Oleh :
Dalam penyusunan makalah ini, penulis mendapat bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak, oleh karena itu patutlah pada kesempatan ini penulis menyampaikan
ucapan terima kasih kepada :
1. Ibu Dr. Ir. Siti Munifah, M.Si sebagai Ketua STPP Malang.
2. Ibu Drh. Isyunani,M.Agr., selaku Dosen Pengampu I.
3. Bapak Dr.Setya Budhi Udrayan,M.Si., selaku Dosen Pengampu II.
4. Bapak M.Bisri,SST., selaku Asisten/ Laboran.
5. Semua Pihak yang telah membantu dalam penyusunan proposal PKL II ini.
Demikian makalah ini penulis susun, Penulis menyadari bahwa dalam
pembuatan makalah ini tidak lepas dari suatu kekurangan. Oleh karena itu, penulis
akan menerima kritik dan saran dari pembaca demi memperbaiki penulisan makalah
ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi saya penulis pada khususnya dan bagi
para pembaca pada umumnya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Peternakan merupakan sub sektor pertanian yang cukup memberi andil besar
dalam memenuhi kebutuhan gizi masyarakat terutama protein hewan yang sangat
berguna untuk kesehatan maupun kecerdasan otak. Protein hewani yang dimaksud
disini adalah yang didapatkan dari daging sapi. Namun ketersediaan daging sapi di
dalam negeri cukup terbatas dikarenakan rendahnya populasi sapi yang dimiliki oleh
para peternak sapi akibat munculnya berbagai macam penyakit yang cukup
meresahkan para peternak.
Kesehatan ternak merupakan kunci penentu keberhasilan suatu usaha
peternakan. Seperti munculnya suatu slogan dimana pencegahan lebih baik daripada
pengobatan, dari hal tersebut munculnya keinginan untuk memperbaikinya dengan
tindakan-tindakan seperti sanitasi, vaksinasi dan pelaksanaan. Banyak sekali penyakit
yang dapat menyerang sapi namun demikian yang terpenting adalah snot (Infectious
Corysa), Surra (Trypanosomiasis), Scabies serta beberapa yang lainnya.
Secara umum penyakit hewan adalah segala sesuatu yang menyebabkan
hewan menjadi tidak sehat. Hewan sehat adalah hewan yang tidak sakit dengan ciri-
ciri (a) bebas dari penyakit yang bersifat menular atau tidak menular, (b) tidak
mengandung bahan-bahan yang merugikan manusia sebagai konsumen, dan (c)
mampu berproduksi secara optimum. Data statistic tahun 2015 menyatakan bahwa
sekitar 42 ekor ternak ruminansia besar terjangkit penyakit surra (Typanosomiasis),
Scabies sebanyak 112 ekor ternak ruminansia besar, 101 ekor ternak ruminansia kecil,
20 ekor hewan kesayangan, dan 69 ekor unggas. Hal ini dapat dipastikan untuk
adanya penangganan cepat dari pihak tenaga medis kesehatan dan dinas peternakan
setempat. Peranan dari berbagai pihak sangat diperlukan untuk mencari solusi
maupun jalan keluar dalam penanggulangan, dan menekan tingginya mortilitas yang
tidak sesuai dengan produksi akhir di tingkat peternak.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa definisi penyakit Surra, Snot dan Scabies pada ternak?
2. Bagaimana cara menanggulangi penyakit tersebut pada ternak?
3. Bagaimana tindakan penyuluh juka menemui kasus-kasus tersebut di wilayah?
1.3. Tujuan
1. Agar mahasiswa mengetahui penegrtian atau definisi dari penyakit Surra, Snot
dan Scabies pada ternak
2. Agar mahasiswa dapat menanggulangi penyakit Surra, Snot dan Scabies pada
ternak
3. Agar mahasiswa, mengetahui tindakan-tindakan yang harus dilakukan di
wilayah tersebut, jika terdapat kasus-kasus yang dihadapi peternak
1.4. Manfaat
1. Manfaat bagi peternak
Kerugian ekonomi akibat penyakit Surra di benua Asia mencapai US$ 1,3 milyar
pertahun akibat penurunan produksi daging dan susu. Namun sebenarnya angka itu
bisa menjadi lebih besar karena jumlah kasus penyakit Surra yang dilaporkan biasanya
hanya merupakan angka kematian, sedangkan kejadian infeksi subklinis atau kronis
biasanya tidak dilaporkan. Di Indonesia misalnya, keguguran (abortus), gangguan
siklus berahi pada induk betina (anestrus), penurunan bobot badan dan kematian
ternak telah menyebabkan kerugian nasional yang diperkirakan mencapai US$ 22,4
Milyar per tahun (Luckins AG, 1998).
C. Penyakit scabies dikenal juga sebagai mange, itch, scab, acariasis. Di
Indonesia dikenal dengan kudis, budug, kesreg, darang atau mange. Penyakit
ini adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh sekelompok tungau.
Semua hewan piara dan manusia rentan terhadap penyakit ini tetapi berbeda
dalam prevalensi dan patogenesisnya. Penyakit scabies tersebar di seluruh
Indonesia dan banyak menyerang hewan seperti; kambing, sapi, kerbau,
domba, babi, anjing dan kelinci (Coville, 2000).
Secara morfologi Sarcoptes scabiei: berukuran kecil, berbentuk oval, punggungnya
cembung dan bagian perutnya rata. Sarcoptes scabiei transparan, berwarna putih
kotor, dan tidak bermata. Ukuran yang betina berkisar antara 330 450 mikron x 250
350 mikron, sedangkan yang jantan lebih kecil, yakni 200 240 mikron x 150 200
mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang kaki di depan sebagai
alat untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina berakhir dengan rambut,
sedangkan pada yang jantan pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut dan
keempat berakhir dengan alat perekat (Leuvine, 2000).
Bagian mulut terdiri atas Chelicorn yang bergigi, Pedipalp berbentuk kerucut yang
bersegmen tiga dan Palb bibir yang menjadi satu dengan Hipostoma. Anusnya terletak
di terminal dari tubuh dan tungau yang jantan tidak memiliki alat penghisap untuk
kawin atau Adanal sucker. Alat genital tungau betina berbentuk celah yang terletak
pada bagian ventral sedangkan alat genital jantan berbentuk huruf Y dan terletak
diantara pasangan kaki empat (Belding, 2001).
Sarcoptes scabiei mengalami siklus hidup mulai dari telur, larva, nimfa kemudian
menjadi jantan dewasa dan betina dewasa muda dan matang kelamin (Williams et al,
2000). Tungau Sarcoptes scabiei setelah kopulasi (perkawinan) yang terjadi di atas
kulit, yang jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup dalam terowongan
yang digali oleh yang betina. Tungau betina yang telah dibuahi menggali terowongan
dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2-3 milimeter sehari dan sambil
meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai mencapai jumlah 40 atau 50. Bentuk
betina yang telah dibuahi ini dapat hidup sebulan lamanya. Telurnya akan menetas,
biasanya dalam waktu 3-5 hari, dan menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki.
Larva dapat tinggal dalam terowongan, tetapi dapat juga keluar. Setelah 2 -3 hari larva
akan menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk, jantan dan betina, dengan 4 pasang
kaki. Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan
waktu antara 8-12 hari (Wahyuti, 2009).
Menurut Colville (2000), pada kasus yang parah dapat terlihat gejala klinis yang
lain yaitu hewan akan menggesek-gesekkan daerah yang gatal ke tiang kandang atau
pohon-pohon, menggaruk-garuk atau mencakar dan menggigit kulitnya secara terus-
menerus. Hewan menjadi kurus jika tidak segera diobati maka akan terjadi kematian.
Menurut Sungkar (2001), pada kambing yang terinfeksi terlihat: lesu, tidak ada
nafsu makan, kulit tampak menebal, berkerak, turgor kulit jelek, bulu rontok, gatal-gatal
atau Pruritis, Hyperemi pada selaput lendir mulut, terdapat lepuh pada mukosa mulut
dan terjadi Conjungtivitis.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 SNOT
A. Pengertian
Ayam menjadi hospes utama penyakit ini. Unggas lainnya juga terserang
seperti ayam mutiara, dan puyuh. Sedangkan kalkun, itik, burung merpati, gelatik dan
gagak relatif tahan. Semua umur ayam dapat terserang, umur 4 minggu sampai 3
tahun peka. Anak ayam berumur 3-7 hari dilaporkan tahan penyakit karena adanya
antibodi maternal.
E. Perubahan Patologi Anatomi
Masa inkubasi tidak diketahui dengan pasti. Secara percobaan berlangsung 24-
48 jam setelah infeksi atau intra sinus dengan biakan bakteri atau eksudat. Lama
berlangsungnya penyakit tergantung dari inokulum dan keganasan bakteri. Ayam
terserang ditandai dengan gejala pernafasan yaitu:
Pengeluaran cairan air mata
Keluar lendir dari hidung, kental berwarna kekuningan dan berbau khas
Pembengkakan di daerah sinus infraorbitalis
Terdapat kerak dihidung
Napsu makan turun
Pertumbuhan menjadi lambat.
Kelopak matannya menjadi lengket.
Nanah pada mata berbau busuk yang dapat mengerak disekitar lubang hidung
Angka kematian dapat mencapai 50%, tetapi bila tanpa komplikasi dengan
penyakit ikutan biasanya hanya mencapai 20% atau kurang (Akoso, 1992).
F. Penanganan Penyakit (Pengendalian dan pencegahan penyakit)
Penularan penyakit surra erat kaitannya dengan transportasi ternak atau lalu
lintas ternak baik nasional maupun internasional. Penyebarannya terjadi secara
sporadik yang artinya penyakit surra dapat muncul kapan saja tergantung pada kondisi
lingkungan, kondisi imunitas hewan (kekebalan tubuh), dan pupulasi lalat (vector). Itu
artinya pada musim penghujan adalah waktu yang tepat bagi lalat untuk berkembang
biak. Dan hidupnya menyukai tempat-tempat yang banyak mengandung air.
D. Symptom Penyakit/ Gejala
Gejala Umum Akibat Penyakit Surra Pada Ternak Sapi dan Kerbau
Suhu tubuh meningkat
Kepala berputar-putar (pada kerbau)
Terlihat lesu atau lemah
Bulu dan kulit menjadi kasar dan kering
Terdapat perdarahan titik (petechial haemorrhages) di kelopak mata, hidung
dan anus.
Nafsu makan berkurang
Terjadi pembengkakan pada limfonudus prescapularis kiri dan kanan
Penurunan bobot badan
Pada sapi perah penurunan produksi susu
pertumbuhan lambat pada anak kerbau
E. Penanganan Penyakit (Pengendalian dan pencegahan penyakit)
Ternak yang diduga sakit segera dilakukan pemisahan dengan ternak yang
sehat dalam kandang karantina yang tertutup agar terbebas dari gigitan lalat.
Pengobatan dapat diberilakn dengan Arsokol atau Atocyl.
Tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan cara melakukan pembasmian
serangga yang menjadi penyebab penyakit surra secara rutin pada kandang dan
lingkungan sekitar. Penyemprotan dapat dilakukan pada ternak menggunakan
insektisida yang aman bagi ternak. Pembersihan tempat pembuangan kotoran dan
sampah sisa makanan ternak. Jaga selalu agar kondisi kandang tetap bersih, tidak
lembab, selain itu berikan makanan dan minuman pada ternak dalam keadaaan bersih.
2.2. SCABIES
A. Pengertian
Penyakit Scabies sering juga disebut penyakit Kudis atau bulug atau budug pada
sapi. Scabies juga merupakan penyakit zoonoisis dan dapat menular pada manusia.
biasanya disebabkan oleh alat dan kandang yang kotor. Kotoran tersebut biasanya
mengandung tungau sarcoptes scabei. Ternak yang sehat biasanya tertular jika sudah
terjadi kontak lansung dengan ternak atau sapi yang terkena scabies. biasanya hewan
yang terserang skabies terkesan seperti hewan yang gatal-gatal.
Telah banyak referensi yang telah membahas penyakit kudis atau scabies.
Beberapa peternak menyebut sebagai penyakit gudig. Nama kedokteran yang lebih
tepat adalah Sarcoptic Mange. Penyakit ini disebabkan oleh tungau parasit Sarcoptes
scabiei. Jenis tungau ini masuk melalui kedalam jaringan kulit. Tungau ini
mengakibatkan pembengkakan dan bintik-bintik yang disebabkan kalenjar rambut yang
terhambat. Penyakit ini sering terjadi pada kambing muda, kambing yang sedang
bunting dan kambing perah.
Penyakit scabies ini juga mudah menular dari manusia ke manusia , dari hewan ke
manusia dan sebaliknya. Scabies mudah menyebar baik secara langsung melalui
sentuhan langsung dengan penderita maupun secara tak langsung melalui baju,
seprei, handuk, bantal, air yang masih terdapat kutu Sarcoptesnya. Penyakit ini adalah
salah satu penyakit menular yang sering ditemukan. Ditandai adanya radang pada kulit
dengan disertai keropeng dan juga rontoknya bulu pada daerah yang terserang
penyakit. Scabies menyebar dengan mudah melalui kontak langsung, dan berbagai
media penularan yang ada di kandang. Penyakit scabies dapat menimbulkan kerugian
yang besar akibat penurunan berat badan, penurunan produksi daging, kualitas kulit
dan gangguan kesehatan masyarakat dan penurunan harga jual kambing sampai 1/3
harga normal. Kambing scabiesyang tidak diobati bisa mengalami kematian dalam tiga
bulan. Selain kerugian ekonomis tersebut, penyakit ini juga sangat merugikan karena
bersifat zoonosis yaitu penyakit ternak yang mampu menyerang manusia.
Parasit Tungau penyebab scabies setelah menginfeksi ternak kemudian akan
menembus kulit, menghisap cairan limfe dan juga memakan sel se epidermis pada
hewan. Penyakit scabies ini akan menimbulkan rasa gatal yang luar biasa sehingga
kambing atau ternak yang terserang akan menggosokkan badannya ke kandang. Jenis
penyakit ini semakin digosok ataupun digaruk maka akan menjadi semakin gatal.
Eksudat yang dihasilkan oleh penyakit gudik akan merembes keluar kulit kemudian
mengering membentuk sisik di permukaan kulit. Sisik ini akan menebal dan selanjutnya
terjadi keratinasi serta proliferasi jaringan ikat. Daerah sekitar yang terinfeksi parasit
akan menjadi berkerut dan tidak rata. Rambut kulit pada daerah ini akan menjadi
jarang bahkan hilang. Penyakit ini sering terjadi pada kambing muda, kambing yang
sedang bunting dan kambing perah.
F. Penanganan Penyakit (Pengendalian dan pencegahan penyakit)
A. Snot
Tindakan pada Peternak
Melakukan penyuluhan mengenai penyakit Snot, terutama pada
peternak unggas
Melakukan Demonstrasi Cara penanganan ternak terkena penyakit Snot
agar tidak menjadi lebih parah
Melakukan Demonstrasi cara vaksinasi pada ternak Unggas
Tindakan Pada Ternak Unggas
Melakukan Pemisahan /ternak yang terkena Snot diisolasi, guna
menghindari penularan pada ternak lainnya
Melakukan penekanan pada daerah yang terjadi penumpukan cairan,
terutamadidaerah kepala, guna membersihkan cairan dari daerah
tersebut
Melakukan perawatan dan pemeliharaan secara terpisah dengan ternak
lainnya (pemberian pakan, minum, obat-obatan)
Juka ternak sudah sehat maka boleh dipindahkan kekandang, bersama
ternak-ternak yang lainnya
B. Surra
Upaya yang perlu dilakukan untuk pengendalian terhadap penyakit Surra penyuluh
yaitu dengan menekan vector lalat Tabanus di sekitar kandang ternak. Cara efektif
adalah menjaga lingkungan kandang tetap bersih dari limbah pakan ternak yang
menumpuk disekitar kandang dan melakukan control lalat dengan obat anti lalat. Obat
anti lalat yang beredar di pasaran antara lain Gusanex, Ralat.
Tindakan pencegahan dan pengobatan terhadap penderita Surra dengan preparat
obat Naganol, Surramin (tidak beredar lagi di Indonesia) Triponyl, Trypamidium,
Vetquin. Agar efektif pengobatan kasus positif Surra dilakukan pengobatan 2(dua) kali
interval 1 minggu dan untuk pencegahan dapat dilakukan pengobatan 1 (satu) kali di
lingkungan ternak yang ada kasus.
C. Scabies
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
1. Upaya pengendalian dan penanganan penyakit ini sebenarnya sangat
sederhana dan dapat dilakukan oleh semua kalangan peternak. Namun
diperlukan sebuah komitmen dan kesadaran yang tinggi dari seluruh peternak
bahwa upaya pengendalian dan penanganan kasus pada ternak sapi dan
berkelanjuta, sehingga modal utama bisa dimiliki oleh semua peternak.
2. Penyakit tersebut diatas telah menjadi penyakit ekonomi yang menimbulkan
kerugian cukup besar. kasusnya yang terus berulang diperlukan pengendalian
dan penanganan dengan memutus siklus hidup dari penyakit tersebut yang
sifatnya berkelanjutan dengan ditunjang oleh komitmen dan kesadaran yang
tinggi dari seluruh peternak.
4.2 SARAN
1. Manajemen pemeliharaan ternak perlu ditingkatkan terutama dalam hal-hal
yang berhubungan dengan sanitasi kandang atau manajemen kandang yang
baik dan lingkungannya. Untuk meningkatkan pengetahuan peternak dalam
pencegahan dan penanganan penyakit snot, surra, dan scabies sehingga
dirasa perlu dilakukan penyuluhan atau sosialisasi oleh Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan setempat.
2. Bilamana populasi ternak besar, maka prosedur pengendalian penyakit harus
didasarkan pada penanganan masal yang berbeda dengan penanganan
individual. Karantina ternak baru, isolasi kelompok ternak yang sakit dan
mengeluarkan kelompok ternak yang sakit dari lingkungan peternakan perlu
dilaksanakan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Direktorat Jendral Peternakan dan
Kesehatan Hewan, Dapertemen Pertanian, Jakarta.Halaman : 431-438.
Iskandar, T. 2000. Invasi ulang scabies (Sarcoptes scabiei) pada kerbau lumpur (Bos
bubalus) dengan pengobatan salep asuntol 50 WP konsentrasi 2% dan
perubahan patologik kulit. Penyakit Hewan. 23: 21- 23.