MATERI 13
Nama Kelompok :
KELAS S1 AK 14 A
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
2016
PRINSIP PEMBIAYAAN DALAM EKONOMI SYARIAH
b. Landasan Hukum
Murabahah merupakan suatu akad yang dibolehkan secara syar'i, serta didukung oleh
mayoritas ulama dari kalangan Shahabat, Tabi'in serta Ulama-ulama dari
berbagai mazhab dan aliran.
Landasan hukum akad murabahah ini adalah:
Al-Quran
Ayat-ayat Al-Quran yang secara umum membolehkan jual beli, diantaranya
adalah firman Allah:
Artinya: "..dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba"
(QS. Al-Baqarah:275). Ayat ini menunjukkan bolehnya melakukan transaksi
jual beli dan murabahahmerupakan salah satu bentuk dari jual beli.
Assunnah
Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam: Pendapatan yang
paling afdhal (utama) adalah hasil karya tangan seseorang dan jual beli
yang mabrur. (HR. Ahmad Al Bazzar Ath Thabrani)
Hadits dari riwayat Ibnu Majah, dari Syuaib: :
)( . ,
,
:
Tiga perkara yang didalamnya terdapat keberkahan: menjual dengan
pembayaran secara tangguh, muqaradhah (nama lain dari mudharabah), dan
mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah dan tidak untuk
dijual (HR. Ibnu Majah)
Al-Ijma
Transaksi ini sudah dipraktekkan di berbagai kurun dan tempat tanpa ada yang
mengingkarinya, ini berarti para ulama menyetujuinya (Ash-Shawy, 1990.,
hal. 200.).
Kaidah Fiqh
yang menyatakan:
Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil
yang mengharamkannya.
Fatwa Dewan Syariah Nasonal Majelis Ulama Indonesia
No.04/DSN-MUI/IV/2000, tentang MURABAHAH
Rukun murabahah adalah: Adanya pihak-pihak yang melakukan akad, yaitu: Penjual,
Pembeli, Obyek yang diakadkan, yang mencakup: Barang yang diperjualbelikan, Harga.
Akad/Sighat yang terdiri dari: Ijab (serah), Qabul (terima). Selain itu ada beberapa syarat-
syarat sahnya jual beli murabahah adalah sebagai berikut:
d. Rukun Hiwalah
Menurut mazhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan melakukan hiwalah)
dari pihak pertama, dan qabul (penyataan menerima hiwalah) dari pihak kedua dan
pihak ketiga. Menurut mazhab Maliki, Syafii dan Hambali rukun hiwalah ada enam
yaitu:
Pihak pertama, muhil (): Yakni orang yang berhutang dan sekaligus
berpiutang.
Pihak kedua, muhal atau muhtal () : Yakni orang berpiutang
kepada muhil.
Pihak ketiga muhal alaih () : Yakni orang yang berhutang kepada
muhil dan wajib membayar hutang kepada muhtal.
Ada hutang pihak pertama pada pihak kedua, muhal bih () : Yakni
hutang muhil kepada muhtal.
Ada hutang pihak ketiga kepada pihak pertama, Utang muhal alaih kepada
muhil.
Ada sighoh (pernyataan hiwalah).
e. Syarat-Syarat Hiwalah
Persyaratan hawalah ini berkaitan dengan Muhil, Muhal, Muhal Alaih dan Muhal
Bih. Persyaratan yang berkaitan dengan Muhil, ia disyaratkan harus, pertama,
berkemampuan untuk melakukan akad (kontrak). Hal ini hanya dapat dimiliki jika ia
berakal dan baligh. Hawalah tidak sah dilakukan oleh orang gila dan anak kecil karena
tidak bisa atau belum dapat dipandang sebagai orang yang bertanggung secara hukum.
Kedua, kerelaan Muhil. Ini disebabkan karena hawalah mengandung pengertian
kepemilikan sehingga tidak sah jika ia dipaksakan. Di samping itu persyaratan ini
diwajibkan para fukoha terutama untuk meredam rasa kekecewaan atau ketersinggungan
yang mungkin dirasakan oleh Muhil ketika diadakan akad hawalah.
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal. Pertama, Ia harus memiliki kemampuan
untuk melaksanakan kontrak. Ini sama dengan syarat yang harus dipenuhi oleh Muhil.
Kedua, kerelaan dari Muhal karena tidak sah jika hal itu dipaksakan. Ketiga, ia bersedia
menerima akad hawalah.
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal Alaih. Pertama, sama dengan syarat
pertama bagi Muhil dan Muhal yaitu berakal dan balig. Kedua, kerelaan dari hatinya
karena tidak boleh dipaksakan. Ketiga, ia menerima akad hawalah dalam majlis atau di
luar majlis.
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal Bih. Pertama, ia harus berupa hutang
dan hutang itu merupakan tanggungan dari Muhil kepada Muhal. Kedua, hutang tersebut
harus berbentuk hutang lazim artinya bahwa hutang tersebut hanya bisa dihapuskan
dengan pelunasan atau penghapusan.
Al-Hadits
Ibnu Masud meriwayatkan bahwa Nabi saw, berkata, Bukan seorang
muslim (mereka) yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali kecuali
yang satunya adalah (senilai) sedekah.(HR: Ibnu Majah no. 2421, kitab
al-Ahkam; Ibnu Hibban dan Baihaqi)
As-Sunnah Dari Anas ra, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda :
Pada malam peristiwa Isra aku melihat di pintu surga tertulis
shadaqoh (akan diganti) dengan 10 kali lipat, sedangkan Qardh dengan
18 kali lipat, aku berkata : Wahai jibril, mengapa Qardh lebih utama
dari shadaqoh? ia menjawab karena ketika meminta, peminta tersebut
memiliki sesuatu, sementara ketika berutang, orang tersebut tidak
berutang kecuali karena kebutuhan. (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi dari
Abas bin Malik ra, Thabrani dan Baihaqi meriwayatkan hadits serupa
dari Abu Umamah ra) Ibnu Masud meriwayatkan bahwa Nabi saw
berkata,Bukan seorang muslim (mereka) yang meminjamkan muslim
(lainya) dua kali lipat kecuali yang satunya adalah (senilai)
sedekah. (HR Ibnu Majah,Ibnu Hibban dan Baihaqi).
Al-Ijma
Para ulama telah menyepakati bahwa al-qardh boleh dilakukan. Kesepakatan
ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan
bantuan saudaranya. Tidak ada seorangpun yang memiliki segala barang yang
ia butuhkaan. Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian
dari kehidupan du dunia ini. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan
segenap kebutuhan umatnya.
Fatwa DSN tentang Al-Qardh No :19/DSN-MUI/IV/200.
Dewan Syariah Nasional setelah Menimbang :
Bahwa Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di samping lembaga
komersial, harus dapat berperan sebagai lembaga sosial yang dapat
meningkatkan perekonomian secaramaksimal.
Bahwa salah satu peningkatan sarana perekonomian yang dapat
dilakukan oleh LKS adalah penyaluran dana melalui prinsip al-Qardh,
yakni suatu akad pinjaman kepada nasabah dengan ketentuan bahwa
nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya kepada LKS
dengan waktu yang telah di sepakatioleh LKS dan nasabah.
Bahwa akad tersebut sesuai dengan syariah Islam, DSN memandang
perlu menetapkan fatwa tentang al-Qardh untuk di jadikan pedoman
oleh LKS.
c. Rukun dan Syarat Al-Qardh
Aqid
ialah orang yang berakad (dua belah pihak), dalam arti pihak pertama adalah
orang yang menyediakan harta atau pemberi harta (yang meminjamkan), dengan
pihak kedua adalah orang yang membutuhkan harta atau orang yang menerima
harta (meminjam). Seseorang yangberakad terkadang terkadang orang yang
memiliki hak (aqid ashli) dan merupakan wakil dari yang memiliki
hak.[9]Syarat dari kedua orang yang melakukan akad yaitu cakap bertindak (ahli),
tidak sah akad orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang
dibawah pengampuan (mahjur) karna boros atau lainnya.
Maqud alaih
adalah benda-benda yang diakadkan, seperti benda (harta). Dalam arti setiap
peikatan dalam aqad al-qardh harus ada barang sebagai perikatan atau transaksi
(objek akad). Syarat objek akad adalah dapat menerima hukumnya.
Maudhu al aqd
adalah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda kad, maka berbeda
tujuan pokok akad, dalam akad jual beli yujuan pokoknya ialah meminfahkan
barang dari penjual kepada pembeli dengan diberi ganti, dan dalam akad jual beli
ini akan mendapatkan keuntungan, berbeda dengan perikatan atau aqar al-qardh,
dalam aqad al-qardh tujuan pokok perikatannya adalah tolong menolong dalam
arti meminjamkan harta tanpa mengharapkan imbalan, uang yang di pinjamkan di
kembalikan sesuai dengan uang yang dipinjamkan, tidak ada tambahan dalam
pengembalian uangnya. Saratnya adalah ada itikad baik.
Shighat al-aqd
ialah ijab dan qabul, ijab adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salah
seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad,
sedangkan qabul adalah perkataan yang keluar dari pihak berakad pula, yang
diucapkan setelah adanya ijab. Pengertian ijab qabul dalam pengamalan dewasa
ini ialah bertukarnya sesuatu dengan yang lain sehingga penjual dan pembeli
dalam membeli sesuatu terkadang tidak berhadapan, seperti dalam akad
salam.[11] Syaratnya adalah ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum
terjadinya kabul. Maka bila orang yanh berijab menarin kembali ijabnya sebelum
kabul, maka batalah ijabnya. Ijab dan qabul mesti bersambung sehingga bila
seseorang yang berijab sudah berpisah sebelum adanya kabul, maka ijab tersebut
menjadi batal.[12]
Dalam praktik perbankan Syariah, rukun dan syarat dalam aqad al-qardh selain
diatas adalah:
Bank (pihak yang menyediakan uang atau meminjamkan harta);
Nasabah (pihak yang meminjam uang)
Proyeksi usaha (tujuan dalam mengadakan perikatan al-qardh).
Sifat qardh ini tidak memberikan keuntungan finansial. Karena itu, pendanaan
qardh dapat diambil menurut kategori berikut:
Al-qardh yang diperlukan untuk membantu usaha sangat kecil dan keperluan
social, dapat bersumber dari dana zakat, infaq, dan sedekah.
Al-qardh yang diperlukan untuk membantu keuangan nasabah secara cepat
dan berjangka pendek. Talangan dana di atas dapat diambilakan dari modal
bank.