Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu
dari kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia.Kejadian PPOK akan semakin
meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah perokok, polusi udara dari
industri dan asap kendaraan yang menjadi faktor risiko penyakit tersebut.
Word Health Organisation (WHO) memperkirakan bahwa pada tahun
2020 prevalensi PPOK akan terus meningkat dari peringkat ke-6 menjadi
peringkat ke-3 di dunia dan dari peringkat ke-6 menjadi peringkat ke-3
penyebab kematian tersering di dunia (Depkes RI, 2008). Menurut WHO
pada tahun 2010 PPOK adalah masalah kesehatan utama yang menjadi
penyebab kematian no 4 di Indonesia (PDPI, 2006).
Sesak nafas atau dyspnoea merupakan gejala yang umum dijumpai
pada penderita PPOK (Ambrosino & Serradori, 2006). Penyebab sesak
nafas tersebut bukan hanya karena obstruksi pada bronkus atau
bronkhospasme saja tapi lebih disebabkan karena adanya hiperinflansi.
Keadaan tersebut berdampak kepada menurunnya saturasi oksigen (SaO2).
Serangkaian penelitian tentang PLB yang telah dilakukan, seperti
dilakukan oleh Bianchi (2004), Ambrosino dan Serradori (2006), Ramos et
al (2009), dan Kim, et al (2012) menunjukan bahwa PLB dapat
meningkatkan kondisi pernafasan pasien PPOK, yaitu meningkatkan
SaO2.
Tindakan keperawatan lain yang dapat dilakukan untuk membantu
meningkatkan kondisi pernafasan pasien PPOK adalah memposisikan
pasien. Posisi condong ke depan menigkatkan tekanan intraabdominal dan
menurunkan penekanan diafragma kebagian rongga abdomen selama
inspirasi (Bhatt, et al, 2009). Pada penelitian yang dilakukan oleh Kim, et
al (2012) posisi condong ke depan (CKD) dapat membantu meningkatkan
kondisi pernafasan.
BAB II
ANALISA JURNAL
1. IDENTITAS JURNAL
a. Judul Jurnal
Efektifitas Posisi Condong ke Depan dan Pursed Lips Breathing (Plb)
Terhadap Peningkatan Saturasi Oksigen Pasien Penyakit Paru
Obstruktif Kronik.
b. Nama jurnal
Jurnal Kesehatan Al-Irsyad (JKA) Vol. VII. No.1, Maret 2015
c. Autor
Suci Khasanah, Madyo Maryoto
d. Latar belakang
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu
dari kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia. Kejadian PPOK akan semakin
meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah perokok, polusi udara
dari industri dan asap kendaraan yang menjadi faktor risiko penyakit
tersebut.
Word Health Organisation (WHO) memperkirakan bahwa pada
tahun 2020 prevalensi PPOK akan terus meningkat dari peringkat ke-6
menjadi peringkat ke-3 di dunia dan dari peringkat ke-6 menjadi
peringkat ke-3 penyebab kematian tersering di dunia (Depkes RI,
2008). Menurut WHO pada tahun 2010 PPOK adalah masalah
kesehatan utama yang menjadi penyebab kematian no 4 di Indonesia
(PDPI, 2006).
Sesak nafas atau dyspnoea merupakan gejala yang umum dijumpai
pada penderita PPOK (Ambrosino & Serradori, 2006). Penyebab sesak
nafas tersebut bukan hanya karena obstruksi pada bronkus atau
bronkhospasme saja tapi lebih disebabkan karena adanya hiperinflansi.
Keadaan tersebut berdampak kepada menurunnya saturasi oksigen
(SaO2).
Serangkaian penelitian tentang PLB yang telah dilakukan, seperti
dilakukan oleh Bianchi (2004), Ambrosino dan Serradori (2006),
Ramos et al (2009), dan Kim, et al (2012) menunjukan bahwa PLB
dapat meningkatkan kondisi pernafasan pasien PPOK, yaitu
meningkatkan SaO2. Tindakan keperawatan lain yang dapat dilakukan
untuk membantu meningkatkan kondisi pernafasan pasien PPOK
adalah memposisikan pasien. Posisi condong ke depan menigkatkan
tekanan intraabdominal dan menurunkan penekanan diafragma
kebagian rongga abdomen selama inspirasi (Bhatt, et al, 2009).

2. METODE PENELITIAN
Metode menggunakan simple random sampling.

3. SAMPEL
Besar sampel yang diteliti adalah 25 responden, terdiri dari 9 pasien PPOK
sebagai kelompok intervensi/ klp 1, 8 pasien PPOK sebagai kelompok
kontrol 2/ klp 2 dan 8 pasien PPOK sebagai kelompok kontrol 2/ klp 3.

4. HASIL
Hasil penelitian tentang Perbedaan SaO2 dapat dilihat pada table 1,
2 dan 3. Tabel 1 memberikan informasi pada kelompok 1, yaitu kelompok
yang diberikan posisi CKD dan PLB dari hari pertama sampai dengan hari
ketiga. Pada kelompok terjadi peningkatan nilai rerata, dengan nilai pv <
menunjukan bahwa ada perbedaan SaO2 dari hari pertama sampai hari
ketiga bermakna secara statistik. Sementara pada kelompok 2, yaitu
kelompok pasien PPOK yang diposisikan semi fowler dan natural
breathing nilai median hari pertama samapi hari ketiga adalah sama,
dengan nilai pv > menunjukan bahwa tidak ada perbedaan SaO2 dari
hari pertama sampai hari ketiga bermakna secara statistik. Pada kelompok
3, yaitu kelompok yang diposisikan CKD dan natural breathing nilai
median cenderung sama tetapi nilai maksimal cenderung mengalami
kenaikan, dengan nilai pv< menunjukan bahwa ada perbedaan SaO2 dari
hari pertama sampai hari ketiga bermakna secara statistik.
Tabel 2 memberikan informasi hasil uji post hoc pada kelompok 1
menunjukan bahwa ada perbedaan SaO2 antara hari pertama dengan hari
kedua, dan hari kedua dengan hari ketiga bermakna secara statistik,
dengan nilai pv< . Sementara pada kelompok 1 nilai SaO2 antara hari
pertama dengan hari kedua menunjukan tidak ada perbedaan yang
bermakna secara statistik, dengan nilaipv > . Hasil uji post hoc pada
kelompok 3 menunjukan bahwa ada perbedaan SaO2 antara hari pertama
dengan hari kedua, dan hari kedua dengan hari ketiga serta antara hari
kedua dengan hari ketiga bermakna secara statistik, dengan nilai pv< .
Tabel 3 memberikan informasi bahwa pada hari pertama tidak ada
perbedaan bermakna secara statitistik nilai SaO2 antar kelompok, dengan
nilai pv> .Pada hari kedua dan hari ketiga menunjukan ada perbedaan
bermakna secara statistik nilai SaO2 antar kelompok, dengan nilai pv< .
Dengan demikian dapat disimpulkan perbedaan SaO2 antar kelompok
terjadi pada hari kedua.
Tabel 4 memberikan informasi hasil uji post hoc baik pada hari
kedua maupun pada hari ketiga menunjukan bahwa ada perbedaan
bermakna secara statistik nilai SaO2 antara kelompok 1 dengan kelompok
2 dan antara kelompok 2 dengan kelompok 3, dengan masing-masing nilai
pv< , tetapi tidak ada perbedaan bermakna secara statistik nilai SaO2
antara kelompok 1 dengan kelompok 3, dengan masing-masing nilai pv>
. Posisi CKD dan PLB yang dilakukan bersama-sama dengan lama waktu
setiap latihan 5 menit sebanyak 3 kali dengan durasi istirahat 5 menit yang
dilakukan selama tiga hari, berdasarkan hasil penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa tindakan tersebut efektif untuk meningkatkan SaO2
pada pasien PPOK. Posisi CKD dan natural breathing berdasarkan hasil
penelitian ini juga dapat disimpulkan bahwa tindakan tersebut efektif
untuk meningkatkan SaO2 pada pasien PPOK. Namun berdasarkan hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa tindakan posisi CKD dan PLB lebih
efektif dari pada hanya meposisikan CKD dan natural breathing.
5. PEMBAHASAN
Posisi CKD akan meningkatkan otot diafragma dan otot interkosta
eksternal pada posisi kurang lebih 45 derajat. Otot diafragma merupakan
otot utama inspirasi dan otot interkosta eksternal juga merupakan otot
inspirasi. Otot diafragma yang berada pada posisi 45 derajat menyebabkan
gaya grafitasi bumi bekerja cukup adekuat pada otot utama inspirasi
tersebut dibandingkan posisi duduk atau setengah duduk. Gaya grafitasi
bumi yang bekerja pada otot diafragma memudahkan otot tersebut
berkontraksi bergerak ke bawah memperbesar volume rongga toraks
dengan menambah panjang vertikalnya. Begitu juga dengan otot interkosta
eksternal, gaya grafitasi bumi yang bekerja pada otot tersebut
mempermudah iga terangkat keluar sehingga semakin memperbesar
rongga toraks dalam dimensi anteroposterior.
Rongga toraks yang membesar menyebabkan tekanan di dalam
rongga toraks mengembang dan memaksa paru untuk mengembang,
dengan demikian tekanan intraalveolus akan menurun. Penurunan tekanan
intraalveolus lebih rendah dari tekanan atmosfir menyebabkan udara
mengalir masuk ke dalam pleura.
Proses tersebut menujukan bahwa dengan posisi CKD
mempermudah pasien PPOK yang mengalami obstruktif jalan nafas
melakukan inspirasi tanpa banyak mengeluarkan energi. Proses inspirasi
dengan menggunakan energi yang sedikit dapat mengurangi kelelahan
pasien saat bernafas dan juga meminimalkan penggunaan oksigen.
Peningkatan kontraksi pada otot diafragma dan otot interkosta
eksternal saat proses inspirasi juga meningkatkan kontraksi otot
intraabdomen saat otot-otot inspirasi tersebut melemas. Otot intraabdomen
merupakan otot utama ekspirasi.
Peningkatan kontraksi otot intraabdomen akan meningkatkan
tekanan intrabdomen. Peningkatan tekanan intrabdomen akan mendorong
diafragma ke atas semakin terangkat ke rongga toraks sehingga semakin
memperkecil ukuran rongga toraks. Otot ekspirasi yang lain yaitu otot
interkosta internal dengan diposisikan CKD menepatkan otot tersebut pada
sudut sekitar 45 derajat, yang memungkinakan gaya grafitasi bekerja lebih
optimal. Gaya grafitasi bumi tersebut akan membantu menarik otot
interkosta interna ke bawah sehingga ukuran rongga toraks semakin kecil.
Ukuran rongga toraks yang semakin kecil membuat tekanan
intraalveolus semakin meningkat. Peningkatan tekanan intraalveolus yang
melebihi tekanan atmosfir menyebabkan udara mengalir keluar dari
paru.Proses ventilasi yang meningkat pada pasien PPOK yang diposisikan
CKD akan meningkatkan pengeluaran CO2 dan meningkatkan asupan
oksigen ke dalam intraalveolus.
PLB adalah suatu latihan bernafas yang terdiri dari dua mekanisme
yaitu inspirasi secara kuat dan dalam serta ekspirasi aktif dan panjang.
Proses ekspirasi secara normal merupakan proses mengelurkan nafas tanpa
menggunakan energi. Bernafas PLB melibatkan proses ekspirasi secara
paksa. Ekspirasi secara paksa tentunya akan meningkatkan kekuatan
kontraksi otot intraabdomen sehingga tekanan intraabdomen pun
meningkat melebihi pada saat ekspirasi pasif.
Tekanan intrabdomen yang meningkat lebih kuat lagi tentunya
akan meningkatkan pula pergerakan diafragma ke atas membuat rongga
torak semakin mengecil. Rongga toraks yang semakin mengecil ini
menyebabkan tekanan intraalveolus semakin meningkat sehinga melebihi
tekanan udara atmosfir. Kondisi tersebut akan menyebabkan udara
mengalir keluar dari paru ke atmosfir. Ekspirasi yang dipaksa pada
bernafas PLB juga akan menyebabkan obstruksi jalan nafas dihilangkan
sehinga resistensi pernafasan menurun. Penurunan resistensi pernafasan
akan memperlancar udara yang dihembuskan dan atau dihirup. Bernafas
PLB selain ekspirasi dipaksa juga diperpanjang. Upaya memperpanjang
ekspirasi akan mencegah udara dihembuskan secara spontan yang dapat
berakibat paru kolap atau runtuh, dengan demikian dengan bernafas PLB
membantu mengeluarkan udara yang terperangkap pada pasien PPOK
sehingga CO2 di paru dapat dikeluarkan. Pengeluaran CO2 dari paru
memberikan peluang kepada O2 untuk mengisi ruang alveolus lebih
banyak lagi. Apalagi pada bernafas PLB juga ada mekanisme inspirasi
yang kuat dan dalam, maka mekanisme ini akan membantu meningkatkan
asupan O2 ke alveolus.
Tingginya tekanan O2 di alveolus dibandingkan dengan tekanan
O2 di kapiler paru dan rendahnya tekanan CO2 di alveolus dibandingkan
dengan tingginya tekanan CO2 di kapiler paru menyebabkan
meningkatnya gradien tekanan gas-gas tersebut di atara kedua sisi.
Perbedaan gradient tekanan O2 yang tinggi meningkatkan pertukaran gas,
yaitu difusi O2 dari alveolus ke kapiler paru.Perbedaan tekanan CO2 yang
tinggi juga meningkatkan pertukaran gas, yaitu difusi CO2 dari kapiler
paru ke alveolus untuk selanjutnya dikelurkan ke atmosfir.
Logikanya posisi CKD saja dapat meningkatkan inspirasi dan
ekspirasi maka dengan posisi CKD dan bernafas PLB pada pasien dengan
PPOK kerja inspirasi dan ekspirasi akan lebih optimal lagi, beban otot
inspirasi berkurang, sehingga udara terperangkap/ hiperinflasi menurun,
kapasitas residu juga menurun dan pertukaran gas pun meningkat.
Peningkatan pertukaran gas pada pasien yang melakukan posisi
CKD dan PLB maka oksigen yang berpindah ke kapiler paru pun akan
meningkat dan CO2 yang dikeluarkan ke alveolus pun akan meningkat.
Peningkatan jumlah oksigen yang berpindah ke kapiler paru akan
meningkatkan jumlah oksigen yang terikat oleh Hb.
SaO2 adalah adalah rasio kadar hemoglobin oksigen/ hemoglobin
teroksigenasi (HbO2) dengan hemoglobin dalam darah (total kadar HbO2
dan hemoglobin terdeoksigenasi), dengan demikian SaO2 pun akan
meningkat. Sebagaimana disampaikan oleh Sherwood (2001) bahwa
peningkatan PaO2 akan meningkatkan afinitas Hb terhadap oksigen dan
penurunan jumlah CO2 juga akan meningkatkan afinitas Hb terhadap
oksigen dan sebaliknya.

6. IMPLIKASI KEPERAWATAN
Implikasi keperawatan yang dilakukan pada penyakit PPOK dapat
menggunakan posisi condong ke depan dan Pursed Lips Breathing (Plb)
terhadap peningkatan saturasi oksigen pasien Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK).

7. KELEBIHAN JURNAL
Kelebihan dari jurnal tersebut yaitu terdapat tabel hasil yang terperinci dan
jelas.

8. KEKURANGAN JURNAL
Dalam jurnal tersebut tidak ada saran untuk penelitian berikutnya.

9. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa
1. Posisi CKD dan PLB yang dilakukan bersama-sama dengan lama
waktu setiap latihan 5 menit sebanyak 3 kali dengan durasi istirahat 5
menit yang dilakukan selama tiga hari efektif untuk meningkatkan
SaO2 pada pasien PPOK.
2. Posisi CKD dan PLB yang dilakukan selama tiga hari lebih efektif
untuk meningkatkan SaO2 dari pada posisi CKD dan natural
breathing.

BAB III
IMPLEMENTASI JURNAL
A.PENGKAJIAN
1. Identitas pasien
Nama : Tn.W
Umur : 48 thn
Jenis kelamin : laki - laki
Agama : islam
Pekerjaan : buruh
Pendidikan : SMA
Alamat : Telogorejo, Mojosongo
2. Keluhan Utama
Sesak dan batuk
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan pernah mengalami sesak nafas sejak 5 tahun yang lalu.
4. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Puskesmas Sibela dengan keluhan sesak nafas, sejak 1
hari sebelum masuk puskesmas pasien sesak terus menerus, dan sering
batuk.
Keadaan umum Composmentis, GCS : E4, V5, M6, suhu : 37C, T :
130/80 mmHg, N : 104 x/menit, RR: 28x/menit
Pernafasan melalui : hidung + terpasang 02 kanule (2 liter/menit). Trachea
tidak ada pembengkokan Cyanosis (-), dyspnea (+), batuk lendir putih,
darah (-) Whezeeng (+) / (+), Ronchi (+) / (+) dada. Oksigen 2 liter /
menit.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan di keluarganya tidak ada yang mengalami sakit seperti
ini.

6. Pengobatan / terapi
a) Terapi Oksigen
Nebulizer 4x (atroven : agua) = 1:1 ,O2 2L/menit
7. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : compos mentis, TD 130/80mmHg, RR
28x/menit, suhu 37 C, N :104x/menit
b. Dada
1) Paru
a) Inspeksi
Bentuk dada simetris
Tampak RR 28x/menit
b) Palpasi
Tidak ada pembengkakan pada paru
Tidak ada nyeri tekan
c) Perkusi
Hipersonor
d) Auskultasi
Suara nafas wheezing dan kadang terdengar ronchi

E.Analisa Data
NO DATA FOKUS ETIOLOGI PROBLEM
1. DS : Pasien mengatakan sesak Hiperventilasi Ketidak efektifan
nafas sejak 5 tahun yang lalu. pola nafas

DO: pasien tampak sesak


nafas/dispneu ,tampak
menggunakan alat bantu
pernafasan kanul O2 , RR: 28
2.
x/m, wheezing(+), Ronchi(+)

DS: pasien mengatakan sering Bersihan jalan


Adanya mukus
batuk nafas tidak

DO: p stampak batuk , batuk efektif

tampak ada lendir putih


F.Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas bd hiperventilasi
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif bd adanya mukus

G.Intervensi
NO DX DIAGNOSA NOC NIC
1 Ketidakefektifan Setelah dilakukan Airway Management
. pola nafas bd tindakan keperawatan 1. Posisikan
hiperventilasi 2x24 jam masalah pasien untuk
(00032) ketidakefektifan pola memaksimalkan
nafas teratasi ventilasi, posisi
CKD dan PLB
Kriteria :
2. Lakukan
1. RR normal 16-24 fisioterapi dada
2. Adanya jika perlu
kesimetrisan ekspansi 3. Keluarkan
dada sekret dengan
3. Tidak batuk atau
menggunakan otot suction
nafas tambahan 4. Auskultasi
4. Tidak ada suara nafas, catat
pernafasan cuping adanya suara
hidung saat tambahan
beraktifitas 5. Atur
5. Tidak ada nafas intake untuk
pendek cairan
mengoptimalkan
keseimbangan.
6. Mon
itor respirasi dan
status O2
7. Berikanbronk
odilator bila
perlu
(amonophilin 1
amp/24 jam)
2 Bersihan jalan Setelah dilakukan Airway Management
nafas tidak tindakan keperawatan
Intervensi :
efektif bd 1x24 jam masalah
adanya mucus bersihan jalan nafas tidak 1. Posisikan
efektif dapat teratasi pasien untuk
memaksimalkan
Kriteria :
ventilasi
1. RR normal 2. Lakukan

2. Tidak ada kecemasan fisioterapi dada


jika perlu
3.Mampu membersihkan
3. Berikan
secret
minum hangat
4. Tidak ada hambatan kepada pasien
dalam jalan nafas 4. Ajarkan batuk
efektif
5. Tidak ada batuk
5. Auskultasi
suara nafas, catat
adanya suara
tambahan

H. Implementasi

No. Hari / tanggal Implementasi Respon pasien Ttd


Dx
1. Selasa, 14 1. memposisikan DS :
november 2017 pasien untuk
pasien mengatakan
memaksimalkan
bersedia diposisikan
ventilasi, posisi
untuk memaksimalkan
CKD dan PLB
ventilasi

DO :

pasien tampak nyaman


setelah melakukan
posisi CKD dan PLB
2. Mengauskulta
si suara nafas,
DS: -
catat adanya suara
tambahan DO: Terdapat Suara
nafas wheezing dan
kadang terdengar
ronchi

2. Selasa, 14 1. Memberikan DS: pasien


november 2017 minum hangat mengatakan bersedia
kepada pasien diberikan minum air
hangat

DO: Pasien tampak


lega setelah diberikan

2. Mengajarkan minum air hangat.

batuk efektif

DS: pasien
mengatakan bersedia
diajarkan batuk
efektif.

DO: pasien tampak


lega setelah dapat
mengeluarkan
dahaknya.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu
dari kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia. Tindakan PLB dapat meningkatkan
kondisi pernafasan pasien PPOK, yaitu meningkatkan SaO2. Tindakan
keperawatan lain yang dapat dilakukan untuk membantu meningkatkan
kondisi pernafasan pasien PPOK adalah memposisikan pasien. Posisi
condong ke depan menigkatkan tekanan intraabdominal dan menurunkan
penekanan diafragma kebagian rongga abdomen selama inspirasi. Posisi
CKD dan PLB yang dilakukan dapat selama tiga hari lebih efektif untuk
meningkatkan SaO2 dari pada posisi CKD dan natural breathing.

B. Saran
Sebaiknya untuk mencegah terjadinya PPOK harus terhindar dari merokok
untuk mencapai hidup yang sehat, dan paru paru dapat bekerja dengan
baik.

DAFTAR PUSTAKA

Ambrosino, N. & Serradori, M. 2006. Comprehensive Treatment of


Dyspnoea in Chronic Obstructive Pulmonary Disease Patients.
University Hospital of Pisa: Long Termhealth Care

Bhatt, S.P., Guleria, R., Luqman-Arafath, T.K., Gupta, A.K., Mohan, A.,
Nanda, S., & Stoltzfus, J.C. 2009. Effect of tripod position on
objective parameters of respiratory function in stable chronic
obstructive pulmonary disease. Indian J Chest Dis Allied Sci.
51:8385

Departemen Kesehatan RI. 2008. Pedoman Pengendalian Penyakit paru


Obstruktif Kronik. Jakarta: Direktorat Jendral Pengendalian
penyakit dan Lingkungan, Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak
Menular.

Kim et al. 2012. Effects of breathing maneuver and sitting posture on


muscle activity in inspiratory accessory muscles in patients with
chronic obstructive pulmonary disease. Multidisciplinary
Respiratory Medicine. 7:9. diakses 13 Juni 2013 dari
http://www.mrmjournal.com/content/7/1/9

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Penyakit Paru Obstruktif


Kronik Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
Jakarta: Depkes RI

Ramos, et al. 2009. Influence of pursed-lip breathing on heart rate


variability and cardiorespiratory parameters in subjects with
chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Rev Bras Fisioter,
So Carlos. v. 13, n. 4, p. 288-93

Anda mungkin juga menyukai