Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seiring dengan semakin berkembangnya sains dan teknologi, perkembangan di dunia
farmasi pun tidak ketinggalan. Semakin hari semakin banyak jenis dan ragam penyakit
yang muncul dan perkembangan pengobatan pun terus dikembangkan. Selain
memodifikasi senyawa obat, upaya yang banyak dilakukan adalah memodifikasi bentuk
sediaan dan sistem penghantaran obat. Bermacam sistem mucosal dalam tubuh manusia
(nasal, pulmonal, rectal dan vaginal) dapat dimanfaatkan untuk titik masuk sistem
penghantaran obat.
Pengobatan Ayurvedi di India dan oleh orang Indian di AmerikaSelatan, melalui cara
penghisapan (snuff) obat untuk meningkatkan daya tahan tubuh merupakan salah satu
bukti bahwa sistem penghantaran obat nasal telah berlangsung sejak lama.
Pemberian obat secara intranasal atau melalui saluran pernapasan merupakan
alternative ideal untuk menggantikan sistem penghantaran obat sistemik parenteral.
Keuntungan pemberian obat secara nasal ini meliputi pencegahan eliminasi lintas pertama
hepatic, metabolisme dinding sel saluran cerna atau destruksi obat saluran cerna,
kecepatan dan jumlah absorpsi, serta profil konsentrasi obat versus waktu relative
sebanding dengan pengobatan intarvena, keberadaan vaskulator yang besar dan struktur
yang sangat permeabel mukosa nasal ideal untuk absorpsi sistemik, dan kemudian
pemberian serta kenyamanan obat secara intranasal untuk pasien. Pemberian obat menurut
rute nasal merupakan sistem penghantaran obat yang menarik, seperti terbukti dengan
introduksi bentuk sediaan yang dapat diterima misal kalsitonin untuk osteoporosis dan
analog dari luteinizing harmone-relasing harmone untuk endometrosis. Selain itu telah
diteliti pula semacam obat untuk diberikan secara intranasal (misal kortikostreoid,
antibiotika, kardiovaskular, histamine dan anti histamin dan lain sebagainya).

1.2 Rumusan Masalah


1.3 Tujuan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung


A. Anatomi Hidung
Saluran penghantar udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung, farinx, larinx,
trachea, bronkus, dan bronkiolus.
- Hidung
Nares anterior adalah saluran-saluran di dalam rongga hidung. Saluran-saluran itu
bermuara ke dalam bagian yang dikenal sebagai vestibulum. Rongga hidung dilapisi
sebagai selaput lendir yang sangat kaya akan pembuluh darah, dan bersambung dengan
lapisan farinx dan dengan selaput lendir sinus yang mempunyai lubang masuk ke dalam
rongga hidung. Septum nasi memisahkan kedua cavum nasi. Struktur ini tipis terdiri
dari tulang dan tulang rawan, sering membengkok kesatu sisi atau sisi yang lain, dan
dilapisi oleh kedua sisinya dengan membran mukosa. Dinding lateral cavum nasi
dibentuk oleh sebagian maxilla, palatinus, dan os. Sphenoidale. Tulang lengkung yang
halus dan melekat pada dinding lateral dan menonjol ke cavum nasi adalah: conchae
superior, media, dan inferior. Tulang-tulang ini dilapisi oleh membrane mukosa.
Dasar cavum nasi dibentuk oleh os frontale dan os palatinus sedangkan atap cavum
nasi adalah celah sempit yang dibentuk oleh os frontale dan os sphenoidale. Membran
mukosa olfaktorius, pada bagian atap dan bagian cavum nasi yang berdekatan,
mengandung sel saraf khusus yang mendeteksi bau. Dari sel-sel ini serat saraf melewati
lamina cribriformis os frontale dan kedalam bulbus olfaktorius nervus cranialis I
olfaktorius.

GAMBAR 1. ANATOMI HIDUNG


- Faring
Faring adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai
persambungannya dengan oesopagus dan larynx. Faring dibagi menjadi 3 bagian yaitu
nasofarinx (faring yang mengarah ke cavum nasalis), orofarinx (faring yang mengarah
ke cavum oralis) dan laryngofarinx (faring yang mengarah larynx)
Gambar 2: Anatomi faring

Sumber: Paulsen, Waschke. 2012. Sobotta Atlas Anatomi Manusia. Edisi-23.


Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
- Laring
Terletak pada garis tengah bagian depan leher, sebelah dalam kulit,
glandula tyroidea, dan beberapa otot kecil, dan di depan laringofaring dan
bagian atas esopagus. Laring merupakan struktur yang lengkap terdiri atas
cartilago yaitu cartilago thyroidea, epiglottis, cartilago cricoidea, dan
arytenoidea. Terdapat juga membarana yaitu menghubungkan cartilago
satu sama lain dan dengan os. Hyoideum, membrana mukosa, plika
vokalis, dan otot yang bekerja pada plica vokalis.

Gambar 3: Anatomi laring

Sumber: Paulsen, Waschke. 2012. Sobotta Atlas Anatomi Manusia. Edisi-23.


Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

- Trakea
Adalah tabung fleksibel dengan panjang kira-kira 10 cm dengan
lebar 2,5 cm. trachea berjalan dari cartilago cricoidea kebawah pada
bagian depan leher dan dibelakang manubrium sterni, berakhir setinggi
angulus sternalis (taut manubrium dengan corpus sterni) atau sampai kira-
kira ketinggian vertebrata torakalis kelima dan di tempat ini bercabang
mcnjadi dua bronckus (bronchi). Trachea tersusun atas 16 20 lingkaran
tak- lengkap yang berupa cincin tulang rawan yang diikat bersama oleh
jaringan fibrosa dan yang melengkapi lingkaran disebelah belakang
trachea, selain itu juga membuat beberapa jaringan otot.

- Bronchus
Bronchus yang terbentuk dari belahan dua trachea pada ketinggian
kira-kira vertebrata torakalis kelima, mempunyai struktur serupa dengan
trachea dan dilapisi oleh.jenis sel yang sama. Bronkus-bronkus itu berjalan
ke bawah dan ke samping ke arah tampuk paru. Bronckus kanan lebih
pendek dan lebih lebar, dan lebih vertikal daripada yang kiri, sedikit lebih
tinggi dari arteri pulmonalis dan mengeluarkan sebuah cabang utama lewat
di bawah arteri, disebut bronckus lobus bawah. Bronkus kiri lebih panjang
dan lebih langsing dari yang kanan, dan berjalan di bawah arteri
pulmonalis sebelurn di belah menjadi beberapa cabang yang berjalan ke
lobus atas dan bawah.
Cabang utama bronchus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi
bronchus lobaris dan kernudian menjadi lobus segmentalis. Percabangan
ini berjalan terus menjadi bronchus yang ukurannya semakin kecil, sampai
akhirnya menjadi bronkhiolus terminalis, yaitu saluran udara terkecil yang
tidak mengandung alveoli (kantong udara). Bronkhiolus terminalis
memiliki garis tengah kurang lebih I mm. Bronkhiolus tidak diperkuat oleh
cincin tulang rawan. Tetapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya
dapat berubah. Seluruh saluran udara ke bawah sampai tingkat bronkbiolus
terminalis disebut saluran penghantar udara karena fungsi utamanya
adalah sebagai penghantar udara ke tempat pertukaran gas paru-paru.
Alveolus yaitu tempat pertukaran gas assinus terdiri dari bronkhiolus dan
respiratorius yang terkadang memiliki kantong udara kecil atau alveoli
pada dindingnya.
Gambar 4: Anatomi trakea dan bronkus

Sumber: Paulsen, Waschke. 2012. Sobotta Atlas Anatomi Manusia. Edisi-23.


Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

G. Anatomi dan Fisiologi Paru

1. Anatomi Paru
Paru manusia terbentuk setelah embrio mempunyai panjang 3 mm.
Pembentukan paru di mulai dari sebuah Groove yang berasal dari Foregut.
Selanjutnya pada Groove ini terbentuk dua kantung yang dilapisi oleh suatu
jaringan yang disebut Primary Lung Bud. Bagian proksimal foregut membagi diri
menjadi 2 yaitu esophagus dan trakea.
Pada perkembangan selanjutnya trakea akan bergabung dengan primary lung
bud. Primary lung bud merupakan cikal bakal bronchi dan cabang-cabangnya.
Bronchial-tree terbentuk setelah embrio berumur 16 minggu, sedangkan alveoli
baru berkembang setelah bayi lahir dan jumlahnya terus meningkat hingga anak
berumur 8 tahun. Ukuran alveol bertambah besar sesuai dengan perkembangan
dinding toraks. Jadi, pertumbuhan dan perkembangan paru berjalan terus menerus
tanpa terputus sampai pertumbuhan somatic berhenti.
Saluran pernafasan terdiri dari rongga hidung, rongga mulut, faring, laring,
trakea, dan paru. Laring membagi saluran pernafasan menjadi 2 bagian, yakni
saluran pernafasan atas dan saluran pernafasan bawah. Pada pernafasan melalui
paru-paru atau pernafasan external, oksigen di pungut melalui hidung dan mulut.
Pada waktu bernafas, oksigen masuk melalui trakea dan pipa bronchial ke alveoli
dan dapat erat hubungan dengan darah didalam kapiler pulmunaris.
Hanya satu lapis membran yaitu membran alveoli, memisahkan oksigen dan
darah oksigen menembus membran ini dan dipungut oleh hemoglobin sel darah
merah dan dibawa ke jantung. Dari sini dipompa didalam arteri kesemua bagian
tubuh. Darah meninggalkan paru-paru pada tekanan oksigen 100 mm hg dan
tingkat ini hemoglobinnya 95%. Di dalam paru-paru, karbon dioksida, salah satu
hasil buangan. Metabolisme menembus membran alveoli, kapiler dari kapiler
darah ke alveoli dan setelah melalui pipa bronchial, trakea, dinafaskan keluar
melalui hidung dan mulut.

SISTEM SALURAN PERNAFASAN

Gambar : Anatomi Paru


Sumber : (Evelyn. Pearce, Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis, Tahun 1992,
Hal 219).

2. Fisiologi Paru
Udara bergerak masuk dan keluar paru-paru karena ada selisih tekanan
yang terdapat antara atmosfir dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. Seperti
yang telah diketahui, dinding toraks berfungsi sebagai penembus. Selama
inspirasi, volume toraks bertambah besar karena diafragma turun dan iga
terangkat akibat kontraksi beberapa otot yaitu sternokleidomastoideus
mengangkat sternum ke atas dan otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus
mengangkat iga-iga.
Selama pernapasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat
elastisitas dinding dada dan paru-paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus
relaksasi, dinding dada turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam
rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang. Pengurangan volume
toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun tekanan intrapulmonal.
Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir menjadi terbalik, sehingga udara
mengalir keluar dari paru-paru sampai udara dan tekanan atmosfir menjadi sama
kembali pada akhir ekspirasi.
Tahap kedua dari proses pernapasan mencakup proses difusi gas-gas
melintasi membrane alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5 m).
Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial antara
darah dan fase gas. Tekanan parsial oksigen dalam atmosfir pada permukaan laut
besarnya sekitar 149 mmHg. Pada waktu oksigen diinspirasi dan sampai di
alveolus maka tekanan parsial ini akan mengalami penurunan sampai sekiktar 103
mmHg. Penurunan tekanan parsial ini terjadi berdasarkan fakta bahwa udara
inspirasi tercampur dengan udara dalam ruangan sepi anatomic saluran udara dan
dengan uap air. Perbedaan tekanan karbondioksida antara darah dan alveolus yang
jauh lebih rendah menyebabkan karbondioksida berdifusi kedalam alveolus.
Karbondioksida ini kemudian dikeluarkan ke atmosfir.
Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan oksigen di
kapiler darah paru-paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari total
waktu kontak selama 0,75 detik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa paru-paru
normal memiliki cukup cadangan waktu difusi. Pada beberapa penyakit misal;
fibosis paru, udara dapat menebal dan difusi melambat sehingga ekuilibrium
mungkin tidak lengkap, terutama sewaktu berolahraga dimana waktu kontak total
berkurang. Jadi, blok difusi dapat mendukung terjadinya hipoksemia, tetapi tidak
diakui sebagai faktor utama.
2.2 Konsep Dasar Penghantaran Obat
Ketika obat digunakan oleh pasien akan menghasilkan efek tertentu yang
disebut efek biologis. Efek biologis ini merupakan hasil interaksi obat dengan
reseptor tertentu dari obat. Meskipun demikian obat yang dihantarkan ke tempat
kerja diatas pada kecepatan dan konsentrasi tertentu dimana efek samping
minimal dan efek terapeutik maksimal. Faktor-faktor yang mempengaruhi
absorbsi obat:
a. Kelarutan Obat
Agar dapat diabsorpsi obat harus dalam bentuk larutan. Obat yang
diberikan dalam bentuk larutan akan mudah diabsorpsi dibandingkan obat
yang harus larut dahulu dalam cairanbadan sebelum diabsorpsi.
b. Kemampuan Obat
Difusi melintasi membrane selobat yang berdifusi melintasi pori-pori
membrane lipid kebanyakan obat diabsorpsidengan pasif.
c. Kadar Obat
Semakin tinggi kadar obat dalam larutan semakin cepat obat diabsorpsi..
d. Sirkulasi Darah
Pada tempat absorpsisemakin cepat sirkulasi darah maka obat yang
diabsorpsi akan semakin besar.
e. Luas Permukaan Kontak Obat
Untuk mempercepat absorpsi dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran
partikel obat.
f. Bentuk Sediaan Obat
Untuk memperlambat absorpsi obat dapat dilakukan dengan penggunaan
obat bentuk kerja panjang.
g. Rute Penggunaan Obat
Rute pemakaian obat dapat mempengaruhi kecepatan absorpsi obat.

Perkembangan obat akhir-akhir ini diarahkan pada bentuk sediaan obat alternatif
dari parenteral dimana obat masuk ke dalam sirkulasi sistemik melalui rute bukal,
sublingual, nasal, pulmunory dan vaginal. Rute ini juga digunakan untuk
pengobatan lokal dimana dosis obat dapat dikurangi dan juga mengurangi efek
samping sistemik. Untuk memahami teknologi penghantar obat terdapat beberapa
hal yang harus dimengerti, antara lain :

- Konsep Bioavaibilitas
- Proses Absorpsi obat
- Proses Farmakokinetik
- Waktu untuk terapi yang optimal
- Penghantaran obat yang cocok untuk New Biotherapeutis
- Keterbatasan dari terapi konvensional

2.3 Mekanisme Absorpsi Obat Nasal


Beberapa mekanisme telah diusulkan tetapi ada 2 mekanisme
penyerapan obat yang digunakan:
1) Mekanisme pertama
Melibatkan rute berair transportasi, yang juga dikenal sebagai rute
paracellular. Rute ini lambat dan pasif. Ada korelasi log-log terbalik antara
intranasal penyerapan dan berat molekul senyawa larut dalam air. Kurang
bioavailabilitas diamati untuk obat dengan berat molekul lebih besar dari
1000 Dalton.
2) Mekanisme kedua
Melibatkan transportasi melalui rute lipoidal juga dikenal sebagai proses
transelular dan bertanggung jawab untuk pengangkutan lipofilik obat yang
menunjukkan tingkat ketergantungan pada lipofilisitas mereka. Obat juga
lintas membran sel dengan rute transpor aktif melalui carrier-dimediasi
berarti atau transportasi melalui pembukaan persimpangan ketat. Sebagai
contoh, kitosan, suatu biopolimer alami dari kerang, membuka sambungan
yang erat antara epitel sel untuk memfasilitasi transportasi obat.

2.4 Distribusi Obat

A. Bentuk Sediaan Obat Dan Pembawa


Bentuk sediaan obat yang ideal diantaranya harus meliputi hal-hal
berikut ini: kenyamanan pasien, reproducibility, mudah di absorpsi,
biokompabilitas dan tidak ada reaksi tambahan, luas efektif area kontak, dan
waktu kontak yang di perpanjang.
Klasifikasi rute sistem penghantaran obat diantaranya: system saluran
cerna, parenteral, transmukosa, transnasal, pelepasan obat lewat paru-paru,
pelepasan obat melalui kulit, dan pelepasan obat transvagina. Hal-hal yang
mempengaruhi masuknya obat kedalam sirkulasi sistemik :
a) Besarnya luas permukaan; contoh villi dan microcilli pada usus
kecil memperluas permukaan sehingga memudahkan absorpsi obat.
b) Aktivitas metabolik yang rendah, enzim dapat mendealtifas obat
yang akan diabsorpsi, bioavaibilitas rendah dapat disebabkan oleh
aktivitas enzim yang tinggi.
c) Waktu kontak; waktu kontak dengan jaringan pengabsorpsi akan
mempengaruhi jumlah obat yang melalui mukosa.
d) Suplai darah, darah yang cukup akan memindahkan obat dari
tempat kerja ke tempat absorpsinya.
e) Aksebilitas, variasi rute penghantaran obat menunjukan berbagai
daerah tertentu yang membutuhkan bahan tambahan atau kondisi
tertentu untuk membantu obat mencapai tempat kerja.
f) Variabilitas yang rendah.
g) Permeabilitas, semakin permiabel suatu epitel maka daya
absorpsinyapun semakin tinggi.

Sistem penghantaran obat dan penargetan obat yang ideal,


diantaranya :

a) Obat mempunyai target yang spesifik


b) Menjaga obat pada jaringan yang bukan target
c) Meminimalisasi pengurangan kadar obat ketika mencapai target
d) Melindungi obat dari metabolisme
e) Melindungi obat dari klirens dini
f) Menahan obat pada tempat kerja selama waktu yang dikehendaki
g) Memfasilitasi transport obat kedalam sel
h) Menghantarkan obat ke target intraseluler
i) Harus biokompatibel, biodegradable dan non antigenic

2. Proses Penggunaan Intranasal


Proses penggunaan sistem pengiriman obat dapat melalui penghantaran
dua arah dengan laju nafas, sebagai berikut :

alat, langit-langit lunak secara otomatis
Ketika nafas dikeluarkan ke dalam
menutup rapat rongga hidung.

Nafas memasuki satu lubang hidung lewat mulut pipa yang menyegel.

Dan memicu pengeluaran partikel ke dalam aliran, memajukan partikel
melewati klep hidung untuk menuju tempat sasaran.

Aliran udara melewati communication posterior ke sekat hidung dan keluar
melalui
bagian hidung yang lain di jurusan berlawanan.
Sehingga proses tersebut akan menghasilkan :

90 % dosis obat didepositkan melalui katup nasal.


> 70 % dosis didepositkan di bawah posterior 2/3 rongga nasal.


Reproducibility tinggi dari pendepositan melalui katup nasal.



Tidak ada endapan pada paru - paru.


Adapun alur absorpsi dan distribusi dari jalur rute nasal yaitu sebagai
berikut:
Obat dihirup melalui rongga hidung partikel obat masuk melalui vestibula
hidung, melewati palatum (langit-langit mulut), masuk ke turbinat inferior,
kemudian masuk ke turbinat tengah hingga ke turbinat superior (mukosa
olfactory), menuju ke nasofaring kemudian masuk ke faring melalui glotis
masuk ke dalam trakea partikel tersuspensi dalam
aliran gas di di bronkus, selanjutnya partikel aliran gas tersuspensi di
bronkiolus partikel terdisfusi ke dalam alveoli, di dalam alveoli ini terdapat
banyak sekali pembuluh darah kapiler, di mana partikel zat masuk ke dalam
kapiler-kapiler pembuluh darah berdifusi ke saluran darah (masuk ke dalam
pmbuluh darah), di dalam pembuluh darah ini, partikel zat akan berikatan
bersama reseptor, selanjutnya obat akan terabsorpsi melalui neuron
olfactory menyerap melalui sel-sel pendukung dan kapiler sekitarnya hingga
terabsorpsi ke dalam cairan serebrospinal dan akan memberikan efek
sistemik yang diharapkan.

2.5 Kelebihan dan Kekurangan Dalam Sistem Pengiriman Obat di Saluran


Pernapasan

Seperti halnya obat yang diberikan secara intranasal adalah untuk efek
lokal seperti obat tetes hidung atau dalam bentuk spray yang biasa digunakan
penderita untuk menghentikan serangan sebagai tindakan pencegahan dengan
cara pemberian obat secara langsung kedalam saluran nafas melalui
penghisapan yang memungkinkan obat langsung mencapai sistemik sehingga
memberikan efek lebih cepat untuk mengatasi serangan. Selain itu dosis yang
diperlukan lebih rendah untuk mendapatkan efek yang sama efek samping
obat minimal karena konsentrasi obat di dalam rendah. Lain halnya jika
pemberian obat secara parenteral atau oral sering menimbulkan efek samping
seperti gangguan gastrointestinal atau efek samping lainnya.

Melihat mekanisme kerja obat seperti uraian diatas tersebut, maka


kelebihan dan kekurangan penghantaran untuk lokal pada pemberian obat
intranasal, adalah sebagai berikut:

Kelebihan:
Dosis yang diperlukan untuk efek farmakologinya dapat dikurangi
Konsentrasi rendah dalam sirkulasi sistemik dapat mengurangi efek
samping sistemik

Area permukaan untuk absorpsi luas ( 160 cm3 )

Onset of action yang cepat

Aktivitas metabolisme yang rendah dibandingkan peroral, menghindari


reaksi saluran cerna metabolisme hati

Bentuk sediaan alternative, jika tidak dapat digunakan obat saluran cerna

Mudah diakses untuk penghantaran obat

Kekurangan :

Difusi obat terhalang oleh mucus dan ikatan mucus

Mukosa nasal dan sekresinya dapat mendegradasi obat

Iritasi lokal dan sensitivisasi obat harus diperhatikan

Mucociliary clearance mengurangi waktu retensi obat dalam rongga


hidung

Kurang reproduksibilitas pada penyakit yang berhubungan dengan rongga


hidung

Hanya untuk obat yang poten (dosis kecil) dengan ukuran partikel 5 10
m

Biasanya penbawa obat intranasal berupa spray dengan menggunakan


motered dosis spraymisalnya berupa aerosol yaitu system koloid bahan padat
atau cair dalam gas, sedangkan drop menggunakan penetes.

F. Faktor yang Mempengaruhi Sistem Pengiriman Obat

Ada berbagai faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas sistemik dari obat


yang diberikan melalui rute hidung. Faktor-faktor ini dapat mempengaruhi
terhadap sifat physiochemical dari obat, sifat anatomi dan fisiologis dari rongga
hidung dan jenis dan karakteristik dari sistem pengiriman obat yang dipilih
hidung. Faktor-faktor ini memainkan peran kunci untuk sebagian besar obat untuk
mencapai tingkat darah terapi efektif setelah pemberian hidung. Faktor yang
mempengaruhi penyerapan obat hidung dijelaskan sebagai berikut

1. Sifat fisiko kimia obat


a. Keseimbangan Lipofilik-hidrofilik

Sifat HLB dari obat mempengaruhi proses penyerapan. Dengan meningkatkan


lipofilisitas, permeasi senyawa biasanya meningkat melalui mukosa hidung.
Meskipun mukosa hidung ditemukan memiliki beberapa karakter hidrofilik,
tampak bahwa mukosa ini terutama lipofilik di alam dan domain lipid memainkan
peran penting dalam fungsi penghalang membran ini. Obat lipofilik seperti
nalokson, buprenorfin, testosteron dan etinilestradiol hampir sepenuhnya diserap
bila diberikan rute intranasal.

b. Degradasi enzimatik dalam rongga hidung

Obat seperti peptida dan protein memilikibioavailabilitas yang rendah di rongga


hidung, sehingga obat ini mungkin memiliki kemungkinan untuk mengalami
degradasi enzimatik dari molekul obat dalam lumen rongga hidung atau sewaktu
melewati penghalang epitel.Pada ke dua bagian initerjadi exo-peptidases dan
endo-peptidases, exo-peptidases adalah mono-aminopeptidases dan di-
aminopeptidases. Ini memiliki kemampuan untuk membelah peptida pada mereka
N dan C termini dan endo-peptidases seperti serin dan sistein, yang dapat
menyerang ikatan peptida internal.

c. Ukuran molekul

Penyerapan obat melalui rute hidung dipengaruhi oleh ukuran molekul. Obat
lipofilik memiliki hubungan langsung antara MW dan permeasi obat sedangkan
senyawa yang larut dalam air menggambarkan hubungan terbalik. Tingkat
permeasi sangat sensitif terhadap ukuran molekul untuk senyawa dengan MW
300 Dalton.
2. Karakteristik sediaan Obat Intranasal
a. Formulasi (Osmolaritas, pH, Konsentrasi)

Osmolaritas bentuk sediaan mempengaruhi penyerapan obatdi hidung.
Sebagai contoh ialahnatrium klorida yang mempengaruhi penyerapan
hidung. Penyerapan maksimum dicapai dengan konsentrasi natrium
klorida 0.462 M, konsentrasi yang lebih tinggi tidak hanya menyebabkan
bioavailabilitas meningkat tetapi juga mengarah pada toksisitas pada epitel

hidung.

pH sediaan obat dan permukaan hidung dapat mempengaruhi permeasi
obat ini. Untuk menghindari iritasi hidung, pH sediaan obat harus
disesuaikan dengan pH 4,5 - 6,5 karena lisozim ditemukan di sekret
hidung, yang bertanggung jawab untuk menghancurkan bakteri tertentu
pada pH asam. Dalam kondisi basa, lisozim tidak aktif dan jaringan yang
rentan terhadap infeksi mikroba. Selain menghindari iritasi, itu
menghasilkan memperoleh permeasi obat efisien dan mencegah

pertumbuhan bakteri.

Gradien konsentrasi memainkan peran yang sangat penting dalam proses
penyerapan/permeasi obat melalui membran hidung karena kerusakan
mukosa hidung. Contoh untuk ini adalah penyerapan L-Tirosin, dimana
konsentrasi obat dalam percobaan perfusi hidung. Sedangkanpada absorpsi
asam salisilat konsentrasi obatnyamenurun. Penurunan ini kemungkinan

karena kerusakan mukosa hidung yang permanen.

b. Distribusi Obat dan deposisi


Distribusi obat dalam rongga hidung merupakan salah satu faktor penting
yang mempengaruhi efisiensi penyerapan hidung. Modus pemberian obat
dapat mempengaruhi distribusi obat di rongga hidung yang pada gilirannya
akan menentukan efisiensi penyerapan obat. Penyerapan dan
bioavailabilitas bentuk sediaan hidung terutama tergantung pada lokasi
disposisi. Bagian anterior hidung menyediakan waktu perumahan
berkepanjangan hidung untuk disposisi dari formulasi, hal ini
akanmeningkatkan penyerapan obat. Dan ruang posterior dari rongga
hidung akan digunakan untuk pengendapan bentuk sediaan, melainkan
dihilangkan oleh proses pembersihan mukosiliar dan karenanya
menunjukkan bioavailabilitas rendah. Situs disposisi dan distribusi bentuk
sediaan terutama tergantung pada pengiriman perangkat, cara pemberian,
sifat fisikokimia molekul obat.

c. Viskositas
Viskositas yang lebih tinggi dari formulasi meningkatkan waktu kontak
antara obat dan mukosa hidung sehingga meningkatkan waktu untuk
permeasi. namun, formulasi sangat kental akan mengganggu fungsi normal
seperti pergerakan silia atau clearance mukosiliar dan dengan demikian
mengubah permeabilitas obat.

3. Sifat anatomi dan fisiologis dari rongga hidung


a. Izin mukosiliar
Partikel terperangkap dalam lapisan lendir yang yang akan terbersihkan
dari rongga hidung. Aksi gabungan lapisan lendir dan silia disebut kliren
mukosiliar.Ini adalahmekanisme pertahanan fisiologis saluran pernapasan
untuk melindungi tubuh terhadap bahan berbahaya yang telah
dihirup.Waktu transit yang normal mukosiliar pada manusia telah
dilaporkan 12 sampai 15 menit. Faktor-faktor yang mempengaruhi izin
mucocilliary meliputi faktor fisiologis (umur, jenis kelamin, postur, tidur,
olahraga, polusi lingkungan umum (sulfur dioksida dan asam sulfat,
nitrogen dioksida, ozon, hairspray, dan asap tembakau, penyakit (silia
sindrom immotile, primary ciliary dyskinesia-Kartagener.s syndrome,
asma, bronkiektasis, bronkitis kronis, cystic fibrosis, infeksi saluran
pernapasan akut dan obat-obatan.
b. Rhinitis
Rhinitis adalah penyakit umum yang paling sering dikaitkan pada
pengobatan intranasal, penyakit ini akan mempengaruhi bioavailabilitas
obat. Hal ini terutama diklasifikasikan ke dalam rhinitis alergi dan umum,
gejalanya adalah hipersekresi, gatal dan bersin terutama disebabkan oleh
virus, bakteri atau iritan. Alergi rhinitis adalah penyakit alergi saluran
napas, yang mempengaruhi 10% dari populasi. Hal ini disebabkan oleh
peradangan kronis atau akut selaput lendir hidung.Kondisi ini
mempengaruhi penyerapan obat melalui selaput lendir akibat peradangan.

c. Permeabilitas membrane
Permeabilitas membran hidung adalah faktor yang paling penting, yang
mempengaruhi penyerapan obat melalui rute hidung. Obat yang larut air
dengan berat molekul yang besar seperti peptida dan protein memiliki
permeabilitas membran yang rendah. Jadi senyawa seperti peptida dan
protein yang utama diserap melalui proses transportasi endocytotic dalam
jumlah rendah. Obat yang larut dalam air dengan berat molekul yang besar
melintasi mukosa hidung secara difusi pasif melalui pori-pori berair
(persimpangan ketat).

d. pH Lingkungan
pH lingkungan memainkan peran penting dalam efisiensi penyerapan obat
intranasal. Senyawa yang larut dalam air seperti asam benzoat, asam
salisilat, dan alkaloid menunjukkan bahwa penyerapan obat
bergantungkepada nilai-nilai pH dimana senyawa ini dalam bentuk tidak
terionisasi. Namun, pada nilai pH dimana senyawa ini sebagian terionisasi,
penyerapan substansial ditemukan.Ini berarti bahwa bentuk lipofilik tidak
terionisasi melintasi penghalang epitel hidung melalui rute transelular,
dimana bentuk terionisasi yang lebih lipofilik melewati rute para cellular
berair.
H. Contoh Sediaan Intranasal

Beberapa kategori dari sediaan hidung dapat dibedakan:



Nasal drops and liquid nasal sprays. Contoh obat dipasaran
: Sterimar
Nasal Hygiene, Iliadin Nasal Spray, Flixonase Nasal Spray

Nasal powders / bedak hidung

Semisolid nasal preparations / sediaan hidung semisolid

Nasal washes / pencuci hidung

Nasal sticks

BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff Hood. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Penerbit Airlangga

University Press.

Ashish A1 Karhale., et. All.2012 Pulmonary Drug Delivery System.

International Journal of PharmTech Research. Vol.4 No.1, pp 293-305,

Chaturvedi N.P.*, Solanki H.2003 Pulmonary Drug Delivery System: Review.

IJAP-Vol.5 Issue 3

M.Alagusundara et al.2010. Nasal drug delivery system - an overview. Int. J. Res.

Pharm. Sci. Vol-1, Issue-4, 454-465

Paulsen, Waschke. 2012. Sobotta Atlas Anatomi Manusia. Edisi-23. Jakarta: Buku

Kedokteran EGC.

Sunitha, R et.All.2011. Drug Delivery And Its Developments For Pulmonary

System. IJPCBS 2011, 1(1), 66-82

Syaifuddin. 1996. Anatomi Fisiologi untuk Siswa Perawat. Jakarta: Penerbit

Anda mungkin juga menyukai