Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PARASETAMOL

Rumus bangun :

Rumus molekul :
C8H9NO2
Nama Kimia : 4-
hidroksiasetanilida [103-90-2]
Berat Molekul : 151,16
Kandungan : Tidak Kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0% C8H9NO2
dihitung terhadap zat anhidrat.
Kelarutan : Larut dalam air mendidih dan dalam natrium hidroksida 1 N;
mudah larut dalam etanol.
Parasetamol merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik yang telah
digunakan sejak tahun 1893. efek antipiretik ditimbulkan oleh gugu aminobenzen.
Parasetamol untuk meredakan demam (antipiretik) tidak seluas penggunaanya sebagai
analgesik. Efek analgesik dari parasetamol yaitu meredakan rasa nyeri ringan hingga
sedang.
Dosis untuk nyeri dan demam oral 2-3 dd 0,5-1 g, maksimal 4 g/hari, pada
penggunaan kronis maksimal 2,5 g/hari. Anak-anak: 4-6 dd 10 mg/kg, yakni rata-rata
usia 3-12 bulan 60 mg, 1-4 tahun 120-180 mg, 4-6 tahun 180 mg, 7-12 tahun 240-360
mg, 4-6 kali sehari. Dosis rektal 20 mg/kg setiap kali, dewasa 4 dd 0,5-1 g, anak-anak
usia 3-12 bulan 2-3 dd 120 mg, 1-4 tahun 2-3 dd 240 mg, 4-6 tahun 4 dd 240 mg dan
7-12 tahun 2-3 tahun dd 0,5 g.
Parasetamol diabsorbsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi
tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu setengah jam dan masa paruh plasma
antara 1-3 jam. Pengikatan obat ini terhadap protein plasma beragam, hanya 20-50%
yang mungkin terikat pada konsentrasi yang ditemukan selama intoksisitas akut.
Setelah dosis terapeutik, 90-100% obat ini ditemukan dalam urin selama hari pertama.
Sebagian besar parasetamol (80%) dikonjugasi dengan asam glukoronat dan sisanya
dengan asam sulfat. Parasetamol mengalami proses N-hidroksilasi yang diperantarai
sitokrom P450 membentuk N-asetil-benzokuinoneimin yang sangat reaktif dan dapat
bereaksi dengan gugus sulfihidril pada glutation. Namun, setelah ingesti parasetamol
dosis besar, metabolit ini terbentuk dalam jumlah yang cukup untuk menghilangkan
glutation hepatic (ApHA,2008).

2.2 KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI

Kromatografi cair kinerja tinggi atau KCKT atau biasa juga disebut dengan
HPLC (High Performance Liquid Chromatography) dikembangkan pada akhir taahun
1960-an dan awal tahun 1970-an. Saat ini, KCKT merupakan teknik pemisahan yang
diterima secara luas dan paling cepat berkembang untuk analisis dan pemurnian
senyawa tertentu dalam suatu sampel.
Kegunaan umum KCKT adalah untuk pemisahan sejumlah senyawa organik,
anorganik, maupun senyawa biologis, analisis ketidakmurnian (impurities), analisis
senyawa-senyawa tidak mudah menguap (non-volatil), penentuan molekul-molekul
netral, ionik, maupun zwitter ion, isolasi dan pemurnian senyawa, pemisahan
senyawa-senyawa yang strukturnya hampir sama, pemisahan senyawa-senyawa dalam
jumlah sekelumit (trace element), dalam jumlah banyak dan dalam skala proses
industri. KCKT merupakan metode yang tidak destruktif dan dapat digunakan baik
untuk analisis kualitatif maupun kuantitatif (Gandjar & Rohman, 2007; Harnita, 2006)

2.2.1 Cara kerja KCKT


Kromatografi merupakan teknik yang mana solut atau zat-zat terlarut terpisah
oleh perbedaan kecepatan elusi, dikarenakan solut-solut ini melewati suatu kolom
kromatografi. Pemisahan solut-solut ini diatur oleh distribusi solut dalam fase gerak
dan fase diam. Penggunaan kromatografi cair secara sukses terhadap suatu masalah
yang dihadapi membutuhkan penggabungan secara tepat dari berbagai macam kondisi
operasional seperti jenis kolom, fase gerak, panjang dan diameter kolom, kecepatan
alir fase gerak, suhu kolom, dan ukuran sampel.
Instrumentasi KCKT pada dasarnya terdiri atas delapan komponen pokok, yaitu:
wadah fase gerak, sistem penghantaran fase gerak, alat untuk memasukkan sampel,
kolom, detektor, wadah penampung buangan fase gerak, tabung penghubung dan
suatu komputer atau integrator atau perekam (Gandjar & Rohman, 2007).

2.2.2 Wadah Fase Gerak pada KCKT

Wadah fase gerak harus bersih dan inert. Wadah pelarut kosong ataupun labu
laboratorium dapat digunakan sebagai wadah fase gerak. Wadah ini biasanya dapat
menampung fase gerak antara 1-2 liter pelarut. Fase gerak sebelum digunakan harus
dilakukan degassing (penghilangan gas) yang ada pada fase gerak, sebab adanya gas
yang terkumpul dengan komponen lain terutama di pompa dan detektor sehinggaa
akan mengacaukan analisis (Gandjar & Rohman, 2007).

2.2.3. Fase Gerak KCKT


Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran pelarut yang dapat
bercampur yang secara keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi. Daya
elusi dan resolusi ini ditentukan oleh polaritas keseluruhan pelarut, polaritas fase
diam, dan sifat komponen-komponen sampel. Untuk fase normal (fase diam lebih
polar daripada fase gerak), kemampuan elusi meningkat dengan meningkatnya
polaritas pelarut (Gandjar & Rohman, 2007).

2.2.4. Pompa pada KCKT

Pompa yang cocok digunakan pada KCKT adalah pompa yang mempunyai syarat
sebagaimana syarat wadah pelarut yakni: pompa harus inert terhadap fase gerak.
Bahan yang umum dipakai untuk pompa adalah gelas, baja tahan karat, teflon, dan
batu nilam. Pompa yang digunakan sebaiknya mampu memberikan tekanan sampai
5000 psi dan mampu mengalirkan fase gerak dengan kecepatan 3ml/menit. Untuk
tujuan preparatif, pompa yang digunakan harus mampu mengalirkan fase gerak
dengan kecepatan 20 ml/menit (Gandjar & Rohman, 2007).

2.2.5 Penyuntikan Sampel pada KCKT

Sampel-sampel cair dan larutan disuntikkan secara langsung ke dalam fase gerak
yang mengalir dibawah tekanan menuju kolom menggunakan alat penyuntik yang
terbuat dari tembaga tahan karat dan katup teflon yang dilengkapi dengan lekuk
sampel (sampel loop) internal atau eksternal.
Pada saat pengisian sampel, sampel digelontor melewati sampel loop dan
kelebihannya dikeluarkan ke pembuangan. Pada saat penyuntikan, katup diputar
sehingga fase gerak mengalir melewati sampel loop dan menggelontor sampel ke
kolom. Presisi penyuntikan dengan sampel loop ini dapat mencapai nilai RSD 0,1%
(Gandjar & Rohman, 2007).

2.2.6 Kolom pada KCKT

Ada 2 jenis kolom pada KCKT yaitu kolom konvensional dan kolom mikrobor.
Kolom mikrobor mempunyai 3 keuntungan yang utama dibandingkan dengan kolom
konvensional, yakni:
a. Konsumsi fase gerak kolom mikrobor hanya 80% atau lebih kecil dibanding
dengan kolom konvensional karena pada kolom mikrobor kecepatan alir fase
gerak lebih lambat (10-100 l/menit).
b. Adanya aliran fase gerak yang lebih lambat membuat kolom mikrobor lebih ideal
jika digabung dengan spektrofotometer massa.
c. Sensitifitas kolom mikrobor ditingkatkan karena solut lebih pekat, karenanya
jenis kolom ini sangat bermanfaat jika jumlah sampel terbatas misal sampel
klinis.
Meskipun demikian, dalam prakteknya, kolom mikrobor ini tidak setahan kolom
konvensional dan kurang bermanfat untuk analisis rutin (Gandjar & Rohman, 2007).
2.2.6 Fase Diam pada KCKT

Kebanyakan fase diam pada KCKT berupa silika yang dimodifikasi secara
kimiawi, silika yang tidak dimodifikasi, atau polimer-polimer stiren dan
divinilbenzen. Permukaan silika adalah polar dan sedikit asam karena adanya residu
gugus silanol (Si-OH).
Silika dapat dimodifikasi secara kimiawi dengan menggunakan reagen-reagen
seperti klorosilan. Reagen-reagen ini akan bereaksi dengan gugus silanol dan
menggantinya dengan gugus-gugus fungsional yang lain. Hasil reaksi yang diperoleh
disebut dengan silika fase terikat yang stabil terhadap hidrolisis karena terbentuk
ikatan-ikatan siloksan (Si-O-O-Si). Silika yang dimodifikasi ini mempunyai
karakteristik kromatografi dan selektifitas yang berbeda jika dibandingkan dengan
silika yang tidak dimodifikasi (Gandjar & Rohman, 2007).

2.2.7 Detektor KCKT

Detektor pada KCKT dikelompokkan menjadi 2 golongan yaitu: detektor


universal (yang mampu mendeteksi zat secara umum, tidak spesifik, dan tidak bersifat
selektif) seperti detektor indeks bias dan detektor spektrometri massa; dan golongan
detektor yang spesifik yang hanya akan mendeteksi analit secara spesifik dan selektif,
seperti detektor UV-Vis, detektor flourosensi, dan elektrokimia
Idealnya, suatu detektor harus mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a. Mempunyai respon terhadap solut yang cepat dan reprodusibel
b. Mempunyai sensitifitas yang tinggi, yakni mampu mendeteksi solut pada kadar
yang sangat kecil
c. Stabil dalam pengoperasiannya
d. Mempunyai sel volume yang kecil sehingga mampu meminimalkan pelebaran
pita. Untuk kolom konvensional, selnya bervolume 8 l atau lebih kecil,
sementara kolom mikrobor selnya bervolume 1 l atau lebih kecil lagi.
e. Signal yang dihasilkan berbanding lurus dengan konsentrasi solut pada kisaran
yang luas (kisaran dinamis dan linier)
f. Tidak peka terhadap perubahan suhu dan kecepatan alir fase gerak (Gandjar &
Rohman, 2007).
2.2.8 Penggunaan KCKT dalam Analisis Farmasi

Metode KCKT merupakan metode yang sangat populer untuk menetapkan kadar
senyawa obat, baik dalam bentuk sediaan maupun dalam sampel hayati. Hal ini
disebabkan KCKT merupakan metode yang memberikan sensitifitas dan spesifitas
yang tinggi (Gandjar & Rohman, 2007).

2.2.9 Keuntungan KCKT

KCKT mempunyai banyak keuntungan jika dibandingkan dengan Kromatografi


Cair tradisional, yaitu (Johnson & Stevenson, 1991):
a. Kecepatan waktu analisi
b. Daya pisahnya baik dan selektif
c. Peka, karena detektor dapat mendeteksi konsentrasi yang kecil
d. Kolom dapat dipaaki kembali
e. Ideal untuk molekul besar dan ion
f. Mudah memperoleh kembali cuplikan

2.3 VALIDASI METODE ANALISIS

Validasi merupakan suatu proses yang terdiri atas paling tidak 4 langkah nyata,
yaitu: (1) validasi perangkat lunak (software validation), (2) vlidasi perangkat
keras/instrument (instrument/hardware validation), (3) validasi metode, dan (4)
kesesuaian sistem (system suitability).
Validasi metode analisis menurut United States Pharmacopoeia (USP) dilakukan
untuk menjamin bahwa metode analisis akurat, spesifik, reprodusibel, dan tahan pada
kisaran analit yang akan dianalisis.
Suatu metode analisis harus divalidasi untuk melakukan verifikasi bahwa
parameter-parameter kinerjanya cukup mampu untuk mengatasi problem analisis,
karenanya suatu metode harus divalidasi, ketika:
a. Metode baru dikembangkan untuk mengatasi problem analisis tertentu.
b. Metode yang sudah baku direvisi untuk menyesuaikan perkembangan atau karena
munculnya suatu problem yang mengarahkan bahwa metode baku tersebut harus
direvisi.
c. Penjaminan mutu yang mengindikasikan bahwa metode baku telah berubah seiring
dengan berjalannya waktu.
d. Metode baku digunakan di laboratorium yang berbeda, dikerjakan oleh analis yang
berbeda, atau dikerjakan dengan alat yang berbeda.
e. Untuk mendemonstrasikan kesetaraan antar 2 metode, seperti antara metode baru
dan metode baku (Gandjar & Rohman, 2007).
Tahapan validasi metode analisis dilakukan dalam dua bagian besar, yaitu:
1. Tahap persiapan
i. Kalibrasi instrumen dan alat-alat gelas yang digunakan dalam proses validasi
ii. Penyiapan bahan acuan baku dan matriks sediaan (plasebo)
iii. Uji kesesuaian sistem untuk metode kromatografi
2. Tahap Validasi
i. Spesifitas
ii. Linieritas dan rentang
iii Batas deteksi
iv. Batas kuantitasi
v. Akurasi
vi. Presisi

2.3.1 Ketepatan (akurasi)

Akurasi merupakan ketelitian metode analisis atau kedekatan antara nilai terukur
dengan nilai yang diterima baik nilai konvensi, nilai sebenarnya, atau nilai rujukan.
Akurasi diukur sebagai banyaknya analit yang diperoleh kembali pada suatu
pengukuran dengan melakukan spiking pada suatu sampel. Untuk pengujian senyawa
obat, akurasi diperoleh dengan membandingkan hasil pengukuran dengan bahan
rujukan standar (standard reference material, SRM). Suatu metode dikatakan tepat
jika ia menghasilkan hasil yang sama dalam sederet penentuan ulangan (Gandjar &
Rohman, 2007; Johnson & Stevenson, 1991). Akurasi ini ditentukan dengan empat
cara sebagai persen perolehan kembali (% recovery):
a. Analisis kadar analit dengan metode yang divalidasi terhadap sampel yang telah
diketahui kadarnya
b. Analisis kadar analit yang ditambahkan kedalam matriks sampel yang dianalisis
(spiked method). Yang dapat dinyatakan dalam persamaan:

% Recovery = (Ch-Cb)/Cs x 100%

Dengan Ch adalah kadar analit yang dihitung dari metode yang divalidasi, Cb adalah
kadar tanpa analit (blanko) dan Cs adalah kadar analit teoritis.
c. Jika matriks dan eksipien tidak tersedia, maka akurasi dinyatakan dengan persen
perolehan kembali kadar analit yang ditambahkan pada produk jadi yang sudah
mengandung analit (Standar addition method)
d. Membandingkan hasil analisis analit dengan metode yang divalidasi terhadap
hasil dengan metode baku (Cara grafik)

2.3.2 Presisi

Presisi merupakan ukuran keterulangan metode analisis dan biasanya


diekspresikan sebagai simpangan baku relatif dari sejumlah sampel yang berbeda
signifikan secara statistik. Sesuai dengan International Conference on Harmonization
(ICH), presisi harus dilakukan pada 3 tingkatan yang berbeda yaitu: keterulangan
(repeatability), presisi antara (intermediate precision) dan ketertiruan
(reproducibility).
a. Keterulangan yaitu ketepatan (precision) pada kondisi percobaan yang sama
(berulang) baik personilnya, peralatanyya, tempatnya, maupun waktunya.
b. Presisi antara yaitu ketepatan (precision) pada kondisi percobaan yang berbeda,
baik personilnya, peralatannya, tempatnya, maupun waktunya.
c. Ketertiruan merujuk pada hasil-hasil dari laboratorium yang lain.
Dokumentasi presisi seharusnya mencakup: simpangan baku, simpangan baku
relatif (RSD) atau koefisien variasi (CV), dan kisaran kepercayaan. Pengujian presisi
pada saat awal validasi metode seringkali hanya menggunakan 2 parameter yang
pertama, yaitu: keterulangan dan presisi antara. Reprodusibilitas biasanya dilakukan
ketika akan melakukan uji banding antar laboratorium. Presisi seringkali
diekspresikan dengan SD atau standar devias relatif (RSD) dari serangkaian data.
SD
RSD x100%
x
dengan SD adalah simpangan baku yang dirumuskan dengan persamaan:

SD
( xi x) 2

Biasanya replikasi 6-15 n 1


dilakukan pada sampel tunggal untuk tiap-tiap konsentrasi. Pada pengujian dengan
KCKT, nilai RSD antara 1-2% biasanya dipersyaratkan untuk senyawa-senyawa
dengan kadar sekelumit. RSD berkisar antara 5-15% (Gandjar & Rohman, 2007).

2.3.3 Batas Deteksi (limit of detection, LOD)

Batas deteksi didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel


yang masih dapat dideteksi, meskipun tidak selalu dapat dikuantifikasi. LOD
merupakan batas uji yang secara spesifik menyatakan apakah analit diatas atau
dibawah nilai tertentu. Definisi batas deteksi yang paling umum digunakan dalam
kimia analisi adalah bahwa batas deteksi merupakan kadar analit yang memberikan
respon sebesar respon blanko (Yb) ditambah dengan 3 simpangan baku blanko (3Sb).
LOD seringkali diekspresikan sebagai suatu konsentrasi pada rasio signal
terhadap derau (signal to noise ratio) yang biasanya rasionya 2 atau 3 dibanding 1.
ICH mengenalkan suatu konversi metode signal to noise ratio ini, meskipun demikian
ICH juga menggunakan 2 metode pilihan lain untuk menentukan LOD yakni: metode
non instrumental visual dan dengan metode perhitungan. Metode non instrumental
visual digunakan pada teknik kromatografi lapis tipis dan pada metode titrimetri.
LOD juga dapat dihitung berdasarkan pada standar deviasi (SD) respon dan
kemiringan (slope, S) kurva baku pada level yang mendekati LOD sesuai dengan
rumus LOD = 3,3 (SD/S). Standar deviasi respon dapat ditentukan berdasarkan pada
standar deviasi blanko, pada standar deviasi residual dari garis regresi, atau standar
deviasi intersep y pada garis regresi (Gandjar & Rohman, 2007).

2.3.4 Batas Kuantifikasi (limit of quantification, LOQ)

Batas kuantifikasi didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel


yang dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima pada kondisi
operasional metode yang digunakan. Sebagaimana LOD, LOQ juga diekspresikan
sebagai konsentrasi (dengan akurasi dan presisi juga dilaporkan). Kadang-kadang
rasio signal to noise ratio 10:1 digunakan untuk menentukan LOQ. Perhitungan LOQ
dengan rasio signal to noise ratio 10:1 merupakan aturan umu, meskipun demikian
perlu diingat bahwa LOQ merupakan suatu kompromi antara konsentrasi dengan
presisi dan akurasi yang dipersyaratkan. Jadi, jika konsentrasi LOQ menurun maka
presisi juga menurun. Jika presisi tinggi dipersyaratkan, maka konsentrasi LOQ yang
lebih tinggi harus dilaporkan.
ICH mengenalkan metode signal to noise ratio ini, meskipun demikian
sebagimana dalam perhitungan LOD, ICH juga menggunakan 2 metode pilihan lain
untuk menentukan LOQ yaitu: (1) metode non instrumental visual dan (2) metode
perhitungan. Sekali lagi, metode perhitungan didasarkan pada standar deviasi respon
(SD) dan slope (S) kurva baku sesuai rumus: LOQ = 10 (SD/S). Standar deviasi
respon dapat ditentukan berdasarkan standar deviasi blanko pada standar deviasi
residual garis regresi linier atau dengan standar deviasi intersep-y pada garis regresi
(Gandjar & Rohman, 2007).

2.3.5 Linieritas

Linieritas merupakan kemampuan suatu metode untuk memperoleh hasil-hasil uji


yang secara langsung proporsional dengan konsentrasi analit pada kisaran yang
diberikan. Linieritas suatu metode merupakan ukuran seberapa baik kurva kalibrasi
yang menghubungkan anatar respon (y) dengan konsentrasi (x). Linieritas dapat
diukur dengan melakukan pengukuran tunggal pada pada konsentrasi berbeda-beda.
Data yang diperoleh selanjutnya diproses dengan metode kuadrat terkecil, untuk
selanjutnya dapat ditentukan nilai kemiringan (slope), intersep, dan koefisien
korelasinya (Gandjar & Rohman, 2007).
Adapun cara penetapan linieritas ini dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu (Meyer, 2010):
i) Menyiapkan larutan analit sebanyak minimal 6 konsentrasi dengan rentang konsentrasi 20
120 % dari konsentrasi aktual.
ii) Mengukur respon instrumen keenam larutan tersebut, masing masing paling sedikit tiga kali
pengukuran.
iii) Membuat kurva antara respon instrumen terhadap konsentrasi analit dan menghitung
persamaan matematika yang memadai (persamaan garis regresi linier atau regresi kuadrat).
iv) Menghitung derajat linieritas melalui parameter-parameter antara lain, yaitu koefisien
korelasi, koefisien variasi regresi, nilai gawat t dan % y-intercept.

Y bX a Untuk linieritas ini dibuat persamaan


garis regresi linier dengan persamaan sebagai berikut:
Dengan Y adalah respon instrumen, b adalah kemiringan garis regresi, x adalah konsentrasi
analit, dan a adalah intersept atau perpotongan garis dengan sumbu Y. Untuk b atau kemiringan
garis regresi linier.
Koefisien korelasi merupakan ketergantungan faktor sumbu X terhadap sumbu Y. koefisien
korelasi ini dinyatakan dengan dengan koefisien (r) dan merentang dari -1 sampai +1. Koefisien 1,
dengan tanda + atau - , menunjukkan korelasi sempurna antara dua peubah. Sebaliknya, koefisien
nol menunjukkan tidak adanya korelasi sama sekali.
Koefisien Variansi regresi (Vx0) merupakan koefisien yang menentukan nilai linieritas suatu
persamaan. Koefsien ini dapat dinyatakan dengan persamaan :
Sy / x
Vx 0 x100%
bx Dengan b adalah kemiringan
garis regresi linier, X adalah rata-rata dari sumbu X atau konsentrasi, dan Sy/x adalah simpangan
baku regresi linier yang dapat dinyatakan dengan persamaan:
Sy / x
( y yi) 2

n2

2.3.6 Uji Kesesuaian Sistem

Seorang analis harus memastikan bahwa sistem dan prosedur yang digunakan
harus mampu memberikan data yang dapat diterima. Hal ini dapat dilakukan dengan
percobaan kesesuaian sistem yang didefinisikan sebagai serangkaian uji untuk
menjamin bahwa metode tersebut dapat menghasilkan akurasi dan presisi yang dapat
diterima. Persyaratan-persyaratan kesesuaian sistem biasanya dilakukan setelah
dilakukan pengembangan metode dan validasi metode.
United State Pharmacopoeia (USP) menentukan parameter yang dapat digunakan
utnuk menetapkan kesesuaian sistem sebelum analisis. Parameter-parameter yang
digunakan meliputi: bilangan lempeng teori (N), faktor tailing, kapasitas (k atau )
dan nilai standar deviasi relatif (RSD) tinggi puncak dan luas puncak dari serangkaian
injeksi. Pada umumnya, paling tidak ada 2 kriteria yang biasanya dipersyaratkan
untuk menunjukkan kesesuaian sistem suatu metode. Nilai RSD tinggi puncak atau
luas puncak dari 5 kali injeksi larutan baku pada dasarnya dapat diterima sebagai
salah satu kriteria baku untuk pengujian komponen yang jumlahnya banyak
(komponen mayor) jika nilai RSD 1% untuk 5 kali injeksi. Sementara untuk
senyawa-senyawa dengan kadar sekelumit, niai RSD dapat diterima jika antar 5-15%
(Gandjar & Rohman, 2007).

2.3.7 Robustness (ketegaran)

Robustness merupakan ukuran kemampuan metode untuk tak terpengaruh dan bertahan
terhadap pengaruh kecil. Tapi dilakukan dengan sengaja dengan membuat variasi dalam faktor
metode yang memberikan indikasi realibilitas metode normal pada pengujian. Contoh perubahan atau
variasi parameter metode analisis adalah stabilitas larutan contoh dan waktu ekstraksi contoh. Bila
pengukuran peka terhadap variasi kondisi analisis maka kondisi tersebut harus dikendalikan atau harus
berhati-hati terhadap kondisi tersebut. Kesesuaian sistem harus ditetapkan pada evaluasi robustness

untuk menjamin keabsahan metode analisis tetap terpelihara ketika digunakan (Meyer, 2010).

2.3.8 Stabilitas (CDER, 2001)

Stabilitas obat di dalam cairan biologi merupakan fungsi dari kondisi


penyimpanan, sifat-sifat kimia obat, matriks, dan wadah yang digunakan. Stabilitas
analit di dalam matriks dan wadah yang digunakan hanya relevan pada matriks dan
wdaah tersebut dan tidak dapat diekstrapolasikan ke matriks dan wadah lain. Prosedur
stabilitas mengevaluasi stabilitas analit selama pengumpulan dan penanganan sampel,
penyimpanan jangka panjang (dengan pembekuan matriks) dan jangka pendek (pada
suhu kamar) dan setelah melewati siklus beku cair dan proses analisis.
a. Stabilitas beku dan cair
Stabilitas analis dapat ditentukan setelah 3 siklus beku dan cair. Paling tidak
masing-masing 3 aliquout dari setiap konsentrasi rendah dan tinggi disimpang pada
kondisi beku selama 24 jam kemudian dikeluarkan dan dibiarkan sampai mencair pda
suhu kamar. Setelah mencair sempurna, sampel dibekukan selama 12-24 jam pada
kondisi yang sama. Siklus beku dan cair harus diulang sebanyak 2 kali, kemudian
dianalisis pada siklus ketiga. Jika analit memang tidak stabil pada suhu kamar, maka
untuk menguji stabilitas dapat dilakukan pembekuan pada -70C selama siklus beku
dan cair.
b. Stabilitas suhu jangka pendek
Masing-masing 3 aliquot dari setiap konsentrasi rendah dan tingi dibiarkan pada suhu
kamar selama 4-2 jam (ditentukan berdasarkan perkiraan waktu yang dibutuhkan
untuk mengelola sampel) kemudian dianalisis.
c. Stabilitas suhu jangka panjang
Stabilitas dari sampel yang telah diproses, termasuk waktu sampel dalam injektor
otomatis.

PUSTAKA
Gandjar, Ibnu G. & Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Harmita. (2008). Petunjuk Praktikum Analisis Fisikokimia. Departemen Farmasi
MIPA Universitas Indonesia, Depok
Food and Drug Administration & Centre for Frug Evaluation and Research. (2001).
Guidance for industri: Bioanalytical method validation.
http://www.fda.gov/downloads/Drugs Guidance Compliance Regulatory
Information/Guidance/UCM070107.pdf, 17 november, 2017.
Johnson, E.L. dan R. Stevenson. (1991). Dasar Kromatografi Cair. Terj. Kosasih
Padmawinata. Bandung: Penerbit ITB Press.
Anonim, 2006, The United State Pharmacopoeia, 37 th Ed. United State
Pharmacopoeia Inc, Rockville.
American Pharmacists Association (APhA). (2008). Drug Information Handbook 17 th
Ed. Ohio: Lexi-Comp.
Meyer, Veronika R. (2010). Practical High-Performance Liquid Chromatography 5t h
Ed, Chichester: Wiley.

Anda mungkin juga menyukai