Anda di halaman 1dari 47

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk individu dan

juga sebagai makhluk sosial. Makhluk sosial memiliki arti bahwa manusia memerlukan

bantuan atau pertolongan dari orang lain dalam menjalani kehidupannya. Sebagai

makhluk sosial yang membutuhkan pertolongan orang lain, maka seyogyanya juga

sukarela dalam menolong atau memberikan bantuan terhadap orang lain. Tolong-

menolong dalam kehidupan bermasyarakat menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan

dalam kehidupan manusia. Tolong-menolong sudah merupakan ciri dalam kehidupan

bermasyarakat. Ada kalanya kita dihadapkan pada kondisi memberi pertolongan, dan

pada saat berikutnya kita dalam kondisi membutuhkan pertolongan. Meskipun

demikian, tidak selamanya seseorang yang membutuhkan pertolongan akan

mendapatkan apa yang diinginkannya, karena seseorang yang diharapkan bisa

memberikan pertolongan kemungkinan tidak berada didekatnya atau yang

bersangkutan juga sedang membutuhkan pertolongan (Taufik, 2012).

Pentingnya perilaku menolong dalam kehidupan masyarakat membawa

dampak positif di tengah-tengah masyarakat serta seluruh aspek kehidupan. Dampak

positif tersebut terlihat pada tumbuhnya rasa kedamaian dan keharmonisan, saling

menghargai antar sesama, sikap nasionalisme yang tinggi, idialisme sehat yang

membawa kearah perkembangan masyarakat yang sejahtera. Perilaku menolong


2

dipandang sebagai segala tindakan yang ditujukan untuk memberikan keuntungan

pada satu atau banyak orang (Batson, 1998). Perilaku menolong merupakan bagian

tingkah laku prososial yaitu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa

harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan

tersebut.

Perilaku prososial dimotivasi oleh altruisme, altruisme (altruism) adalah kepedulian

yang tidak mementingkan diri sendiri, melainkan untuk kebaikan orang lain (Baron &

Byrne, 2005). Beberapa orang tetap memberikan bantuan kepada orang lain meskipun

kondisi situasional menghambat usaha pemberian bantuan tersebut, sedangkan yang

lain tidak memberikan bantuan sama sekali meskipun berada dalam kondisi baik.

Sebagian orang akan membantu tetapi terkadang individu mempertimbangkan dahulu

untung ruginya bagi dirinya apabila ia menolong (Sears, 2003). Santrock (2007),

mengungkapkan banyak perilaku altruistik dimotivasi oleh norma resiprokal, yaitu suatu

kewajiban membalas bantuan dengan bantuan lain. Bukti resiprokal ini melengkapi

interaksi manusia di seluruh belahan dunia, karena pada dasarnya individu merasa

bersalah jika tidak membalas kebaikan orang lain dan mungkin akan emosi (marah)

jika tidak membalas kebaikannya.

Batson, Schoenrade dan Ventis (dalam Lu Zhao, 2012) mengungkapkan faktor

utama yang mempengaruhi altruisme adalah religiusitas atau tingkat keyakinan agama

yang dimiliki seseorang. Oleh karena itu, keyakinan agama yang kuat dapat

mendorong seseorang untuk lebih semakin altruistik. Dalam studinya, Pichon, Boccato,

dan Saroglou (dalam Lu Zhao, 2012) menunjukkan bahwa hubungan antara agama

dan altruisme sangat kuat. Ketika individu memiliki konsep yang positif terhadap

agama, maka mereka akan menjadi lebih altruistik. Hal yang sama juga dikemukakan
3

oleh Myers (2012) mengatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi altruisme

adalah faktor personal yaitu mempertimbangkan sifat dari penolong, hal ini mencakup

sifat-sifat kepribadian, gender dan religiusitas subyek (kepercayaan religius).

Glock san Stark (dalam Robinson & Shaver,1980) menyatakan bahwa religiusitas

menunjukkan ketaatan dan komitmen seseorang terhadap agamanya. Agama

merupakan salah satu nilai dalam kehidupan manusia yang bisa mempengaruhi

perbuatan-perbuatan manusia. Jika nilai-nilai agama dipilih manusia untuk dijadikan

pandangan hidup, maka sikap keberagamaan akan terlihat pula dalam pola kehidupan

mereka. Sikap keberagamaan itu akan dipertahankan sebagai identitas dan

kepribadian mereka. Sikap keberagamaan ini akan membawa mereka untuk secara

mantap menjalankan ajaran agama yang mereka anut (Jalaluddin, 2000). Sifat

keagamaan ini juga merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang

mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap

agama.

Allport dan Ross (dalam Subandi, 2013) menjelaskan orientasi religius sebagai

kecenderungan bagaimana seseorang hidup dan menjalankan keyakinan agamanya.

Terdapat dua aspek orientasi religiusitas, yaitu: (1) orientasi religius intrinsik, yaitu

bagaimana individu hidup di dalam agamanya (lives hir/her religion). Pada orientasi ini,

agama adalah sesuatu yang sangat vital dalam kehidupan seseorang. (2) orientasi

religius ekstrinsik merujuk kepada bagaimana Individu menggunakan agamanya (use

his/her religion), orientasi ini lebih menekan pada identitas individu yang

berkonsekuensi pada sosial emosional. Orientasi ini menunjukan bahwa agama adalah

bersifat fungsional.
4

Menurut Malhotra (2010), religuisitas merupakan pengaruh utama dalam

melakukan perilaku altruistik, karena orang yang religius berkarakteristik lebih stabil,

sehingga spontanitas untuk beramal lebih tinggi. Orang-orang yang mematuhi

kehidupan keagamaan atau spiritual menekankan pentingnya amal, membantu orang

lain, dan membantu satu sama lain sebagai prinsip dasar keyakinan mereka (Daling,

Jason, Morton & Byrne, 2011)

Yinon dan Sharon (1985), menemukan bahwa orang-orang religius lebih mungkin

untuk membantu, dibandingkan dengan orang-orang yang non religius. Batson,

Oleson, Jennings, dan Brown (dalam Bouchard, 2011) mempelajari motivasi di balik

perilaku prososial individu yang sangat religius. Mereka menemukan bahwa individu

yang beragama lebih sering membantu daripada individu yang tidak tertarik dengan

agama. Agama dipandang sebagai salah satu kekuatan sosial yang paling stabil dalam

membentuk dan mengendalikan individu untuk bertindak.

Dalam hal bertindak, individu tidak hanya dipengaruhi oleh faktor kecerdasan

intelektual (IQ), tetapi juga dipengaruhi oleh faktor kecerdasan emosional (EQ).

Goleman (2000) menunjukkan bahwa kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang

20% kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain

diantaranya adalah kecerdasan emosi (EQ). Salovey dan Mayer (dalam Saphiro, 1998)

mendefinisikan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali emosi

diri, mengelola emosi, mengenali emosi orang lain, memotivasi diri dan kemampuan

membina hubungan dengan orang lain. Goleman (2000) menyatakan bahwa yang

dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah didalamnya termasuk kemampuan

untuk mengontrol diri, tetap tekun serta dapat memotivasi diri. Kecakapan tersebut

mencakup pengelolaan bentuk emosi, baik yang positif maupun yang negatif.
5

Individu dengan tingkat kecerdasan emosional dan orientasi keagamaan yang

tinggi diyakini mampu mencapai tinggi kesejahteraan. Hal ini karena individu dengan

tinggi orientasi keagamaan akan berusaha untuk menjaga hubungan baik dengan

Allah, manusia dan mahluk lainnya. Penelitian oleh Perancis et al., (2011) dan Khaidzir

Ismail dan Khairil Anwar (2011) mengemukakan bahwa individu dengan religiusitas

yang tinggi cenderung berperilaku dengan cara yang baik ketika bergaul dengan orang

lain. Penelitian yang dilakukan oleh Rastgar, Saadi, Bakhtiarpoor dan Hajmohammadi

(2015) terhadap 200 orang mahasiswa (100 orang kecanduan minuman keras dan 100

orang normal) di Ahvaz. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa ada hubungan

yang signifikan antara keyakinan agama dan kecerdasan emosional, oleh sebab itu

pertumbuhan dan perkembangan nilai-nilai moral dan ritual keagamaan memiliki

peranan penting untuk mengendalikan kecerdasan emosional.

Lin (2010) mengungkapkan bahwa ada hubungan antara religiusitas dengan

kecerdasan emosional, hasil penelitian yang dilakukan terkait untuk menentukan

hubungan antara status agama dan kecerdasan emosional antara mahasiswa pra-

universitas menunjukkan bahwa ada hubungan positif dan signifikan antara keyakinan

agama dan kecerdasan emosional. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Watts

(dalam Daling, Jason, Morton & Byrne, 2011) bahwa emosi adalah pusat pengalaman

agama dan spiritualitas, hal ini menunjukkan bahwa agama dapat membentuk emosi

tertentu yang dirasakan oleh seseorang.

Individu dengan kecerdasan emosional memiliki kualitas dalam mengekpresikan

emosi, memikirkan kejernihan pikiran, berpikir positif tentang kehidupan, memiliki

suasana hati yang baik serta memiliki kinerja yang baik pada segala bidang. Kapasitas

individu dalam mengenali emosi, mengelola emosi dan memotivasi menjadikan


6

individu mengerti sinyal-sinyal sosial dari orang lain serta memahami tindakan apa

yang seharusnya dilakukan, dengan kondisi seperti ini, kepekaan sosial sangat

diperlukan yaitu berupa sikap peduli terhadap sesama dan hal ini memberikan

kemungkinan bahwa individu dapat berperilaku altruism (Saarni,2007). Hal yang sama

juga diungkapkan oleh Lee (2013) dalam penelitiannya mengkonfirmasi bahwa

kecerdasan emosional (emotional intelligence) memainkan peran penting dalam

menentukan perilaku altruisme. Secara umum, perilaku altruisme mengacu pada suatu

tindakan yang dilakukan secara sukarela untuk membantu orang lain tanpa

mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun (Sears, 2000).

Sarwono (2011) juga menyebutkan bahwa perilaku altruisme adalah tingkah laku

sukarela dalam membantu individu tertentu dalam tugas yang berhubungan dengan

pekerjaan tanpa adanya keuntungan langsung bagi si penolong, sukarela untuk

menolong tanpa mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun atau disebut juga tanpa

pamrih. Altruisme mencerminkan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara

meningkatkan kesejahteraan orang lain. Individu yang tinggi pada altruisme cenderung

menggambarkan sikap yang konsisten, lebih murah hati, membantu, dan baik (Batson,

1987).

Lee (2013), mengungkapkan bahwa semua konstruksi kecerdasan emosional

berkorelasi positif dengan perilaku altruisme. Perilaku altruisme juga sangat

dipengaruhi oleh suasana hati yang positif. Spector dan Fox (2002) menyatakan

bahwa orang-orang dalam suasana hati yang positif dapat memilih untuk terlibat dalam

berperilaku altruisme sebagai sarana untuk membantu diri mereka sendiri dalam

berperilaku altruism. Arif (2010) mengungkapkan bahwa semakin tinggi kecerdasan


7

emosi seseorang, maka akan semakin tinggi pula intensi altruisme dalam diri individu

tersebut.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Butt (2014) menunjukkan bahwa

kecerdasan emosional dan orientasi keagamaan keduanya memiliki dampak positif

pada kesehatan mental siswa Pakistan. Religiusitas memainkan peran yang

bermanfaat dalam pengembangan kecerdasan emosional antara mahasiswa dari

Pakistan. Hajmohammadi (2015) juga memaparkan hasil dari penelitiannya yang

mengatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional dan

keyakinan agama orang normal dan kecanduan. Granacher (2000) percaya bahwa

ritual keagamaan dan nilai-nilai moral berperan penting untuk meningkatkan

kecerdasan emosional.

Mischel (dalam Goleman, 2000) mengatakan bahwa individu yang cerdas

emosinya secara pribadi lebih efektif, lebih tegas, mampu menghadapi kekecewaan

hidup, tidak mudah hancur di bawah beban stres, siap mencari tantangan sekalipun

harus menemui berbagai kesulitan, percaya diri dan yakin akan kemampuannya, dapat

dipercaya dan diandalkan, sering mengambil inisiatif serta terjun langsung menangani

masalah. Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disimpulkan, bahwa kecerdasan

emosional merupakan suatu kemampuan yang dimiliki oleh seseorang dalam

merasakan, mengenali, mengelola emosi diri maupun orang lain secara seimbang,

mengekspresikan emosi diri secara tepat. Mampu menghadapi frustasi, optimis,

mampu menghadapi kekecewaan hidup, mampu menjalin hubungan dengan orang lain

serta mampu memotivasi diri.


8

Sebagai mahasiswa teologi yang nantinya akan terjun ke medan pelayanan dan

berinteraksi dengan masyarakat umum dan memiliki tingkat ekonomi yang berbeda-

beda, mereka diharapkan untuk lebih menekankan pada kepentingan bersama

daripada kepentingan pribadi. Hal ini akan mendorong munculnya perilaku peduli

terhadap orang lain, dimana seseorang akan mudah memberikan pertolongan dengan

sukarela kepada orang lain tanpa memperdulikan motif-motif tertentu. Adanya

perubahan sosial dan modernisasi telah memunculkan suatu model kepribadian

tertentu bagi individu. Tata kehidupan yang berdasarkan kekeluargaan dan

kebersamaan lama kelamaan berubah menjadi suatu individu yang cenderung lebih

mementingkan diri sendiri dan kurang memperhatikan hubungan sosial secara

kekeluargaan. Ahmed (2009) menemukan bahwa imam (subyek religius) lebih

kooperatif dan lebih altruistik dibandingkan dengan mahasiswa ilmu sosial di perguruan

tinggi di India (subyek nonreligius). Shariff dan Norenzayan (2007) menunjukkan

bahwa subjek lebih altruistik ketika mereka sudah dibekali dengan kata-kata yang

bernuansa religius. Hal yang sama juga ditemukan bahwa di Israel menunjukkan

bahwa komunitas yang religius lebih kooperatif dibandingkan dengan mereka yang

komunitas sekuler (Ruffle &Sosis 2007).

Dari hasil wawancara interpersonal yang peneliti lakukan, peneliti memperoleh

informasi yang dapat mendukung latar belakang yang sudah dipaparkan di atas, yaitu:

sudah jarang yang mau membantu dengan sukarela. Contoh mengerjakan tugas kuliah

sudah banyak yang mengharapkan imbalan. Saya melihat sudah terjadi pergeseran

nilai menjadi manusia yang konsumtif. Contohnya lagi, kebetulan gereja berdekatan

dengan salah satu sekolah Theologia. Kalau kita suruh membunyikan lonceng gereja

pada tanggal 31 Desember mereka sudah minta uang minum. Itu yang saya lihat lihat
9

saat ini. Hal yang sama juga di ungkapkan oleh ES 29 tahun kebanyakan mahasiswa

teologi pada awalnya memiliki tanggung jawab untuk menolong, hal ini didasarkan

karena latar belakang sudah belajar teologi sehingga mudah untuk berbelas kasihan

dalam arti menolong orang lain. Namun dalam akhir-akhir ini banyak yang bergeser

dengan arti sudah kepentingan untung sama untung. Dengan kata lain, saya bantu

kamu, kamu harus bantu saya juga. Hal ini saya lihat karena di kampus atau di asrama

saling menolong tanpa melihat imbalan atau balasan tidak dibudidayakan (komunikasi

interpersonal tanggal 20 April 2016).

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang permasalahan, maka perumusan masalah

yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah Apakah ada hubungan antara

religiusitas dan kecerdasan emosional (emotional intelligence) dengan perilaku

altruisme (altruism behavior) pada mahasiswa sekolah Tinggi Teologi X.

1.3. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara

religiusitas dan kecerdasan emosional dengan perilaku altruisme pada mahasiswa

Sekolah Tinggi Teologi X?

1.4.1 Manfaat Penelitian

1.4.4 Manfaat Teoretis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk berbagai bidang ilmu

yang berkaitan dengan psikologi pendidikan dan psikologi sosial. Serta dapat
10

menjawab berbagai pertanyaan mengenai religiusitas, kecerdasan emosional, perilaku

altruisme.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang lebih luas dan

pandangan yang baru kepada masyarakat luas mengenai hubungan religiusitas dan

kecerdasan emosional dengan perilaku altruism secara khusus pada mahasiswa

Teologia.

1.5 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan terbagi menjadi beberapa bab. Bab I berisi latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian (manfaat teoritis

dan manfaat praktis). Bab II berisikan mengenai teori-teori yang mendalam tentang

Religiusitas, kecerdasa emosional, perilaku altruisme, mahasiswa teologi, kerangka

berpikir, dan hipotesis penelitian. Bab III atau metode penelitian berisi mengenai

subyek penelitian, jenis penelitian, setting dan peralatan penelitian, pengukuran

penelitian, prosedur penelitian, dan teknik analisis data. Bab IV atau hasil penelitian

dan analisis data berisikan tentang gambaran partisipan penelitian, analisis deskriptif

variable, analisis data utama, analisis data tambahan. Pada bab terakhir, yaitu bab V

berisikan mengenai simpulan, diskusi dan saran.


11

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Altruisme

2.1.1 Definisi Altruisme

Secara umum altruisme diartikan sebagai aktivitas menolong orang lain, yang

dikelompokkan ke dalam perilaku prososial. Dikatakan perilaku prososial karena

hal ini memiliki dampak positif terhadap orang lain atau masyarakat luas. Salah

satu jenis dari perilaku prososial (prosocial behavior) adalah altruisme (altruism).

Berkowitz dan Krebs (dalam Bar-Tal, 2005) mengungkapkan perilaku altruistik

harus dilakukan secara sukarela, tidak bertujuan untuk mendapatkan keuntungan

lain dan melakukan secara sukarela tanpa mengharapkan imbalan apapun.

Altruisme adalah kepedulian yang tidak mementingkan diri sendiri melainkan untuk

kebaikan orang lain (Baron dan Byrne, 2005). Sears, Peplau dan Taylor (2000)

mendefenisikan bahwa altruisme adalah mengacu pada suatu tindakan yang

dilakukan secara sukarela untuk membantu orang lain, tidak ada harapan

menerima hadiah dalam bentuk apapun kecuali mungkin perasaan telah

melakukan perbuatan baik.

Myers (2010) mengungkapkan altruisme adalah motif untuk meningkatkan

kesejahteraan orang lain bukan untuk suatu kepentingan diri sendiri. Batson (2002)

mengungkapkan bahwa alltruisme adalah tindakan menolong orang lain tanpa

mengharapkan imbalan atau pamrih. Santrock (2003) juga mengatakan bahwa


12

ketertarikan yang tidak egois dalam membantu orang lain juga disebut sebagai

perilaku altruistik. Altruisme adalah nilai-nilai yang memiliki orientasi tidak

mementingkan diri sendiri, melakukan tindakan untuk menolong orang lain tanpa

mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun demi meningkatkan kesejahteraan

rakyat atau kelompok (Batson, 2002). Scroeder, Penner, Dovidio dan Piliavin

(dalam Sears, Peplau & Taylor, 2000) juga mengungkapkan bahwa altruisme

mengacu pada tindakan sukarela untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan

imbalan dalam bentuk apapun.

Bryan dan Test (dalam Bar-Tal, 2005) melihat bahwa altruisme adalah sebagai

tindakan dimana individu rela mengorbankan, memberikan sesuatu yang dianggap

penguat positif dan tidak mengharapkan keuntungan atau imbalan. Pandangan

yang sama juga dipaparkan oleh Walster dan Piliavin (dalam Bar-Tal, 2005) bahwa

perilaku altruisme umumnya dianggap sebagai perilaku yang menguntungkan

orang lain, bukan menguntungkan diri sendiri dan dilakukan dengan kebaikan hati.

Sarwono (2011) menyebutkan bahwa perilaku altruisme adalah tingkah laku

sukarela dalam membantu individu tertentu dalam tugas yang berhubungan

dengan pekerjaan tanpa adanya keuntungan langsung bagi si penolong, sukarela

untuk menolong tanpa mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun atau disebut

juga mengharapkan tanpa pamrin. Desmita (2009) juga mengungkapkan bahwa

altruisme dipengaruhi oleh banyak faktor dari dalam diri manusia misalnya,

kepribadian, kemampuan moral, kognitif, dan empati. Kedua, faktor dari yang ada

di luar diri manusia misalnya kehadiran orang lain, norma-norma, dan situasi

tempat kejadian Sedangkan dalam ensiklopedia nasional Indonesia, altruistik

mengacu pada perilaku individu yang mengutamakan kepentingan orang lain diatas
13

kepentingan sendiri. Perilaku altruism adalah tindakan individu untuk menolong

orang lain tanpa adanya keuntungan langsung bagi si penolong itu sendiri.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa altruism adalah suatu

tindakan yang dilakukan seseorang untuk memberikan bantuan kepada orang lain

secara sukarela tanpa mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun dan lebih

mengutamakan kepentingan orang lain dari pada kepentingan diri sendiri demi

untuk kesejahteraan orang lain.

2.1.2 Karakteristik Perilaku Altruisme

Seseorang yang memiliki kecenderungan altruisme menurut Bierhoff, Klein dan

Kramp (dalam Baron & Byrne, 2005) antara lain adalah sebagai berikut: (1) empati,

yaitu seseorang yang menolong ditemukan memiliki empati lebih tinggi

dibandingkan individu yang tidak menolong. Seseorang yang altruis merasa

memiliki tanggung jawab, bersosialisasi, menenangkan, memiliki control diri yang

baik dan termotivasi membuat kesan yang baik. (2) mempercayai dunia yang adil,

yaitu individu yang altruis percaya bahwa dunia adalah tempat yang adil dan

percaya tingkah laku yang baik diberi imbalan yang baik dan tingkah laku yang

buruk mendapat hukuman. Individu yang memberikan pertolongan bagi orang yang

membutuhkan adalah hal yang tepat untuk dilakukan dan adanya pengharapan

bahwa orang yang menolong akan memperoleh keuntungan dari perilakunya

melakukan sesuatu yang baik. (3) tanggung jawab sosial, mereka

mengekspresikan kepercayaan bahwa setiap orang bertanggung jawab untuk

melakukan yang terbaik untuk menolong orang yang membutuhkan,sehingga

ketika ada seseorang yang membutuhkan pertolongan, orang tersebut harus

menolongnya. (4) locus of control, yaitu berkaitan dengan kepercayaan individu


14

bahwa ia mampu untuk bertingkah laku dengan cara yang memaksimalkan hasil

akhir yang baik dan meminimalkan hasil yang buruk. (5) egosentris rendah yaitu

individu yang memiliki altruis memiliki keegoisan yang rendah. Dia akan lebih

mementingkan kepentingan orang lain terlebih dahulu dibandingkan dengan

kepentingan dirinya sendiri.

2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Altruisme

Menurut Sarwono (1997), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi

individu untuk berperilaku altruisme, yakni pengaruh situasi dan faktor pengaruh

dari dalam diri. Pengaruh situasi terdiri dari (1) bystanders, merupakan perilaku

menolong atau tidak menolong orang lain yang kebetulan berada bersama di

tempat kejadian. Semakin banyak orang lain, semakin kecil kecenderungan orang

untuk menolong, menolong jika orang lain juga menolong. (2) menolong jika orang

lain juga menolong. Dengan adanya seseorang yang sedang menolong orang lain

akan memicu kita untuk juga ikut menolong (Bryan& Test dalam Sarwono, 1997);

(3) desakan waktu yang dimiliki. Individu yang memiliki banyak kesibukan lebih

sulit untuk memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan dibanding

dengan mereka yang memiliki banyak waktu luang; (4) kemampuan yang dimiliki.

Jika seseorang merasa mampu, maka ia akan cenderung menolong. Sebaliknya,

jika seseorang merasa tidak mampu, maka ia tidak akan menolong.

Sedangkan faktor pengaruh dari dalam diri, terdiri dari: (1) perasaan individu.

Individu yang memiliki perasaan negatif akan memiliki dampak yang dapat

menghambat perilaku menolong. Sedangkan perasaan individu yang positif

menunjukkan hubungan yang lebih konsisten dengan perilaku menolong.

Walaupun demikian, emosi positif pun kadang-kadang tidak memicu perilaku


15

menolong. Oleh karena itu, emosi positif harus dikaitkan dengan situasi di luar diri

agar dapat memicu perilaku menolong, yaitu: kondisinya tidak terlalu berbahaya,

lebih banyak manfaat dari kerugiannya, dan ada yang mendorong untuk

berperilaku menolong (Sarwono, 1997); (2) faktor sifat (trait). Bierhoff, Klien &

Kramp (dalam Sarwono, 1997) menyatakan bahwa orang-orang yang perasa dan

berempati tinggi dengan sendirinya lebih memikirkan orang lain dan karenanya

lebih menolong. (3) agama. Gallup (dalam Sarwono, 1997) dari hasil penelitiannya

mengungkapkan bahwa agama dapat mempengaruhi perilaku menolong. Akan

tetapi, penelitian ini ditentang oleh Sappington dan Baker (dalam Sarwono, 1997)

yang mengungkapkan bahwa yang berpengaruh pada perilaku menolong

bukanlah seberapa kuatnya ketaatan beragama itu sendiri, melainkan bagaimana

kepercayaan atau keyakinan orang yang bersangkutan tentang pentingnya

menolong yang lemah seperti yang diajarkan oleh agama.

2.1.4 Teori Yang Mendasari Individu Melakukan Perilaku Altruisme.

Bar-Tal (2005) mengemukakan ada empat pendekatan yang dapat

menjelaskan mengapa seseorang melakukan altruism, yaitu (1) pendekatan

pertukaran sosial (exchange approach) dimana setiap tindakan yang dilakukan

orang dengan mempertimbangkan untung-ruginya. Perilaku individu berpedoman

pada prinsip memaksimalkan hasil (reward) dan meminimalkan cost agar

diperoleh keuntungan atau laba (profit) yang sebesar-besarnya. Pendekatan

pertukaran sosial (exchange approach) menjelaskan bahwa seseorang yang

dalam situasi membantu orang lain dikarenakan mereka mengharapkan materi

dan juga penghargaan sosial bukanlah perialku altruisme. Dari uraian di atas

dapat disimpulkan bahwa, seseorang melakukan tindakan menolong terhadap


16

orang lain dikarenakan ingin memperoleh kesenangan dari perbuatan menolong

itu sendiri. (2) pendekatan normatif (normative approach), menjelaskan bahwa

dengan mendalilkan bahwa dalam masyarakat kita banyak orang telah

memperoleh norma-norma perilaku untuk melakukan tindakan altruistik bukan

untuk keuntungan nyata atau persetujuan sosial, tetapi untuk persetujuan untuk

diri mereka sendiri. Pendekatan ini mengakui bahwa, di satu sisi, situasi

merupakan penentu penting dari perilaku altruistik dan di sisi lain berbeda

tergantung sejauh mana mereka menginternalisasi norma-norma tersebut di

lingkungan di mana ia berada. (3) developmental approach. Pendekatan ini

melihat bahwa altruisme merupakan hasil dari pembelajaran yang dapat dijelaskan

dari perkembangan kognitif menurut prinsip belajar sosial Hetherington, Parke,

McCandless & Evans (dalam Bar-Tal, 2005).

Selain Bar-Tal, Taufik (2012) juga menyebutkan bahwa perilaku altruisme

didasari oleh beberapa teori yaitu: (1) teori behaviorisme-altruisme, seseorang

memberikan pertolongan karena ia telah dibiasakan untuk menolong, perilakunya

itu mendapatkan apresiasi positif sehingga akan terus menguatkan tindakan-

tindakanny(reinforcement); (2) teori pertukaran sosial, tindakan seseorang

dilakukan atas dasar untung dan rugi. Untung rugi bukan dalam hal material tapi

juga immaterial seperti dukungan, penghargaan, keakraban, pelayanan, perhatian

dan kasih sayang. Individu berusaha meminimalkan usaha dan memaksimalkan

hasil, dengan arti individu berusaha memberikan sedikit pertolongan, namun

mengharapkan hasil yang besar dari akibat memberikan pertolongannya itu. (3)

teori norma sosial, yaitu individu melakukan perilaku menolong karena diharuskan

oleh norma-norma sosial di masyarakat. (4) teori evolusi, yaitu individu menolong
17

orang lain karena hendak mempertahankan jenisnya sendiri. Dalam upaya

mempertahankan jenisnya sendiri, terdapat tiga bentuk pertolongan: (1)

perlindungan orang-orang dekat (kerabat), orang cenderung memprioritaskan

untuk menolong orang-orang terdekat dibanding dengan menolong orang yang

tidak ada hubungan kekeluargaan. (2) timbal balik biologis, motivasi menolong

agar kelak mendapatkan pertolongan baik dari orang yang bersangkutan maupun

dari orang lain. (3) orientasi seksual, yaitu ada kecenderungan orang-orang

membrikan pertolongan kepada individu lain yang memiliki orientasi seksual yang

sama.

2.2 Religiusitas (Religiosity)

2.2.1 Definisi Religiusitas

Kata religi berasal dari bahasa latin yakni ereligio yang akar katanya adalah

religare (mengikat), maksudnya adalah bahwa di dalam religi (agama) pada

umumnya terdapat aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban yang harus

dilaksanakan, yang semuanya itu berfungsi untuk mengikat dan mengutuhkan diri

seseorang atau sekelompok orang dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama

manusia serta alam sekitarnya (Subandi, 2013). Religiusitas menurut Glock dan

Stark (dalam Ancok, 2005) adalah seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh

keyakinan, seberapa tekun pelaksanaan ibadah dan seberapa dalam penghayatan

agama yang dianut oleh seseorang.

Sejak manusia lahir di dunia, manusia mempunyai potensi beragama atau

berkeyakinan kepada Tuhan dengan kata lain percaya adanya kekuatan di luar

dirinya yang mengatur hidup dan kehidupan alam semesta, hal ini yang kemudian
18

disebut dengan religiusitas (Yulianto, 2006). Religiusitas tidak identik dengan

agama. Jika agama lebih menunjuk kepada kelembagaan kebaktian kepada

Tuhan dalam aspek yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-

hukumnya serta keseluruhan organisasi yang melingkupi segi-segi

kemasyarakatan, maka religiusitas lebih melihat aspek yang di dalam lubuk hati,

hati nurani pribadi, sikap personal, cita rasa yang mencakup totalitas kedalaman

pribadi manusia. Oleh karena itu religiusitas pada dasarnya lebih dalam dari

agama yang tampak formal dan resmi (Mangun Wijaya, 1991). Religiusitas dapat

dilihat sebagai pencarian makna dan arti dalam cara yang berkaitan dengan suci

(Zinnbauer & Pargament, 2005). Dari perspektif ini, individu bisa merasakan

hampir setiap aspek kehidupan memiliki makna dan karakter ilahi.

Dalam bahasa sehari-hari, religiusitas diartikan sebagai suatu istilah yang

identik dengan iman, keyakinan, kesalehan, pengabdian dan kekudusan (Lewis,

1978). Dari sudut pandang psikolog, religiusitas diartikan sebagai suatu

pengabdian, kekudusan dan kesalehan, sedangkan dari sudut pandang sosiolog,

religiusitas merujuk pada hal-hal yang berhubungan dengan hidup dalam iman,

penerimaan keyakinan, pengetahuan doktrin, keanggotan dan kehadiran dalam

ibadah (Cardwel, 1980). Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa

religiusitas adalah internalisasi agama dalam diri seseorang yang terlihat melalui

pengetahuan dan keyakinan seseorang akan agamanya serta dilaksanakan dalam

kegiatan peribadatan dan perilaku kesehariannya.

2.1.4 Dimensi Religiusitas (Religiosity Dimension)


19

Glock dan Starck (dalam Subandi, 2013) membagi dimensi religiusitas ke

dalam lima bagian yaitu: (1) religius belief (the ideological dimension) atau dimensi

keyakinan yaitu tingkatan sejauhmana seseorang menerima hal-hal yang dogmatik

dalam agamanya. Dalam agama Kristen, dimensi keyakinan termasuk Yesus

adalah anak Allah yang Tunggal, Tuhan itu sendiri, Yesus telah menjadi manusia

untuk menebus dosa manusia, Yesus menderita sengsara, wafat, bangkit, dan

naik ke sorga. Contoh pernyataan positif dari dimensi ini adalahsaya merasakan

damai sejahtera dalam kehidupan saya sejak mengenal Tuhan. Sedangkan

contoh pernyataan negatif dari dimensi ini adalahsaya jarang merasakan

kedekatan dengan Tuhan. Berdasarkan uji reliabilitas, nilai alpha cronbach

dimensi ini adalah 0.894. (2) religious pratice (the ritual dimension) yaitu tingkat

sejauhmana seseorang mengerjakan kewajiban-kewajiban ritual dalam agamanya.

Dimensi ini terdiri dari 3 butir pernyataan positif dan 3 butir pernyataan negatif.

Contoh pernyataan positif dari dimensi ini adalahsaya aktif melayani di gereja,

sedangkan pernyataan negatif untuk dimensi ini adalah saya hanya mau

mengikuti ibadah di gereja ketika saya mengamati (3) Religious feeling (the

experiental dimension) yaitu dimensi pengalaman dan penghayatan beragam,

yaitu perasaan-perasaan atau pengalaman-pengalaman keagamaan yang pernah

dialami dan diraskan. Misalnya merasa dekat dengan Tuhan, merasa takut

berbuat dosa, atau merasa doa yang dikabulkan, diselamatkan Tuhan; (4)

religious knowledge (the intellectual dimension), yaitu dimensi pengetahuan

mengacu pada ajaran-ajaran agamanya, terutama yang ada di dalam Kitab Suci

maupun yang lainnya. (5) religious effect (the consequential dimension, yaitu

dimensi yang mengukur sejauhmana perilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran


20

agamanya di dalam kehidupan sosial. Misalnya, menolong orang lain,

mendermakan harta benda, mengunjungi orang yang sakit, mengampuni dan

mencintai musuh.

Fukuyama (dalam Holdcroft, 2006) menyebutkan ada empat dimensi

religiusitas, yaitu: (1) cognitive (kognitif) yaitu bagaimana seseorang memahami

agamanya; (2) cultic (ibadat atau kultus) yakni berhubungan dengan praktik atau

ritual-ritual kepercayaan; (3) creedal (pengakuan iman) mengacu pada keyakinan

agama pribadi; (4) devotional (ibadah), mengacu pada perasaan dan pengalaman

seseorang terhadap ibadah agamanya. Alport dan Ros (dalam Holdcroft, 2006)

membagi religiusitas ke dalam dua dimensi yaitu, dimensi extrinsik dan dimensi

intrinsik. Kedua dimensi ini memiliki ciri yang bertolak belakang satu sama lain.

Individu yang memiliki religiusitas intrinsik yaitu individu yang berusaha

menghidupkan agama, sementara religius ekstrinsik cenderung menggunakan

agama untuk hidup. Pada orientasi intrinsik, agama adalah sesuatu yang sangat

vital dalam kehidupan seseorang. Sedangkan pada orientasi ekstrinsik, agama

bersifat fungsional. Dengan kata lain bahwa kedua orientasi religius ini memiliki

gejala yang berkelanjutan atau kontinium dimana individu dapat bergeser dari satu

kutub ke kutub yag lain.

Alpord dan Ross membagi tujuh aspek orientasi religiusitas instrinsik dan

ekstrinsik, yaitu; (1) aspek personal vs institusional, yaitu individu yang memiliki

kecenderungan orientasi religius intrinsik meyakini secara mendalam dan personal

nilai-nilai ajaran agama sebagai hal yang vital dan berusaha menghayati agama

dalam kehidupan sehari-hari secara pribadi. Sedangkan individu yang memiliki

religius ekstrinsik lebih menekankan gama dalam aspek formal dan institusional;
21

(2) aspek unselfish vs selfish, yaitu individu yang memiliki orientasi instrinsik

cenderung tidak bersifat egoistis atau selfish. Dalam menjalankan agama, mereka

tidak dimotivasi oleh kepentingan-kepentingan pribadi, tetapi murni karena

menjalankan perintah agama. Lebih mengkonsentrasikan diri pada kepentingan

agama. Individu yang memiliki religiusitas ekstrinsik cenderung egoistis atau

selfish. Seluruh perilaku berpusat pada kepentingan pribadi atau diri sendiri. (3)

penghayatan total vs penghayatan dangkal, yaitu individu yang religiusitas intrinsik

cenderung akan menerima keyakinan agamanya secara sungguh-sungguh dan

totalitas tanpa syarat. Sedangkan individu dengan orientasi religiusitas ekstrinsik

cenderung hanya menghayati keyakinan agama secara dangkal dan tidak

menghayati keyakinan agama secara dangkal dan tidak dihayati secara penuh. (4)

terintegrasi vs terpisah dengan keseluruhan kehidupan, yaitu individu yang

memiliki orientasi intrinsic agama dapat terintegrasi secara utuh dengan seluruh

aspek kehidupan. Sedangkan individu yang meiliki orientasi ekstrinsik

memposisikan agama dibagian perifer dari kehidupannya, agama hanya bagian

kecil dari berbagai aspek kehidupannya. (5) pokok vs instrumental, yaitu individu

yang memiliki religiusitas intrinsik menjadikan agama sebagai tujuan akhir,

sedangkan individu yang memiliki religiusitas ekstrinsik menggunakan agama

untuk mendapatkan keuntungan pribadi, status dan kedudukan sosial; (6)

asosiasional vs komunal, yaitu individu yang memiliki religiusitas instrinsik memiliki

keterlibatan dalam kehidupan beragama yang sangat dalam untuk mencari nilai-

nilai yang transedental yang tinggi, berafiliasi dalam suatu kelompok keagamaan

demi mencapai kehidupan yang penuh dengan makna. Individu yang memiliki

religiusitas ektrinsik berafiliasi dengan suatu kelompok agama sebagai usaha


22

untuk memperluas jaringan sosial dan untuk memperkuat status sosial mereka di

masyarakat; (7) dinamis vs statis, yaitu individu yang memiliki religiusitas intrinsik

berusaha menjaga perkembangan iman mereka agar jangn sampai menurun

sehingga mereka terus berusaha memperdalam ajaran agama yang dianutnya.

Individu religiusitas ekstrinsik tidak begitu memperdulikan perkembangan

keimanannya, tidak ada usaha untuk menginternalisasikan dan menambah

pemahaman tentang ajaran agamanya.

Richard C.H. Lensky, membagi aspek religiusitas ke dalam dua aspek yaitu; (1)

doctinal orthodoxy, yaitu religiusitas yang menekankanpada pemahaman dan

pelaksanaan doktrin-doktirn agama yang tertulis; (2) devotionalism, yaitu

keberagamaan yang menekankan pada pentingnya hubungan dengan natara

manusia dengan Tuhan yang bersifat pribadi. Walter Houston Clark, membagi

aspek-aspek religiusitas ke dalam tiga bagian, yaitu; (1) primary religious behavior,

mengacu pada perilaku beragama yang didasari oleh pengalaman batin yang

otentik atau pengalaman langsung tentang Tuhan; (2) secondary religious

behavior, yaitu perilaku beragama yang kemungkinan mempunyai sumber

pengalamanyang primer tetapi menekankan rutinitas dan pelaksanaan kewajiban

agama dengan penghayatan yang kurang utuh; (3) tertiary religious behavior, yaitu

perilaku beragama yang sangat menekankan rutinitas dan ritualistic semata tanpa

ada penghayatan secara pribadi (lebih berorientasi pada otoritas orang lain

maupun lembaga agama.


23

2.1.5 Sikap Keberagamaan

Sejalan dengan tingkat perkembangan usianya, Jalaluddin (2000)

mengemukakan beberapa sikap keberagamaan pada orang dewasa antara lain

memiliki ciri-ciri, yakni: (1) menerima kebenaran agama berdasarkan

pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut-ikutan. (2) cenderung

bersifat realis, sehingga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam

sikap dan tingkah laku. (3) bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma

agama dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman

keagamaan. (4) tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan

tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap

hidup. (5) bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas. (6) bersikap lebih

kritis terhadap maeri ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain

didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati

nurani. (7) sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe

kepribadian masing-masing, sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam

menerima, memahami serta melaksanakan ajaran agama yang diyakininya. (8)

terlihat adanya hubungan antara sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial,

sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi sosial keagamaan sudah

berkembang.
24

2.2 Kecerdasan Emosional (Emotional Intelligence)

2.2.1 Definisi Kecerdasan Emosional

Istilah kecerdasan emosi pertama kali berasal dari konsep kecerdasan sosial

yang dikemukakan oleh Thordike pada tahun 1920 yang menyatakan bahwa salah

satu aspek kecerdasan emosional adalah kecerdasan sosial yaitu kemampuan

untuk memahami orang lain dan bertindak bijaksana dalam hubungan antar

manusia. Goleman, Mayer, Salovey, Carruso dan Ruven Bar-on, merupakan

pelopor dan tokoh utama yang mempopulerkan Emotional Intelligence (EI).

Meskipun memiliki teori yang berbeda satu sama lain, perbedaan teori ini menurut

Emerlin dan Goleman (2003) bukanlah sesuatu yang negatif. Justru dengan

adanya perbedaan ini, model teoritis dan aplikasi kecerdasan emosional dalam

berbagai bidang akan berkembang lebih variatif. Sebagaimana sejarah tumbuhnya

ilmu pengetahuan, maka beragam varian teori ini diharapkan berdampak positif

terhadap perkembangan disiplin emotional intelligence pada dekade yang akan

datang.

Mayer dan Salovey (dalam Goleman, 1993) mendefenisikan bahwa kecerdasan

emosional sebagai suatu tipe kecerdasan sosial yang meliputi kemampuan untuk

memonitor emosi sendiri dan emosi orang lain, membedakan keduanya, dan

menggunakan informasi untuk memandu pemikiran dan tindakan sendiri. Goleman

(2002), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur

kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage ouremotional life with

intelligence), menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the

appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran

diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.


25

Dari defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah

suatu kemampuan untuk mengendalikan dorongan emosi, mengenali perasaan

orang lain, menjaga hubungan yang baik dengan orang lain.kemampuan kontrol

diri, terus berusaha, kemampuan memotivasi diri sendiri yang berguna untuk

menyatukan emosi dalam proses berpikir, pemahaman dan penalaran emosi,

mengatur emosi diri serta orang lain.

2.2.2 Dimensi Kecerdasan Emosional (Emotional Intelligence)

Menurut Goleman (1995), dimensi kecerdasan emosional terdiri dari lima

bagian yaitu: (1) mengenali emosi diri, mengacu kepada kesadaran diri (self

awareness). Kemampuan kesadaran diri ini adalah kemampuan dalam mengenali

emosi diri sendiri dan pengaruhnya, mengetahui kekuatan dan batasan diri sendiri.

Individu yang memiliki keyakinan yang lebih tentang perasannya merupakan salah

satu kunci yang andal bagi kehidupan mereka. Dalam tahap ini diperlukan adanya

kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu agar timbul wawasan

psikologis dan pemahaman tentang diri. (2) mengelola emosi (managing emotions)

yaitu kemampuan kontrol diri, kemampuan mengelola emosi-emosi dan dorongan-

dorongan hati yang merusak, memlihara norma dan kejujuran, bertanggung jawab,

dan terbuka terhadap gagasan-gagasan baru, berani menangani perasaan agar

perasaan dapat terungkap dengan tepat.

Individu yang berhasil dalam mengelola emosi adalah individu yang mampu

menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan

atau ketersinggungan dan dapat bangkit kembali. (3) memotivasi diri sendiri (self

motivation) yaitu kemampuan individu dalam memotivasi diri sendiri, memiliki


26

kemampuan dalam menangani masalah, lebih fleksibel dalam menemukan cara

untuk meraih sasarannya dan lebih mudah merubah sasarannya apabila sasaran

yang diterapkan sebelumnya tidak tercapai. (4) mengenali emosi orang lain yani

disebut juga empati. Orang yang empatik lebih mampu menangkap sinyal sosial

tersembunyi yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang

lain. Empati juga mencakup kemampuan merasakan apa yang dirasakan orang

lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling

percaya dan menyelaraskan diri dengan berbagai watak orang. (5) membina

hubungan dengan orang lain (social skill), merupakan keterampilan mengelola

emosi orang lain. Individu yang yang mampu dalam keterampilan ini akan sukses

dalam bidang apapun yang mengandalkan pergaulan yang mulus dengan orang

lain.

Mayer, Salovey dan Caruso membagi empat dimensi yaitu; (1) kemampuan

memahami emosi, yaitu kemampuan untuk memahami dan mengidentifikasi emosi

dalam diri seseorang dan emosi orang lain, membedakan perasaan antara

ekspresi perasaan yang jujur dan tidak jujur. (2) memfasilitasi emosi dalam

aktivitas kognitif (use emotion to facilitation thingking), yaitu kemampuan

menggunakan emosi untuk memusatkan perhatian dan berpikir lebih rasional, logi,

dan kreatif. Menggunakan emosi untuk membantu aktivitas kognitif tertentu seperti

penalaran, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dan komunikasi

interpersonal. (3) kemampuan menerima emosi (understanding emotion),

mengacu pada kemampuan dalam menganalisis emosi dengan menggunakan

pengetahuan emosi. Individu yang terampil memahami emosi kaya akan kosakata,

menghargai hubungan, mahir mengidentifikasi makna, inti atau tema di balik


27

pengalaman emosional dirinya. (4) managing emotion, yaitu mengatur suasana

hati dan emosi dalam diri sendiri dan pada orang lain. Mampu mengelola emosi

diri sendiri, mampu memantau atau mengamati dan merefleksikan emosi, mampu

meningkatkan atau memodifikasi emosi diri sendiri.

Selain dimensi dari Goleman (1995), juga terdapat dimensi kecerdasan

emosional (emotional intelligence) dari Wong and Law (2002), dengan alat ukur

yang mereka kembangkan yang dinamai (WLEIS). Dimensi ini merupakan revisi

dari Mayer dan Salovey (1997) yang terdiri dari: (1) penilian emosi diri (self-

emotion appraisal), yaitu kemampuan untuk mengenali, menilai dan

mengekspresikan perasaan diri sendiri. (2) penilaian emosi orang lain (others

emotion appraisal), yaitu kemampuan untuk mengenali, menilai dan

mengekspresikan perasaan orang lain disekitar kita. (3) penggunaan emosi (use of

emotion), yaitu kemampuan untuk menggunakan energy emosi dalam berfikir. (4)

regulasi emosi (regulation of emotion) yaitu kemapuan kita mengelola emosi pada

diri kita dan orang lain.

2.2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional

Goleman (1997) menjelaskan ada dua faktor yang mempengaruhi kecerdasan

emosional seseorang, yaitu lingkungan keluarga dan lingkungan dari luar

keluarga. Lingkungan keluarga merupakan tempat pertama dalam mempelajari

emosi. Pada saat usia bayi, kecerdasan emosional diajarkan dengan menirukan

ekspresi-ekspresi sehingga hal ini akan terus melekat dan menetap hingga

beranjak dewasa. Sedangkan lingkungan dari luar keluarga yaitu lingkungan

masyarakat dimana didalamnya termasuk lingkungan pendidikan. Kecerdasan

emosional dapat berkembang sejalan dengan perkembangan fisik dan mental. Hal
28

ini biasanya terkait dalam aktivitas bermain peran sebagai seseorang di luar

dirinya dengan emosi yang menyertai keadaan orang lain.

2.2.4 Keterampilan Dasar Kecerdasan Emosional

Selain faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional, Goleman

(1995) juga membagi dasar-dasar kecerdasan emosional ke dalam empat bagian

yaitu: (1) mengorganisir kelompok, yaitu mengacu kepada keterampilan esensial

seseorang dalam memprakarsai dan mengkoordinasi upaya menggerakkan orang

lain, (2) merundingkan pemecahan, mengacu pada bakat seseorang sebagai

mediator, mencegah konflik atau menyelesaikan konflik-konflik, (3) hubungan

pribadi, yaitu memudahkan dan untuk masuk ke dalam lingkup pergaulan atau

untuk mengenali dan merespon dengan tepat akan perasaan dan keprihatinan

orang lain, (4) analisis sosial, yaitu kemampuan menditeksi dan mempunyai

pemahaman tentang perasaan, motif dan keprihatinan orang lain. Pemahaman

akan bagaimana perasaan orang lain dapat membawa kesuatu keintiman yang

menyenangkan atau perasaan kebersamaan.

2.2.5 Definisi Mahasiswa

Menurut Kamus besar bahasa Indonesia, mahasiswa dimaknai sebagai orang

yang belajar di perguruan tinggi. Santrock (2010), individu yang memasuki status

sebagai mahasiswa pada umumnya tergolong dalam perkembangan dewasa

muda awal dengan rentang usia antara 1825 tahun. Setiap orang dalam tahapan

usianya, memiliki ciriciri perkembangan yang dapat secara nyata melalui tugas-
29

tugas. perkembangan. Tugas perkembangan individu yang tergolong dalam usia

dewasa muda yaitu intimacy versus isolation. Tugas mewujudkan intimasi yaitu

dengan menjalin hubungan romantis dengan lawan jenis hingga menuju prosesi

pernikahan dan mempunyai anak. Dalam berinteraksi mereka berusaha mencari

jati dirinya dengan mengutarakan perasaan, pandangan, rencana dan

harapannya. Ketika intimasi tidak terjadi mereka dapat terjebak dalam bentuk

isolasi. Secara kognitif, dewasa muda ini telah mampu berpikir dan merencanakan

perilaku atas kejadian yang ditemukannya.

2.2.7 Definisi Mahasiswa Theologi

Kata teologi berasal dari bahasa Yunani yakni Theos dan Logos. Theos yang

berarti Allah sedangkan logos yang berarti perkataan, pikiran, percakapan.

Dengan demikian, teologi adalah berpikir, berbicara tentang Allah (Avis, 2009).

Mahasiswa sekolah tinggi teologi adalah generasi penerus yang dibekali dengan

ilmu teologi dan dipersiapkan sebagai tenaga yang mampu berpikir kritis, kreatif

dan postif sehingga dapat berperan dalam menangani maslah-masalah sosial di

tengah-tengah gereja dan masyarakat di masa depan (Buku Panduan STT

T.A.2014/2015).

Peran para mahasiswa teologi sangat vital dalam menentukan masa depan

gereja dan masyarakat. Gereja dan masyarakat membutuhkan para mahasiswa

teologi yang berkualitas untuk dapat mengemban tugas yang berat dan penuh

tantangan sebagai pemimpin di masa depan. Salah satu kriteria dari mahasiswa

yang berkualitas adalah mahasiswa yang memiliki emosional yang cerdas dan

juga memiliki perilaku menolong tanpa mengharapkan imbalan terhadap siapapun

yang benar-benar membutuhkan tanpa memandang teman dekat atau bukan.


30

2.2.8 Kristen Protestan

Agama Kristen Protestan bermula dari seorang tokoh yang bernama Marthin

Luther (1483-1546). Luther menjadi rahib yang sangat serius dan tekun didukung

oleh kecakapan intelektual yang tinggi. Pimpinan biara menugaskannya belajar

Theologi. Tugas utamanya adalah menafsir Alkitab dan untuk itu ia harus

memeriksa naskah asli dari Alkitab tersebut (Aritonang, 2003).

Sementara mendalami Kitab suci, ada satu perkara yang sangat digumuli oleh

Luther, yakni keselamatan. Ia mencoba untuk menemukan cara agar individu bisa

mendapat rahmat Allah agar dapat selamat. Pada tahun 1514, Luther menemukan

jalan keluar dari kegelisahan itu melalui pemahaman dan kesaksian Rasul Paulus

dalam Roma 1:16-17. Luther menemukan bahwa untuk memperoleh keselamatan

individu hanya perlu menerima dan memiliki iman percaya kepada Yesus. Tidak

ada usaha yang dapat dilakukan manusia untuk memperoleh keselamatan.

Keselamatan adalah anugerah Allah kepada manusia (Aritonang, 2003). Inti dari

ajaran Luther adalah keselamatan. Menurutnya keselamatan hanya diperoleh

melalui kasih karunia Allah kepada manusia secara cuma-cuma, bukan hasil

perbuatan manisia. Manusia menerima keselamatan itu melalui iman (solafide)

dan Alkitab adalah satu-satunya sumber kebenaran bagi orang percaya

(solascriptura).

Ajaran Luther ditentang keras oleh Paus Leo X pemimpin gereja Katolik Roma

pada waktu itu karena dianggap menentang dan menghianati gereja. Luther

akhirnya keluar dari gereja Katolik Roma dan membentuk gerakan reformasi yang

memiliki banyak pengikut. Meskipun banyak tokoh-tokoh dan penganut gerakan


31

reformasi yang dibunuh, dipenjara, dibakar, namun gerakan reformasi untuk

memurnikan ajaran Kristen sesuai dengan firman Tuhan terus berkembang pesat

dan meluas keberbagai negara serta menjadi dasar terbentuknya gereja-gereja

protestan (Aritonang, 2003)

2.2.8 Kerangka Berpikir

Mahasiswa sekolah tinggi teologi adalah generasi penerus yang dibekali

dengan ilmu teologi dan dipersiapkan sebagai tenaga yang mampu berpikir kritis,

kreatif dan postif sehingga dapat berperan dalam menangani masalah sosial di

tengah-tengah gereja dan masyarakat di masa depan. Dari berbagai faktor yang

secara teori dibuktikan turut mempengaruhi dan membentuk perilaku altruisme

seseorang yakni faktor pengaruh situasi dan faktor pengaruh dari dalam diri.

Altruisme adalah suatu tindakan yang dilakukan secara sukarela untuk membantu

orang lain, tidak ada harapan menerima hadiah dalam bentuk apapun kecuali

mungkin perasaan karena telah melakukan perbuatan baik. (Sears, Peplau &

Taylor, 2000). Morris dan Webb menegaskan bahwa semua agama mengajarkan

dan menganjurkan pada setiap pemeluknya untuk berperilaku altruistik. Menurut

Morris dan Webb, perilaku altruistik adalah tindakan mengasihi yang dalam

bahasa Yunani disebut agape. Agape adalah tindakan mengasihi atau

memperlakukan sesama dengan baik sematamata untuk tujuan kebaikan orang

lain dan tanpa dirasuki oleh kepentingan orang yang mengasihi.

Glock san Stark (dalam Robinson & Shaver,1980) menyatakan bahwa

religiusitas menunjukkan ketaatan dan komitmen seseorang terhadap agamanya.

Agama merupakan salah satu nilai dalam kehidupan manusia yang bisa
32

mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia. Jika nilai-nilai agama dipilih

manusia untuk dijadikan pandangan hidup, maka sikap keberagamaan akan

terlihat pula dalam pola kehidupan mereka. Sikap keberagamaan itu akan

dipertahankan sebagai identitas dan kepribadian mereka. Dalam penelitian ini

faktor yang menjadi fokus dan diasumsikan memiliki hubungan dengan altruisme

antara lain adalah religiusitas dan kecerdasan emosional. Hubungan antara

variabel religiusitas, kecerdasan emosional dan altruisme didukung oleh

sekumpulan bukti empiris yang mendukung adanya korelasi antara religiusitas dan

kecerdasan emosional dengan altruisme. Berdasarkan definisi operasional,

altruisme merupakan suatu perilaku jujur, peduli, penuh kasih, menolong,

membantu, berderma, dan berkorban untuk orang lain, yang sarat nilai sosial dan

memiliki dampak sosial yang kuat, tingkah laku yang berawal dari kejujuran

terhadap diri sendiri, dan kepedulian terhadap sesama.

Individu yang cerdas secara emosional mengetahui perbedaan antara apa yang

penting bagi mereka dan apa yang penting bagi orang lain. Individu juga

mengetahui perbedaan antara yang mereka perlukan untuk dapat bertahan hidup

dan apa yang harus diabaikan. Goleman (2000) menyatakan bahwa yang

dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah di dalamnya termasuk

kemampuan untuk mengontrol diri, tetap tekun serta dapat memotivasi diri.

Mischel (dalam Goleman, 2000) mengatakan bahwa individu yang cerdas

emosinya secara pribadi lebih efektif, lebih tegas, mampu menghadapi

kekecewaan hidup, tidak mudah hancur di bawah beban stress, siap mencari

tantangan sekalipun harus menemui berbagai kesulitan, percaya diri dan yakin
33

akan kemampuannya, dapat dipercaya dan diandalkan, sering mengambil inisiatif

serta terjun langsung menangani masalah.

Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan ditemukan bukti bahwa terdapat

hubungan religiusitas, kecerdasan emosional dan altruisme. Orang-orang yang

religius lebih mengalami emosi yang lebih positif (misalnya, sukacita, harapan,

kasih sayang), mengurangi keadaan psikologis yang negatif (misalnya, takut,

marah, sedih), dan kesehatan mental yang lebih baik dibandingkan mereka yang

memiliki sedikit atau tidak ada keterlibatan agama Watts (dalam Daling, Jason,

Morton & Byrne, 2011) bahwa emosi adalah pusat pengalaman agama dan

spiritualitas. Granacher (2000) percaya bahwa ritual keagamaan dan nilai-nilai

moral berperan penting untuk meningkatkan kecerdasan emosional. Halstid (2003)

juga berpendapat bahwa kecerdasan emosional yang baik adalah kecerdasan

emosional yang diperlukan untuk menjamin kesejahteraan orang lain. Batson,

Schoenrade dan Ventis (dalam Lu Zhao, 2012) mengungkapkan faktor utama

yang mempengaruhi altruisme adalah religiusitas atau tingkat keyakinan agama

yang dimiliki seseorang. Yinon & Sharon, 1985, menemukan bahwa orang-orang

religius lebih mungkin untuk membantu, dibandingkan dengan orang-orang yang

non religius.

Batson, Oleson, Jennings, dan Brown (dalam Bouchard, 2011) mempelajari

motivasi di balik perilaku prososial individu yang sangat religius. Mereka

menemukan bahwa individu yang beragama lebih sering membantu daripada

individu yang tidak tertarik dengan agama. Agama dipandang sebagai salah satu

kekuatan sosial yang paling stabil dalam membentuk dan mengendalikan perilaku

kehidupan individu. Temuan ini konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan
34

oleh Biafora, Aut, Trinidad dan Johnson, et all (2002) yang menunjukkan bahwa

keyakinan agama memainkan peran penting dalam kehidupan seseorang..

Penelitian yang dilakukan oleh Butt (2014) menunjukkan bahwa kecerdasan

emosional dan orientasi keagamaan keduanya memiliki dampak positif pada

kesehatan mental siswa Pakistan. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Lee

(2013) dalam penelitiannya mengkonfirmasi bahwa kecerdasan emosional

memainkan peran penting dalam menentukan perilaku altruisme.

Gambar 1: Skema Pemikiran

KECERDASAN
RELIGIUSITAS EMOSIONAL

ALTRUISME

Hipotesis:

Ada hubungan antara religiusitas dan kecerdasan emosional dengan perilaku

altruistik pada mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi X.


35

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Partisipan

Subyek dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa yang sedang

menempuh pendidikan di sekolah Tinggi Teologia X. Pemilihan subyek tidak

dibatasi oleh ras, usia, suku, budaya, atau jenis kelamin..

3.2 Desain Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kuantitatif.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif non eksperimental dengan teknik

uji korelasi. Hal ini disebabkan penelitian bertujuan untuk menguji hipotesis

yang menyatakan hubungan antara religiusitas dan kecerdasan emosional

dengan altruisme. Metode pengambilan sampel pada penelitian ini

menggunakan non-probability sampling, yaitu dengan teknik purposive

sampling.

3.3 Setting, Lokasi dan Perlengkapan Penelitian

Peneltian ini dilakukan di tiga sekolah Tinggi Teologi yang dipilih oleh

penulis sebagai setting penelitian. Ke tiga sekolah Tinggi Teologi tersebut

meliputi: Sekolah Tinggi Teologi A bertempat di kota Pematang Siantar,

sekolah Tinggi Teologi B bertempat di Balige dan sekolah Tinggi Teologi C


36

bertempat di Sipoholon-Tarutung. Pengambilan data dilakukan di masing-

masing ruang makan (menza) ke tiga sekolah Tinggi Teologi . Dalam penelitian

ini, instrument atau alat ukur yang digunakan adalah kuesioner. Kuesioner ini

terbagi atas dua bagian, yaitu yang pertama lembar pernyataan peneliti,

informed consent dan data diri subyek. Pada bagian ke dua berisi seluruh

pernyataan yang merupakan alat ukur variable penelitian serta petunjuk

pengisisan kuesioner. Alat ukur pertama untuk mengukur variable religiusitas,

alat ukur ke dua untuk mengukur variable kecerdasan emosional dan alat ukur

ke tiga untuk mengukur variable altruisme.

3.4 Pengukuran Variabel

3.4.1 Pengukuran Religiusitas

Religiusitas merupakan variabel pertama dalam penelitian ini. Religiusitas

adalah sebagai suatu kenyataan manusiawi yang terbuka terhadap sapaan

yang Ilahi mempersyaratkan sikap-sikap percaya pada penyelengaraan ilahi,

merasa gembira dan puas karena menjadi orang sederhana, terbuka terhadap

Tuhan dan orang lain, merasa gembira karena mendapat kedudukan biasa,

mudah memberi, bersedia melayani, bersedia bekerja sama, rendah hati dan

mengampuni( Tarigan, 2007). Religiusitas menurut Glock dan Stark (dalam

Subandi, 2013) adalah seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh

keyakinan, seberapa tekun pelaksanaan ibadah dan seberapa dalam

penghayatan agama yang dianut oleh seseorang.

Glock dan Starck (dalam Subandi, 2013) membagi dimensi religiusitas ke

dalam lima bagian yaitu: (1) religius belief (the ideological dimension) atau
37

dimensi keyakinan yaitu tingkatan sejauhmana seseorang menerima hal-hal

yang dogmatik dalam agamanya. Dimensi ini terdiri dari 16 butir item

pernyataan, yaitu 8 butir positif dan 8 butir negatif. Contoh butir pernyataan

positif yaitu Hanya Tuhan Yesus saja yang mampu memberi keselamatan.

Sedangkan pernyataan negatif adalah Alkitab adalah buatan manusia, bukan

berasal dari Allah. (2) religious pratice (the ritual dimension) yaitu tingkatan

sejauhmana seseorang mengerjakan kewajiban-kewajiban ritual dalam

agamanya. Dimensi ini terdiri dari 14 butir pernyataan, 8 butir positif dan 6 butir

negatif. Contoh dari pernyataan positif dari dimensi ini adalah membimbing

orang lain lebih dewasa secara rohani adalah kewajiban bagi orang Kristen.

Sedangkan contoh pernyataan negatif dari dimensi ini adalah ketika berada

dalam masalah saya meragukan kasih Tuhan. (3) religious feeling (the

experiental dimension) yaitu dimensi pengalaman dan penghayatan beragam,

yaitu perasaan-perasaan atau pengalaman-pengalaman keagamaan yang

pernah dialami dan dirasakan. Dimensi ini terdiri dari 12 butir pernyataan. 8

butir pernyataan positif dan 4 butir pernyataan negatif. Contoh pernyataan

positif dari dimensi ini adalah walaupun mengalami masalah, saya tetap

percaya kepada Tuhan, sedangkan pernyataan negatif dari dimensi ini adalah

saya ragu apakah Tuhan benar-benar mendengar doa saya. (4) dimensi ilmu

(religious knowledge/the intellectual dimension), yaitu dimensi pengetahuan

mengacu pada ajaran-ajaran agamanya, terutama yang ada di dalam Kitab

Suci maupun yang lainnya. Dimensi ini terdiri dari 8 butir pernyataan, 4 butir

pernyataan yang benar dan 4 butir pernyataan yang salah. Contoh pernyataan

dari dimensi ini adalah Alkitab terdiri dari 39 kitab Perjanjian Lama, dan 27
38

kitab Perjanjian Baru. (5) religious effect (the consequential dimension, yaitu

dimensi yang mengukur sejauhmana perilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran

agamanya di dalam kehidupan sosial. Dimensi ini terdiri dari 16 butir

pernyataan. 8 butir pernyataan positif dan 8 butir pernyataan negatif. Contoh

pernyataan positif dari dimensi ini adalah saya tidak akan mengucapkan kata-

kata kotor, meskipun teman-teman saya mengucapkannya. Pernyataan negatif

dari dimensi ini adalah bagi saya, perlu untuk membalas orang yang telah

berbuat jahat agar mereka tidak berbuat jahat bagi saya.

Variabel religiusitas diukur menggunakan alat ukur yang pernah digunakan

oleh Jenita, dan telah disesuaikan oleh Bagian Riset dan Pengukuran Fakultas

Psikologi Universitas Tarumanagara tahun 2006. Berdasarkan jenis skala

jawaban alat ukur yang digunakan terdiri dari dua bagian yaitu (a) bagian

pertama terdiri dari 58 butir pertanyaan dengan pilihan jawaban dari alat ukur

ini, yaitu sangat tidak setuju (STS)=1, tidak setuju (TS)=2, setuju (S)=3 dan

sangat setuju (SS)=4. Untuk mengukur dimensi ritualistik, penilaian juga

dilakukan dengan memisahkan butir positif dan butir negatif. Pada butir positif,

jawaban SL (selalu)=5, SR (sering)=4, KD (kadang-kadang)=3, J(jarang)=2 dan

TP (tidak pernah)=1. Sedangkan pada butir negative jawaban SL=1, SR=2,

KD=3, J=4 dan TP=5. Pada dimensi intelektual disusun berdasarkan skala

dikotomi yang terdiri dari dua alternatif pilihan jawaban, yaitu pilihan jawaban B

(benar) dan S (salah). Bila responden memilih pilihan jawaban, yaitu pilihan

jawaban B=1 dan S=0. Jumlah skor tingkat religiusitas didapat dari

penjumlahan skor total seluruh indikator dari ke lima dimensi religiusitas.

Apabila responden memiliki religiusitas yang tinggi, maka responden sering


39

menjalankan ritual keagamaan baik secara umum maupun secara pribadi,

memiliki perilaku yang dimotivasi oleh ajaran agamanya.

3.4.2 Pengukuran Variabel Kecerdasan Emosional

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan alat ukur kecerdasan emosional

yang disusun oleh penulis sendiri berdasarkan teori Goleman (2002), yaitu: (1)

mengenali emosi diri, mengacu kepada kesadaran diri (self awareness).

Kemampuan kesadaran diri ini adalah kemampuan dalam mengenali emosi diri

sendiri dan pengaruhnya, mengetahui kekuatan dan batasan diri sendiri.

Individu yang memiliki keyakinan yang lebih tentang perasannya merupakan

salah satu kunci yang andal bagi kehidupan mereka. Dalam tahap ini

diperlukan adanya kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu

agar timbul wawasan psikologis dan pemahaman tentang diri. (2) mengelola

emosi (managing emotions) yaitu kemampuan kontrol diri, kemampuan

mengelola emosi-emosi dan dorongan-dorongan hati yang merusak, memlihara

norma dan kejujuran, bertanggung jawab, dan terbuka terhadap gagasan-

gagasan baru, berani menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap

dengan tepat. (3) memotivasi diri sendiri (self motivation) yaitu kemampuan

individu dalam memotivasi diri sendiri, memiliki kemampuan dalam menangani

masalah, lebih fleksibel dalam menemukan cara untuk meraih sasarannya dan

lebih mudah merubah sasarannya apabila sasaran yang diterapkan

sebelumnya tidak tercapai. (4) mengenali emosi orang lain yani disebut juga

empati. Orang yang empatik lebih mampu menangkap sinyal sosial

tersembunyi yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan atau dikehendaki

orang lain. Empati juga mencakup kemampuan merasakan apa yang dirasakan
40

orang lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan

saling percaya dan menyelaraskan diri dengan berbagai watak orang. (5)

membina hubungan dengan orang lain (social skill), merupakan keterampilan

mengelola emosi orang lain. Individu yang yang mampu dalam keterampilan ini

akan sukses dalam bidang apapun yang mengandalkan pergaulan yang mulus

dengan orang lain.

Alat ukur ini terdiri dari 25 butir pernyataan dan lima dimensi yaitu; (1) self

awareness, contoh butir pernyataan positif dari butir ini saya bisa mengenali

penyebab dari luapan emosi positif yang saya rasakan. Sedangkan butir

negatifnya adalah saat marah, sulit bagi saya untuk mengendalikan emosi

saya. (2) mengelola emosi, contoh butir positif dari dimensi ini adalah

meskipun saya dalam keadaan tertekan, saya tetap fokus dalam mengikuti

perkuliahan . Sedangkan contoh butir negatifnya dalam keadaan gugup, saya

tidak dapat berbuat apa-apa. (3) memotivasi diri (self motivation), contoh

pernyataan positif dari dimensi ini saya memanfaatkan waktu untuk belajar

bersama teman, sedangkan contoh butir negatif dimensi ini menurut saya

tidak perlu membuat perencanaan ke depan, cukup bagi saya hanya belajar

mendapatkan nilai yang tinggi. (4) mengenali emosi orang lain (empathy),

contoh butir positif dari dimensi ini adalah tanpa diminta, saya tetap bersedia

meminjamkan uang untuk keperluan teman yang mendesak, sedangkan butir

negatifnya adalah meskipun sangat butuh, saya tidak mau tau jika ada teman

yang minta bantuan kepada saya. (5) social skill, contoh butir positif dari

dimensi ini adalah sangat mudah bagi saya untuk dapat berinteraksi dengan

orang yang sama sekali belum saya kenal, sedangkan untuk butir negatifnya
41

adalah sulit bagi saya untuk bekerja sama dengan orang lain.. Pada

pengukuran kecerdasan emosional ini terdapat lima pilihan jawaban dari alat

ukur ini, yaitu sangat tidak setuju=1, tidak setuju=2, setuju=3, dan sangat

setuju=4.

3.4.3 Pengukuran Variabel Altruisme

Alat ukur perilaku altruisme dalam penelitian ini dibuat oleh penulis sendiri

berdasarkan teori Bierhoff, Klein dan Kramp (dalam Baron & Byrne, 2005). Alat

ukur altruisme terdiri dari 24 item dan dibagi menjadi lima dimensi, yaitu: (1)

empati, yaitu merasa memiliki tanggung jawab, bersosialisasi, menenangkan,

memiliki kontrol diri yang baik dan termotivasi untuk membuat kesan yang baik.

Contoh pernyataan positif dari dimensi ini adalah Saya meluangkan waktu

untuk mendengarkan keluh kesah teman. Contoh pernyataan negatif dari

dimensi ini adalah karena fokus dengan tugas-tugas kuliah, saya tidak perduli

dengan teman se-asrama. (2) mempercayai dunia yang adil yaitu percaya

bahwa dunia adalah tempat yang adil dan percaya bahwa tingkah laku yang

baik diberi imbalan yang baik dan tingkah laku yang buruk mendapat hukuman.

Contoh pernyataan positif dari dimensi ini adalah Saya merasa bahagia, jika

saya dapat melakukan kebaikan terhadap orang lain . Pernyataan negatif dari

dimensi ini adalah Saya bersikap acuh terhadap teman, sehingga mereka tidak

mau membantu ketika saya meminta pertolongan. (3) tanggung jawab sosial,

yaitu mengekspresikan kepercayaan bahwa setiap orang bertanggung jawab

untuk melakukan yang terbaik untuk menolong orang yang membutuhkan

sehingga ketika ada seseorang yang membutuhkan pertolongan, orang


42

tersebut harus menolongnya. Contoh pernyataan positif dari dimensi ini saya

membantu teman yang mengalami kesulitan tanpa melihat status sosial.

Pernyataan negatif dari dimensi ini saya berbuat baik kepada orang lain agar

saya mendapatkan pujian dari lingkungan sekitar, (4) locus of control, mampu

untuk bertingkah laku dengan cara yang memaksimalkan hasil akhir yang baik

dan meminimalkan hasil yang buruk. Contoh pernyataan positif dari dimensi ini

jika terjadi kesalahpahaman dengan teman, saya lebih memilih untuk

mengalah. Pernyataan negatif dari dimensi ini adalah Jika ada teman yang

berlaku kasar terhadap saya, maka saya akan membalas dengan hal yang

sama. (5) egoisentris rendah, mengacu kepada lebih mementingkan

kepentingan orang lain terlebih dahulu dibandingkan dengan kepentingan

dirinya sendiri. Contoh pernyataan positif dari dimensi ini tanpa diminta, saya

akan tetap memberikan uang kepada teman yang membutuhkan meskipun

keadaan keuangan saya paspasan. Pernyataan negatif dari dimensi ini adalah

saya mengabaikan teman yang membutuhkan bantuan saya.. Alat ukur

altruisme terdiri dari lima alternatif jawaban. Untuk butir positif sangat tidak

setuju (STS)=1, tidak setuju (TS)=2, setuju (S)=3 dan sangat setuju (SS)=4.

Sebaliknya pada pernyataan negatif sangat tidak setuju (STS)=4, tidak setuju

(TS)=3, setuju (S)=2, dan sangat setuju (SS)=1.


43

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

4.1 Gambaran Responden Penelitian

4.1.1 Gambaran Data Demografis Responden Penelitian

Gambaran partisipan penelitian secara umum dapat dilihat dari

beberapa hal yang dikelompokkan dalam data identias subyek. Subyek

penelitian berjumlah 111 orang mahasiswa sekolah tinggi teologi.

Karakteristik responden berdasarkan kategori usia, responden berusia 19

tahun dengan jumlah sebanyak 17 orang (15,3%), responden yang berusia

20 dengan jumlah sebanyak 44 orang (39,6%), responden yang berusia 21

dengan jumlah sebanyak 12 orang (10,6%), responden yang berusia 22

tahun dengan jumlah sebanyak 19 orang (17,1%), responden yang berusia

23 tahun dengan jumlah 8 orang (7,2%), dan responden yang berusia 24

dengan jumlah 11 orang (9.9%).

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.1 dan lampiran 2

Tabel 4.1 Karakteristik Partisipan Penelitian Berdasarkan Usia

Usia Frekuensi Persentase

19 17 15,3%

20 44 39,6%

21 12 10,8%

22 19 17,1%
44

23 8 7,2%

24 11 9,9%

Total 111 100%

4.1.2 Gambaran Umum Partisipan Berdasarkan Jenis Kelamin

Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 111 orang, dengan

partisipan laki-laki dan perempuan. Jumlah partisipan laki-laki dalam

penelitian ini adalah sebanyak 45 orang (40,5%), dan partisipan

perempuan dalam penelitian ini adalah sebanyak 66 orang ( 59,5%). Untuk

selengkapnya dapat dilihat pada table 4.2.3.

Tabel 4.2

Karakteristik Partisipan Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase

Laki-laki 45 40.5

Perempuan 66 59.5

Total 111 100


45

4.2 Analisis Deskriptif Variabel

4.2.1 Gambaran Variabel Religiusitas

Religiusitas adalah seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh

keyakinan, seberapa tekun pelaksanaan ibadah dan seberapa dalam

penghayatan agama yang dianut oleh seseorang. Dalam penelitian ini,

peneliti melakukan penelitian analisis deskriptif untuk religiusitas pada

subyek. Gambaran religiusitas menggunakan nilai mean hipotetik dan

mean empirik berdasarkan nilai skala 1-5. Mean hipotetik adalah 3,

sedangkan mean empirik adalah 152.88. Skor mean hipotetik lebih besar

dibandingkan dengan skor mean empirik. Dari hasil analisis deskriptif di

atas menerangkan bahwa gambaran religiusitas pada mahasiswa sekolah

tinggi teologi rendah. Untuk selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.2.3
46

Kecerdasan Emosional

Dalam penelitian ini, variabel kecerdasan emosi menggunakan skala

sikap 1-5, yaitu sangat tidak setuju, tidak setuju, ragu-ragu, setuju, sangat

setuju. yang menunjukkan bahwa mean hipotetik yang dimiliki alat ukur

ialah 3. Gambaran data untuk variabel kecerdasan emosional memiliki

skor empirik
47

Anda mungkin juga menyukai