Anda di halaman 1dari 3

PEMBAHASAN

Obat herbal Indonesia pada dasarnya dapat dikelompokkan dalam tiga kategori diantaranya :

1. Jamu (obat tradisional) Merupakan obat bahan alam yang sediaanya masih berupa
simplisia sederhana. Khasiat dan keamanannya baru terbukti secara empiris dan
turun-temurun. Bahan-bahan jamu umumnya berasal dari semua bagian tanaman,
bukan hasil ekstraksi/isolasi bahan aktifnya saja.
2. Obat Herbal Terstandar (OHT) Merupakan bentuk sediaan obat yang sudah berupa
ekstrak dengan bahan dan proses pembuatan yang terstandardisasi. Herbal terstandar
harus melewati uji praklinis seperti uji toksisitas (keamanan), kisaran dosis, uji
manfaat dan uji teratogenik (keamanan terhadap janin). Klaim khasiat obat herbal
terstandar telah dibuktikan melalui uji praklinis (uji pada hewan).
3. Fitofarmaka Merupakan obat herbal yang klaim khasiatnya telah dibuktikan melalui
uji klinis ( uji pada manusia).

Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, obat tradisional
merupakan bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan
mineral, sediaan sarian atau galenik, atau campuran dari bahan tersebut, yang secara turun
temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.

Berikut ini merupakan kriteria obat tradisional supaya dapat diedarkan di masyarakat :

1. Secara empirik aman dan bermanfaat bagi manusia

2. Bahan obat tradisional dan proses telah memenuhi ketentuan yang ditetapkan

3. Tidak mengandung bahan kimia sintetik atau hasil isolasi yang berkhasiat obat

4. Tidak mengandung bahan yang tergolong narkotik (obat keras)

5. Tidak mengandung hewan atau tumbuhan yang dilindungi.

Menurut peraturan peringatan Nomor KH.00.01.1.5116 Tentang Obat Tradisional


Mengandung Bahan Kimia Obat, mengkonsumsi obat tradisional mengandung Bahan Kimia
Obat Keras membahayakan kesehatan bahkan dapat mematikan. Pemakaian obat keras harus
melalui resep dokter. Bahan kimia obat (BKO) merupakan senyawa sintetis atau produk
kimiawi yang berasal dari bahan alam yang umumnya digunakan untuk pengobatan modern.
Penggunaan BKO pada pengobatan modern selalu disertai dengan takaran/dosis, indikasi,
aturan pemakaian yang jelas serta peringatan-peringatan akan bahaya yang timbul selama
penggunaannya untuk mencapai keamanan penggunaan obat oleh konsumen. Jika
penambahan BKO dilakukan pada obat tradisional dengan tujuan melakukan kecurangan,
maka variabel-variabel yang harusnya dikontrol seperti dosis/takaran tidak bisa dilakukan.
Oleh karena itu, penambahan BKO dalam produk obat tradisional sangat berbahaya. Sampai
saat ini, Badan POM masih menemukan beberapa produk obat tradisional yang di dalamnya
dicampur dengan bahan kimia obat. BKO di dalam obat tradisional inilah yang menjadi
selling point bagi produsen tanpa memperhatikan dampak yang dapat terjadi. Hal ini dapat
terjadi salah satunya karena kurangnya pengetahuan produsen akan bahaya mengkonsumsi
bahan kimia obat secara tidak terkontrol baik dosis maupun cara penggunaannya atau bahkan
semata-mata demi meningkatkan penjualan karena konsumen menyukai produk obat
tradisional yang bereaksi cepat pada tubuh. Konsumen itu sendiri tidak menyadari adanya
bahaya dari obat tradisional yang dikonsumsinya, apalagi memperhatikan adanya
kontraindikasi penggunaan beberapa bahan kimia bagi penderita penyakit tertentu maupun
interaksi bahan obat yang terjadi apabila pengguna obat tradisional sedang mengkonsumsi
obat lain, tentunya sangat membahayakan. Menurut penemuan Badan POM, obat tradisional
yang sering dicermari BKO umumnya adalah obat tradisional yang digunakan pada :

Chlorpheniramin maleat/CTM Jarang, kecuali ruam kulit, kelainan darah, pankreatitis


akut dan kerusakan hati setelah over dosis. Analisis bahan sintetik atau BKO di dalam jamu
dapat digunakan salah satunya dengan menggunakan teknik Kromatografi Lapis Tipis (KLT).
Prinsip yang digunakan adalah dengan membandingkan nilai Rf yang berasal dari sampel
jamu yang dianalisis dengan nilai Rf standar BKO sebagai pembanding yang dicurigai
ditambahkan pada jamu yang dianalisis.

Pada percobaan kali ini, sampel jamu yang akan dianalisis dibandingkan terhadap
standar BKO yaitu Chlorpheniramin maleat dan larutan baku CTM 0,15% b/v dalam metanol.
Fasa gerak atau eluen yang digunakan dalam percobaan kali ini ada tiga yaitu pertama etil
asetat : Methanol : air (80:10:10) kedua Benzene : dioksan : Ammonia pekat (65:30:5) dan
ketiga yaitu Methanol : ammonia pekat (100:1,5). Sedangkan fasa diam yang digunakan
adalah silica gel F254. Pada awalnya, chamber yang digunakan untuk percobaan kali ini
dijenuhkan terlebih dahulu dengan menggunakan eluen. Tujuan dari penjenuhan chamber ini
adalah untuk mengoptimalkan proses pengembangan fase gerak. Penjenuhan chamber ini
dilakukan dengan menambahkan eluen ke dalam chamber dan meletakkan kertas saring di
dalam chamber agar penguapan yang terjadi di dalam chamber merata sehingga udara di
dalam chamber tetap jenuh pelarut. Selama penjenuhan, chamber dalam keadaan tertutup
rapat dan didiamkan selama 30 menit serta dijaga agar chamber tidak bergeser sehingga dapat
mencegah terjadinya ketidakjenuhan pelarut. Kondisi jenuh dalam chamber dengan uap
pelarut mencegah terjadinya ketidakjenuhan pelarut. Sementara itu, sampel jamu yang
dicurigai mengandung BKO dan semua pembanding BKO yang ada 1 dosis cuplikan dan
ditambahkan aquadest 50ml kemudian dikocok 30 menit, kemudian dimasukkan di corong
pisah, filtrat dibasakan dengan NaOH 1N ad pH 10 dan diekstraksi dengan kloroform
sebanyak 4x dalam masing-masing 25 ml dipanaskan di spiritus hingga kering kemudian
ditambahkan 5 ml etanol untuk penotolan di KLT, Larutan Uji disebut Larutan A. Dengan
cara yang sama tetapi ditambahkan 5mg CTM disebut Larutan B. Larutan Baku CTM 0,15%
dalam methanol disebut Larutan C. Kemudian dilakukan penotolan sampel dan pembanding
pada plat KLT. Sampel yang ditotolkan seharusnya memiliki ukuran bercak sekecil dan
sesempit mungkin karena jika sampel yang digunakan terlalu banyak akan menurunkan
resolusi. Penotolan sampel yang tidak tepat akan menyebabkan bercak yang menyebar ke
puncak ganda. Penotolan dilakukan dengan jarak lebih kurang 1 cm antara sampel maupun
pembanding yang digunakan, dengan penotolan dari kiri ke kanan adalah sampel jamu,
aspirin standar, deksametason standar, dan parasetamol standar. Setelah penotolan selesai
dilakukan, kemudian plat KLT dielusi di dalam chamber yang telah dijenuhkan. Penjenuhan
eluen bertujuan untuk menyamaratakan tekanan uap dari eluen di berbagai sisi sehingga saat
dielusi totolan sampel dan standar tidak mengalami tailing atau heading. Elusi dihentikan
setelah eluen mencapai batas atas dari plat KLT. Setelah proses elusi selesai kemudian bercak
pada KLT dideteksi dengan menggunakan penyinaran di bawah lampu UV pada panjang
gelombang 230-300 nm. Dari hasil deteksi ini, terdapat persamaan letak bercak sampel
dengan bercak CTM standar.

KESIMPULAN

Dari praktikum kali ini didapat hasil sebagai berikut :

1. Etil asetat : Methanol : Air (80:10: 5)


Nilai Rf Sampel 0,818 0,982
Nilai Rf Pembanding 0,091 ; 0,818 ; 1
Nilai Rf Standar 0,091
( - ) Negatif mengandung CTM
2. Benzene : Dioksan : Methanol (65:30: 5)
Nilai Rf Sampel 0
Nilai Rf Pembanding 0,71
Nilai Rf Standar 0,72
( - ) Negatif mengandung CTM
3. Metanol : Amonia pekat (100 : 1,5)
Nilai Rf Sampel 0,3 dan 0,982
Nilai Rf Pembanding 0,3 ; 0,86 ; 1
Nilai Rf Standar 0,3 ; 0,86
( + ) Positif mengandung CTM
4. Etil asetat : Methanol : Air (80 : 10: 5)
Nilai Rf Sampel 0,127
Nilai Rf Pembanding 0,15
Nilai Rf Standar 0,22
( + ) Positif mengandung CTM
5. Benzene : Dioksan : Methanol (65 : 30 : 5)
Nilai Rf Sampel 0,37
Nilai Rf Pembanding 0,37 ; 0,97
Nilai Rf Standar 0,38 ; 0,97
( + ) Positif mengandung CTM

Anda mungkin juga menyukai