata kanan melihat obyek kana, mata kiri melihat obyek kiri.
Memperkirakan urutan ketinggian obyek dari tertinggi ke terendah.
Memasukkan hasil pengamtan ke dalam Tabel 1.
Tes Presepsi Kedalaman dan Stereoskopis
Mengamati kedua stereogram (gambar 8 & 9) dengan pandangan paralel
lurus (mata kanan melihat obyek bagian kanan dan mata kiri melihat
obyek kiri).
Mencari 5 titik-titik yang menonjol dari setiap kolom .
Mencantumkan koordinat titik-titik tersebut (missal A1) ke dalam Tabel 2
Pengukuran Basis Mata
Mencari pasangan untuk pengukuran basis mata
Mengukur sebanyak tiga kali jarak antar pupil kedua mata, baik pada
posisi pupil bagian kanan, bagian kiri, dan bagian tengah.
Menghitung rata-rata dari tiga kali penguuran jarak pupil
Mengisikan hasil pengukuran ke dalam Tabel 3
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
1.
2.
3.
4.
5.
V.
Obyek
Jarak
antar
Urutan dari
Obyek
Urutan dari
Atas
diamati
Atas ( Tanpa
(
dengan
dengan alat Alat)
Stereoskop)
(mm)
58
58
61
61
60
60
59
59
56
56
61
61
62
62
58
58
56
56
obyek yang akurat, dimana praktikum menghasilkan 88,9% dimana dua obyek yaitu
obyek persegi panjang dan belah ketupat saling tertukar urutan kedalamannya.
Sedangkan tanpa alat, praktikan mendapatkan hasil benar 55,6% dengan 6 obyek
yang benar. Hal tersebut disebabkan karena stereoskopis yang digunakan
( stereoskopis lensa/saku) sudah dilengkapi oleh dua lensa cembung yang dapat
membantu dalam pengakomodasian mata sesuai dengan basis mata praktikan,
sehingga saat cahaya masuk ke dalam lensa atau mata , cahaya langsung
terbiaskan dan mata dapat menangkap obyek serta mata dapat memfokuskan
obyek sehingga terbentuk suatu stereogram yang menampilkan kesan 3 dimensi
dengan jarak urutan kedalaman yang berbeda-beda.
Berdasarkan hasil dan kunci pengamatan stereoskopis didapat hasil bahwa
semakin dekat jarak antar obyek pada stereogram tersebut maka semakin pendek
jaraknya ke mata. Sedangkan semakin jauh jarak antar obyek maka semakin dalam/
jauh obyek dari mata. Hal tersebut terkait dengan adanya sudut paralaktik, dimana
semakin besar paralak semakin dekat obyeknya. Akan tetapi terdapat obyek yang
mempunyai jarak yang sama tetapi urutanya berbeda, misalnya antara segitiga
hitam dengan love memiliki jarak yang sama kana tetapi urutannya no 1 adalah
segitiga dan no 2 adalah love. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh bentuk gambar,
sisi sudut gambar, warna gambar, dan tebal tipis garis tepi gambar.
2. Tabel 2 Pengamatan Lingkaran Mengambang (float circle) Tes
Moessner
Baris
Blok
C
D
Pertama
Kedua
Ketiga
Keempat
Kelima
Pertama
Kedua
Ketiga
Keempat
Kelima
Pertama
Kedua
Ketiga
Keempat
Kelima
Pertama
Kedua
Ketiga
Keempat
Stereogra Stereogra
m I (tanpa m
II
alat)
(tanpa
alat)
A5
A5
B7
B4
C1
C4
D4
D4
E6
E6
A4
A1
B8
B8
C7
C5
D6
D6
E6
E6
-
Stereogra
m
I
(dengan
alat)
A5
B7
C2
D4
E1, E6
A1
B8
C3
D1
E6
A3
B3
-
Stereogra
m
II
( dengan
alat)
A5
B7
C2
D4
E1, E6
A1
B8
C3
D1
E6
A5
B3
-
Kelima
Jumlah Benar
Persentase
6
30%
6
30%
11
55%
10
50%
Pertama
Kedua
Ketiga
Keempat
Kelima
Pertama
Kedua
Ketiga
Keempat
Kelima
Pertama
Kedua
Ketiga
Keempat
Kelima
Pertama
Kedua
Ketiga
Keempat
Kelima
Stereogra
m
I
(dengan
alat)
A5
B7
C2
D4
E1, E6
A1
B8
C3
D1
E6
A3
B7
C3
D1
E8
A1
B7
C2,C5
D3
E6
Stereogra
m
II
( dengan
alat)
A5
B7
C2
D4
E1, E6
A1
B8
C3
D1
E6
A3
B7
C3
D1
E8
A1
B7
C2,C5
D3
E6
Pengamatan tabel kedua sama halnya dengan tabel pertama, yaitu samasama melakukan pengamatan stereoskopis tanpa dan dengan alat stereoskop. Akan
tetapi perbedaan antara kedua tabel tersebut terletak pada obyek yang berada
dalam lingkaran stereogram, dimana pada pengamatan pertama obyek dalam
lingkaran berisi obyek-obyek dengan bentuk yang berbeda-beda. Sedangkan pada
pengamatan stereoskop kedua adalah obyek-obyek dalam lingkaran berisi obyekobyek dengan bentuk dan ukuran sama, dimana yang membedakannya adalah
tebal tipisnya bentuk obyek yang sangat kecil dan banyak. Hal tersebut
menyebabkan pengamatan stereoskopis yang sulit untuk diidentifikasikan obyekobyek yang menampilkan kesan tiga dimensi. Apabila dilihat dengan mata telanjang
atau tanpa alat akan terbentuk obyek-obyek yang mengambang akan tetapi
sangatlah sedikit jumlahnya, berbeda dengan pengamatan menggunakan
stereoskop yang dapat menampilkan obyek-obyek yang mengambang lebih banyak.
Akan tetapi penglihatan kesan mengambang oleh praktikan tanpa alat hanya
terbatas sampai blok B. Sedangkan penglihatan dengan alat terbatas C baris kedua,
dan tidak bisa melihat sampai kolom D walaupun menggunakan stereoskop. Hal
tersebut dapat disebabkan karena kemampuan mata yang terbatas untuk melihat
kesan tiga dimensional dan karena daya akomodasi mata yang semakin melemah.
Selain itu, faktor bentuk obyek yang sama dan kecil-kecil serta blok A-D semakin ke
bawah semakin tipis sehingga semakin sulit pula untuk mengidentifikasikan kesan 3
dimensional. Oleh karena itu, persentase tabel kebenaran obyek yang diperoleh
praktikan juga rendah.
3. Tabel 3 Pengukuran Basis Mata
Pengukuran I
Pengukuran II
Pengukuran III
65 mm
65mm
65mm
Rata-rata
Mata
65mm
Basis
Pengukuran basis mata dilakukan dengan cara mengukur jarak antara kedua
pupil mata. Tujuan pengukuran basis mata ini untuk pengukuran atau pengamatan
lebih lanjut dengan menggunakan alat stereoskop, supaya antara mata dan lensa
pada alat bisa sesuai dan dapat menghasilkan kenampakan obyek 3 dimensi. Basis
mata setiap orang itu berbeda-beda, bergantung sama lebar mata atau jarak antar
mata manusia. Praktikan memiliki basis mata ukuran 65mm, dimana setelah
dilakukan pengukuran selama tiga kali didapat basis mata 65mm sehingga rataratanya 65mm. Sehingga saat akan dilakukan pengamatan stereoskopis
menggunakan stereoskop lensa/saku, perlu disetting ukuran basis mata pada alat
tersebut.
Basis mata terkait dengan fenomena persepsi kedalaman stereoskopis yang
berhubungan dengan anatomi dan fisiologi mata. Pupil sebagai bagian penting
dalam mata, dimana pupil berfungsi sebagai alat untuk mengatur cahaya yang
masuk dalam mata, kemudia diteruskan ke lensa mata. Lensa mata tersebut
berbentuk bikonveks dan terdiri dari bahan tembus pandang sehingga bersifat
membiaskan cahaya. Bagian lensa terdapat otot penggerak sehingga sumbu optik
mata diarahkan ke obyek yang diamati. Pengarahan obyek tersebut terkait dengan
jarak obyek yang diamati serta focus obyek tersebut. Hal tersebut merupakan
kemampuan mata untuk memfokus pada obyek pada obyek yang berbeda
( akomodasi mata). Kemudian obyek sampai di lensa akan disalurkan ke retina,
sehingga mata kita dapat melihat bayangan obyek tersebut.
4. Pengukuran Basis Alat
Pengukuran I
35 mm
Pengukuran II
Pengukuran III
34mm
43mm
Rata-rata
Alat
37,3 mm
Basis
VI.
DAFTAR PUSTAKA
Aber, J.S., Marzolff,I., & Ries,J.B. 2010. Small-Format Aerial Photography :
Principles, Techniques and Geoscience Applications. Amsterdam, Belanda :
Elsevier.
Gruen,A.2008. Scientific-technological Developments in Photogrammetry and
Remote Sensing between 2004 and 2008. Dalam Z.Li,J.Chen, &
E.Baltsavias,Advances in Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial
Information Sciences : 2008 ISPRS Congress Book (hal. 21-25). Leiden,
Belanda : CRS Press.
Jensen,J.R. 2007. Remote Sensing of The Environtment : An Earth Resource
Pesrpective (2nd ed). New Jersey, Amerika Serikat : Pearson Prentice Hall.
Lillesand, Thomas dan Kiefer, Ralph W. 1979. Remote Sensing and Image
Interpretation. New York: John Wiley and sons inc.
Sutanto. 1986. Penginderaan Jauh Jilid 1. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.
Wolf, P.R., & Dewitt, B.A. 2004. Elements of Photogrammetry with Applications in
GIS (3rd ed). Boston, Amerika Serikat : McGraw-Hill.