Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH KESEHATAN HEWAN

PENYAKIT SNOT( Infectious Corysa), SURRA (Trypanosomiasis), SCABIES

Oleh :

Tatto Kristanto Albertus Parjala


Yuni Eka, P Jacob J. Parjer
Zahro Fanani Otlif Darakay

SEKOLAH TINGGI PENYULUHAN PERTANIAN MALANG


BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SDM PERTANIAN
KEMENTERIAN PERTANIAN
2016
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Kehadirat Allah Subhanahu Wa Taala yang telah melimpahkan


berkah dan rahmat-Nya, sehingga Makalah Penyakit Snot, Surra, Scabies ini dapat
terselesaikan dengan baik.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis mendapat bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak, oleh karena itu patutlah pada kesempatan ini penulis menyampaikan
ucapan terima kasih kepada :

1. Ibu Dr. Ir. Siti Munifah, M.Si sebagai Ketua STPP Malang.
2. Ibu Drh. Isyunani,M.Agr., selaku Dosen Pengampu I.
3. Bapak Dr.Setya Budhi Udrayan,M.Si., selaku Dosen Pengampu II.
4. Bapak M.Bisri,SST., selaku Asisten/ Laboran.
5. Semua Pihak yang telah membantu dalam penyusunan proposal PKL II ini.
Demikian makalah ini penulis susun, Penulis menyadari bahwa dalam
pembuatan makalah ini tidak lepas dari suatu kekurangan. Oleh karena itu, penulis
akan menerima kritik dan saran dari pembaca demi memperbaiki penulisan makalah
ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi saya penulis pada khususnya dan bagi
para pembaca pada umumnya.

Malang, 24 November 2016

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Peternakan merupakan sub sektor pertanian yang cukup memberi andil besar
dalam memenuhi kebutuhan gizi masyarakat terutama protein hewan yang sangat
berguna untuk kesehatan maupun kecerdasan otak. Protein hewani yang dimaksud
disini adalah yang didapatkan dari daging sapi. Namun ketersediaan daging sapi di
dalam negeri cukup terbatas dikarenakan rendahnya populasi sapi yang dimiliki oleh
para peternak sapi akibat munculnya berbagai macam penyakit yang cukup
meresahkan para peternak.
Kesehatan ternak merupakan kunci penentu keberhasilan suatu usaha
peternakan. Seperti munculnya suatu slogan dimana pencegahan lebih baik daripada
pengobatan, dari hal tersebut munculnya keinginan untuk memperbaikinya dengan
tindakan-tindakan seperti sanitasi, vaksinasi dan pelaksanaan. Banyak sekali penyakit
yang dapat menyerang sapi namun demikian yang terpenting adalah snot (Infectious
Corysa), Surra (Trypanosomiasis), Scabies serta beberapa yang lainnya.
Secara umum penyakit hewan adalah segala sesuatu yang menyebabkan
hewan menjadi tidak sehat. Hewan sehat adalah hewan yang tidak sakit dengan ciri-
ciri (a) bebas dari penyakit yang bersifat menular atau tidak menular, (b) tidak
mengandung bahan-bahan yang merugikan manusia sebagai konsumen, dan (c)
mampu berproduksi secara optimum. Data statistic tahun 2015 menyatakan bahwa
sekitar 42 ekor ternak ruminansia besar terjangkit penyakit surra (Typanosomiasis),
Scabies sebanyak 112 ekor ternak ruminansia besar, 101 ekor ternak ruminansia kecil,
20 ekor hewan kesayangan, dan 69 ekor unggas. Hal ini dapat dipastikan untuk
adanya penangganan cepat dari pihak tenaga medis kesehatan dan dinas peternakan
setempat. Peranan dari berbagai pihak sangat diperlukan untuk mencari solusi
maupun jalan keluar dalam penanggulangan, dan menekan tingginya mortilitas yang
tidak sesuai dengan produksi akhir di tingkat peternak.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa definisi penyakit Surra, Snot dan Scabies pada ternak?
2. Bagaimana cara menanggulangi penyakit tersebut pada ternak?
3. Bagaimana tindakan penyuluh juka menemui kasus-kasus tersebut di wilayah?
1.3. Tujuan
1. Agar mahasiswa mengetahui penegrtian atau definisi dari penyakit Surra, Snot
dan Scabies pada ternak
2. Agar mahasiswa dapat menanggulangi penyakit Surra, Snot dan Scabies pada
ternak
3. Agar mahasiswa, mengetahui tindakan-tindakan yang harus dilakukan di
wilayah tersebut, jika terdapat kasus-kasus yang dihadapi peternak
1.4. Manfaat
1. Manfaat bagi peternak

Secara khusus peternak mampu mengidentifikasi dan mendiagnosa terjadinya


gejala klinis terhadap penyakit ternak.

2. Manfaat bagi mahasiswa

Secara umum mahasiswa dapat meimplementasikan semua ilmu dan


pengetahuan yang diketahuinya untuk segera di kembang di masyarakat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Pengertian Penyakit.
Manajemen kesehatan ternak harus melalui suatu proses yaitu suatu cara yang
sistematis untuk menjalankan suatu pekerjaan. Penyakit merupakan salah satu
hambatan yang perlu diatasi dalam usaha ternak. Melalui penerapan manajemen
kesehatan ternak yang dilakukan secara berkelanjutan, diharapkan dampak negatif
dari penyakit ternak dapat diminimalkan. Penyakit-penyakit yang dijadikan prioritas
untuk diatasi adalah penyakit parasiter, terutama skabies dan parasit saluran
pencernaan (nematodiasis). Sementara itu, untuk penyakit bakterial terutama anthrax,
pink eye, dan pneumonia. Penyakit viral yang penting adalah orf, dan penyakit lainnya
(penyakit non infeksius) yang perlu diperhatikan adalah penyakit diare pada anak
ternak, timpani (kembung rumen) dan keracunan sianida dari tanaman. Pengendalian
penyakit parasit secara berkesinambungan (sustainable parasite controle) perlu
diterapkan agar infestasi parasit selalu di bawah ambang yang dapat mengganggu
produktivitas ternak. Vaksinasi terhadap penyakit Anthrax (terutama untuk daerah
endemis anthrax), dan orf merupakan tindakan preventif yang dianjurkan.
Masalah kesehatan ternak juga dapat disebabkan oleh tidak cukupnya nutrisi
yang masuk ke dalam tubuh ternak. Ternak tidak akan tumbuh maksimal bila pakan
kurang baik atau kurang menerima nutrisi seperti protein, karbohidrat, lemak, vitamin,
mineral dan air yang tidak seimbang. Tidak cukupnya nutrisi dapat mengakibatkan
penyakit seperti grass tetany, milk fever, ketosis, white muscle dissease. Selain itu
pakan yang kurang akan menimbulkan masalah parasit, gangguan pencernaan,
kegagalan reproduksi dan penurunan produksi.
Penanganan kesehatan merupakan salah satu hal yang memiliki peranan
penting dalam memperoleh pejantan yang sehat. Selain itu ternak juga penting untuk
diperiksa, agar dapat mendeteksi infeksi penyakit-penyakit tertentu. Penyakit pada
masing-masing jenis juga berbeda, misalnya pada sapi Bali yang paling umum adalah
Jembrana (Gregory, 1983). Adapun upaya yang dilakukan untuk
menjaga kesehatan ternak meliputi tindakan karantina,pemeriksaan kesehatan harian,
penanganan kesehatan hewan, pemotongan kuku, desinfeksi kandang, kontrol
ektoparasit, pemberian vaksin, pemberian obat cacing, biosecurity maupun otopsi.
1.2 Jenis Penyakit Ternak
A. Infeksius coryza (Snot) merupakan penyakit pernafasan bagian atas pada
unggas, terutama ayam, yang bersifat akut. Penyakit ini telah menyebar luas di
seluruh dunia, dan kejadiannya sering pada musim dingin atau udara jelek.
Penyebaran penyakit dalam kandang sangat cepat, baik secara kontak
langsung dengan ayam-ayam sakit, maupun tidak langsung melalui air minum,
udara, dan peralatan yang tercemar (HINZ, 1981).
Gejala-gejala klinis dari penyakit ini ditandai dengan keluarnya eksudat dari hidung
yang mula-mula berwarna kuning dan encer (sereous), tetapi lama-lama berubah
menjadi kental dan bernanah dengan bau yang khas (mucopurulent). Bagian paruh di
sekitar hidung tampak kotor atau berkerak oleh sisa pakan yang menempel pada
eksudat. Sinus infraorbitalis membengkak, yang ditandai dengan pembengkakan
sekitar mata dan muka. Kadang-kadang suara ngorok terdengar dan ayam penderita
agak sulit bernafas. Penurunan nafsu makan dan diare sering terjadi, sehingga
pertumbuhan ayam menjadi terhambat dan kerdil (ANONIM, 1980).
Penyakit ini dapat menyerang semua jenis ayam, baik ayam Kampung, ayam
petelur, dan ayam potong/pedaging. Penyakit berjalan akut dan kadangkadang kronis,
dengan masa inkubasi 1-3 hari. Pada sekelompok ayam penyakit ini dapat
berlangsung antara 1-3 bulan. Angka kematian umumnya rendah, yaitu antara 1-5%
walau pernah ada laporan.
B. Trypanosomiasis atau Surra adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh
agen Trypanosoma evansi dan ditularkan melalui gigitan lalat penghisap darah
(haematophagus flies). Agen T. evansi telah tersebar luas di kawasan Asia
Tenggara, Afrika dan Amerika Selatan (Jones TW et al.,1996 ; Powar RM et al.,
2006). Pada wilayah yang berbeda tersebut, parasit ini dapat menyerang
berbagai spesies hewan. Di Amerika Selatan, kasus penyakit Surra paling
sering ditemukan pada kuda. Hewan yang terinfeksi di Cina umumnya kuda,
kerbau, dan rusa. Di Timur Tengah dan Afrika parasit ini menyerang unta, dan
di Asia Tenggara penyakit Surra dapat ditemukan pada kuda, sapi, dan kerbau.
Trypanosoma evansi diperkirakan masuk ke Asia Tenggara melalui ternak impor
asal India (Payne et al., 1991). Kasus penyakit Surra pertama kali dilaporkan di
Indonesia pada tahun 1897 pada populasi kuda di Pulau Jawa. Selanjutnya wabah
Surra dilaporkan terjadi pada sapi dan kerbau di Jawa Timur. Tindakan pengendalian
wabah Surra pada waktu itu antara lain isolasi, pemotongan paksa ternak yang
terinfeksi dan membuat perapian di sekitar kandang untuk menghindarkan ternak dari
gigitan lalat. Upaya tersebut kurang berhasil sehingga dalam jangka waktu 10 tahun
seluruh dataran rendah di Pulau Jawa dilaporkan endemik Surra. Perpindahan ternak
secara ekstensif, baik di dalam pulau Jawa maupun antarpulau di Indonesia
merupakan faktor pendukung penyebaran agen T. evansi. Lalat berperan besar dalam
penularan trypanosomiasis, terutama pada saat ternak terinfeksi dibawa masuk ke
daerah yang bebas trypanosoma. Sejak pertama kali dilaporkan, kasus penyakit Surra
telah terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Studi serologi (Payne RC et al.,1991)
mengkonfirmasi bahwa agen Trypanosoma evansi telah tersebar dan Surra endemik di
seluruh Indonesia. Manifestasi klinis penyakit Surra pada hewan bervariasi dimana
infeksi bisa berlangsung akut, subklinis dan kronis sehingga menimbulkan dampak
ekonomi. Kerugian ekonomi secara langsung terutama akibat kematian ternak dan
biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan. Kerugian secara tidak langsung akibat
infeksi subklinis atau kronis dan kondisi penurunan imunitas (imunosupresi) akibat
penyakit Surra serta penurunan produksi daging dan susu.

Kerugian ekonomi akibat penyakit Surra di benua Asia mencapai US$ 1,3 milyar
pertahun akibat penurunan produksi daging dan susu. Namun sebenarnya angka itu
bisa menjadi lebih besar karena jumlah kasus penyakit Surra yang dilaporkan biasanya
hanya merupakan angka kematian, sedangkan kejadian infeksi subklinis atau kronis
biasanya tidak dilaporkan. Di Indonesia misalnya, keguguran (abortus), gangguan
siklus berahi pada induk betina (anestrus), penurunan bobot badan dan kematian
ternak telah menyebabkan kerugian nasional yang diperkirakan mencapai US$ 22,4
Milyar per tahun (Luckins AG, 1998).
C. Penyakit scabies dikenal juga sebagai mange, itch, scab, acariasis. Di
Indonesia dikenal dengan kudis, budug, kesreg, darang atau mange. Penyakit
ini adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh sekelompok tungau.
Semua hewan piara dan manusia rentan terhadap penyakit ini tetapi berbeda
dalam prevalensi dan patogenesisnya. Penyakit scabies tersebar di seluruh
Indonesia dan banyak menyerang hewan seperti; kambing, sapi, kerbau,
domba, babi, anjing dan kelinci (Coville, 2000).
Secara morfologi Sarcoptes scabiei: berukuran kecil, berbentuk oval, punggungnya
cembung dan bagian perutnya rata. Sarcoptes scabiei transparan, berwarna putih
kotor, dan tidak bermata. Ukuran yang betina berkisar antara 330 450 mikron x 250
350 mikron, sedangkan yang jantan lebih kecil, yakni 200 240 mikron x 150 200
mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang kaki di depan sebagai
alat untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina berakhir dengan rambut,
sedangkan pada yang jantan pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut dan
keempat berakhir dengan alat perekat (Leuvine, 2000).
Bagian mulut terdiri atas Chelicorn yang bergigi, Pedipalp berbentuk kerucut yang
bersegmen tiga dan Palb bibir yang menjadi satu dengan Hipostoma. Anusnya terletak
di terminal dari tubuh dan tungau yang jantan tidak memiliki alat penghisap untuk
kawin atau Adanal sucker. Alat genital tungau betina berbentuk celah yang terletak
pada bagian ventral sedangkan alat genital jantan berbentuk huruf Y dan terletak
diantara pasangan kaki empat (Belding, 2001).

Sarcoptes scabiei mengalami siklus hidup mulai dari telur, larva, nimfa kemudian
menjadi jantan dewasa dan betina dewasa muda dan matang kelamin (Williams et al,
2000). Tungau Sarcoptes scabiei setelah kopulasi (perkawinan) yang terjadi di atas
kulit, yang jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup dalam terowongan
yang digali oleh yang betina. Tungau betina yang telah dibuahi menggali terowongan
dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2-3 milimeter sehari dan sambil
meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai mencapai jumlah 40 atau 50. Bentuk
betina yang telah dibuahi ini dapat hidup sebulan lamanya. Telurnya akan menetas,
biasanya dalam waktu 3-5 hari, dan menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki.
Larva dapat tinggal dalam terowongan, tetapi dapat juga keluar. Setelah 2 -3 hari larva
akan menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk, jantan dan betina, dengan 4 pasang
kaki. Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan
waktu antara 8-12 hari (Wahyuti, 2009).

Menurut Colville (2000), pada kasus yang parah dapat terlihat gejala klinis yang
lain yaitu hewan akan menggesek-gesekkan daerah yang gatal ke tiang kandang atau
pohon-pohon, menggaruk-garuk atau mencakar dan menggigit kulitnya secara terus-
menerus. Hewan menjadi kurus jika tidak segera diobati maka akan terjadi kematian.
Menurut Sungkar (2001), pada kambing yang terinfeksi terlihat: lesu, tidak ada
nafsu makan, kulit tampak menebal, berkerak, turgor kulit jelek, bulu rontok, gatal-gatal
atau Pruritis, Hyperemi pada selaput lendir mulut, terdapat lepuh pada mukosa mulut
dan terjadi Conjungtivitis.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 SNOT
A. Pengertian

Penyakit coryza sudah akrab di telinga para peternak.Tanda penyakit tersebut


juga mudah dikenali baik oleh peternak skala kecil maupun besar.Nama lainnya adalah
snot atau pilek yang menjadi ciri khasnya.Hampir semua jenis unggas mudah
terserang penyakit ini, diantaranya ayam pedaging, petelur, buras (kampung), merpati,
itik maupun puyuh.Coryza bisa menyerang ayam pada semua umur, khususnya mulai
umur 3 minggu sampai masa produksi.
Peternak seringkali hanya tahu bahwa coryza merupakan suatu penyakit
pernapasan (dilihat dari tanda khasnya), padahal coryza juga menyebabkan
penurunan produksi telur.Pada ayam pedaging, penyakit ini juga mengganggu
pertumbuhan ayam sehingga ayam sulit mencapai berat standar. Kerugian yang
lainnya ialah tingginya biaya pengobatan, ayam menjadi mudah terserang penyakit lain
atau penyakit menjadi komplek sehingga penyakit semakin sulit diatasi (ayam
disembuhkan) dan seringkali berakhir dengan kematian.
B. Etilogi/ Penyebab Penyakit

Penyakit Snot atau coryza disebabkan oleh bakteri Haemophillus


gallinarum.Coryza Infeksi (IC) adalah penyakit infeksi bakteri menular pernafasan
beberapa spesies burung. Penyebab penyakit adalah bakteri Haemophilus
paragallinarum. Termasuk bakteri gram negatif dan non motil, bentuk batang pendek
dan berukuran 1-3 x 0,4-0,8 um. Bakteri yang ganas mempunyai kapsul dan
mengalami degenerasi dalam waktu 48-60 jam, dalam bentuk fragmen dan bentuk
yang tidak teratur. Organisme penyebabnya diketemukan pertama kali oleh Beach
pada tahun 1920 (Akoso, 1992).
C. Epidemologi/ Penularan Penyakit

Bakteri Haemophillus gallinarum hanya dapat bertahan diluar induk semang


tidak lebih dari lebih dari 12 jam. Penularan penyakit Snot atau coryza dapat melalui
kontak langsung dengan hewan yang sakit juga dapat melalui udara, debu, pakan, air
minum, petugas dan peralatan yang digunakan.
D. Symptom Penyakit/ Gejala

Ayam menjadi hospes utama penyakit ini. Unggas lainnya juga terserang
seperti ayam mutiara, dan puyuh. Sedangkan kalkun, itik, burung merpati, gelatik dan
gagak relatif tahan. Semua umur ayam dapat terserang, umur 4 minggu sampai 3
tahun peka. Anak ayam berumur 3-7 hari dilaporkan tahan penyakit karena adanya
antibodi maternal.
E. Perubahan Patologi Anatomi

Masa inkubasi tidak diketahui dengan pasti. Secara percobaan berlangsung 24-
48 jam setelah infeksi atau intra sinus dengan biakan bakteri atau eksudat. Lama
berlangsungnya penyakit tergantung dari inokulum dan keganasan bakteri. Ayam
terserang ditandai dengan gejala pernafasan yaitu:
Pengeluaran cairan air mata
Keluar lendir dari hidung, kental berwarna kekuningan dan berbau khas
Pembengkakan di daerah sinus infraorbitalis
Terdapat kerak dihidung
Napsu makan turun
Pertumbuhan menjadi lambat.
Kelopak matannya menjadi lengket.
Nanah pada mata berbau busuk yang dapat mengerak disekitar lubang hidung
Angka kematian dapat mencapai 50%, tetapi bila tanpa komplikasi dengan
penyakit ikutan biasanya hanya mencapai 20% atau kurang (Akoso, 1992).
F. Penanganan Penyakit (Pengendalian dan pencegahan penyakit)

Pengobatan Snot yang diberikan adalah preparat sulfat


seperti sulfadimethoxine atau sulfathiazole. Seorang penulis menyebutkan pengobatan
tradisional juga dilakukan dengan memberikan susu bubuk yang dicampur dengan air
dan dibentuk sebesar kelereng sesuai dengan bukaan mulut ayam dan diberikan 3 kali
sehari.
Sedangkan pengobatan tradisional lain yang dapat dilakukan adalah
memberikan perasan tumbukan jahe, kunir, kencur dan lempuyang. Air perasan ini
dicampurkan pada air minum.Selain ramuan ini menghangatkan tubuh ayam, ramuan
ini juga berkhasiat untuk menambah napsu makan ayam. Selain memberikan obat
yang diberikan bersama dengan air minum, juga diberikan obat secara suntikan pada
ayam yang sudah parah. Obat yang diberikan adalah Sulfamix dengan dosis 0.4 cc/kg
bobot badan ayam. Hal lain yang perlu dilakukan karena penyakit ini mempunyai
penularan yang sangat cepat dan luas, ayam yang terkena Snot harus sesegera
mungkin dipisahkan dari kelompoknya. Belakangan ini telah dikembangkan
vaksin coryza yang dikembangkan dengan vaksin IB dan ND inaktif.
2.1. SURRA
A. Pengertian

Penyakit Surra merupakan penyakit infeksi darah yang disebabkan oleh


protozoa Trypanosoma evansi yang ditularkan melalui gigitan lalat penghisap darah
(haematophagus files). Umumnya penyakit ini dapat menyerang semua jenis hewan /
ternak. Di Asia Tenggara khususnya Indonesia penyakit Surra sering menyerang Sapi
dan Kerbau terkadang juga kuda.
B. Etilogi/ Penyebab Penyakit

Penyakit surra dapat mengakibatkan kerugian yang cukup besar, sebab


pengobatannya cukup mahal. Sifatnya yang dapat menular penyakit ini ditetapkan
salah satu hewan menular strategis (PHMS) yang telah diputuskan Pemerintah Pusat
melalui Kementan No 4026.Kpts./OT.140/3/2013.
Penyakit ini ditularkan melalui gigitan lalat penghisap darah (vector) terutama
Tabanus sp yang membawa parasit. Parasit ini dapat ditemukan di dalam sirkulasi
darah pada fase infeksi akut. Parasit Trypanosoma evansi dapat membelah diri untuk
memperbanyak diri.
C. Epidemologi/ Penularan Penyakit

Penularan penyakit surra erat kaitannya dengan transportasi ternak atau lalu
lintas ternak baik nasional maupun internasional. Penyebarannya terjadi secara
sporadik yang artinya penyakit surra dapat muncul kapan saja tergantung pada kondisi
lingkungan, kondisi imunitas hewan (kekebalan tubuh), dan pupulasi lalat (vector). Itu
artinya pada musim penghujan adalah waktu yang tepat bagi lalat untuk berkembang
biak. Dan hidupnya menyukai tempat-tempat yang banyak mengandung air.
D. Symptom Penyakit/ Gejala
Gejala Umum Akibat Penyakit Surra Pada Ternak Sapi dan Kerbau
Suhu tubuh meningkat
Kepala berputar-putar (pada kerbau)
Terlihat lesu atau lemah
Bulu dan kulit menjadi kasar dan kering
Terdapat perdarahan titik (petechial haemorrhages) di kelopak mata, hidung
dan anus.
Nafsu makan berkurang
Terjadi pembengkakan pada limfonudus prescapularis kiri dan kanan
Penurunan bobot badan
Pada sapi perah penurunan produksi susu
pertumbuhan lambat pada anak kerbau
E. Penanganan Penyakit (Pengendalian dan pencegahan penyakit)

Ternak yang diduga sakit segera dilakukan pemisahan dengan ternak yang
sehat dalam kandang karantina yang tertutup agar terbebas dari gigitan lalat.
Pengobatan dapat diberilakn dengan Arsokol atau Atocyl.
Tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan cara melakukan pembasmian
serangga yang menjadi penyebab penyakit surra secara rutin pada kandang dan
lingkungan sekitar. Penyemprotan dapat dilakukan pada ternak menggunakan
insektisida yang aman bagi ternak. Pembersihan tempat pembuangan kotoran dan
sampah sisa makanan ternak. Jaga selalu agar kondisi kandang tetap bersih, tidak
lembab, selain itu berikan makanan dan minuman pada ternak dalam keadaaan bersih.

2.2. SCABIES
A. Pengertian

Penyakit Scabies sering juga disebut penyakit Kudis atau bulug atau budug pada
sapi. Scabies juga merupakan penyakit zoonoisis dan dapat menular pada manusia.
biasanya disebabkan oleh alat dan kandang yang kotor. Kotoran tersebut biasanya
mengandung tungau sarcoptes scabei. Ternak yang sehat biasanya tertular jika sudah
terjadi kontak lansung dengan ternak atau sapi yang terkena scabies. biasanya hewan
yang terserang skabies terkesan seperti hewan yang gatal-gatal.

B. Etilogi/ Penyebab Penyakit

Telah banyak referensi yang telah membahas penyakit kudis atau scabies.
Beberapa peternak menyebut sebagai penyakit gudig. Nama kedokteran yang lebih
tepat adalah Sarcoptic Mange. Penyakit ini disebabkan oleh tungau parasit Sarcoptes
scabiei. Jenis tungau ini masuk melalui kedalam jaringan kulit. Tungau ini
mengakibatkan pembengkakan dan bintik-bintik yang disebabkan kalenjar rambut yang
terhambat. Penyakit ini sering terjadi pada kambing muda, kambing yang sedang
bunting dan kambing perah.

C. Epidemologi/ Penularan Penyakit

Scabies yang ditularkan melalui hewan Seperti di Amerika, sumber utama


kejadian scabies biasanya ditularkan oleh hewan yaitu anjing. Kelainan ini berbeda
dengan scabies manusia yaitu tidak terdapat terowongan, tidak menyerang sela jari
dan genitalia eksterna. Lesi biasanya terjadi di daerah dimana orang-orang sering
kontak/memeluk binatang kesayangannya, yaitu perut, dada, paha, dan lengan. Masa
inkubasi lebih pendek dan transmisi lebih mudah. Kelainan ini bersifat sementara (4-8
minggu) dan dapat sembuh karena Sarcoptes scabiei var. binatang tidak dapat
melanjutkan siklus hidupnya pada tubuh manusia.

D. Symptom Penyakit/ Gejala

Sarcoptes scabiei menyukai bagian tubuh yang jarang rambutnya, misalnya


daerah telinga, tumit, sela paha dan ambing.
Hewan terlihat tidak tenang akibat rasa gatal dengan menggaruk atau
menggosokkan pada benda keras. Rasa gatal tersebut timbul dari adanya allergen
yang merupakan hasil metabolisme Sarcoptes scabiei. Selain itu, adanya aktifitas
Sarcoptes scabiei misalnya berpindah tempat, juga dapat menyebabkan gatal.
Rambut rontok dan patah-patah akibat sering menggaruk pada bagian yang
gatal. Adanya kerusakan kulit dengan tepi yang tidak merata disertai penebalan kulit
(keropeng), kulit bersisik dan diikuti terjadinya reruntuhan jaringan kulit.
Nafsu makan hewan turun, dan pada akhirnya akan diikuti penurunan berat
badan sehingga hewan akan tampak kurus. Pada kasus yang berat dapat
mengakibatkan kematian.
E. Perubahan Patologi Anatomi

Penyakit scabies ini juga mudah menular dari manusia ke manusia , dari hewan ke
manusia dan sebaliknya. Scabies mudah menyebar baik secara langsung melalui
sentuhan langsung dengan penderita maupun secara tak langsung melalui baju,
seprei, handuk, bantal, air yang masih terdapat kutu Sarcoptesnya. Penyakit ini adalah
salah satu penyakit menular yang sering ditemukan. Ditandai adanya radang pada kulit
dengan disertai keropeng dan juga rontoknya bulu pada daerah yang terserang
penyakit. Scabies menyebar dengan mudah melalui kontak langsung, dan berbagai
media penularan yang ada di kandang. Penyakit scabies dapat menimbulkan kerugian
yang besar akibat penurunan berat badan, penurunan produksi daging, kualitas kulit
dan gangguan kesehatan masyarakat dan penurunan harga jual kambing sampai 1/3
harga normal. Kambing scabiesyang tidak diobati bisa mengalami kematian dalam tiga
bulan. Selain kerugian ekonomis tersebut, penyakit ini juga sangat merugikan karena
bersifat zoonosis yaitu penyakit ternak yang mampu menyerang manusia.
Parasit Tungau penyebab scabies setelah menginfeksi ternak kemudian akan
menembus kulit, menghisap cairan limfe dan juga memakan sel se epidermis pada
hewan. Penyakit scabies ini akan menimbulkan rasa gatal yang luar biasa sehingga
kambing atau ternak yang terserang akan menggosokkan badannya ke kandang. Jenis
penyakit ini semakin digosok ataupun digaruk maka akan menjadi semakin gatal.
Eksudat yang dihasilkan oleh penyakit gudik akan merembes keluar kulit kemudian
mengering membentuk sisik di permukaan kulit. Sisik ini akan menebal dan selanjutnya
terjadi keratinasi serta proliferasi jaringan ikat. Daerah sekitar yang terinfeksi parasit
akan menjadi berkerut dan tidak rata. Rambut kulit pada daerah ini akan menjadi
jarang bahkan hilang. Penyakit ini sering terjadi pada kambing muda, kambing yang
sedang bunting dan kambing perah.
F. Penanganan Penyakit (Pengendalian dan pencegahan penyakit)

Sekalipun terdapat berbagai macam obat mengatasi kudis, mencegah lebih


penting daripada mengobati. Beberapa langkah pencegahan yang dilakukan peternak.
Menjaga kebersihan kandang dan peralatan. Bersihkan kandang
kambing dari sisa-sisa makanan yang jatuh.
Hindari kambing dari air hujan. Jaga agar kandang tidak lembab.
Menjaga kebersihan kambing dengan memandikan ternak.
Isolasi dan observasi (karantina) kambing yang baru masuk.
Hindari memasukkan ternak terinfeksi kudis.
Segera isolasi dan obati kambing yang terinfeksi.
Menjaga kebutuhan pakan kambing agar tetap terpenuhi. Kambing
etawa yang kurang konsumsi pakannya akan mudah terserang penyakit.
2.3. Tindakan Penyuluh

Tindakan para penyuluh yakni

A. Snot
Tindakan pada Peternak
Melakukan penyuluhan mengenai penyakit Snot, terutama pada
peternak unggas
Melakukan Demonstrasi Cara penanganan ternak terkena penyakit Snot
agar tidak menjadi lebih parah
Melakukan Demonstrasi cara vaksinasi pada ternak Unggas
Tindakan Pada Ternak Unggas
Melakukan Pemisahan /ternak yang terkena Snot diisolasi, guna
menghindari penularan pada ternak lainnya
Melakukan penekanan pada daerah yang terjadi penumpukan cairan,
terutamadidaerah kepala, guna membersihkan cairan dari daerah
tersebut
Melakukan perawatan dan pemeliharaan secara terpisah dengan ternak
lainnya (pemberian pakan, minum, obat-obatan)
Juka ternak sudah sehat maka boleh dipindahkan kekandang, bersama
ternak-ternak yang lainnya

B. Surra
Upaya yang perlu dilakukan untuk pengendalian terhadap penyakit Surra penyuluh
yaitu dengan menekan vector lalat Tabanus di sekitar kandang ternak. Cara efektif
adalah menjaga lingkungan kandang tetap bersih dari limbah pakan ternak yang
menumpuk disekitar kandang dan melakukan control lalat dengan obat anti lalat. Obat
anti lalat yang beredar di pasaran antara lain Gusanex, Ralat.
Tindakan pencegahan dan pengobatan terhadap penderita Surra dengan preparat
obat Naganol, Surramin (tidak beredar lagi di Indonesia) Triponyl, Trypamidium,
Vetquin. Agar efektif pengobatan kasus positif Surra dilakukan pengobatan 2(dua) kali
interval 1 minggu dan untuk pencegahan dapat dilakukan pengobatan 1 (satu) kali di
lingkungan ternak yang ada kasus.

C. Scabies

Pencegahan scabies dapat dilakukan penyuluh yakni dengan sanitasi kandang


dan lingkungan, dapat juga diobati dengan berbagai cara. Beberapa obat tradisional
telah digunakan untuk pengobatan scabies seperti campuran belerang dan minyak
kelapa. Belerang dipercaya oleh masyarakat dapat mematikan tungau Sarcoptes
scabiei karena kandungan sulfurnya, sedangkan minyak kelapa dipercaya sebagai
bahan pencampur obat-obatan karena kegunaannya sebagai pelarut untuk melarutkan
belerang disamping berperan dalam proses reabsorbsi obat ke dalam tubuh melalui
pori-pori kulit. Pengobatan tradisional lainnya dengan menggunakan oli bekas yang
dipanaskan dan dioleskan pada bagian kulit yang berlesi atau ke seluruh tubuh.
BAB IV

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
1. Upaya pengendalian dan penanganan penyakit ini sebenarnya sangat
sederhana dan dapat dilakukan oleh semua kalangan peternak. Namun
diperlukan sebuah komitmen dan kesadaran yang tinggi dari seluruh peternak
bahwa upaya pengendalian dan penanganan kasus pada ternak sapi dan
berkelanjuta, sehingga modal utama bisa dimiliki oleh semua peternak.
2. Penyakit tersebut diatas telah menjadi penyakit ekonomi yang menimbulkan
kerugian cukup besar. kasusnya yang terus berulang diperlukan pengendalian
dan penanganan dengan memutus siklus hidup dari penyakit tersebut yang
sifatnya berkelanjutan dengan ditunjang oleh komitmen dan kesadaran yang
tinggi dari seluruh peternak.

4.2 SARAN
1. Manajemen pemeliharaan ternak perlu ditingkatkan terutama dalam hal-hal
yang berhubungan dengan sanitasi kandang atau manajemen kandang yang
baik dan lingkungannya. Untuk meningkatkan pengetahuan peternak dalam
pencegahan dan penanganan penyakit snot, surra, dan scabies sehingga
dirasa perlu dilakukan penyuluhan atau sosialisasi oleh Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan setempat.
2. Bilamana populasi ternak besar, maka prosedur pengendalian penyakit harus
didasarkan pada penanganan masal yang berbeda dengan penanganan
individual. Karantina ternak baru, isolasi kelompok ternak yang sakit dan
mengeluarkan kelompok ternak yang sakit dari lingkungan peternakan perlu
dilaksanakan.
DAFTAR PUSTAKA

Anonym. 2014. Makalah Penyakit Snot atau Coryza. http://www.ilmuternak.com/2014/


11/maklah-penyakit-snot-atau-coryza.html. [24 November 2016].

Anonim. 2011. Penyakit Pada Ternak (scabies).

Anonim. 2012. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Direktorat Jendral Peternakan dan
Kesehatan Hewan, Dapertemen Pertanian, Jakarta.Halaman : 431-438.

Budiharta, S. 2002. Kapita Selekta Epidemiologi Veteriner. Bagian Kesehatan


Masyarakat Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.

Iskandar, T. 2000. Invasi ulang scabies (Sarcoptes scabiei) pada kerbau lumpur (Bos
bubalus) dengan pengobatan salep asuntol 50 WP konsentrasi 2% dan
perubahan patologik kulit. Penyakit Hewan. 23: 21- 23.

Anda mungkin juga menyukai