Anda di halaman 1dari 13

Journal Reading

DURATION OF NASAL PACKS IN THE


MANAGEMENT OF EPISTAXIS

Disusun oleh :

Beta Cintoati
Reyza Octarient
Rizka Oktaviana
Shabrina Sari Medina

Pembimbing :

dr. Ariman Syukri,Sp.THT-KL


dr.Asmawati Adnan,Sp.THT-KL
dr.Harianto,Sp.THT-KL
dr. Yolazenia, Sp. THT-KL

BAGIAN TELINGA, HIDUNG, TENGGOROKAN, DAN BEDAH


KEPALA-LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU
2017

0
Durasi Pemasangan Tampon Hidung dalam Penatalaksanaan Epistaksis

Nasir Akram Kundi1 dan Mohsin Raza2

ABSTRAK

Objektif : Membandingkan efikasi pemasangan tampon hidung selama 12 dan 24


jam dalam penatalaksanaan epistaksis.

Desain penelitian : Quasi eksperimental

Tempat dan waktu penelitian : Kombinasi Rumah Sakit Militer, Nowshera dan
Rumah Sakit Heavy Industries Taxilla, dari Oktober 2012 hingga April 2013.

Metodologi : Dipilih sebanyak 60 pasien yang datang dengan epistaksis kemudian


dibagi kedalam dua kelompok, masing-masing kelompok berjumlah 30 pasien.
Kedua kelompok tersebut ditatalaksana dengan pemasangan tampon hidung. Pada
kelompok A, tampon hidung dilepas setelah 12 jam sedangkan kelompok B
setelah 24 jam. Keluhan seperti sakit kepala, lakrimasi dan perdarahan berulang
diobservasi dan dicatat. SPSS 20 digunakan untuk menganalisis data dan nilai p
(p-value) lebih kecil dari 0,01 dianggap memiliki perbedaan yang signifikan.

Hasil : Terdapat perbedaan yang signifikan mengenai keluhan sakit kepala antara
tampon hidung yang dilepas setelah 12 jam dan 24 jam (p<0,001). Terdapat
perbedaan yang signifikan pada keluhan lakrimasi yang eksesif antara 12 dan 24
jam (p=0,001). Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada keluhan
perdarahan berulang ketika tampon hidung dilepas setelah 12 dan 24 jam
(p=0,317).

Kesimpulan : Durasi pelepasan tampon hidung setelah 12 dan 24 jam memiliki


perbedaan dalam penatalaksanaan epistaksis. Keluhan sakit kepala dan lakrimasi
yang eksesif tinggi pada tampon hidung yang dilepas setelah 24 jam.
Direkomendasikan untuk menangani pasien epistaksis dengan durasi pendek
pemasangan tampon untuk mencegah ketidaknyamanan pasien.

Kata kunci : Tampon hidung, Epistaksis, Lakrimasi, Sakit kepala, Perdarahan.

1
PENDAHULUAN

Epistaksis merupakan salah satu kegawatdaruratan tersering dibidang


THT. Keadaan ini relatif tidak berbahaya, namun terkadang merupakan masalah
serius, bahkan merupakan situasi yang mengancam nyawa.2 Sekitar 60% dari
populasi diperkirakan pernah mengalami epistaksis setidaknya satu kali dalam
kehidupan mereka. Pada kelompok ini, 6% diantaranya mencari petugas medis
untuk mengobati epistaksis, dengan 1,6 dari 10.000 membutuhkan perawatan di
rumah sakit.3 Kasus ini sering terjadi pada anak-anak dibawah usia 10 tahun.
Epistaksis biasa terjadi pada musim dingin dan iklim diwilayah utara karena
penurunan kelembaban dan akibat mukosa hidung yang kering.4 Penyebab
epistaksis lainnya meliputi rusaknya mukosa akibat infiltrasi tumor jinak
(Angiofibroma), tumor ganas, penyakit granulomatous, dan trauma hidung.5,6
Sembilan puluh persen dari kasus epistaksis merupakan epistaksis anterior,
berasal dari plexus Kiesselbach. Epistaksis anterior sifatnya unilateral, konstan,
bukan perdarahan yang masif. Sepuluh persen sisanya merupakan epistaksis
posterior, tampak perdarahan yang masif dan diawali secara bilateral. Perdarahan
ringan dapat ditangani dengan elevasi kepala, pemberian ice pack, dan menekan
hidung. Perdarahan hebat membutuhkan tampon.

Tampon hidung dibutuhkan ketika metode konservatif seperti kauter kimia


menggunakan perak nitrat, kauter listrik atau kauter thermal gagal. Metode yang
digunakan secara luas yaitu tampon hidung yang diberi pelumas anastesi topikal
dan dekongestan. Pemasangan tampon hidung membutuhkan sumber pencahayaan
yang fokus dan tajam, spekulum hidung, dan pinset. Tampon diletakkan secara
hati-hati lapis demi lapis, dengan ketangkasan manual dokter memastikan tekanan
efektif pada dinding, atap, dan lantai hidung. Keuntungannya yaitu hemostasis
melalui efek dari tekanan pada septum nasal, lantai, dan dinding lateral hidung.
Kerugiannya yaitu nekrosis karena pemasangan tampon yang terlalu ketat, sinkop
neurogenik selama pemasangan, sakit kepala, lakrimasi dari mata karena sistem
drainase yang terganggu dari duktus nasolakrimal. Penggunaan tampon yang lama
berpotensi menjadi sumber infeksi. Tampon hidung yang dilepas lebih dari 24 jam

2
dapat menyebabkan toxic shock syndrome. Selain itu, pemasangan tampon hidung
total berefek pada saturasi oksigen nocturnal dan gangguan tidur.

Hal ini menyisakan dilemma dalam memutuskan durasi yang tepat


pemasangan tampon intranasal untuk menghentikan perdarahan hidung. Metode
umum dipraktekkan di negara kami berdasarkan aturan-aturan yang ada dan
pendidik tanpa dasar ilmiah megenai durasi pemasangan tampon dan waktu yang
tepat untuk melepasnya. Penelitian ini bertujuan memberikan bukti yang kuat
bahwa pemasangan tampon dalam durasi pendek dapat meminimalisir
ketidaknyamanan pasien yang berhubungan dengan penggunaan tampon yang
berkepanjangan.

METODOLOGI

Pasien yang menjadi subjek penelitian adalah pasien dengan perdarahan


hidung yang tidak dapat disembuhkan dengan metode konservatif seperti menekan
hidung, penggunaan nasal dekongestan topikal, kauter kimia, dan kauter listrik.
Total pasien sebanyak 60 orang dipilih secara random sampling. Sampel
penelitian dipilih berdasarkan pasien THT yang datang ke rumah sakit dengan
keluhan epistaksis selama waktu penelitian. Hal ini dihitung dari pencatatan
statistik rumah sakit. Mereka dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing
kelompok terdiri dari 30 pasien. Pembagian kelompok berdasarkan undian.
Persetujuan tindakan diminta kepada pasien yang berpartisipasi dalam penelitian
ini. Persetujuan resmi diperoleh dari komite etik rumah sakit.

Kelompok A ditatalaksana dengan pemasangan tampon hidung bilateral


selama 12 jam dan kelompok B selama 24 jam. Tampon hidung disini merupakan
tampon seukuran pita satu inchi kemudian direndam dengan lignocaine 1% dan
adrenaline. Seluruh pasien diberikan Augmentin tablet 625 mg tiga kali sehari dan
Paracetamol tablet dua kali sehari. Pasien yang datang dengan epistaksis karena
trauma atau tanpa riwayat penyakit dahulu dan tidak menggunakan antikoagulan,
masuk dalam kriteria inklusi penelitian ini. Seluruh pasien yang ditatalaksana
dengan tampon posterior, memiliki gangguan perdarahan, dan memiliki penyakit
sinonasal termasuk kriteria eksklusi dari penelitian ini. Proforma yang dirancang

3
khusus digunakan untuk mengukur gejala setelah pelepasan tampon. Pasien
diwawancara mengenai pengalaman mereka dipasang tampon intranasal. Pasien
menggambarkan tingkat keparahan dan adanya rasa sakit kepala dan lakrimasi
dengan bahasa mereka sendiri. Berdasarkan deskripsi pasien, keputusan adanya
gejala ditetapkan. Mereka diobservasi selama 30 menit untuk melihat adanya
epistaksis berulang.

Data dianalisis menggunakan SPSS versi 20. Wilcoxin Signed Rank Test
dan McNemar test digunakan sebagai tes signifikansi perbedaan antara 2
kelompok dan nilai p (p-value) kecil dari 0,01 dianggap sebagai hasil yang
signifikan.

HASIL

Hasil penelitian ini terdapat 24 pasien (40%) laki-laki dan 36 pasien (60%)
perempuan. Usia rata-rata yaitu 36 tahun. Dua kelompok dibandingkan dan
ditemukan perbedaan yang signifikan (p<0,001) mengenai keluhan sakit kepala
antara tampon yang dilepas setelah 12 dan 24 jam. Juga terdapat perbedaan yang
signifikan (p=0,001) mengenai keluhan lakrimasi yang eksesif antara 12 dan 24
jam. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,317) mengenai perdarahan
berulang ketika tampon hidung dilepas setelah 12 dan 24 jam. Tabel 1
menunjukkan jumlah pasien yang memiliki keluhan disetiap kelompok. Frekuensi
pasien dengan sakit kepala, lakrimasi yang eksesif dan perdarahan berulang pada
kelompok A dan B ditunjukkan pada Gambar 1 dan 2.

Tabel 1. Pasien yang memiliki keluhan pada masing-masing kelompok

A (n=30) B (n=30)

Sakit kepala 4 19

Lakrimasi yang eksesif 7 20

Perdarahan berulang 4 2

4
Gambar 1. Presentase pasien yang mengalami sakit kepala, lakrimasi yang eksesif,
dan perdarahan berulang pada kelompok A

Gambar 2. Presentase pasien yang mengalami sakit kepala, lakrimasi yang eksesif,
dan perdarahan berulang pada kelompok B

5
DISKUSI

Dalam praktek THT modern, penggunaan tampon hidung pada epistaksis


sudah digantikan oleh penanganan menggunakan endoskopi. Hal ini dibutuhkan
untuk menunjukkan angiografi dan embolisasi dari pembuluh darah yang terkena.
Tetapi karena kurangnya sumber alat, tampon hidung masih menjadi penanganan
epistaksis yang paling ekonomis dan digunakan secara luas. Durasi pemasangan
tampon hidung belum dipaparkan secara baik pada literatur. Sementara hal ini
berimplikasi luas pada kenyamanan pasien dan komplikasi dari pemasangan
tampon hidung. Keberadaan tampon hidung menyebabkan ketidaknyamanan
pasien dan bernapas meggunakan mulut dapat memicu kekeringan pada
tenggorok. Hal ini juga mengganggu clearance mukosiliar dan menyebabkan
stimulasi konstan kelenjar mukosal mengakibatkan stasis sekresi, inflamasi
mukosa dan sakit kepala.11 Lakrimasi (epiphora) terjadi akibat sumbatan dari
duktus nasolakrimal. Keberadaan tampon hidung sendiri menyebabkan stimulasi
konstan dari apparatus lakrimal menghasilkan lakrimasi yang eksesif.12,13 Pada
penelitian ini, dua keluhan utama setelah penggunaan tampon hidung
dipertimbangkan sebagai evaluasi durasi pemasangan tampon hidung. Hal ini
merupakan bukti dari penelitian ini bahwa tidak terdapat perbedaan antara durasi
pemasangan tampon hidung terhadap perdarahan berulang. Bagaimanapun, dapat
dilihat bahwa penggunaan tampon hidung selama 12 jam lebih unggul
dibandingkan 24 jam karena keluhan sakit kepala dan lakrimasi lebih sedikit.
Sebagai tambahan, jenis bahan yang digunakan pada tampon hidung juga dapat
mempengaruhi outcome. Lakrimasi dan sakit kepala merupakan perasaan subjektif
yang bervariasi dari satu pasien ke pasien yang lain. Tipe kepribadian dan tingkat
toleransi dari populasi penelitian dapat menjadi faktor perancu.

Shargorodsky et al.14 juga menyimpulkan durasi pemasangan tampon


hidung tidak memiliki hubungan terhadap perdarahan berulang, hal ini sesuai
dengan hasil pada penelitian ini. Mereka juga menyatakan kauter kimia lebih
unggul dibanding tampon hidung sebagai penatalaksanaan awal epistaksis pada
kasus yang membutuhkan intervensi lebih lanjut seperti kauter dan ligase
pembuluh darah.

6
Dedhia et al.15 membandingkan efektivitas biaya antara tampon hidung dan
ligasi endoskopi terhadap pembuluh darah yang terkena dan ditemukan jika durasi
pemasangan tampon hidung dikurangi, hal ini akan menurunkan biaya pengobatan
yaitu rawat inap pasien. Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian ini bahwa durasi
yang pendek penggunaan tampon hidung berpengaruh pada kualitas penanganan
pasien.

Gupta et al.16 juga melakukan penelitian mengenai komplikasi tampon


hidung. Hal tersebut meliputi peningkatan tekanan darah, tekanan negatif pada
telinga tengah, gangguan tidur dan perubahan saturasi oksigen sebagai tanda
komplikasi tampon hidung. Mereka menyarankan penggunaan airway dengan
tampon hidung untuk meminimalisir komplikasi tersebut.

Wang et al.17 membandingkan pemasangan tampon hidung dengan


penjahitan setelah septoplasty. Hasilnya sebanding dengan penelitian ini.
Kelompok yang menggunakan tampon lebih banyak mengalami nyeri hidung,
sakit kepala, disfagia dan gangguan tidur. Namun, tidak ada perbedaan pada
gejala epiphora dibandingkan dengan kelompok yang menggunakan penjahitan.
Dalam penelitian kali ini, pasien yang menggunakan tampon hidung dalam durasi
yang lama, lebih banyak mengalami lakrimasi

Ardehali et al.18 menemukan tingkat nyeri yang jauh lebih tinggi secara
signifikan pada pasien yang menggunakan tampon hidung.

Cukurova et al.19 membuktikan adanya tampon hidung menyebabkan rasa


nyeri dan sakit kepala lebih banyak pada pasien, hal ini sesuai dengan hasil
penelitian ini bahwa pemasangan tampon hidung yang berkepanjangan
menyebabkan ketidaknyamanan dan rasa nyeri pada pasien.

Ha et al.20 dengan jelas menunjukkan pemasangan tampon hidung selama


48 jam sebagai pengobatan konvensional epistaksis. Sementara dalam penelitian
ini, bukti menunjukkan pemasangan tampon hidung selama 12 jam merupakan
manajemen epistaksis yang optimal.

7
Zayyan et al.21 menggunakan monitor Holter untuk mengevaluasi efek dari
pemasangan tampon hidung terhadap fungsi jantung untuk kompresi mukosa
hidung dan stimulasi vagal. Mereka menjamin pemantauan ketat pada pasien
dengan penyakit kardiopulmoner

Gyawali et al.22 meneliti durasi pemasangan tampon hidung pascaoperasi


setelah operasi septum. Mereka menyimpulkan tidak ada perbedaan yang
signifikan dalam hal perdarahan berulang antara tampon hidung selama 24 dan 2
jam. Bagaimanapun, durasi pemasangan tampon hidung yang lebih pendek
menyebabkan rasa ketidaknyamanan yang lebih kecil pada pasien. Hal tersebut
sesuai dengan hasil yang diperoleh pada penelitian ini.

Kazkayasi et al.23 menyimpulkan bahwa setelah operasi septum,


pemasangan tampon hidung menyebabkan nyeri pada wajah dan sakit kepala lebih
banyak dibandingkan dengan penjahitan, yang mendukung penelitian ini bahwa
pemasangan tampon hidung berkepanjangan meningkatkan penderitaan pasien
dan tidak memiliki efek terhadap perdarahan berulang.

Berdasarkan review literatur yang tersedia, tidak ada bukti substantif untuk
durasi pemasangan tampon hidung yang optimal pada pasien epistaksis. Namun,
terdapat banyak bahan dan metode yang tersedia dalam penatalaksanaan
epistaksis.24 Tampon hidung merupakan metode yang paling mudah didapat,
murah dan membutuhkan lebih sedikit keahlian dibandingkan dengan metode
penatalaksanaan epistaksis lainnya.25 Penelitian ini membantu menyediakan bukti
bahwa durasi pemasangan tampon hidung yang lebih pendek akan menciptakan
kenyamanan pasien dan rawatan di rumah sakit yang lebih pendek. Berbagai
bahan yang digunakan sebagai tampon hidung di unit gawat darurat negara barat
sebagian besar tidak tersedia di negara kita sehingga penulis harus mengandalkan
teknik tradisional. Kedua, pusat kesehatan yang maju lebih memilih ligasi arteri
sphenopalatine bahkan sebagai penatalaksanaan awal epistaksis. Alasan yang
paling banyak untuk hal ini adalah tidak tersedianya peralatan nasoendoscopy.

Diketahui juga bahwa ada parameter lain untuk melinai komplikasi dari
pemasangan tampon hidung berkepanjangan. Antara lain peningkatan tekanan

8
darah, penurunan saturasi oksigen saat tidur dan gangguan tidur. Parameter ini
bisa digunakan dalam penelitian pemasangan tampon hidung berikutnya.
Demikian pula, penelitian berikutnya dapat membahas efek durasi pemasangan
tampon hidung pada pasien yang menjalani operasi hidung. Masih banyak ruang
untuk penelitian selanjutnya mengenai durasi pemasangan tampon hidung
menggunakan berbagai jenis bahan. Kedua, jenis obat topikal dan sistemik yang
diberikan sebelum dan sesudah pemasangan tampon hidung juga akan
mempengaruhi waktu yang diperlukan untuk penggunaan tampon hidung.
Dianjurkan agar berbagai macam tampon hidung tersedia secara luas di
Pakistan. Agar insidens komplikasi dapat berkurang dengan penggunaan tampon
hidung dan berkurangnya rasa ketidaknyamanan pasien.

KESIMPULAN
Pemasangan tampon hidung selama 12 jam lebih unggul dibandingkan 24
jam dalam hal mengurangi ketidaknyamanan pasien serta tidak terdapat perbedaan
dalam hal perdarahan berulang.

9
DAFTAR PUSTAKA

1. Spielmann PM, Barnes ML, White PS. Controversies in the specialist


management of adult epistaxis: an evidence-based review. Clin Otolaryngol
2012; 37:382-9.
2. Barnes ML, Spielmann PM, White PS. Epistaxis: a contemporary evidence
based approach. Otolaryngol Clin North Am 2012; 45:1005-17.
3. Viehweg TL, Roberson JB, Hudson JW. Epistaxis: diagnosis and treatment. J
Oral Maxillofac Surg. 2006; 64:511-8.
4. Marx J, Hockberger R, editors. Rosen's emergency medicine: concepts and
clinical practice. 6th ed. Philadelphia: Saunders; 2006.
5. Faistauer M, Faistauer A, Grossi RS, Roithmann R. Clinical outcome of
patients with epistaxis treated with nasal packing after hospital discharge. Braz
J Otorhinolaryngol 2009; 75: 857-65.
6. Pratt GF, Wilson P. A simple nasal-packing technique for minor nasal surgery
which reduces pain associated with removal of packs: a surgical technique. J
Plast Reconstr Aesthet Surg 2010; 63:e84.
7. Liu Y, Zheng C, Wei W, Liu Q. Management of intractable epistaxis:
endoscopy or nasal packing? J Laryngol Otol 2012; 126:482-6.
8. Ozkrs M, Kapusuz Z, Saydam L. Comparison of nasal packs with transseptal
suturing after nasal septal surgery. Am J Otolaryngol 2013; 34:308-11.
9. Koudounarakis E, Chatzakis N, Papadakis I, Panagiotaki I, Velegrakis G.
Nasal packing aspiration in a patient with Alzheimer's disease: a rare
complication. Int J Gen Med 2012; 5:643-5.
10. Edkins O, Nyamarebvu CT, Lubbe D. Cerebrospinal fluid rhinorrhoea after
nasal packing for epistaxis: case report. J Laryngol Otol 2012; 126:421-3.
11. Yilmazer C, Sener M, Yilmaz I, Erkan AN, Cagici CA, Donmez A, et al. Pre-
emptive analgesia for removal of nasal packing: a double-blind placebo
controlled study. Auris Nasus Larynx 2007; 34:471-5.
12. Melia L, McGarry GW. Epistaxis: update on management. Curr Opin
Otolaryngol Head Neck Surg 2011; 19:30-5.

10
13. Kula M, Yuce I, Unlu Y, Tutus A, Cagli S, Ketenci I. Effect of nasal packing
and haemostatic septal suture on mucociliaryactivity after septoplasty: an
assessment by rhinoscintigraphy. Eur Arch Otorhinolaryngol 2010; 267:541-
6.
14. Shargorodsky J, Bleier BS, Holbrook EH, Cohen JM, Busaba N, Metson R, et
al. Outcomes analysis in epistaxis management: development of a therapeutic
algorithm. Otolaryngol Head Neck Surg 2013; 149:390-8.
15. Dedhia RC, Desai SS, Smith KJ, Lee S, Schaitkin BM, Snyderman CH, et al.
Cost-effectiveness of endoscopic sphenopalatine artery ligation versus nasal
packing as first-line treatment for posterior epistaxis. Int Forum Allergy
Rhinol 2013; 3:563-6.
16. Gupta M, Singh S, Chauhan B. Comparative study of complete nasal packing
with and without airways. B-ENT 2011; 7:91-6.
17. Wang M, Xing Z, Yuan X, Liu Y, Han L, Qin N. Effect of nasal septal suture
versus nasal packing after septoplasty. Lin Chung Er Bi Yan Hou Tou Jing
Wai Ke Za Zhi 2011; 25: 1068-75.
18. Ardehali MM, Bastaninejad S. Use of nasal packs and intranasal septal splints
following septoplasty. Int J Oral Maxillofac Surg 2009; 38:1022-4.
19. Cukurova I, Cetinkaya EA, Mercan GC, Demirhan E, Gumussoy M.
Retrospective analysis of 697 septoplasty surgery cases: packing versus trans-
septal suturing method. Acta Otorhinolaryngol Ital 2012; 32:111-4.
20. Ha JF, Hodge JC, Lewis R. Comparison of nasoendoscopicassisted cautery
versus packing for the treatment of epistaxis. ANZ J Surg 2011; 81:336-9.
21. Zayyan E, Bajin MD, Aytemir K, Ylmaz T. The effects on cardiac functions
and arterial blood gases of totally occluding nasal packs and nasal packs with
airway. Laryngoscope 2010; 120:2325-30.
22. Gyawali KR, Pokharel M, Amatya RC. Short duration anterior nasal packing
after submucosal resection of nasal septum. Kathmandu Univ Med J (KUMJ)
2008; 6:173-5.
23. Kazkayasi M, Diner C, Arikan OK, Kili R. [The effect of nasal packing and
suture technique on systemic oxygen saturation and patient comfort after
septoplasty]. Kulak Burun Bogaz Ihtis Derg 2007; 17:318-23. [Turkish]

11
24. Pratt GF, Wilson P. A simple nasal-packing technique for minor nasal surgery
which reduces pain associated with removal of packs: a surgical technique. J
Plast Reconstr Aesthet Surg 2010; 63:e84.
25. Amen F, Pace-Balzan A. Technical tutorial: How to pack a nose with bismuth
iodoform paraffin paste gauze safely and effectively. Emerg Med J 2009;
26:52.

12

Anda mungkin juga menyukai