Anda di halaman 1dari 19

EKONOMI SYARIAH

MATERI 13

PRINSIP PEMBIAYAAN DALAM TRANSAKSI EKONOMI SYARIAH

Nama Kelompok :

Citra Dewi 14080694015

Best Yant Ramadhan 14080694019

Yeni Maratun S 14080694027

Mike Nur Wijayanti 14080694033

Siti Nurkasanah 14080694035

Fhiqi Alfian 14080694041

Aal Binti Qurrota A 14080694061

KELAS S1 AK 14 A

JURUSAN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

2016
PRINSIP PEMBIAYAAN DALAM EKONOMI SYARIAH

1. PRINSIP PEMBIAYAAN MURABAHAH


a. Definisi
Secara bahasa murabahah berasal dari kata Ar-Ribhu yang berarti ( an-namaa)
yang berarti tumbuh dan berkembang, atau murabahah juga berarti Al-Irbaah, karena
salah satu dari dua orang yang bertransaksi memberikan keuntungan kepada yang
lainnya (Ibnu Al-Mandzur., hal. 443.).
Ungkapan yang sering digunakan dalam transaksi murabahah adalah:
Bila seorang penjual mengatakan: Saya jual dengan harga beli saya atau dengan
harga perolehan saya disertai dengan keuntungan sekian.
Bila seorang penjual mengatakan: Saya jual dengan biaya-biaya yang telah saya
keluarkan disertai dengan keuntungan sekian
Bila seorang penjual mengatakan: Saya jual dengan rasul maal (harga pokok)
disertai dengan keuntungan sekian

b. Landasan Hukum
Murabahah merupakan suatu akad yang dibolehkan secara syar'i, serta didukung oleh
mayoritas ulama dari kalangan Shahabat, Tabi'in serta Ulama-ulama dari
berbagai mazhab dan aliran.
Landasan hukum akad murabahah ini adalah:
Al-Quran
Ayat-ayat Al-Quran yang secara umum membolehkan jual beli, diantaranya
adalah firman Allah:


Artinya: "..dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba"
(QS. Al-Baqarah:275). Ayat ini menunjukkan bolehnya melakukan transaksi
jual beli dan murabahahmerupakan salah satu bentuk dari jual beli.
Assunnah
Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam: Pendapatan yang
paling afdhal (utama) adalah hasil karya tangan seseorang dan jual beli
yang mabrur. (HR. Ahmad Al Bazzar Ath Thabrani)
Hadits dari riwayat Ibnu Majah, dari Syuaib: :




)( . ,

,
:
Tiga perkara yang didalamnya terdapat keberkahan: menjual dengan
pembayaran secara tangguh, muqaradhah (nama lain dari mudharabah), dan
mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah dan tidak untuk
dijual (HR. Ibnu Majah)
Al-Ijma
Transaksi ini sudah dipraktekkan di berbagai kurun dan tempat tanpa ada yang
mengingkarinya, ini berarti para ulama menyetujuinya (Ash-Shawy, 1990.,
hal. 200.).
Kaidah Fiqh

yang menyatakan:
Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil
yang mengharamkannya.
Fatwa Dewan Syariah Nasonal Majelis Ulama Indonesia
No.04/DSN-MUI/IV/2000, tentang MURABAHAH

c. Rukun dan Syarat Syarat Sahnya Jual Beli Murabahah

Rukun murabahah adalah: Adanya pihak-pihak yang melakukan akad, yaitu: Penjual,
Pembeli, Obyek yang diakadkan, yang mencakup: Barang yang diperjualbelikan, Harga.
Akad/Sighat yang terdiri dari: Ijab (serah), Qabul (terima). Selain itu ada beberapa syarat-
syarat sahnya jual beli murabahah adalah sebagai berikut:

Mengetahui Harga pokok


Mengetahui harga merupakan syarat sahnya akad jual beli, dan mayoritas
ahli fiqh menekankan pentingnya syarat ini. Bila harga pokok tidak diketahui
oleh pembeli maka akad jual beli menjadi fasid(tidak sah) (Al-Kasany,
hal.3193). Pada praktek perbankan syariah, Bank dapat menunjukkan bukti
pembelian obyek jual beli murabahah kepada nasabah, sehingga dengan bukti
pembelian tersebut nasabah mengetahui harga pokok Bank.
Mengetahui Keuntungan
Keuntungan atau dalam praktek perbankan syariah sering disebut dengan
margin murabahah dapat dimusyawarahkan antara bank sebagai penjual dan
nasabah sebagai pembeli, sehingga kedua belah pihak, terutama nasabah dapat
mengetahui keuntungan bank.
Harga pokok dapat dihitung dan diukur
Harga pokok harus dapat diukur, baik menggunakan takaran, timbangan
ataupun hitungan. Ini merupakan syarat murabahah. Harga bisa menggunakan
ukuran awal, ataupun dengan ukuran yang berbeda, yang penting bisa diukur
dan di ketahui.
Jual beli murabahah tidak bercampur dengan transaksi yang mengandung riba.
Akad jual beli pertama harus sah. Bila akad pertama tidak sah maka jual
beli murabahah tidak boleh dilaksanakan. Karena murabahah adalah jual beli
dengan harga pokok ditambah keuntungan, kalau jual beli pertama tidak sah
maka jual beli murabahah selanjutnya juga tidak sah (Azzuhaily, hal. 3767-
3770).

d. Murabahah dengan pesanan


Bila dengan pesanan maka bank melakukan pembelian barang setelah ada
pemesanan dari nasabah, dan dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat nasabah
untuk membeli barang yang dipesannya dan bank dapat meminta uang muka
pembelian kepada nasabah. Uang muka atau dalam fatwa Dewan Syariah Nasional
MUI digunakan istilah urbun, dimaksudkan untuk menunjukkan keseriusan si
pembeli. Bila kemudian si penjual telah membeli barang pesanan, sedangkan pembeli
atau nasabah membatalkannya, maka uang muka tersebut digunakan untuk menutup
kerugian. Bila jumlah uang muka lebih kecil dari jumlah kerugian yang harus
ditanggung penjual, penjual dapat meminta kekurangannya, dan bila berlebih maka
penjual harus mengembalikan kelebihannya kepada pembeli. (Karim, 2003, hal.159).

e. Hal Yang Mesti Dijelaskan Dalam Jual Beli Murabahah


Cacat atau aib yang baru terjadi pada obyek jual beli. Bila ada cacat pada
obyek jual beli yang terjadinya saat obyek tersebut berada di tangan penjual
Terjadinya penambahan pada obyek. Bila terjadi tambahan pada obyek jual
beli seperti obyeknya melahirkan anak, jika obyek itu binatang, atau obyek
tersebut berbuah
Waktu. bila pihak penjual pada awalnya membeli obyek tersebut secara
tangguh, ia tidak boleh menjualnya secara murabahah sampai ia menjelaskan
hal tersebut kepada pembeli.
f. Jenis Murabahah
Murabahah Modal Kerja (MMK), yang diperuntukkan untuk pembelian
barang-barang yang akan digunakan sebagai modal kerja. M embutuhkan
kehati-hatian, terutama bila obyek yang akan diperjualbelikan terdiri dari
banyak jenis, sehingga dikhawatirkan akan mengalami kesulitan terutama
dalam menentukan harga pokok masing-masing barang.
Murabahah Investasi (MI), adalah pembiayaan jangka menengah atau panjang
yang tujuannya untuk pembelian barang modal yang diperlukan untuk
rehabilitasi, perluasan, atau pembuatan proyek baru.
Murabahah Konsumsi (MK), adalah pembiayaan perorangan untuk tujuan
nonbisnis, termasuk pembiayaan pemilikan rumah, mobil. Pembiayaan
konsumsi biasanya digunakan untuk membiayai pembelian barang konsumsi
dan barang tahan lama lainnya. Jaminan yang digunakan biasanya berujud
obyek yang dibiayai, tanah dan bangunan tempat tinggal.
Perbedaan Jenis-Jenis Murabahah

Jenis Pembiayaan Modal Kerja Investasi Konsumsi


Contoh Obyek Mobil Mobil Mobil
Jual Beli
Penggunaan Digunakan untuk Digunakan sebagai Digunakan untuk
menambah Aktiva Aktiva tetap memenuhi
lancar (persediaan) kebutuhan pribadi
Nasabah Perusahaan yang Perusahaan yang Dipakai sendiri
melakukan jual beli bergerak di bidang
mobil transfortasi /
ekspedisi)
Jangka Waktu Pendek Menengah Panjang
Nominal Besar Menengah Kecil

Sumber: Data Urusan Syariah PT. Bank Bukopin, diolah


g. Penerapan sistem murabahah pada perbankan syariah
Skim murabahah sangat berguna bagi sesorang yang membutuhkan barang secara
mendesak tetapi kekurangan dana. Ia kemudian meminta pada bank agar membiayai
pembelian barang tersebut dan bersedia menebusnya pada saat barang diterima. Harga
jual pada pemesanan adalah harga pokok ditambah keuntungan yang disepakati.
Kesepakatan harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan tidak dapat berubah
menjadi lebih mahal selama berlakunya akad.
Proses pembiayaan murabahah dapat digambarkan dalam gambar 2.1 berikut:
2. PRINSIP PEMBIAYAAN HIWALAH
a. Definisi
Hiwalah merupakan pengalihan hutang dari orang yang berutang kepada orang lain
yang wajib menanggungnya. Dalam hal ini terjadi perpindahan tanggungan atau hak
dari satu orang kepada orang lain. Dalam istilah ulama, hiwalah adalah pemindahan
beban hutang dari muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal
alaih (orang yang berkewajiban membayar hutang).
b. Jenis-Jenis Hiwalah
Hiwalah Muthlaqoh
Hiwalah Muthlaqoh terjadi jika orang yang berhutang (orang pertama) kepada
orang lain (orang kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga tanpa
didasari pihak ketiga ini berhutang kepada orang pertama. Jika A berhutang kepada
B dan A mengalihkan hak penagihan B kepada C, sementara C tidak punya
hubungan hutang pituang kepada B, maka hiwalah ini disebut Muthlaqoh. Ini
hanya dalam madzhab Hanafi dan Syiah sedangkan jumhur ulama
mengklasifikasikan jenis hiwalah ini sebagai kafalah.
Hiwalah Muqoyyadah
Hiwalah Muqoyyadah terjadi jika Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal
kepada Muhal Alaih karena yang terakhir punya hutang kepada Muhal. Inilah
hiwalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama. Ketiga madzhab
selain madzhab hanafi berpendapat bahwa hanya membolehkan hiwalah
muqayyadah dan menyariatkan pada hiwalah muqayyadah agar utang muhal
kepada muhil dan utang muhal alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun
jumlahnya. Jika sudah sama jenis dan jumlahny, maka sahlah hiwalahnya. Tetapi
jika salah satunya berbeda, maka hiwalah tidak sah.
Hiwalah Haq
Hiwalah ini adalah pemindahan piutang dari satu piutang kepada piutang yang
lain dalam bentuk uang bukan dalam bentuk barang. Dalam hal ini yang bertindak
sebagai Muhil adalah pemberi utang dan ia mengalihkan haknya kepada pemberi
hutang yang lain sedangkan orang yang berhutang tidak berubah atau berganti,
yang berganti adalah piutang. Ini terjadi jika piutang A mempunyai hutang kepada
piutang B.
Hiwalah Dayn
Hiwalah ini adalah pemindahan hutang kepada orang lain yang mempunyai hutang
kepadanya. Ini berbeda dari hiwalah Haq. Pada hakekatnya hiwalah dayn sama
pengertiannya dengan hiwalah yang telah diterangkan di depan.

c. Berakhirnya Akad Hiwalah


Akad hiwalah akan berakhir oleh hal-hal berikut ini :
Karena dibatalkan atau fasakh. Ini terjadi jika akad hiwalah belum dilaksanakan
sampai tahapan akhir lalu difasakh. Dalam keadaan ini hak penagihan dari Muhal
akan kembali lagi kepada Muhil.
Hilangnya hak Muhal Alaih karena meninggal dunia atau bangkrut atau ia
mengingkari adanya akad hiwalah sementara Muhal tidak dapat menghadirkan
bukti atau saksi.
Jika Muhal alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada Muhal. Ini berarti
akad hiwalah benar-benar telah dipenuhi oleh semua pihak.
Meninggalnya Muhal sementara Muhal alaih mewarisi harta hiwalah karena
pewarisan merupakah salah satu sebab kepemilikan. Jika akad ini hiwalah
muqoyyadah, maka berakhirlah sudah akad hiwalah itu menurut madzhab Hanafi.
Jika Muhal menghibahkan atau menyedekahkan harta hiwalah kepada Muhal
Alaih dan ia menerima hibah tersebut.
Jika Muhal menghapusbukukan kewajiban membayar hutang kepada Muhal
Alaih.

d. Rukun Hiwalah
Menurut mazhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan melakukan hiwalah)
dari pihak pertama, dan qabul (penyataan menerima hiwalah) dari pihak kedua dan
pihak ketiga. Menurut mazhab Maliki, Syafii dan Hambali rukun hiwalah ada enam
yaitu:
Pihak pertama, muhil (): Yakni orang yang berhutang dan sekaligus
berpiutang.
Pihak kedua, muhal atau muhtal () : Yakni orang berpiutang
kepada muhil.
Pihak ketiga muhal alaih () : Yakni orang yang berhutang kepada
muhil dan wajib membayar hutang kepada muhtal.
Ada hutang pihak pertama pada pihak kedua, muhal bih () : Yakni
hutang muhil kepada muhtal.
Ada hutang pihak ketiga kepada pihak pertama, Utang muhal alaih kepada
muhil.
Ada sighoh (pernyataan hiwalah).

e. Syarat-Syarat Hiwalah
Persyaratan hawalah ini berkaitan dengan Muhil, Muhal, Muhal Alaih dan Muhal
Bih. Persyaratan yang berkaitan dengan Muhil, ia disyaratkan harus, pertama,
berkemampuan untuk melakukan akad (kontrak). Hal ini hanya dapat dimiliki jika ia
berakal dan baligh. Hawalah tidak sah dilakukan oleh orang gila dan anak kecil karena
tidak bisa atau belum dapat dipandang sebagai orang yang bertanggung secara hukum.
Kedua, kerelaan Muhil. Ini disebabkan karena hawalah mengandung pengertian
kepemilikan sehingga tidak sah jika ia dipaksakan. Di samping itu persyaratan ini
diwajibkan para fukoha terutama untuk meredam rasa kekecewaan atau ketersinggungan
yang mungkin dirasakan oleh Muhil ketika diadakan akad hawalah.
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal. Pertama, Ia harus memiliki kemampuan
untuk melaksanakan kontrak. Ini sama dengan syarat yang harus dipenuhi oleh Muhil.
Kedua, kerelaan dari Muhal karena tidak sah jika hal itu dipaksakan. Ketiga, ia bersedia
menerima akad hawalah.
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal Alaih. Pertama, sama dengan syarat
pertama bagi Muhil dan Muhal yaitu berakal dan balig. Kedua, kerelaan dari hatinya
karena tidak boleh dipaksakan. Ketiga, ia menerima akad hawalah dalam majlis atau di
luar majlis.
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal Bih. Pertama, ia harus berupa hutang
dan hutang itu merupakan tanggungan dari Muhil kepada Muhal. Kedua, hutang tersebut
harus berbentuk hutang lazim artinya bahwa hutang tersebut hanya bisa dihapuskan
dengan pelunasan atau penghapusan.

f. Aplikasi Hiwalah di Lembaga Keuangan Syariah


Dalam praktek perbankan syariah fasilitas hiwalah lazimnya untuk membantu
supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan usahanya. Bank mendapat
ganti biaya atas jasa pemindahan hutang. Untuk mengantisipasi kerugian yang akan
timbul bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang berhutang dan
kebenaran transaksi antara yang memindahkan hutang dengan yang berhutang. Karena
kebutuhan supplier akan di likuiditas, maka ia meminta bank untuk mengalih piutang.
Bank akan menerima pembayaran dari pemilik proyek. Kontrak hiwalah biasanya
diterapkan dalam hal-hal berikut:
Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki hutang pada
pihak ke 3 memindahkan piutang itu kepada bank.
Post-dated check, dimana bank bertindak sebagai juru tagih tanpa
membayarkan dulu piutang tersebut.
Bill discounting. Secara prinsip, bill discounting serupa dengan hiwalah.
Hanya saja, dalam bill discounting nasabah hanya membayar fee, sedangkan
pembahasan fee tidak di dapati dalam kontrak hiwalah.
3. PRINSIP PEMBIAYAAN RAHN
a. Pengertian Gadai (Rahn)
Gadai merupakan perjanjian penyerahan barang untuk menjadi agunan dari
fasilitas pembiayaan yang diberikan. Dalam terminologinya gadai mempunyai banyak
pengertian dan pemaknaan. Ar-rahn adalah menahan salah satu harta milik si
peminjam atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang di tahan tersebut memiliki
nilai ekonomis. Dengan demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk
dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat
dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan hutang atau gadai.Gadai adalah
jaminan atas barang yang dapat di jual sebagai jaminan hutang, dan kelak nantinya
dapat di jual untuk membayar hutang, jika yang hutang tidak mampu membayar
hutangnya karena kesulitan.
b. Rukun dan Syarat Gadai (Rahn)
Rukun akad rahn terdiri atas rahin (orang yang menyerahkan barang), murtahin
(penerima barang), marhun/rahn (barang yang di gadaikan) dan marhun bih (hutang)
serta ijab qabul, adapun rukun selebihnya merupakan turunan dari adanya ijab dan
qabul. Gadai atau pinjaman dengan jaminan benda memiliki beberapa rukun, antara
lain :
Aqid (orang yang melakukan akad) meliputi dua aspek:
Rahin, adalah orang yang menggadaikan barang dan Murtahin adalah orang
yang berpiutang yang menerima barang gadai sebagai imbalan uang kepada
yang dipinjamkan (kreditur)
Maqud alaih (yang diakadkan), yakni meliputi dua hal : Marhun (barang
yang digadaikan/barang gadai) dan Dain Marhun biih, (hutang yang karenanya
diadakan gadai)
Sighat (akad gadai).
Terdiri dari : Orang yang menggadaikan , Akad gadai yang memenuhi tiga
syarat yaitu :
Harus berupa barang, karena hutang tidak bisa digadaikan.
Kepemilikan barang yang digadaikan tidak terhalang seperti mushaf.
Barang yang digadaikan bisa dijual manakala pelunasan hutang itu
sudah jatuh tempo
Barang yang digadaikan Dalam hubungan ini menurut pendapat ulama
Syafi'iyah, barang yang digadaikan itu memiliki tiga syarat :
Berupa hutang, karena barang hutangan itu tidak dapat digadaikan.
Menjadi tetap, karena sebelum tetap tidak dapat digadaikan, seperti
jika seseorang menerima gadai dengan imbalan sesuatu dengan yang
dipinjamnya.
Barang yang digadaikan tidak sedang dalam proses pembayaran yang
akan terjadi, baik wajib atau tidak seperti gadai dalam kitabah.

c. Syarat syarat gadai diantaranya


Rahin dan murtahin
Tentang pemberi dan penerima gadai disyaratkan keduanya merupakan orang
yang cakap untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sesuai dengan
ketentuan syari'at Islam yaitu berakal dan baligh.
Sighat
Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan juga dengan suatu waktu
di masa depan.
Rahn mempunyai sisi melepaskan barang dan pemberian utang seperti halnya
akad jual beli. Maka tidak boleh diikat dengan syarat tertentu atau dengan
suatu waktu di masa depan.
Marhun bih (utang)
Menyangkut adanya utang, bahwa utang tersebut disyaratkan merupakan
utang yang tetap, dengan kata lain utang tersebut bukan merupakan utang yang
bertambah-tambah atau utang yang mempunyai bunga, sebab seandainya
utang tersebut merupakan utang yang berbunga maka perjanjian tersebut
sudah merupakan perjanjian yang mengandung unsur riba, sedangkan
perbuatan riba ini bertentangan dengan ketentuan syari'at Islam

d. Ketentuan Umum Pelaksanaan Ar-Rahn dalam Islam


Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan ar-rahn antara lain:
Kedudukan Barang Gadai.
Selama ada di tangan pemegang gadai, maka kedudukan barang gadai hanya
merupakan suatu amanat yang dipercayakan kepadanya oleh pihak penggadai.
Pemanfaatan Barang Gadai.
Pada dasarnya barang gadai tidak boleh diambil manfaatnya baik oleh
pemiliknya maupun oleh penerima gadai. Hal ini disebabkan status barang
tersebut hanya sebagai jaminan utang dan sebagai amanat bagi penerimanya.
Apabila mendapat izin dari masing-masing pihak yang bersangkutan, maka
barang tersebut boleh dimanfaatkan. Oleh karena itu agar di dalam perjanjian
gadai itu tercantum ketentuan jika penggadai atau penerima gadai meminta
izin untuk memanfaatkan barang gadai, maka hasilnya menjadi milik bersama.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari harta benda tidak berfungsi
atau mubazir.
Resiko Atas Kerusakan Barang Gadai
Ada beberapa pendapat mengenai kerusakan barang gadai yang disebabkan
tanpa kesengajaan murtahin. Ulama mazhab Syafii dan Hambali berpendapat
bahwa murtahin (penerima gadai) tidak menanggung resiko sebesar harga
barang yang minimum. Penghitungan di mulai pada saat diserahkannya barang
gadai kepada murtahin sampai hari rusak atau hilang.
Pemeliharaan Barang Gadai
Para ulama Syafiiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa biaya pemeliharaan
barang gadai menjadi tanggngan penggadai dengan alas an bahwa barang
tersebut berasal dari penggadai dan tetap merupakan miliknya. Sedangkan
para ulama Hanafiyah berpendapat lain, biaya yang diperlukan untuk
menyimpan dan memelihara keselamatan barang gadai menjadi tanggungan
penerima gadai dalam kedudukanya sebagai orang yang menerima amanat.
Kategori Barang Gadai
Jenis barang yang bias digadaikan sebagai jaminan adalah semua barang
bergerak dan tak bergerak yang memenuhi syarat sebagai berikut:
Benda bernilai menurut hokum syara
Benda berwujud pada waktu perjanjian terjadi
Benda diserahkan seketika kepada murtahin
Pembayaran atau Pelunasan Utang Gadai.
Apabila sampai pada waktu yang sudah di tentukan, rahin belum juga
membayar kembali utangnya, maka rahin dapat dipaksa oleh marhun untuk
menjual barang gadaianya dan kemudian digunakan untuk melunasi
hutangnya.
Prosedur Pelelangan Gadai
Jumhur fukaha berpendapat bahwa orang yang menggadaikan tidak boleh
menjual atau menghibahkan barang gadai, sedangkan bagi penerima gadai
dibolehkan menjual barang tersebut dengan syarat pada saat jatuh tempo pihak
penggadai tidak dapat melunasi kewajibanya.

e. Aplikasi dalam Perbankan


Kontrak rahn dipakai dalam perbankan dalam dua hal.
Sebagai Produk Pelengkap
Rahn dipakai dalam produk pelengkap, artinya sebagai akad tambahan
(jaminan/collateral) terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan baial
murabahah. Bank dapat menahan nasabah sebagai konsekuensi akada tersebut
Sebagai Produk Tersendiri
Di beberapa negara Islam termasuk di antaranya adalah Malaysia, akad rahn
telah dipakai sebagai alternatif dari pegadaian konvensional. Bedanya dengan
pegadaian biasa, dalam rahn nasabah tidak dikenakan bunga, yang dipungut
dari nasabah adalah biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan, serta
penaksiran. Perbedaan utama antara biaya rahn dan bunga pegadaian adalah
dari sifat bunga yang bisa berakumulasi dan berlipat ganda, sementara biaya
rahn hanya sekali dan di tetapkan di muka.
4. PRINSIP PEMBIAYAAN QARDH
a. Definisi
Al-Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta
kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Dalam
literatur fiqh klasik, qardh dikategorikan dalam aqad tathawwuiatau akad saling
membantu dan bukan transaksi komersial.
b. Landasan Hukum
Al-Quran
Qs : Al-Hadid : 11 Artinya: Siapakah yang mau meminjamkan kepada
Allah pinjaman yang baik, Maka Allah akan melipat-gandakan (balasan)
pinjaman itu untuknya, dan Dia akan memperoleh pahala yang
banyak. Yang menjadi landasan dalil dalam ayat ini adalah kita diseru
untuk meminjamkan kepada Allah, artinya untuk membelanjakan harta
dijalan Allah. Selaras dengan meminjamkan kepada Allah, kita juga
diseru unutk meminjamkan kepada sesama manusia, sebagai bagian dari
kehidupan bermasyarakat (civil society).
Al : Baqarah : 245 Artinya : Al-Quran Siapakah yang mau memberi
pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di
jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran
kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan
dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. (Al-
Baqarah : 245)
Qs : Al-Maidah : 2 Artinya : Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (Al-Maidah : 2)

Al-Hadits
Ibnu Masud meriwayatkan bahwa Nabi saw, berkata, Bukan seorang
muslim (mereka) yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali kecuali
yang satunya adalah (senilai) sedekah.(HR: Ibnu Majah no. 2421, kitab
al-Ahkam; Ibnu Hibban dan Baihaqi)
As-Sunnah Dari Anas ra, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda :
Pada malam peristiwa Isra aku melihat di pintu surga tertulis
shadaqoh (akan diganti) dengan 10 kali lipat, sedangkan Qardh dengan
18 kali lipat, aku berkata : Wahai jibril, mengapa Qardh lebih utama
dari shadaqoh? ia menjawab karena ketika meminta, peminta tersebut
memiliki sesuatu, sementara ketika berutang, orang tersebut tidak
berutang kecuali karena kebutuhan. (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi dari
Abas bin Malik ra, Thabrani dan Baihaqi meriwayatkan hadits serupa
dari Abu Umamah ra) Ibnu Masud meriwayatkan bahwa Nabi saw
berkata,Bukan seorang muslim (mereka) yang meminjamkan muslim
(lainya) dua kali lipat kecuali yang satunya adalah (senilai)
sedekah. (HR Ibnu Majah,Ibnu Hibban dan Baihaqi).

Al-Ijma
Para ulama telah menyepakati bahwa al-qardh boleh dilakukan. Kesepakatan
ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan
bantuan saudaranya. Tidak ada seorangpun yang memiliki segala barang yang
ia butuhkaan. Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian
dari kehidupan du dunia ini. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan
segenap kebutuhan umatnya.
Fatwa DSN tentang Al-Qardh No :19/DSN-MUI/IV/200.
Dewan Syariah Nasional setelah Menimbang :
Bahwa Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di samping lembaga
komersial, harus dapat berperan sebagai lembaga sosial yang dapat
meningkatkan perekonomian secaramaksimal.
Bahwa salah satu peningkatan sarana perekonomian yang dapat
dilakukan oleh LKS adalah penyaluran dana melalui prinsip al-Qardh,
yakni suatu akad pinjaman kepada nasabah dengan ketentuan bahwa
nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya kepada LKS
dengan waktu yang telah di sepakatioleh LKS dan nasabah.
Bahwa akad tersebut sesuai dengan syariah Islam, DSN memandang
perlu menetapkan fatwa tentang al-Qardh untuk di jadikan pedoman
oleh LKS.
c. Rukun dan Syarat Al-Qardh
Aqid
ialah orang yang berakad (dua belah pihak), dalam arti pihak pertama adalah
orang yang menyediakan harta atau pemberi harta (yang meminjamkan), dengan
pihak kedua adalah orang yang membutuhkan harta atau orang yang menerima
harta (meminjam). Seseorang yangberakad terkadang terkadang orang yang
memiliki hak (aqid ashli) dan merupakan wakil dari yang memiliki
hak.[9]Syarat dari kedua orang yang melakukan akad yaitu cakap bertindak (ahli),
tidak sah akad orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang
dibawah pengampuan (mahjur) karna boros atau lainnya.
Maqud alaih
adalah benda-benda yang diakadkan, seperti benda (harta). Dalam arti setiap
peikatan dalam aqad al-qardh harus ada barang sebagai perikatan atau transaksi
(objek akad). Syarat objek akad adalah dapat menerima hukumnya.
Maudhu al aqd
adalah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda kad, maka berbeda
tujuan pokok akad, dalam akad jual beli yujuan pokoknya ialah meminfahkan
barang dari penjual kepada pembeli dengan diberi ganti, dan dalam akad jual beli
ini akan mendapatkan keuntungan, berbeda dengan perikatan atau aqar al-qardh,
dalam aqad al-qardh tujuan pokok perikatannya adalah tolong menolong dalam
arti meminjamkan harta tanpa mengharapkan imbalan, uang yang di pinjamkan di
kembalikan sesuai dengan uang yang dipinjamkan, tidak ada tambahan dalam
pengembalian uangnya. Saratnya adalah ada itikad baik.
Shighat al-aqd
ialah ijab dan qabul, ijab adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salah
seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad,
sedangkan qabul adalah perkataan yang keluar dari pihak berakad pula, yang
diucapkan setelah adanya ijab. Pengertian ijab qabul dalam pengamalan dewasa
ini ialah bertukarnya sesuatu dengan yang lain sehingga penjual dan pembeli
dalam membeli sesuatu terkadang tidak berhadapan, seperti dalam akad
salam.[11] Syaratnya adalah ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum
terjadinya kabul. Maka bila orang yanh berijab menarin kembali ijabnya sebelum
kabul, maka batalah ijabnya. Ijab dan qabul mesti bersambung sehingga bila
seseorang yang berijab sudah berpisah sebelum adanya kabul, maka ijab tersebut
menjadi batal.[12]

Dalam praktik perbankan Syariah, rukun dan syarat dalam aqad al-qardh selain
diatas adalah:
Bank (pihak yang menyediakan uang atau meminjamkan harta);
Nasabah (pihak yang meminjam uang)
Proyeksi usaha (tujuan dalam mengadakan perikatan al-qardh).
Sifat qardh ini tidak memberikan keuntungan finansial. Karena itu, pendanaan
qardh dapat diambil menurut kategori berikut:
Al-qardh yang diperlukan untuk membantu usaha sangat kecil dan keperluan
social, dapat bersumber dari dana zakat, infaq, dan sedekah.
Al-qardh yang diperlukan untuk membantu keuangan nasabah secara cepat
dan berjangka pendek. Talangan dana di atas dapat diambilakan dari modal
bank.

d. Praktik Aqad Al-Qardh dalam Perbankan Syariah


Akad al-Qardh biasanya diterapkan sebagai berikut:
Sebagai produk pelengkap kepada nasabah yang telah terbukti loyalitas dan
bonafiditasnya, yang membutuhkan dana talang segera untuk masa yang
relatif pendek. Nasabah tersebut akan mengembalikannya secepatnya
sejumlah uang yang dipinjamnya itu.
Sebagai fasilitas nasabah yang memerlukan dana cepat, sedangkan ia tidak
bisa menarik dananya karena, misalnya, tersimpan dalam bentuk deposito.
Sebagai produk untuk menyumbangkan usaha yang sangat kecil atau
membantu sektor sosial. Guna pemenuhan skema khusus ini telah dikenal
suatu produk khusus yaitu alqardhal-hasanah
Sebagai dana talang untuk janga waktu singkat, maka nasabah akan
mengembelikannya dengan cepat, seperti kompensating balance dan factoring
(anjak piutang).[15]
Pinjaman qardh biasanya diberikan oleh bank kepada nasabahnya sebagai fasilitas
pinjaman talangan pada saat nasabah mengalami overdraft. Fasilitas ini dapat
merupakan bagian dari satu paket pembiayaan lain, untuk memudahkan nasabah
bertransaksi. Aplikasi qardh dalam perbankan ada empat hal: Sebagai pinjaman
talangan haji, Sebagai pinjaman tunai dari produk kartu kredit syariah, Sebagai
pinjaman kepada pengusaha kecil, Sebagai pinjaman kepada pengurus bank

e. Sumber Dana Al-Qardh


Sifat al-Qardh tidak memberikan keuntungan finansial. Karena itu, pendanaan qardh
dapat diambil menurut kategori berikut:
Al-qardh yang diperlukan untuk keuangan nasabah secara cepat dan berjangka
pendek.talangan dana diatas dapat diambilkan dari modal bank.
Al-qardh yang diperlukan untuk membantu usaha sangat kecil dan keperluan
sosial, dapat bersumbe dari dana zakat, dan sedekah. Disamping sumber dana
umat, para praktisi perbankan syariah, demikian juga ulama, melihat adanya
sumber dana lain yang dapat dialokasikanuntuk qardh al-hasan, yaitu
prndapat-pendapat yang diragukan, seperti jasa nostro di bank korespondensi
yang konvensional, bunga atas jaminan L/C di bank asing, dan sebagainya.
Salah satu pertimbangan pemanfaatan dana-dana ini adalah kaidah akhaffu
dhararain(mengambil mudharat yang lebih keci). Hal ini mengingat jika dana
umat Islam dibiarkan di lembaga-lembaga non-muslim mungkin dapat
dipergunakan untuk sesuatu yang merugikan Islam, misalnya dana kaum
muslimin Arab di bank-bank Yahudi Switzerland. Oleh karena itu, dana yang
parkir tersebut lebih baik diambil dan dimanfaatkan untuk penanggulangan
bencana alam atau membantu dhuafa.

Anda mungkin juga menyukai