Anda di halaman 1dari 16

Tugas Akuntansi Manajemen-Biaya

Materi : CH-12. Desentralisasi dan Pengukuran Kinerja

Dosen: Arief Surya Irawan, S.E., M.Com., AK., CA.

Disusun oleh:
Khoirunisa Arifah
Dedy Kurniawan
Nusul Ibnu Hajar

Kelas B - Program Matrikulasi


Magister Akuntansi - Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Gadjah Mada
2017
CH 12. DESENTRALISASI DAN EVALUASI KINERJA

I. DESENTRALISASI
A. Pengertian
Dalam mengelola berbagai akuntansi pertanggungjawaban yang dimilikinya, perusahaan
dapat menggunakan salah satu dari strategi berikut ini:
Sentralisasi, yaitu pemusatan wewenang pembuatan keputusan pada top manajemen.
Desentralisasi, yaitu pendelegasian wewenang pada manajer tingkat bawah untuk
membuat keputusan dan melaksanakannya di area yang menjadi tanggungjawabnya.
Desentralisasi adalah praktek pendelegasian wewenang pengambilan keputusan
kepada jenjang yang lebih rendah. Desentralisasi biasanya diujudkan melalui
pembentukan unit-unit yang disebut divisi. Satu cara pembedaan divisi adalah
berdasarkan jenis barang atau jasa yang diproduksi, garis geografis atau berdasarkan
jenis pertanggungjawaban yaitu: pusat biaya, pusat pendapatan, pusat laba dan pusat
investasi. Pusat Investasi mencerminkan tingkat tertinggi desentralisasi, karena
manajernya memiliki kebebasan untuk membuat beragam keputusan penting.

B. Key Words

Terdapat empat istilah kunci dalam penerapan desentralisasi: delegasi, wewenang,


tanggungjawab, dan akuntabilitas.

Delegasi adalah pembagian kebawah tugas-tugas pekerjaan dan kekuasaan pengambilan


keputusan terkait pada manajer didalam sebuah organisasi.
Wewenang/otoritas adalah hak untuk membuat keputusan yang diperlukan dalam
melaksanakan tugas yang diemban.
Tanggungjawab adalah kewajiban penerima otoritas untuk mencapai hasil yang
ditetapkan.
Akuntabilitas mengacu pada ukuran pencapaian hasil yang biasanya dipenuhi dengan
pembuatan laporan kinerja berkala.

C. Alasan memilih Desentralisasi

Desentralisasi memiliki banyak keunggulan:

1. Manajemen puncak bebas dari pemecahan masalah harian dan terkonsentrasi pada
strategi, pembuatan keputusan yang mempunyai tingkatan lebih tinggi, dan pada
masalah koordinasi.
2. Memberikan pengalaman berharga bagi manajemen lebih bawah dalam pembuatan keputusan
3. Manajer lebih bawah memiliki informasi yang lebih rinci terutama informasi lokal.
4. Untuk memudahkan evaluasi kinerja dikarenakan adanya kebebasan bagi manajer tingkat
bawah.
5. Mendorong manajer tingkat bawah untuk menunjukan kinerja terbaik mereka, hal ini
muncul karena semangat kerja mereka meningkat sehubungan dengan pelimpahan wewenang
dan tanggungjawab.

Disamping itu desentralisasi juga mempunyai kelemahan:

1. Memungkinkan manajer membuat keputusan tanpa sepenuhnya memahami gambaran


keseluruhan dari perusahaan dikarenakan pemahaman yang sedikit mengenai strategi
perusahaan.
2. Kurang koordinasi bagi manajer-manejer yang memiliki otonomi.
3. Manajer tingkat bawah dimungkinkan mempunyai tujuan yang berbeda dengan tujuan
perusahaan secara keseluruhan.

D. Pusat Pertanggungjawaban

Dalam organisasi sebuah perusahaan, penentuan daerah pertanggungjawaban dan manajer


yang bertanggungjawab dilaksanakan dengan menetapkan pusat-pusat pertanggung-jawaban
dan tolok ukur kinerjanya. Pusat pertanggungjawaban merupakan suatu unit organisasi
yang dipimpin oleh seorang manajer yang bertanggungjawab.

Pusat pertanggungjawaban merupakan suatu sistem yang mengolah input menjadi output.
Input dan output yang dapat diukur dengan satuan uang disebut dengan biaya dan
pendapatan.

Terdapat empat pusat pertanggungjawaban:

1. Pusat Biaya (Cost Centre), yaitu pusat pertanggungjawaban yang prestasi manajernya
diukur berdasarkan biaya.
2. Pusat Pendapatan (Revenue Centre), yaitu pusat pertanggungjawaban yang prestasi
manajernya diukur berdasarkan pendapatan.
3. Pusat Laba (Profit Centre), yaitu pusat pertanggungjawaban yang prestasi manajernya
diukur berdasarkan pendapatan dan biaya.
4. Pusat Investasi (Investment Centre), yaitu pusat pertanggungjawaban yang prestasi
manajernya diukur berdasarkan pendapatan, biaya dan investasi.

II.EVALUASI KINERJA PUSAT PERTANGGUNGJAWABAN


A. Penilaian Kinerja
1. Pusat Biaya
Infomasi akuntansi yang dipakai sebagai ukuran kinerja pusat biaya adalah biaya. Dalam
hal ini terdapat masalah bahwa tidak ada biaya yang 100% dapat dikendalikan oleh
manajer pusat biaya. Masalajh yang timbul adalah: biaya, hubungan biaya dengan pusat
biaya, jangka waktu dan tanggungjawab ganda. Kinerja pusat biaya terutama diukur
berdasarkan efisiensi dan mutu

2. Pusat Pendapatan

Informasi akuntansi yang dipakai sebagai ukuran kinerja adalah pendapatan.

3. Pusat Laba

Informasi akuntansi yang digunakan untuk penilaian kenerja pusat laba adalah pendapatan
dan beban. Pendapatan adalah ukuran moneter dari keluaran-keluaran (output) dan beban
adalah ukuran moneter dari masukan (input) atau sumber daya yang dikonsumsi. Laba
sebagai ukuran kinerja terutama berfaedah karena memungkinkan manajemen senior memakai
ukuran yang lengkap. Setiap pusat laba merupakan unit yang relatif independen, manajer
mempunyai pengendalian yang signifikan atas sebagian besar keputusan operasi yang
berpengatuh terhadap laba.

Laporan pertanggungjawaban pusat laba dalam bentuk laporan Laba-Rugi. Kinerja pusat
laba dinilai dari segi profitabilitasnya, hal ini untuk memotivasi manajer memusatkan
perhatiannya pada cara-cara memaksimalkan profitabuilitas pusat laba. Pada umumnya
pelaporan laba dibatasi hanya pada unit organisasional yang mempunyai kendali atas
pendapatan. Laporan Rugi-Laba harus membedakan antara unsur-unsur yang dapat
dikendalikan langsung oleh manajer dan unsur-unsur yang tidak dapat dikendalikan.

Yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah beban Kantor Pusat yang berupa Jasa Kantor
Pusat yang meliputi departemen Kantor Pusat yang menyediakan jasa bagi devisi-devisi
perusahaan dan beban administrasi Kantor Pusat yang meliputi jasa yang memberikan
faedah bagi perusahaan secara keseluruhan. Apabila biaya yang dikeluarkan pada tingkat
Kantor Pusat dialokasikan kepada Pusat Laba dan Pusat Investasi, maka biaya tersebut
menjadi beban yang mengurangi laba aktual dan laba dianggarkan dari pusat
pertanggungjawaban tersebut.

Jasa Kantor Pusat langsung dibebankan ke divisi-divisi, sedangkan biaya administrasi


dialokasikan. Beban langsung dianggap terkendalikan. Maka dari itu laba operasi
terkendalikan (controllable operating income) dihitung dengan mengurangkan beban
langsung dari laba operasi divisi. Biaya yang dialokasikan dari Kantor Pusat dianggap
tidak terkendalikan oleh manajer divisi, oleh karena itu untuk menentukan laba bersih
divisi maka biaya alokasi tersebut dikurangkan dari laba operasi terkendalikan.

Seringkali perusahaan besar mempertahankan jasa tertentu dibawah administrasi kantor


pusat dengan maksud mempertahankan skala ekonomis. Kadangkala manajer divisi memegang
kendali atas kuantitas pembelian jasa pusat, tetapi tidak untuk sumber jasanya. Dalam
situasi demikian biaya jasa pusat umumnya dianggap terkendalikan sekalipun manajer
tidak mempunyai pilihan atas siapa yang akan melakukan jasa tersebut.

4. Pusat Investasi

Informasi akuntansi yang digunakan untuk penilaian kinerja pusat investasi adalah
pendapatan, biaya dan investasi . Alat ukur yang biasa digunakan adalah ROI dan RI.
Dalam pusat investasi manajer memiliki tanggungjawab dan otoritas pengambilan keputusan
yang mempengaruhi biaya, pendapatan dan investasi. Manajer pusat investasi mempunyai
ekstensif untuk tindakan-tindakan seperti pembelian aset jangka panjang, penentuan
syarat-syarat kredit, penentuan tingkat persediaan dan penetapan harga jual.

Kita perlu membedakan antara evaluasi terhadap pusat investasi dan evaluasi terhadap
menejer yang mengelolanya. Kemampuan suatu divisi menghasilkan suatu kinerja yang baik
tidak terlepas dari upaya-upaya manajernya.

Manajer pusat investasi mengemban tanggung jawab atas pendapatan, baban dan laba
operasi terkendalikan yang dihubungkan dengan investasi yang digunakan. Karena beban
tersebut maka manajer pusat investasi memikul tanggung jawab mendulang laba yang
konsisten dengan besarnya aktiva yang ditanamkan dalam divisinya.

Sebagian besar divisi perusahaan dapat diperlakukan sebagai pusat laba dan sekaligus
pusat investasi. Seandainya manajer divisi dapat mempengaruhi secara signifikan
keputusan-keputusan yang mempengaruhi investasi dalam aktiva divisional yang
dikendalikannya, maka divisi tersebut haruslah dianggap sebagai pusat investasi.
Apabila manajer divisi tidak dapat mempengaruhi keputusan-keputusan investasi, maka
divisi tersebut diperlakukan sebagai pusat laba. Anak perusahaan biasanya diperlakukan
sebagai pusat investasi.

B. Pengukuran Kinerja Pusat Investasi - Ukuran Finansial


1. Return On Investment (ROI)

Divisi yang menjadi pusat investasi mempunyai laporan rugi-laba dan neraca sendiri.
Walaupun laba operasi merupakan ukuran kinerja pusat investasi yang bermanfaat, ukuran
ini tidaklah mencerminkan jumlah asset yang ditanamkan dalam setiap pusat investasi.
Karena manajer pusat investasi juga bertanggungjawab untuk mengendalikan asset yang
ditanam dalam pusat pertanggungjawabannya, maka manajer harus memikul tanggungjawab
atas penggunaan asset tersebut.

ROI didifinisikan sebagai pendapatan operasi neto dibagi dengan rata-rata aktiva
operasional

R O I = Laba Neto Operasi / Rata-Rata Aktiva Opersional


Laba Neto Operasi adalah pendapatan sebelum bunga dan pajak (EBIT). Aktiva operasional
mencakup kas, piutang, inventasir, bangunan/pabrik dan peralatan, dan aktiva lain yang
dipertahankan perusahaan dan digunakan untuk aktivitas produktif.

Rumus ROI dapat dinyatakan sebagai berikut:

R O I = Profit Margin X Perputaran Aktiva

Laba Neto Operasi Penjualan

= X -

Penjualan Rata-rata Aset Operasi

Terdapat tiga cara yang dapat dilakukan oleh manajer pusat investasi untuk menaikan
ROI, yaitu:

a. Manajer pusat investasi dapat memangkas biaya guna meningkatkan profit margin.
b. Mengurangi aktiva guna meningkatkan rasio perputaran aktiva.
c. Meningkatkan penjualan yang dengan sendirinya akan mengatrol laba bersih.

Bagi perusahaan yang melaporkan laba terkendali secara terpisah dari laba operasi
bersih, maka kalkulasi tingkat imbalan haruslah memakai laba operasi terkendali sebagai
faktor pembilang rumus ROI.

Kebaikan ROI:

a. ROI mendorong manajer Devisi memperhatikan hubungan antara penjualan, biaya dan
investasi.
b. ROI mendorong manajer Devisi untuk menghemat biaya.
c. ROI mencegah investasi yang dipandang berlebihan, dalam hal ini manajer akan
mengurangi aktiva yang tidak produktif yang diharapkan akan mengurangi biaya
operasi.

Kelemahan ROI:

a. ROI mendorong manajer untuk tidak melakukan investasi yang menurunkan ROI rata-rata
Divisi meskipun investasi tersebut sebenarnya akan menaikkan laba perusahaan secara
keseluruhan.
b. ROI mendorong manajer untuk menfokuskan laba jangka pendek yang akan merugikan
perusahaan dalam jangka panjang.
2. Residual Income (Laba Residu)

Adalah laba neto operasi yang diperoleh pusat investasi diatas kembalian minimal dari
aktiva operasional yang digunakan. Tujuan penggunaan Laba Residual atau nilai tambah
ekonomis (Economis Value Added/EVA) adalah memaksimalkan jumlah total laba residu atau
nilai tambah ekonomi, dan tidak untuk memaksimalkan ROI secara keseluruhan.

Contoh:

PT LEWE mempunyai total nilai rata-rata aktiva operasional sebesar Rp. 25.000.000,-
dengan laba operasi neto Rp. 5.000.000,- dan tingkat pengembalian minimal yang
ditetapkan 15%, maka besarnya laba residu dapat dihitung:

Laba Neto Operasi Rp. 5.000.000,-

Pengembalian Minimal 15 %

15% X Rp. 5.000.000,- Rp. 3.750.000,-

Laba Residu Rp. 1.250.000,-

1) Jika RI > 0, maka Divisi telah mendapatkan lebih daripada Biaya Modal Minimal.
2) Jika RI < 0, maka Divisi telah mendapatkan kurang daripada Biaya Modal Minimal.
3) Jika RI = 0, maka Divisi telah mencapai Biaya Modal Minimal.

Kebaikan RI:

1. Keunggulan utama dari RI adalah dapat diterimanya usulan investasi yang telah
ditolak dengan ROI, walaupun investasi tersebut dapat menaikkan laba perusahaan
secara keseluruhan tetapi ROI rata-rata Divisi turun.
2. RI dapat menggunakan kembalian minimum yang berbeda-beda untuk berbagai jenis
aktiva.

Kelemahan RI:

1. RI, sebagaimana ROI dapat mendorong manajer untuk berpandangan jangka pendek.
2. RI adalah ukuran profitabilitas absolut, hal ini akan menghasilkan penilaian
prestasi yang tidak adil apabila kedua Divisi tersebut mempunyai Investasi yang
berbeda. Untuk mengatasinya maka diperlukan mengukur Residual Return yang
menghubungkan RI dengan Investasi.

3. Economics Value-Added (EVA)

EVA merupakan suatu alat analisis finansial untuk menilai profitabilitas yang realistis
dari operasi perusahaan dan EVA mempergunakan biaya modal dalam perhitungannya. Selain
itu EVA juga mempertimbangkan dengan adil harapan para penyandang dana, melalui
perhitungan biaya modal tertimbang dari struktur modal perusahaan. Konsep EVA merupakan
suatu konsep baru yang berangkat dari konsep lama yaitu biaya modal (cost of capital).
Konsep ini merupakan suatu konsep yang digunakan untuk mengetahui berapa biaya yang
harus dikeluarkan oleh perusahaan sebagai akibat dari penggunaan dana untuk pembelian
barang dan modal ataupun modal kerja. Pengertian biaya modal itu sendiri menurut Van
Home dan Wachowicz(1992:432) adalah Cost of Capital is the required rate of return
on the vurious types of financing.
Definisi tersebut mengidentifikasikan bahwa biaya modal merupakan tingkat pengembalian
yang harus dicapai oleh perusahaan agar dapat menutup beban finansial atas penggunaan
sumber dana jangka panjangnya.

Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mendapatkan ukuran EVA menurut Widayanto
(1994:223) adalah sebagai berikut:

a. Menghitung atau menaksir biaya modul utang (cost of debt).


Biaya utang (cost of debt) merupakan rate yang harus dibayar oleh perusahaan di
dalam pasar sekarang untuk mendapatkan utang jangka panjang yang baru. Yang
dimaksudkan disini adalah utang obligasi. Perhitungannya dapat dilakukan dengan
menghitung biaya utang sebelum pajak, dimana besarnya biaya modal adalah sama dengan
tingkat couponya, yaitu tingkat bunga yang dibayarkan untuk tiap lembar obligasi.
Perhitungan yang lain adalah dengan cara menghitung biaya utang setelah pajak,
dengan mengalikan suku bunga utang (1-t), dimana t adalah tarif pajak perusahaan
yang bersangkutan.
b. Menaksir biaya modal saham (cost of equity).
Perhitungan biaya modal (cost of equity) dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa
pendekatan, antara lain CAPM yang melihat cost of equity sebagai penjumlahan dari
tingkat bunga tanpa resiko dan selisih tingkat pengembalian yang diharapkan dari
portofolio pasar dengan tingkat bungan tanpa resiko dikalikan dengan resiko yang
sistematis perusahaan (nilai beta perusahaan). Pendekatan deviden yang melihat cost
of equity sebagai nilai deviden per harga saham ditambah dengan prosentase
pertumbuhan dari deviden tersebut atau dengan pendekatan price earning yang melihat
cost of equity sebagai nilai dari laga per saham dibagi dengan harga saham sekarang.
c. Menghitung struktur permodalan (dari neraca).
Modal atau capital merupakan jumlah dana yang tersedia bagi perusahaan untuk
membiayai perusahaannya yang merupakan penjumlahan dari total utang dan modal Saham.
d. Menghitung biaya modal rata-rata tertimbang (weighted average cost of capital-
WACC).
WACC merupakan rata-rata tertimbang biaya utang dan modal sendiri, menggambarkan
tingkat pengembalian investasi minimum untuk mendapatkan tingkat pengembalian yang
diharapkan oleh investor . Dengan demikian perhitungannya akan mencakup perhitungan
masing-masing komponennya, yaitu biaya utang (cost of debt), biaya modal saham
(cost of equity), serta proporsi masing- masing di dalam struktur modal perusahaan.
e. Menghitung EVA.

Dilakukan dengan mengurangi laba operasional setelah pajak dengan biaya modal yang
telah dikeluarkan oleh perusahaan. Untuk melihat apakah dalam perusahaan telah
terjadi EVA atau tidak, dapat ditentukan dengan kriteria yang dikemukakan oleh
Widayanto (1994) sebagai berikut:

4) Jika EVA > 0, maka telah tejadi nilai tambah ekonomis (NITAMI) dalam perusahaan,
sehingga semakin besar EVA yang dihasilkan maka harapan para penyandang dana
dapat terpenuhi dengan baik, yaitu mendapatkan pengembalian investasi yang sama
atau lebih dari yang diinvestasikan dan kreditur mendapatkan bungan. Keadaan
ini menunjukkan bahwa perusahaan berhasil menciptakan nilai (create value) bagi
pemilik modal sehingga menandakan bahwa kinerja keuangannya telah baik.
5) Jika EVA < 0, maka menunjukkan tidak terjadi proses nilai tambah ekonomis
(NITAMI) bagi perusahaan, karena laba yang tersedia tidak bisa memenuhi harapan
para penyandang dana terutama pemegang saham yaitu tidak mendapatkan
pengembalian yang setimpal dengan investasi yang ditanamkan dan kreditur tetap
mendapatkan bungan. Sehingga dengan tidak ada nilai tambahnya mengindikasikan
kinerja keuangan perusahaan kurang baik.
6) Jika EVA = 0, maka menunjukkan posisi impas karena semua laba yang telah
digunakan untuk membayar kewajiban kepada penyandang dana baik kreditur dan
pemegang saham.

C. Pengukuran Kinerja-Ukuran Non Financial

Balance Score Card (BSC)


ROI dan EVA merupakan alat ukur kinerja yang penting namun belum cukup mampu memberikan
gambaran tentang perusahaan secara keseluruhan. Pada akhirnya perusahaan juga harus
mengembangkan ukuran kinerja non-finansial. Balanced Scorecard merupakan suatu alat
bantu manajerial yang tersedia untuk itu.

Balanced Scorecard merupakan pendekatan terhadap strategi manajemen yang dikembangkan


oleh Dr. Robert Kaplan (Harvard Business School) and David Norton pada awal tahun 1990.
Balanced (berimbang) yang berarti adanya keseimbangan antara performance keuangan dan
non-keuangan, performance jangka pendek dan performance jangka panjang, antara
performance yang bersifat internal dan performance yang bersifat eksternal dan
scorecard (kartu skor) yaitu kartu yang digunakan untuk mencatat skor performance
seseorang. Kartu skor juga dapat digunakan untuk merencanakan skor yang hendak
diwujudkan oleh seseorang dimasa depan.

Organisai dapat mengetahui langkah dan manfaat apa saja yang dapat diterima dalam
rancangan pengukuran kinerja dengan pendekatan balanced scorecard sebagai dasar
pengukuran kinerja organisasi yang mengarah pada Visi, misi ,dan strategi organisasi.
Hal ini dapat menjadi masukan yang positif guna membantu dalam menyusun strategi untuk
mencapai tujuan perusahaan.

BSC menjawab kebutuhan tersebut melalui sistem manajemen strategi kontemporer, yang
terdiri dari empat perspektif yaitu:

1. Keuangan.
2. Pelanggan.
3. Proses Bisnis Internal.
4. Pembelajaran dan Pertumbuhan.

Keunggulan pendekatan BSC dalam sistem perencanaan strategis adalah mampu menghasilkan
rencana strategis, yang memiliki karakteristik yaitu Komprehensif, Koheren, Seimbang,
dan Terukur.

III. MASALAH DALAM DESENTRALISASI


A. Penghargaan Kepada Manager Divisi
Kompensasi yang diberikan kepada manajer harus dihubungkan dengan hal- hal yang berada
dalam kendali/kekuasaan manajer. Perancangan sistem kompensasi juga harus diupayakan
untuk mendorong Goal Congruence.

Alasan utama membedakan bahwa kinerja divisi tidak sama dengan kinerja manajer adalah
bahwa kinerja divisi biasanya berkaitan dengan faktor-faktor yang berada diluar kendali
manajer. Jadi adalah perlu untuk mengkaitkan kompensasi manajerial dengan faktor-faktor
yang berada dalam kendali manajer. Permasalahan yang sering terjadi adalah sering
terjadi bahwa manajer tidak bekerja dengan kemampuan baiknya karena tiga alasan
berikut:

1. Manajer mungkin kurang mempunyai kemampuan


2. Manajer mungkin lebih suka bekerja kurang dari yang dibutuhkan
3. Manajer mungkin bekerja hanya untuk memanfaatkan perkuisit

Merlihat alasan tersebut maka perlu disusun satu sistem pembayaran insentif yang
terstuktur dengan baik dan mampu membantu upaya-upaya menciptakan kesesuaian tujuan
antara manajer dan pemilik. Tujuan kompensasi manajemen biasanya meliputi berbagai
insentif yang berkaitan dengan kinerja. Beberapa bentuk penghargaan manajerial adalah:

1. Kompensasi Kas.
Kompensasi ini meliputi gaji dan bonus. Komopensasi gaji lebih sulit untuk
mengubahnya dibanding dengan bonus. Kompensasi bonus dianggap lebih flesibel. Dalam
praktek banyak yang menggunakan kombinasi dari keduaanya.
2. Opsi Saham
Yaitu suatu hak untuk membeli sejumlah tertentu saham perusahaan dengan harga
tertentu. Pemberian opsi ini biasanya diikuti dengan syarat-syarat kinerja yang
ketat.
3. Kompensasi berdasarkan laba.
Ukuran kinerja tunggal seringkali memancing munculnya perilaku spekulatif
manajerial. Bonus dalam bentuk kas dan opsi saham mampu mendorong terciptanya
perilajku yang berorienatasi jangka pendek. Untuk mendorong orientasi jangka
panjang, banyak perusahaan yang mendesak eksekutif puncaknya untuk membeli dan
memiliki saham perusahaan dalam jumlah tertentu.
4. Kompensasi nonkas.

B. Transfer Pricing
1. Pengertian

Dalam sebuah perusahaan yang terdesentraslisasi sering terjadi bahwa keluaran dari
sebuah divisi akan digunakan sebagai masukan bagi divisi lain. Persoalan yang muncul
adalah, bagaimanakah menentukan nilai keluaran yang ditransfer antar divisi dalam satu
perusahaan tersebut?

Harga transfer mengukur nilai produk yang diserahkan oleh pusat laba kepada pusat
pertanggungjawaban/pusat laba lain dalam sebuah perusahaan. Harga transfer ditetapkan
untuk produk-produk antara.

Harga Transfer adalah harga jual atau biaya yang akan dipakai dalam pertukaran antar
devisi penjual dan divisi pembeli. Bagi divisi penjual/pemasok, harga transfer
tersebut akan merupakan pendapatan dan bagi divisi pembeli harga transfer tersebut
akan merupakan biaya. Oleh karena itu harga transfer akan mempengaruhi laba baik bagi
divisi penjual maupun divisi pembeli.

Sistem penentuan harga transfer harus memenuhi 3 (tiga) tujuan berikut ini:

1. Evaluasi prestasi divisi secara akurat, yang berarti tidak satupun manajer divisi
yang memperoleh keuntungan dengan mengorbankan manajer divisi lain.
2. Keselarasan tujuan antara divisi dan perusahaan,. Dalam arti bahwa manajer divisi
mengambil keputusan yang akan memaksimumkan laba perusahaan dengan memaksimumkan
laba divisinya.
3. Tetap terjaganya otonomi divisi, dalam arti tidak ada campur tangan manajemen puncak
terhadap kebebasan manajer divisi dalam pengambilan keputusan.

Karena setiap divisi yang dibentuk oleh perusahaan diukur kinerjanya berdasarkan pada
laba yang diperoleh oleh masing-masing divisi yang bersangkutan, maka dalam penentuan
harga transfer terdapat dua masalah yang harus dirundingkan:

1. Dasar yang digunakan sebagai landasan penentuan harga transfer


2. Besarnya laba yang akan diperhitungkan dalam penetuan harga transfer.

2. Dasar Penentuan Harga Tranfer

Penentuan harga tranfer dapat mendasarkan pada harga pasar, dan harga transfer atas
dasar biaya. Jika harga transfer didasarkan pada biaya, maka dasar biaya yang digunakan
adalah biaya penuh standar atau biaya penuh sesungguhnya.

3. Laba yang diperhitungkan dalam Harga Transfer

Dalam menentukan besarnya laba yang akan diperhitungkan dalam harga transfer, maka
baik divisi penjual maupun divisi pembeli harus memperhatikan dua faktor berikut:

a. Dasar yang digunakan untuk menentukan laba. Hal ini dapat dinyatakan dalam
prosentase tertentu dari biaya penuh atau aktiva penuh.. Jika aktiva penuh yang
digunakan sebagai dasar, maka yang harus dipertimbangkan adalah: jenis aktiva yang
diperhitungkan dan cara penilaian aktiva yang digunakan sebagai dasar.
b. Besarnya laba yang akan diperhitungkan dalam penentuan harga transfer tersebut.

4. Metode Penentuan Harga Transfer

Sesui dengan dasar yang digunakan dalam penetuan harga transfer, maka terdapat dua
metode yang digunakan dalam menghitung harga transfer:
a. Harga Pasar

Harga pasar akan digunakan sebagai dasar jika produk yang ditransfer tersebut
mempunyai harga pasar. Harga pasar tersebut merupakan biaya kesempatan baik bagi
divisi penjual maupun bagi divisi pembeli.

Pada umumnya harga transfer ditetapkan berdasarkan harga pasar minus, karena hal-
hal berikut:

1) Kuantitas produk yang ditransfer antar divisi tersebut umumnya cukup besar,
sehingga menimbulkan penghematan bagi divisi penjual, untuk itu potongan volume
seringkali digunakan.
2) Divisi penjual tidak akan mengeluarkan biaya iklan, promosi penjualan, komisi
penjualan, biaya penagihan, sehingga biaya-biaya tersebut dapat dikurangkan dari
harga pasar.
3) Jika transfer langsung dikirim dari departemen produksi divisi penjual, maka
biaya simpan (gudang) tidak perlu diperhitungkan dalam penentuan harga transfer
tersebut.

Kelemahan yang ada pada harga transfer berdasar harga pasar adalah:

1) Tidak semua produk mempunyai harga pasar


2) Harga pasar tidak selalu sama dengan harga yang tercantum dalam daftar harga.
Kesulitan muncul kalau harga pasar sangat berfluktuasi.
3) Divisi penjual mempunyai pasar yang pasti. Oleh karena itu penghematan biaya
yang muncul sebaiknya tidak dinikmati oleh divisi penjual saja tetapi juga harus
dinikmati oleh divisi pembeli.

b. Harga Transfer atas dasar Biaya

Biaya yang digunakan sebagai dasar penentuan harga transfer dapat berupa biaya
penuh standar atau biaya penuh sesungguhnya.

Jika biaya penuh standar yang digunakan, hal ini akan memberikan keuntungan bagi
duivisi pembeli karena divisi pembeli tidak dibebani dengan kemungkinan terjadinya
ketidakefisienan biaya yang terjadi di divisi penjual. Harga transfer ini dapat
menimbulkan keengganan divisi penjual untuk menaikan efisiensi produksinya.
Efisiensi divisi penjual akan mengakibatkan turunnya harga transfer dan hal ini
akan mengakibatkan laba divisi penjual akan turun. Agar memberikan dorongan bagi
divisi penjual untuk menaikan efisiensi produksinya, maka penurunan biaya standar
tidak segera digunakan sebagai dasar penentuan harga transfer. Divisi penjual diberi
kesempatan untuk menikmati tambahan laba dari hasil peningkatan efisiensi
produksinya.
Jika biaya penuh sesungguhnya yang dugunakan sebagai dasar penentuan harga transfer,
maka akan terjadi bahwa divisi pembeli akan menikmati ketidakefisienan yang terjadi
di divisi penjual. Oleh karena itu biaya ini sebaiknya tidak digunakan sebagai
dasar penentuan harga transfer.

Jika biaya digunakan sebagai penentuan harga transfer, maka tiga hal dibawah ini
perlu dipertimbangankan oleh manajer:

1) Metode penentuan harga transfer tersebut harus senantiasa mendorong divisi


penjual meningkatkan efiseinsi produksinya.
2) Metode tersebut harus dapat memisahkan tanggungjawab masing-masing divisi yang
terlibat dalam penentuan harga transfer
3) Harus dilakukan negosiasi antar divisi yang terlibat.

Kelemahan harga transfer atas dasar biaya adalah:

1) Harus ada persetujuan antar divisi penjual dan divisi pembeli tentang biaya apa
yang boleh dimasukkan sebagai dasar.
2) Perhitungan Return On Investment

c. Harga Transfer Negosiasi

Dalam beberapa organisasi memperkenankan divisi penjual dan divisi pembeli untuk
menegosiasikan harga transfer. Hal ini terjadi karena bahwa pasar dengan persaingan
sempurna jarang ada. Harga transfer negosiasi mencerminkan perspektif
kontrolabilitas yang inheren dalam pusat-pusat pertanggung-jawaban, karena setiap
divisi akhirnya bertanggungjawab atas harga transfer yang dinegosiasikannya.

Harga transfer negosiasi seharusnya ditetapkan tidak lebih murah dari biaya variable
dan tidak lebih mahal dibandingkan dengan harga pasar (apabila ada). Harga transfer
negosiasi biasanya dipengaruhi oleh apakah biaya tetap sudah tertutupi atau belum,
apakah divisi penjual beroprasi pada kapasitas penuh atau tidak, dan seberapa kuat
daya tawar menawar divisi penjual dan divisi pembeli.

Kelemahan Harga Transfer Negosiasi:

1) Manajer divisi tertentu dapat mengambil manfaat dari manajer divisi lain,
sehingga manajer divisi lain tersebut dapat dirugikan. Hal ini terjadi apabila
manajer tertentu mempunyai informasi pribadi yang lebih lengkap dibandingkan
informasi yang dimiliki manajer divisi lain.
2) Ukuran kinerja bisa terdistorsi oleh kecakapan negosiasi manajer-manajer
tertentu.
3) Negosiasi memungkinkan memakan banyak waktu, tenaga dan biaya.

Keunggulan Harga Transfer Negosiasi:


Terlepas dari kelemahan yang dimilikinya, harga transfer negosiasi menawarkan
harapan untuk mencapai tiga tujuan penentuan harga transfer, yaitu:

1) Evaluasi prestasi divisi secara akurat.


2) Keselarasan tujuan antara divisi dan perusahaan secara keseluruhan.
3) Tetap terjaganya otonomi divisi.
BAHAN PENDUKUNG MATERI

Anda mungkin juga menyukai