BAB I
PENDAHULUAN
Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk individu dan
juga sebagai makhluk sosial. Makhluk sosial memiliki arti bahwa manusia memerlukan
bantuan atau pertolongan dari orang lain dalam menjalani kehidupannya. Sebagai
makhluk sosial yang membutuhkan pertolongan orang lain, maka seyogyanya juga
sukarela dalam menolong atau memberikan bantuan terhadap orang lain. Tolong-
menolong dalam kehidupan bermasyarakat menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan
bermasyarakat. Ada kalanya kita dihadapkan pada kondisi memberi pertolongan, dan
positif tersebut terlihat pada tumbuhnya rasa kedamaian dan keharmonisan, saling
menghargai antar sesama, sikap nasionalisme yang tinggi, idialisme sehat yang
pada satu atau banyak orang (Batson, 1998). Perilaku menolong merupakan bagian
tingkah laku prososial yaitu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa
harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan
tersebut.
yang tidak mementingkan diri sendiri, melainkan untuk kebaikan orang lain (Baron &
Byrne, 2005). Beberapa orang tetap memberikan bantuan kepada orang lain meskipun
lain tidak memberikan bantuan sama sekali meskipun berada dalam kondisi baik.
untung ruginya bagi dirinya apabila ia menolong (Sears, 2003). Santrock (2007),
mengungkapkan banyak perilaku altruistik dimotivasi oleh norma resiprokal, yaitu suatu
kewajiban membalas bantuan dengan bantuan lain. Bukti resiprokal ini melengkapi
interaksi manusia di seluruh belahan dunia, karena pada dasarnya individu merasa
bersalah jika tidak membalas kebaikan orang lain dan mungkin akan emosi (marah)
utama yang mempengaruhi altruisme adalah religiusitas atau tingkat keyakinan agama
yang dimiliki seseorang. Oleh karena itu, keyakinan agama yang kuat dapat
mendorong seseorang untuk lebih semakin altruistik. Dalam studinya, Pichon, Boccato,
dan Saroglou (dalam Lu Zhao, 2012) menunjukkan bahwa hubungan antara agama
dan altruisme sangat kuat. Ketika individu memiliki konsep yang positif terhadap
agama, maka mereka akan menjadi lebih altruistik. Hal yang sama juga dikemukakan
3
oleh Myers (2012) mengatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi altruisme
adalah faktor personal yaitu mempertimbangkan sifat dari penolong, hal ini mencakup
Glock san Stark (dalam Robinson & Shaver,1980) menyatakan bahwa religiusitas
merupakan salah satu nilai dalam kehidupan manusia yang bisa mempengaruhi
pandangan hidup, maka sikap keberagamaan akan terlihat pula dalam pola kehidupan
kepribadian mereka. Sikap keberagamaan ini akan membawa mereka untuk secara
mantap menjalankan ajaran agama yang mereka anut (Jalaluddin, 2000). Sifat
keagamaan ini juga merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang
agama.
Allport dan Ross (dalam Subandi, 2013) menjelaskan orientasi religius sebagai
Terdapat dua aspek orientasi religiusitas, yaitu: (1) orientasi religius intrinsik, yaitu
bagaimana individu hidup di dalam agamanya (lives hir/her religion). Pada orientasi ini,
agama adalah sesuatu yang sangat vital dalam kehidupan seseorang. (2) orientasi
his/her religion), orientasi ini lebih menekan pada identitas individu yang
berkonsekuensi pada sosial emosional. Orientasi ini menunjukan bahwa agama adalah
bersifat fungsional.
4
melakukan perilaku altruistik, karena orang yang religius berkarakteristik lebih stabil,
lain, dan membantu satu sama lain sebagai prinsip dasar keyakinan mereka (Daling,
Yinon dan Sharon (1985), menemukan bahwa orang-orang religius lebih mungkin
Oleson, Jennings, dan Brown (dalam Bouchard, 2011) mempelajari motivasi di balik
perilaku prososial individu yang sangat religius. Mereka menemukan bahwa individu
yang beragama lebih sering membantu daripada individu yang tidak tertarik dengan
agama. Agama dipandang sebagai salah satu kekuatan sosial yang paling stabil dalam
Dalam hal bertindak, individu tidak hanya dipengaruhi oleh faktor kecerdasan
intelektual (IQ), tetapi juga dipengaruhi oleh faktor kecerdasan emosional (EQ).
diantaranya adalah kecerdasan emosi (EQ). Salovey dan Mayer (dalam Saphiro, 1998)
diri, mengelola emosi, mengenali emosi orang lain, memotivasi diri dan kemampuan
membina hubungan dengan orang lain. Goleman (2000) menyatakan bahwa yang
untuk mengontrol diri, tetap tekun serta dapat memotivasi diri. Kecakapan tersebut
mencakup pengelolaan bentuk emosi, baik yang positif maupun yang negatif.
5
tinggi diyakini mampu mencapai tinggi kesejahteraan. Hal ini karena individu dengan
tinggi orientasi keagamaan akan berusaha untuk menjaga hubungan baik dengan
Allah, manusia dan mahluk lainnya. Penelitian oleh Perancis et al., (2011) dan Khaidzir
Ismail dan Khairil Anwar (2011) mengemukakan bahwa individu dengan religiusitas
yang tinggi cenderung berperilaku dengan cara yang baik ketika bergaul dengan orang
lain. Penelitian yang dilakukan oleh Rastgar, Saadi, Bakhtiarpoor dan Hajmohammadi
(2015) terhadap 200 orang mahasiswa (100 orang kecanduan minuman keras dan 100
yang signifikan antara keyakinan agama dan kecerdasan emosional, oleh sebab itu
hubungan antara status agama dan kecerdasan emosional antara mahasiswa pra-
universitas menunjukkan bahwa ada hubungan positif dan signifikan antara keyakinan
agama dan kecerdasan emosional. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Watts
(dalam Daling, Jason, Morton & Byrne, 2011) bahwa emosi adalah pusat pengalaman
agama dan spiritualitas, hal ini menunjukkan bahwa agama dapat membentuk emosi
suasana hati yang baik serta memiliki kinerja yang baik pada segala bidang. Kapasitas
individu mengerti sinyal-sinyal sosial dari orang lain serta memahami tindakan apa
yang seharusnya dilakukan, dengan kondisi seperti ini, kepekaan sosial sangat
diperlukan yaitu berupa sikap peduli terhadap sesama dan hal ini memberikan
kemungkinan bahwa individu dapat berperilaku altruism (Saarni,2007). Hal yang sama
menentukan perilaku altruisme. Secara umum, perilaku altruisme mengacu pada suatu
tindakan yang dilakukan secara sukarela untuk membantu orang lain tanpa
Sarwono (2011) juga menyebutkan bahwa perilaku altruisme adalah tingkah laku
sukarela dalam membantu individu tertentu dalam tugas yang berhubungan dengan
menolong tanpa mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun atau disebut juga tanpa
meningkatkan kesejahteraan orang lain. Individu yang tinggi pada altruisme cenderung
menggambarkan sikap yang konsisten, lebih murah hati, membantu, dan baik (Batson,
1987).
dipengaruhi oleh suasana hati yang positif. Spector dan Fox (2002) menyatakan
bahwa orang-orang dalam suasana hati yang positif dapat memilih untuk terlibat dalam
berperilaku altruisme sebagai sarana untuk membantu diri mereka sendiri dalam
emosi seseorang, maka akan semakin tinggi pula intensi altruisme dalam diri individu
tersebut.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Butt (2014) menunjukkan bahwa
mengatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional dan
keyakinan agama orang normal dan kecanduan. Granacher (2000) percaya bahwa
kecerdasan emosional.
emosinya secara pribadi lebih efektif, lebih tegas, mampu menghadapi kekecewaan
hidup, tidak mudah hancur di bawah beban stres, siap mencari tantangan sekalipun
harus menemui berbagai kesulitan, percaya diri dan yakin akan kemampuannya, dapat
dipercaya dan diandalkan, sering mengambil inisiatif serta terjun langsung menangani
merasakan, mengenali, mengelola emosi diri maupun orang lain secara seimbang,
mampu menghadapi kekecewaan hidup, mampu menjalin hubungan dengan orang lain
Sebagai mahasiswa teologi yang nantinya akan terjun ke medan pelayanan dan
berinteraksi dengan masyarakat umum dan memiliki tingkat ekonomi yang berbeda-
daripada kepentingan pribadi. Hal ini akan mendorong munculnya perilaku peduli
terhadap orang lain, dimana seseorang akan mudah memberikan pertolongan dengan
kebersamaan lama kelamaan berubah menjadi suatu individu yang cenderung lebih
kooperatif dan lebih altruistik dibandingkan dengan mahasiswa ilmu sosial di perguruan
bahwa subjek lebih altruistik ketika mereka sudah dibekali dengan kata-kata yang
bernuansa religius. Hal yang sama juga ditemukan bahwa di Israel menunjukkan
bahwa komunitas yang religius lebih kooperatif dibandingkan dengan mereka yang
informasi yang dapat mendukung latar belakang yang sudah dipaparkan di atas, yaitu:
sudah jarang yang mau membantu dengan sukarela. Contoh mengerjakan tugas kuliah
sudah banyak yang mengharapkan imbalan. Saya melihat sudah terjadi pergeseran
nilai menjadi manusia yang konsumtif. Contohnya lagi, kebetulan gereja berdekatan
dengan salah satu sekolah Theologia. Kalau kita suruh membunyikan lonceng gereja
pada tanggal 31 Desember mereka sudah minta uang minum. Itu yang saya lihat lihat
9
saat ini. Hal yang sama juga di ungkapkan oleh ES 29 tahun kebanyakan mahasiswa
teologi pada awalnya memiliki tanggung jawab untuk menolong, hal ini didasarkan
karena latar belakang sudah belajar teologi sehingga mudah untuk berbelas kasihan
dalam arti menolong orang lain. Namun dalam akhir-akhir ini banyak yang bergeser
dengan arti sudah kepentingan untung sama untung. Dengan kata lain, saya bantu
kamu, kamu harus bantu saya juga. Hal ini saya lihat karena di kampus atau di asrama
saling menolong tanpa melihat imbalan atau balasan tidak dibudidayakan (komunikasi
yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah Apakah ada hubungan antara
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk berbagai bidang ilmu
yang berkaitan dengan psikologi pendidikan dan psikologi sosial. Serta dapat
10
altruisme.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang lebih luas dan
pandangan yang baru kepada masyarakat luas mengenai hubungan religiusitas dan
Teologia.
Sistematika penulisan terbagi menjadi beberapa bab. Bab I berisi latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian (manfaat teoritis
dan manfaat praktis). Bab II berisikan mengenai teori-teori yang mendalam tentang
berpikir, dan hipotesis penelitian. Bab III atau metode penelitian berisi mengenai
penelitian, prosedur penelitian, dan teknik analisis data. Bab IV atau hasil penelitian
dan analisis data berisikan tentang gambaran partisipan penelitian, analisis deskriptif
variable, analisis data utama, analisis data tambahan. Pada bab terakhir, yaitu bab V
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Altruisme
Secara umum altruisme diartikan sebagai aktivitas menolong orang lain, yang
hal ini memiliki dampak positif terhadap orang lain atau masyarakat luas. Salah
satu jenis dari perilaku prososial (prosocial behavior) adalah altruisme (altruism).
Altruisme adalah kepedulian yang tidak mementingkan diri sendiri melainkan untuk
kebaikan orang lain (Baron dan Byrne, 2005). Sears, Peplau dan Taylor (2000)
dilakukan secara sukarela untuk membantu orang lain, tidak ada harapan
kesejahteraan orang lain bukan untuk suatu kepentingan diri sendiri. Batson (2002)
ketertarikan yang tidak egois dalam membantu orang lain juga disebut sebagai
mementingkan diri sendiri, melakukan tindakan untuk menolong orang lain tanpa
rakyat atau kelompok (Batson, 2002). Scroeder, Penner, Dovidio dan Piliavin
(dalam Sears, Peplau & Taylor, 2000) juga mengungkapkan bahwa altruisme
mengacu pada tindakan sukarela untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan
Bryan dan Test (dalam Bar-Tal, 2005) melihat bahwa altruisme adalah sebagai
yang sama juga dipaparkan oleh Walster dan Piliavin (dalam Bar-Tal, 2005) bahwa
orang lain, bukan menguntungkan diri sendiri dan dilakukan dengan kebaikan hati.
untuk menolong tanpa mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun atau disebut
altruisme dipengaruhi oleh banyak faktor dari dalam diri manusia misalnya,
kepribadian, kemampuan moral, kognitif, dan empati. Kedua, faktor dari yang ada
di luar diri manusia misalnya kehadiran orang lain, norma-norma, dan situasi
mengacu pada perilaku individu yang mengutamakan kepentingan orang lain diatas
13
orang lain tanpa adanya keuntungan langsung bagi si penolong itu sendiri.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa altruism adalah suatu
tindakan yang dilakukan seseorang untuk memberikan bantuan kepada orang lain
secara sukarela tanpa mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun dan lebih
mengutamakan kepentingan orang lain dari pada kepentingan diri sendiri demi
Kramp (dalam Baron & Byrne, 2005) antara lain adalah sebagai berikut: (1) empati,
baik dan termotivasi membuat kesan yang baik. (2) mempercayai dunia yang adil,
yaitu individu yang altruis percaya bahwa dunia adalah tempat yang adil dan
percaya tingkah laku yang baik diberi imbalan yang baik dan tingkah laku yang
buruk mendapat hukuman. Individu yang memberikan pertolongan bagi orang yang
membutuhkan adalah hal yang tepat untuk dilakukan dan adanya pengharapan
bahwa ia mampu untuk bertingkah laku dengan cara yang memaksimalkan hasil
akhir yang baik dan meminimalkan hasil yang buruk. (5) egosentris rendah yaitu
individu yang memiliki altruis memiliki keegoisan yang rendah. Dia akan lebih
individu untuk berperilaku altruisme, yakni pengaruh situasi dan faktor pengaruh
dari dalam diri. Pengaruh situasi terdiri dari (1) bystanders, merupakan perilaku
menolong atau tidak menolong orang lain yang kebetulan berada bersama di
tempat kejadian. Semakin banyak orang lain, semakin kecil kecenderungan orang
untuk menolong, menolong jika orang lain juga menolong. (2) menolong jika orang
lain juga menolong. Dengan adanya seseorang yang sedang menolong orang lain
akan memicu kita untuk juga ikut menolong (Bryan& Test dalam Sarwono, 1997);
(3) desakan waktu yang dimiliki. Individu yang memiliki banyak kesibukan lebih
dengan mereka yang memiliki banyak waktu luang; (4) kemampuan yang dimiliki.
Sedangkan faktor pengaruh dari dalam diri, terdiri dari: (1) perasaan individu.
Individu yang memiliki perasaan negatif akan memiliki dampak yang dapat
menolong. Oleh karena itu, emosi positif harus dikaitkan dengan situasi di luar diri
agar dapat memicu perilaku menolong, yaitu: kondisinya tidak terlalu berbahaya,
lebih banyak manfaat dari kerugiannya, dan ada yang mendorong untuk
berperilaku menolong (Sarwono, 1997); (2) faktor sifat (trait). Bierhoff, Klien &
Kramp (dalam Sarwono, 1997) menyatakan bahwa orang-orang yang perasa dan
berempati tinggi dengan sendirinya lebih memikirkan orang lain dan karenanya
lebih menolong. (3) agama. Gallup (dalam Sarwono, 1997) dari hasil penelitiannya
tetapi, penelitian ini ditentang oleh Sappington dan Baker (dalam Sarwono, 1997)
dan juga penghargaan sosial bukanlah perialku altruisme. Dari uraian di atas
untuk keuntungan nyata atau persetujuan sosial, tetapi untuk persetujuan untuk
diri mereka sendiri. Pendekatan ini mengakui bahwa, di satu sisi, situasi
merupakan penentu penting dari perilaku altruistik dan di sisi lain berbeda
melihat bahwa altruisme merupakan hasil dari pembelajaran yang dapat dijelaskan
dilakukan atas dasar untung dan rugi. Untung rugi bukan dalam hal material tapi
mengharapkan hasil yang besar dari akibat memberikan pertolongannya itu. (3)
teori norma sosial, yaitu individu melakukan perilaku menolong karena diharuskan
oleh norma-norma sosial di masyarakat. (4) teori evolusi, yaitu individu menolong
17
tidak ada hubungan kekeluargaan. (2) timbal balik biologis, motivasi menolong
agar kelak mendapatkan pertolongan baik dari orang yang bersangkutan maupun
dari orang lain. (3) orientasi seksual, yaitu ada kecenderungan orang-orang
membrikan pertolongan kepada individu lain yang memiliki orientasi seksual yang
sama.
Kata religi berasal dari bahasa latin yakni ereligio yang akar katanya adalah
dilaksanakan, yang semuanya itu berfungsi untuk mengikat dan mengutuhkan diri
manusia serta alam sekitarnya (Subandi, 2013). Religiusitas menurut Glock dan
Stark (dalam Ancok, 2005) adalah seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh
berkeyakinan kepada Tuhan dengan kata lain percaya adanya kekuatan di luar
dirinya yang mengatur hidup dan kehidupan alam semesta, hal ini yang kemudian
18
kemasyarakatan, maka religiusitas lebih melihat aspek yang di dalam lubuk hati,
hati nurani pribadi, sikap personal, cita rasa yang mencakup totalitas kedalaman
pribadi manusia. Oleh karena itu religiusitas pada dasarnya lebih dalam dari
agama yang tampak formal dan resmi (Mangun Wijaya, 1991). Religiusitas dapat
dilihat sebagai pencarian makna dan arti dalam cara yang berkaitan dengan suci
(Zinnbauer & Pargament, 2005). Dari perspektif ini, individu bisa merasakan
religiusitas merujuk pada hal-hal yang berhubungan dengan hidup dalam iman,
religiusitas adalah internalisasi agama dalam diri seseorang yang terlihat melalui
dalam lima bagian yaitu: (1) religius belief (the ideological dimension) atau dimensi
adalah anak Allah yang Tunggal, Tuhan itu sendiri, Yesus telah menjadi manusia
untuk menebus dosa manusia, Yesus menderita sengsara, wafat, bangkit, dan
naik ke sorga. Contoh pernyataan positif dari dimensi ini adalahsaya merasakan
dimensi ini adalah 0.894. (2) religious pratice (the ritual dimension) yaitu tingkat
Dimensi ini terdiri dari 3 butir pernyataan positif dan 3 butir pernyataan negatif.
Contoh pernyataan positif dari dimensi ini adalahsaya aktif melayani di gereja,
sedangkan pernyataan negatif untuk dimensi ini adalah saya hanya mau
mengikuti ibadah di gereja ketika saya mengamati (3) Religious feeling (the
dialami dan diraskan. Misalnya merasa dekat dengan Tuhan, merasa takut
berbuat dosa, atau merasa doa yang dikabulkan, diselamatkan Tuhan; (4)
mengacu pada ajaran-ajaran agamanya, terutama yang ada di dalam Kitab Suci
maupun yang lainnya. (5) religious effect (the consequential dimension, yaitu
mencintai musuh.
agamanya; (2) cultic (ibadat atau kultus) yakni berhubungan dengan praktik atau
agama pribadi; (4) devotional (ibadah), mengacu pada perasaan dan pengalaman
seseorang terhadap ibadah agamanya. Alport dan Ros (dalam Holdcroft, 2006)
membagi religiusitas ke dalam dua dimensi yaitu, dimensi extrinsik dan dimensi
intrinsik. Kedua dimensi ini memiliki ciri yang bertolak belakang satu sama lain.
agama untuk hidup. Pada orientasi intrinsik, agama adalah sesuatu yang sangat
bersifat fungsional. Dengan kata lain bahwa kedua orientasi religius ini memiliki
gejala yang berkelanjutan atau kontinium dimana individu dapat bergeser dari satu
Alpord dan Ross membagi tujuh aspek orientasi religiusitas instrinsik dan
ekstrinsik, yaitu; (1) aspek personal vs institusional, yaitu individu yang memiliki
nilai-nilai ajaran agama sebagai hal yang vital dan berusaha menghayati agama
religius ekstrinsik lebih menekankan gama dalam aspek formal dan institusional;
21
(2) aspek unselfish vs selfish, yaitu individu yang memiliki orientasi instrinsik
cenderung tidak bersifat egoistis atau selfish. Dalam menjalankan agama, mereka
selfish. Seluruh perilaku berpusat pada kepentingan pribadi atau diri sendiri. (3)
menghayati keyakinan agama secara dangkal dan tidak dihayati secara penuh. (4)
memiliki orientasi intrinsic agama dapat terintegrasi secara utuh dengan seluruh
kecil dari berbagai aspek kehidupannya. (5) pokok vs instrumental, yaitu individu
keterlibatan dalam kehidupan beragama yang sangat dalam untuk mencari nilai-
nilai yang transedental yang tinggi, berafiliasi dalam suatu kelompok keagamaan
demi mencapai kehidupan yang penuh dengan makna. Individu yang memiliki
untuk memperluas jaringan sosial dan untuk memperkuat status sosial mereka di
masyarakat; (7) dinamis vs statis, yaitu individu yang memiliki religiusitas intrinsik
Richard C.H. Lensky, membagi aspek religiusitas ke dalam dua aspek yaitu; (1)
manusia dengan Tuhan yang bersifat pribadi. Walter Houston Clark, membagi
aspek-aspek religiusitas ke dalam tiga bagian, yaitu; (1) primary religious behavior,
mengacu pada perilaku beragama yang didasari oleh pengalaman batin yang
agama dengan penghayatan yang kurang utuh; (3) tertiary religious behavior, yaitu
perilaku beragama yang sangat menekankan rutinitas dan ritualistic semata tanpa
ada penghayatan secara pribadi (lebih berorientasi pada otoritas orang lain
sikap dan tingkah laku. (3) bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma
tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap
hidup. (5) bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas. (6) bersikap lebih
berkembang.
24
Istilah kecerdasan emosi pertama kali berasal dari konsep kecerdasan sosial
yang dikemukakan oleh Thordike pada tahun 1920 yang menyatakan bahwa salah
untuk memahami orang lain dan bertindak bijaksana dalam hubungan antar
Meskipun memiliki teori yang berbeda satu sama lain, perbedaan teori ini menurut
Emerlin dan Goleman (2003) bukanlah sesuatu yang negatif. Justru dengan
adanya perbedaan ini, model teoritis dan aplikasi kecerdasan emosional dalam
ilmu pengetahuan, maka beragam varian teori ini diharapkan berdampak positif
datang.
emosional sebagai suatu tipe kecerdasan sosial yang meliputi kemampuan untuk
memonitor emosi sendiri dan emosi orang lain, membedakan keduanya, dan
orang lain, menjaga hubungan yang baik dengan orang lain.kemampuan kontrol
diri, terus berusaha, kemampuan memotivasi diri sendiri yang berguna untuk
bagian yaitu: (1) mengenali emosi diri, mengacu kepada kesadaran diri (self
emosi diri sendiri dan pengaruhnya, mengetahui kekuatan dan batasan diri sendiri.
Individu yang memiliki keyakinan yang lebih tentang perasannya merupakan salah
satu kunci yang andal bagi kehidupan mereka. Dalam tahap ini diperlukan adanya
kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu agar timbul wawasan
psikologis dan pemahaman tentang diri. (2) mengelola emosi (managing emotions)
dorongan hati yang merusak, memlihara norma dan kejujuran, bertanggung jawab,
Individu yang berhasil dalam mengelola emosi adalah individu yang mampu
atau ketersinggungan dan dapat bangkit kembali. (3) memotivasi diri sendiri (self
untuk meraih sasarannya dan lebih mudah merubah sasarannya apabila sasaran
yang diterapkan sebelumnya tidak tercapai. (4) mengenali emosi orang lain yani
disebut juga empati. Orang yang empatik lebih mampu menangkap sinyal sosial
lain. Empati juga mencakup kemampuan merasakan apa yang dirasakan orang
percaya dan menyelaraskan diri dengan berbagai watak orang. (5) membina
emosi orang lain. Individu yang yang mampu dalam keterampilan ini akan sukses
dalam bidang apapun yang mengandalkan pergaulan yang mulus dengan orang
lain.
Mayer, Salovey dan Caruso membagi empat dimensi yaitu; (1) kemampuan
dalam diri seseorang dan emosi orang lain, membedakan perasaan antara
ekspresi perasaan yang jujur dan tidak jujur. (2) memfasilitasi emosi dalam
menggunakan emosi untuk memusatkan perhatian dan berpikir lebih rasional, logi,
dan kreatif. Menggunakan emosi untuk membantu aktivitas kognitif tertentu seperti
pengetahuan emosi. Individu yang terampil memahami emosi kaya akan kosakata,
hati dan emosi dalam diri sendiri dan pada orang lain. Mampu mengelola emosi
diri sendiri, mampu memantau atau mengamati dan merefleksikan emosi, mampu
emosional (emotional intelligence) dari Wong and Law (2002), dengan alat ukur
yang mereka kembangkan yang dinamai (WLEIS). Dimensi ini merupakan revisi
dari Mayer dan Salovey (1997) yang terdiri dari: (1) penilian emosi diri (self-
mengekspresikan perasaan diri sendiri. (2) penilaian emosi orang lain (others
mengekspresikan perasaan orang lain disekitar kita. (3) penggunaan emosi (use of
emotion), yaitu kemampuan untuk menggunakan energy emosi dalam berfikir. (4)
regulasi emosi (regulation of emotion) yaitu kemapuan kita mengelola emosi pada
emosi. Pada saat usia bayi, kecerdasan emosional diajarkan dengan menirukan
ekspresi-ekspresi sehingga hal ini akan terus melekat dan menetap hingga
emosional dapat berkembang sejalan dengan perkembangan fisik dan mental. Hal
28
ini biasanya terkait dalam aktivitas bermain peran sebagai seseorang di luar
pribadi, yaitu memudahkan dan untuk masuk ke dalam lingkup pergaulan atau
untuk mengenali dan merespon dengan tepat akan perasaan dan keprihatinan
orang lain, (4) analisis sosial, yaitu kemampuan menditeksi dan mempunyai
akan bagaimana perasaan orang lain dapat membawa kesuatu keintiman yang
yang belajar di perguruan tinggi. Santrock (2010), individu yang memasuki status
muda awal dengan rentang usia antara 1825 tahun. Setiap orang dalam tahapan
usianya, memiliki ciriciri perkembangan yang dapat secara nyata melalui tugas-
29
dewasa muda yaitu intimacy versus isolation. Tugas mewujudkan intimasi yaitu
dengan menjalin hubungan romantis dengan lawan jenis hingga menuju prosesi
harapannya. Ketika intimasi tidak terjadi mereka dapat terjebak dalam bentuk
isolasi. Secara kognitif, dewasa muda ini telah mampu berpikir dan merencanakan
Kata teologi berasal dari bahasa Yunani yakni Theos dan Logos. Theos yang
Dengan demikian, teologi adalah berpikir, berbicara tentang Allah (Avis, 2009).
Mahasiswa sekolah tinggi teologi adalah generasi penerus yang dibekali dengan
ilmu teologi dan dipersiapkan sebagai tenaga yang mampu berpikir kritis, kreatif
T.A.2014/2015).
Peran para mahasiswa teologi sangat vital dalam menentukan masa depan
teologi yang berkualitas untuk dapat mengemban tugas yang berat dan penuh
tantangan sebagai pemimpin di masa depan. Salah satu kriteria dari mahasiswa
yang berkualitas adalah mahasiswa yang memiliki emosional yang cerdas dan
Agama Kristen Protestan bermula dari seorang tokoh yang bernama Marthin
Luther (1483-1546). Luther menjadi rahib yang sangat serius dan tekun didukung
Theologi. Tugas utamanya adalah menafsir Alkitab dan untuk itu ia harus
Sementara mendalami Kitab suci, ada satu perkara yang sangat digumuli oleh
Luther, yakni keselamatan. Ia mencoba untuk menemukan cara agar individu bisa
mendapat rahmat Allah agar dapat selamat. Pada tahun 1514, Luther menemukan
jalan keluar dari kegelisahan itu melalui pemahaman dan kesaksian Rasul Paulus
individu hanya perlu menerima dan memiliki iman percaya kepada Yesus. Tidak
Keselamatan adalah anugerah Allah kepada manusia (Aritonang, 2003). Inti dari
melalui kasih karunia Allah kepada manusia secara cuma-cuma, bukan hasil
(solascriptura).
Ajaran Luther ditentang keras oleh Paus Leo X pemimpin gereja Katolik Roma
pada waktu itu karena dianggap menentang dan menghianati gereja. Luther
akhirnya keluar dari gereja Katolik Roma dan membentuk gerakan reformasi yang
memurnikan ajaran Kristen sesuai dengan firman Tuhan terus berkembang pesat
dengan ilmu teologi dan dipersiapkan sebagai tenaga yang mampu berpikir kritis,
kreatif dan postif sehingga dapat berperan dalam menangani masalah sosial di
tengah-tengah gereja dan masyarakat di masa depan. Dari berbagai faktor yang
seseorang yakni faktor pengaruh situasi dan faktor pengaruh dari dalam diri.
Altruisme adalah suatu tindakan yang dilakukan secara sukarela untuk membantu
orang lain, tidak ada harapan menerima hadiah dalam bentuk apapun kecuali
mungkin perasaan karena telah melakukan perbuatan baik. (Sears, Peplau &
Taylor, 2000). Morris dan Webb menegaskan bahwa semua agama mengajarkan
Morris dan Webb, perilaku altruistik adalah tindakan mengasihi yang dalam
Agama merupakan salah satu nilai dalam kehidupan manusia yang bisa
32
terlihat pula dalam pola kehidupan mereka. Sikap keberagamaan itu akan
faktor yang menjadi fokus dan diasumsikan memiliki hubungan dengan altruisme
sekumpulan bukti empiris yang mendukung adanya korelasi antara religiusitas dan
membantu, berderma, dan berkorban untuk orang lain, yang sarat nilai sosial dan
memiliki dampak sosial yang kuat, tingkah laku yang berawal dari kejujuran
Individu yang cerdas secara emosional mengetahui perbedaan antara apa yang
penting bagi mereka dan apa yang penting bagi orang lain. Individu juga
mengetahui perbedaan antara yang mereka perlukan untuk dapat bertahan hidup
dan apa yang harus diabaikan. Goleman (2000) menyatakan bahwa yang
kemampuan untuk mengontrol diri, tetap tekun serta dapat memotivasi diri.
kekecewaan hidup, tidak mudah hancur di bawah beban stress, siap mencari
tantangan sekalipun harus menemui berbagai kesulitan, percaya diri dan yakin
33
Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan ditemukan bukti bahwa terdapat
religius lebih mengalami emosi yang lebih positif (misalnya, sukacita, harapan,
marah, sedih), dan kesehatan mental yang lebih baik dibandingkan mereka yang
memiliki sedikit atau tidak ada keterlibatan agama Watts (dalam Daling, Jason,
Morton & Byrne, 2011) bahwa emosi adalah pusat pengalaman agama dan
yang dimiliki seseorang. Yinon & Sharon, 1985, menemukan bahwa orang-orang
non religius.
individu yang tidak tertarik dengan agama. Agama dipandang sebagai salah satu
kekuatan sosial yang paling stabil dalam membentuk dan mengendalikan perilaku
kehidupan individu. Temuan ini konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan
34
oleh Biafora, Aut, Trinidad dan Johnson, et all (2002) yang menunjukkan bahwa
kesehatan mental siswa Pakistan. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Lee
KECERDASAN
RELIGIUSITAS EMOSIONAL
ALTRUISME
Hipotesis:
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Partisipan
uji korelasi. Hal ini disebabkan penelitian bertujuan untuk menguji hipotesis
sampling.
Peneltian ini dilakukan di tiga sekolah Tinggi Teologi yang dipilih oleh
masing ruang makan (menza) ke tiga sekolah Tinggi Teologi . Dalam penelitian
ini, instrument atau alat ukur yang digunakan adalah kuesioner. Kuesioner ini
terbagi atas dua bagian, yaitu yang pertama lembar pernyataan peneliti,
informed consent dan data diri subyek. Pada bagian ke dua berisi seluruh
alat ukur ke dua untuk mengukur variable kecerdasan emosional dan alat ukur
merasa gembira dan puas karena menjadi orang sederhana, terbuka terhadap
Tuhan dan orang lain, merasa gembira karena mendapat kedudukan biasa,
mudah memberi, bersedia melayani, bersedia bekerja sama, rendah hati dan
dalam lima bagian yaitu: (1) religius belief (the ideological dimension) atau
37
yang dogmatik dalam agamanya. Dimensi ini terdiri dari 16 butir item
pernyataan, yaitu 8 butir positif dan 8 butir negatif. Contoh butir pernyataan
positif yaitu Hanya Tuhan Yesus saja yang mampu memberi keselamatan.
berasal dari Allah. (2) religious pratice (the ritual dimension) yaitu tingkatan
agamanya. Dimensi ini terdiri dari 14 butir pernyataan, 8 butir positif dan 6 butir
negatif. Contoh dari pernyataan positif dari dimensi ini adalah membimbing
orang lain lebih dewasa secara rohani adalah kewajiban bagi orang Kristen.
Sedangkan contoh pernyataan negatif dari dimensi ini adalah ketika berada
dalam masalah saya meragukan kasih Tuhan. (3) religious feeling (the
pernah dialami dan dirasakan. Dimensi ini terdiri dari 12 butir pernyataan. 8
positif dari dimensi ini adalah walaupun mengalami masalah, saya tetap
percaya kepada Tuhan, sedangkan pernyataan negatif dari dimensi ini adalah
saya ragu apakah Tuhan benar-benar mendengar doa saya. (4) dimensi ilmu
Suci maupun yang lainnya. Dimensi ini terdiri dari 8 butir pernyataan, 4 butir
pernyataan yang benar dan 4 butir pernyataan yang salah. Contoh pernyataan
dari dimensi ini adalah Alkitab terdiri dari 39 kitab Perjanjian Lama, dan 27
38
kitab Perjanjian Baru. (5) religious effect (the consequential dimension, yaitu
pernyataan positif dari dimensi ini adalah saya tidak akan mengucapkan kata-
dari dimensi ini adalah bagi saya, perlu untuk membalas orang yang telah
oleh Jenita, dan telah disesuaikan oleh Bagian Riset dan Pengukuran Fakultas
jawaban alat ukur yang digunakan terdiri dari dua bagian yaitu (a) bagian
pertama terdiri dari 58 butir pertanyaan dengan pilihan jawaban dari alat ukur
ini, yaitu sangat tidak setuju (STS)=1, tidak setuju (TS)=2, setuju (S)=3 dan
dilakukan dengan memisahkan butir positif dan butir negatif. Pada butir positif,
KD=3, J=4 dan TP=5. Pada dimensi intelektual disusun berdasarkan skala
dikotomi yang terdiri dari dua alternatif pilihan jawaban, yaitu pilihan jawaban B
(benar) dan S (salah). Bila responden memilih pilihan jawaban, yaitu pilihan
jawaban B=1 dan S=0. Jumlah skor tingkat religiusitas didapat dari
yang disusun oleh penulis sendiri berdasarkan teori Goleman (2002), yaitu: (1)
Kemampuan kesadaran diri ini adalah kemampuan dalam mengenali emosi diri
salah satu kunci yang andal bagi kehidupan mereka. Dalam tahap ini
agar timbul wawasan psikologis dan pemahaman tentang diri. (2) mengelola
dengan tepat. (3) memotivasi diri sendiri (self motivation) yaitu kemampuan
masalah, lebih fleksibel dalam menemukan cara untuk meraih sasarannya dan
sebelumnya tidak tercapai. (4) mengenali emosi orang lain yani disebut juga
orang lain. Empati juga mencakup kemampuan merasakan apa yang dirasakan
40
saling percaya dan menyelaraskan diri dengan berbagai watak orang. (5)
mengelola emosi orang lain. Individu yang yang mampu dalam keterampilan ini
akan sukses dalam bidang apapun yang mengandalkan pergaulan yang mulus
Alat ukur ini terdiri dari 25 butir pernyataan dan lima dimensi yaitu; (1) self
awareness, contoh butir pernyataan positif dari butir ini saya bisa mengenali
penyebab dari luapan emosi positif yang saya rasakan. Sedangkan butir
negatifnya adalah saat marah, sulit bagi saya untuk mengendalikan emosi
saya. (2) mengelola emosi, contoh butir positif dari dimensi ini adalah
meskipun saya dalam keadaan tertekan, saya tetap fokus dalam mengikuti
tidak dapat berbuat apa-apa. (3) memotivasi diri (self motivation), contoh
pernyataan positif dari dimensi ini saya memanfaatkan waktu untuk belajar
bersama teman, sedangkan contoh butir negatif dimensi ini menurut saya
tidak perlu membuat perencanaan ke depan, cukup bagi saya hanya belajar
mendapatkan nilai yang tinggi. (4) mengenali emosi orang lain (empathy),
contoh butir positif dari dimensi ini adalah tanpa diminta, saya tetap bersedia
negatifnya adalah meskipun sangat butuh, saya tidak mau tau jika ada teman
yang minta bantuan kepada saya. (5) social skill, contoh butir positif dari
dimensi ini adalah sangat mudah bagi saya untuk dapat berinteraksi dengan
orang yang sama sekali belum saya kenal, sedangkan untuk butir negatifnya
41
adalah sulit bagi saya untuk bekerja sama dengan orang lain.. Pada
pengukuran kecerdasan emosional ini terdapat lima pilihan jawaban dari alat
ukur ini, yaitu sangat tidak setuju=1, tidak setuju=2, setuju=3, dan sangat
setuju=4.
Alat ukur perilaku altruisme dalam penelitian ini dibuat oleh penulis sendiri
berdasarkan teori Bierhoff, Klein dan Kramp (dalam Baron & Byrne, 2005). Alat
ukur altruisme terdiri dari 24 item dan dibagi menjadi lima dimensi, yaitu: (1)
memiliki kontrol diri yang baik dan termotivasi untuk membuat kesan yang baik.
Contoh pernyataan positif dari dimensi ini adalah Saya meluangkan waktu
dimensi ini adalah karena fokus dengan tugas-tugas kuliah, saya tidak perduli
dengan teman se-asrama. (2) mempercayai dunia yang adil yaitu percaya
bahwa dunia adalah tempat yang adil dan percaya bahwa tingkah laku yang
baik diberi imbalan yang baik dan tingkah laku yang buruk mendapat hukuman.
Contoh pernyataan positif dari dimensi ini adalah Saya merasa bahagia, jika
saya dapat melakukan kebaikan terhadap orang lain . Pernyataan negatif dari
dimensi ini adalah Saya bersikap acuh terhadap teman, sehingga mereka tidak
mau membantu ketika saya meminta pertolongan. (3) tanggung jawab sosial,
tersebut harus menolongnya. Contoh pernyataan positif dari dimensi ini saya
Pernyataan negatif dari dimensi ini saya berbuat baik kepada orang lain agar
saya mendapatkan pujian dari lingkungan sekitar, (4) locus of control, mampu
untuk bertingkah laku dengan cara yang memaksimalkan hasil akhir yang baik
dan meminimalkan hasil yang buruk. Contoh pernyataan positif dari dimensi ini
mengalah. Pernyataan negatif dari dimensi ini adalah Jika ada teman yang
berlaku kasar terhadap saya, maka saya akan membalas dengan hal yang
dirinya sendiri. Contoh pernyataan positif dari dimensi ini tanpa diminta, saya
keadaan keuangan saya paspasan. Pernyataan negatif dari dimensi ini adalah
altruisme terdiri dari lima alternatif jawaban. Untuk butir positif sangat tidak
setuju (STS)=1, tidak setuju (TS)=2, setuju (S)=3 dan sangat setuju (SS)=4.
Sebaliknya pada pernyataan negatif sangat tidak setuju (STS)=4, tidak setuju
BAB IV
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.1 dan lampiran 2
19 17 15,3%
20 44 39,6%
21 12 10,8%
22 19 17,1%
44
23 8 7,2%
24 11 9,9%
Tabel 4.2
Laki-laki 45 40.5
Perempuan 66 59.5
sedangkan mean empirik adalah 152.88. Skor mean hipotetik lebih besar
tinggi teologi rendah. Untuk selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.2.3
46
Kecerdasan Emosional
sikap 1-5, yaitu sangat tidak setuju, tidak setuju, ragu-ragu, setuju, sangat
setuju. yang menunjukkan bahwa mean hipotetik yang dimiliki alat ukur
skor empirik
47