Anda di halaman 1dari 3

Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut (14 perusahaan diperiksa), ditemukan terjadinya

penggelapan pajak yang berupa penggelapan pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan
nilai (PPN). Selain itu juga "bahwa dalam tahun pajak 2002-2005, terdapat Rp 2,62 triliun
penyimpangan pencatatan transaksi. Yang berupa menggelembungkan biaya perusahaan
hingga Rp 1,5 triliun. mendongkrak kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar. mengecilkan
hasil penjualan Rp 889 miliar. Lewat modus ini, Asian Agri diduga telah menggelapkan
pajak penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri
yang digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan
penggelapan pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp 1,3 triliun.
Dari rangkaian investigasi dan penyelidikan, pada bulan Desember 2007 telah ditetapkan 8
orang tersangka, yang masing-masing berinisial ST, WT, LA, TBK, AN, EL, LBH, dan SL.
Kedelapan orang tersangka tersebut merupakan pengurus, direktur dan penanggung jawab
perusahaan. Di samping itu, pihak Depertemen Hukum dan HAM juga telah mencekal 8
orang tersangka tersebut.

Terungkapnya kasus penggelapan pajak oleh PT AAG tidak terlepas dari pemberitaan
investigatif Tempo baik koran maupun majalah dan pengungkapan dari Vincent. Dalam
konteks pengungkapan suatu perkara, apalagi perkara tersebut tergolong perkara kakap,
mustinya dua pihak ini mendapat perlindungan sebagai whistle blower. Kenyataannya, dua
pihak ini di-blaming. Alih-alih memberikan perlindungan, aparat penegak hukum malah
mencoba mempidanakan tindakan para whistle blower ini. Vincent didakwa dengan pasal-
pasal tentang pencucian uang karena memang dia, bersama rekannya, sempat mencoba
mencairkan uang PT AAG.

PT Asian Agri Group (AAG) diduga telah melakukan penggelapan pajak (tax evasion)
selama beberapa tahun terakhir sehingga menimbulkan kerugian negara senilai trilyunan
rupiah.
peraturan perundangan mengancam pelaku tindak pidana perpajakan dengan sanksi pidana
penjara dan denda yang cukup berat, akan tetapi nyatanya masih ada celah hukum untuk
meloloskan para penggelap pajak dari ketok palu hakim di pengadilan. Pasal 44B UU
No.28/2007 membuka peluang out of court settlement bagi tindak pidana di bidang
perpajakan. Ketentuan itu mengatur bahwa atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung
dapat menghentikan penyidikan. Dengan demikian, kasus berakhir (case closed) jika wajib
pajak yang telah melakukan kejahatan itu telah melunasi beban pajak beserta sanksi
administratif berupa denda.
Jadi, penyelesaian kasus tindak pidana perpajakan oleh Asian Agri Group meski masuk
kategori Perlawanan Aktif terhadap Pajak sekalipun tetap dapat diselesaikan di luar
sidang pengadilan. Dengan demikian, harapan kita bergantung pada Menteri Keuangan dan
Jaksa Agung sebagai pihak yang paling menentukan dalam proses penyelesaian tindak pidana
perpajakan ini.

Tidak Hanya Urusan Pajak

Menilik modus operandi dalam kasus ini, penggelapan pajak bukanlah satu-satunya
perbuatan pidana yang bisa didakwakan kepada Asian Agri Group. Penyidikan terhadap
Asian Agri Group juga dapat dikembangkan pada tindak pidana pencucian uang (money
laundering).Dalam hal itu, penggelapan pajak oleh Asian Agri Group perlu dilihat sebagai
kejahatan asal (predict crime) dari tindak pidana pencucian uang. Sebagaimana lazimnya,
kejahatan pencucian uang tidak berdiri sendiri dan terkait dengan kejahatan lain. Kegiatan
pencucian uang adalah cara untuk menghapuskan bukti dan menyamarkan asal-usul
keberadaan uang dari kejahatan yang sebelumnya. Dalam kasus ini, penggelapan pajak dapat
menjadi salah satu mata rantai dari kejahatan pencucian uang.

Asian Agri Group mengecilkan laba perusahaan dalam negeri agar terhindar dari beban pajak
yang semestinya dengan cara mengalirkan labanya ke luar negeri (Mauritius, Hongkong
Macao, dan British Virgin Island). Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) kelompok usaha
Asian Agri Group kepada Ditjen Pajak telah direkayasa sehingga kondisinya seolah merugi
(Lihat pernyataan Darmin Nasution, Direktur Jenderal Pajak, mengenai rekayasa SPT itu).
Modus semacam itu memang biasa dilakukan dalam kejahatan pencucian uang, sebagaimana
juga diungkapkan oleh Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK),
Yunus Hussein mengenai profile, karakteristik, dan pola transaksi keuangan yang tidak beres
sebagai indikasi kuat adanya money laundering (Metro TV, 8/1/2008).

kasus Asian Agri adalah cermin sempurna bagi penegak hukum kita.Dari situ tergambar,
sebagian dari mereka tidak sungguh-sungguh menegakkan keadilan, malah berusaha
menyiasati hukum dengan segala cara. Tujuannya boleh jadi buat melindungi orang kaya
yang diduga melakukan kejahatan. Dan kalau perlu dilakukan dengan cara mengorbankan
orang yang lemah.Persepsi itu muncul setelah petugas Kepolisian Daerah Metro Jaya
bersentuhan dengan kasus dugaan penggelapan pajak Asian Agri, salah satu perusahaan milik
taipan superkaya, Sukanto Tanoto. Kejahatan ini diperkirakan merugikan negara Rp 786
miliar. Polisi amat bersemangat mengusut Vincentius Amin Sutanto, bekas pengontrol
keuangan perusahaan itu, hingga akhirnya dihukum 11 tahun penjara pada Agustus lalu.
Padahal justru dialah yang membongkar dugaan penggelapan pajak dan money laundering
oleh Asian Agri. Pemerintah mestinya berterima kasih kepada mereka.

Jika kasus ini segera ditangani dengan tuntas, amat besar uang negara yang bisa
diselamatkan.Upaya ini juga akan mencegah pengusaha lain melakukan penyelewengan
serupa, sehingga tujuan pemerintah mendongkrak penerimaan pajak tercapai.Tidak
sewajarnya polisi mengkhianati program pemerintah. Mereka seharusnya segera mengusut
pula dugaan pencucian uang yang dilakukan Asian Agri. Perusahaan ini diduga
menyembunyikan hasil "penghematan" pajak ke berbagai bank di luar negeri. Inilah yang
mestinya diprioritaskan dibanding membidik orang yang justru membantu membongkar
dugaan penggelapan pajak.

Anda mungkin juga menyukai