Anda di halaman 1dari 16

Referat

Penegakan Diagnosis dan Tatalaksana Croup


Syndrome

Disusun Oleh:

Tri Angela Anggrayani

11.2016.173

Pembimbing:

dr. Etty, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
PERIODE 10 JULI 2017 16 SEPTEMBER 2017

1
Latar Belakang
Sindrom croup adalah sindrom klinis yang ditandai dengan suara serak, batuk
menggonggong, stridor inspirasi, dengan atau adanya stress pernapasan. Penyakit ini sering
terjadi pada anak. Istilah lain untuk croup adalah laringitis akut yang menunjuk lokasi
inflamasi, yang jika meluas sampai trakea disebut laringotrakeitis, dan jika sampai bronkus
namanya laringotrakeobronkitis.1
Sindrom ini disebabkan oleh virus yang menyerang saluran respiratori atas, dapat
menimbulkan obstruksi saluran respiratori. Obstruksi yang terjadi bisa terjadi dari ringan
hingga keberat. Sifat penyakit ini adalah self limited, tetapi kadang-kadang cenderung
berakibat berat bahkan fatal.1

Definisi
Croup (laringotrakeobronkitis akut) adalah suatu grup penyakit heterogen yang
mengenai laring, infra/subglotis, trakea dan bronkus. Croup dapat menyebabkan obstruksi/
penyumbatan saluran respiratorik atas, jika berat, dapat mengancam jiwa. Paling berat
terjadi pada masa bayi.1,2

Klasifikasi
Secara umum croup dikelompokkan dalam 2 kelompok; pertama viral croup ditandai
oleh gejala prodormal infeksi respiratori, gejalanya berlangsung selama 3-5 hari. Yang
kedua spasmodic croup gejalanya spasmodic cough terdapat faktor atopik, tanpa gejala
prodormal, anak dapat tiba-tiba mengalami gejala obstruksi saluran respiratori, biasanya
pada waktu malam menjelang tidur, serangannya hanya terjadi sebentar, kemudian normal
kembali.1,3
Tabel 1. Klasifikasi croup berdasarkan gejala klinis1,2,4
Klasifikasi Gejala Klinis
Croup ringan - Demam
- Suara serak
- Batuk menggonggong kadang muncul
- Stridor yang hanya terdengar jika anak
gelisah
- Retraksi ringan dinding dada
Croup sedang - Batuk menggonggong yang sering timbul

2
- Stridor yang mudah didengar ketika
istirahat atau tidak beraktivitas
- Retraksi dinding dada sedikit terlihat
- Tidak ada gawat nafas
Croup berat - Batuk menggonggong yang sering timbul
- Stridor inspirasi terdengar jelas saat
istirahat
- Stridor ekspirasi
- Retraksi dinding dada
- Nafas cepat atau gawat napas
Gagal napas mengancam - Batuk kadang-kadang tidak jelas
- Terdengar stridor saat istirahat
- Gangguan kesadaran
- Letargi

Epidemiologi
Sindrom croup biasanya terjadi pada anak berusia 6 bulan 6 tahun, dengan
puncaknya pada usia 1-2 tahun. Akan tetapi, bisa juga terjadi pada anak berusia 3 bulan
dan diatas 15 tahun. Penyakit ini lebih sering pada anak laki-laki daripada anak
perempuan, dengan rasio 3:2. Angka kejadiannya meningkat pada musim dingin dan
musim gugur, tetapi penyakit ini masih dapat ada disepanjang tahun.1,4
Pasien croup merupakan 15% dari seluruh pasien dengan infeksi respiratori yang
berkunjung ke dokter. Kekambuhan sering terjadi pada usia 3-6 tahun dan berkurang
sejalan dengan pematangan struktur anatomi saluran respiratori atas. Hampir 15% pasien
sindrom croup mempunyai keluarga dengan riwayat penyakit yang sama.1,4

Etiologi
Virus yang menyebabkan croup menular akut menyebar melalui inhalasi langsung
dari batuk dan atau bersin, atau dengan kontaminasi tangan dari kontak dengan muntahan,
menyentuh mukosa mata, hidung, dan mulut. Etiologi virus yang paling umum adalah
virus parainfluenza. Jenis virus parainfluenza (1, 2, dan 3) yang menyebabkan wabah
croup, virus influenza A dan B, Adenovirus, Respiratory Syncytial Virus (RSV), dan virus
campak. Meskipun jarang, ada juga bakteri yang dapat menimbulkan penyakit ini antara

3
lain Corynebacteirum diphtheria, Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumonia,
Haemophilus influenza, dan Catarrhalis Moraxella.1,3,5

Jalan utama masuknya virus adalah hidung dan nasofaring. Infeksi menyebar dan
akhirnya melibatkan laring dan trakea. Saluran pernapasan bagian bawah juga mungkin
terkena, seperti pada laryngotracheobronchitis akut. Beberapa ahli merasa bahwa dengan
keterlibatan saluran napas yang lebih rendah, evaluasi diagnostik lebih lanjut diperlukan
untuk mengatasi kekhawatiran akan infeksi bakteri sekunder.5

Spasmodic croup (laryngismus stridulus) adalah varian non-infeksi dari kelainan ini,
dengan presentasi klinis yang serupa dengan penyakit akut namun biasanya tanpa demam
dan kurang coryza. Jenis croup ini selalu terjadi pada malam hari dan memiliki ciri khas
sering terjadi kembali pada anak-anak. Oleh karena itu juga disebut "recurrent croup."
Pada kelompok spasmodik, edema subglotik terjadi tanpa adanya peradangan khas pada
penyakit virus akut. Meskipun penyakit virus dapat memicu varian ini, reaksinya mungkin
merupakan etiologi alergi daripada akibat langsung dari proses infeksi.5

Croup spasmodik (croup berulang) biasanya muncul di malam hari dengan onset
mendadak batuk dan stridor "croupy". Anak mungkin memiliki keluhan pernapasan bagian
atas yang ringan sebelum ini, namun lebih sering berperilaku dan tampak baik sebelum
timbulnya gejala. Faktor alergi dapat menyebabkan kruk berulang karena perubahan epitel
pernafasan dari infeksi virus.5

Pertimbangan diagnostik lain untuk pasien dengan gejala kortik berulang adalah
gastroesophageal reflux (GER). Studi tentang anak-anak yang menjalani croup berulang
telah melaporkan adanya gejala pernafasan saat diobati untuk refluks.5

Penyebab

Virus parainfluenza (tipe 1, 2, 3) bertanggung jawab atas sekitar 80% kasus croup,
dengan tipe parainfluenza 1 dan 2, terhitung hampir 66% kasus. Virus parainfluenza tipe 3
menyebabkan bronkiolitis dan pneumonia pada bayi dan anak-anak muda. Virus
parainfluenza tipe 4, dengan subtipe 4A dan 4B, tidak dipahami dengan baik dan
cenderung dikaitkan dengan penyakit klinis yang lebih ringan.5

Jenis parainfluenza yang berbeda memiliki peran yang lebih menonjol dalam proses
infeksi, seperti yang berhubungan dengan usia pasien. Infeksi dengan tipe 3 paling sering
terjadi pada bayi dan merupakan etiologi penyakit saluran pernapasan bagian bawah; pada

4
usia 1 tahun, 50% bayi telah mendapatkan infeksi ini. Infeksi pernafasan pada anak usia 1-
5 tahun paling sering terjadi tipe 1, kurang begitu dengan tipe 2.5

Patofisiologi
Seperti infeksi respiratori pada umumnya, infeksi virus pada laringotrakeitis,
laringotrakeobronkitis, dan laringotrakeobronkopneumonia dimulai dari nasofaring dan
menyebar ke epitelium trakea dan laring. Peradangan difus, eritema, dan edema yang
terjadi pada dinding trakea menyebabkan terganggunya mobilitas pita suara serta area
subglotis mengalami iritasi yang menyebabkan suara menjadi serak (parau). Aliran udara
yang melewati saluran respiratori atas mengalami turbulensi sehingga menimbulkan suara
stridor, diikuti dengan retraksi dinding dada (selama inspirasi). Pergerakan dinding dada
dan abdomen yang tidak teratur menyebabkan kelelahan, hipoksia dan hiperkapnea. Pada
keadaan ini dapat terjadi gagal napas bahkan henti napas.1
Peradangan dan edema laring subglotik dan trakea, terutama di dekat tulang rawan
krikoid, paling signifikan secara klinis. Secara histologis, area yang terlibat akan edem,
dengan infiltrasi seluler yang terletak di lamina propria, submukosa, dan adventitia.
Infiltrat mengandung limfosit, histiosit, neutrofil dan sel plasma. Virus parainfluenza
mengaktifkan sekresi klorida dan menghambat penyerapan natrium di epitel trakea,
berkontribusi pada edema jalan nafas. Daerah anatomis yang terkena dampak adalah
bagian tersirat dari jalan napas anak-anak. Dengan demikian, pembengkakan secara
signifikan dapat mengurangi diameter, membatasi aliran udara. Penyempitan ini
menyebabkan batuk menggonggong seperti anjing laut, aliran udara yang turbulen, stridor,
dan retraksi dinding dada. Kerusakan endothelial dan hilangnya fungsi siliaris juga terjadi.
Eksudat mukoid atau fibrinous sebagian menutup lumen trakea. Berkurangnya mobilitas
pita suara karena edema menyebabkan suara serak yang terkait.5

Pada penyakit parah, eksudat fibrinous dan pseudomembran dapat berkembang,


menyebabkan obstruksi jalan napas lebih besar. Hipoksemia dapat terjadi akibat
penyempitan lumen progresif dan gangguan ventilasi alveolar dan ketidakcocokan
ventilasi-perfusi.5

Gejala Klinis
Manifestasi klinis biasanya didahulu dengan demam yang tidak begitu tinggi selama
12-72 jam, hidung berair, nyeri menelan, dan batuk ringan. Kondisi ini akan berkembang
menjadi batuk nyaring, suara menjadi parau dan kasar. Gejala sistemik yang menyertai
5
seperti demam, malaise. Bila keadaan berat dapat terjadi sesak napas, stridor inspiratorik
yang berat, retraksi, dan anak tampak gelisah, dan akan bertambah berat pada malam hari
dengan sebagian besar terjadi antara jam 10 malam dan 4 pagi. Gejala biasanya sembuh
dalam 3-7 hari, namun bisa bertahan selama 2 minggu. Gejala puncak terjadi pada 24 jam
pertama hingga 48 jam. Biasanya perbaikan akan tampak dalam waktu satu minggu. Anak
akan sering menangis, rewel, dan akan merasa nyaman jika duduk di tempat tidur atau
digendong.1,5

Tabel 2. Perbandingan antara Viral Croup dan Spasmodic Croup1


Karakteristik Viral Croup Spasmodic Croup
Usia 6 bulan- 6 tahun 6 bulan- 6 tahun
Gejala prodormal Ada Tidak jelas
Stridor Ada Ada
Batuk Sepanjang waktu Terutama malam hari
Demam Ada (tinggi) Biasa ada, tidak tinggi
Lama sakit 2-7 hari 2-4 jam
Riwayat keluarga Tidak ada Ada
Predisposisi asma Tidak ada Ada

Diagnosis
Diagnosis sebaiknya dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang yang mendukung.
1. Anamnesis
Dari anamnesis didapatkan selain gejala infeksi saluran pernapasan atas (yaitu:
demam, batuk, rhinitis, disfonia atau suara serak. Gejala ini konsisten dengan
laringitis namun tidak spesifik untuk laringitis akut atau kronis. Pasien dengan
laringitis juga bisa mengalami odynophonia, disfagia, odynophagia, dyspnea,
rhinorrhea, postnasal discharge, sakit tenggorokan, hidung, kelelahan, dan malaise.
Gangguan suara biasanya berakhir 7-10 hari. Jika gejalanya menetap lebih dari 3
minggu, maka didiagnosis sebagai laringitis kronis.6
2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik ditemukan suara serak, hidung berair, peradangan


faring, dan frekuensi napas yang sedikit meningkat. Kondisi pasien bervariasi
tergantung tingkat stress pernapasan yang diderita.1 Pemeriksaan langsung area

6
laring pada pasien croup tidak terlalu diperlukan. Akan tetapi, bila diduga terdapat
epiglotitis (serangan akut, gawat napas/ respiratory distress, disfagia, drooling),
maka pemeriksaan tersebut sangat diperlukan. Pemeriksaan tidak langsung jalan
napas dengan cermin atau pemeriksaan langsung dengan nasolaryngoscope
mengungkapkan eritema dan edema dari plica vocalis, sekresi, dan permukaan yang
ireguler dari plica vocalis. Perhatikan juga adanya mobilitas plica vocalis yang
normal dan ada tidaknya obstruksi jalan napas. Selain temuan infeksi saluran
pernapasan bagian atas umum, pasien mungkin tampak sehat.6

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium dan radiologis tidak
perlu dilakukan karena diagnosis biasanya dapat ditegakkan hanya dengan
anamnesis, gejala klinis dan pemeriksaan fisik.1

Bila dilakukan pemeriksaan laboratorium darah dan didapatkan peningkatan


leukosit >20.000/mm3 yang didominasi oleh PMN, kemungkinan telah terjadi
superinfeksi, misalnya epiglotitis.1
Pemeriksaan radiologis leher posisi postero-anterior ditemukan gambaran
udara steeple sign (seperti menara) yang menunjukkan adanya penyempitan
kolumna subglotis. Gambaran radiologis seperti ini hanya dijumpai pada 50%
kasus.1
Melalui pemeriksaan radiologis, croup dapat dibedakan dengan berbagai
diagnosis bandingnya. Gambaran foto jaringan lunak (intensitas rendah) saluran
napas atas dapat dijumpai sebagai berikut:1
1. Trakeitis bakterial, tampak gambaran membran trakea yang compang-
camping
2. Epiglotitis, tampak gambaran epiglotis yang menebal
3. Abses retrofaringeal, tampak gambaran posterior faring yang menonjol
Pemeriksaan CT-scan dapat lebih jelas menggambarkan penyebab obstruksi
pada pasien dengan keadaan klinis yang lebih berat, seperti adanya stridor sejak
usia dibawah enam bulan atau stridor pada saat aktivitas. Selain itu, pemeriksaan
ini juga dilakukan bila pada gambaran radiologis dicurigai adanya massa.1
Laringoskopi hanya diindikasikan pada keadaan yang tidak biasa (misalnya,
perjalanan penyakit tidak khas, anak memiliki gejala yang menunjukkan gangguan
anatomis atau bawaan yang mendasarinya). Prosedur ini mungkin juga diperlukan

7
bagi pasien dengan trakheitis bakteri untuk mendapatkan hasil kultur yang
diperlukan, dalam upaya untuk menyesuaikan pengobatan antibiotik dengan benar.
Prosedur lain yang mungkin diindikasikan dan memerlukan panduan ahli
otolaringologi pediatrik adalah sebagai berikut:5

Laringoskopi langsung, jika anak tidak dalam keadaan tertekan akut


Laringoskopi serat optik
Bronkoskopi (untuk kasus croup rekuren dan menyingkirkan gangguan saluran
napas)
Sebuah studi retrospektif menilai faktor-faktor risiko pada anak-anak yang
didiagnosis dengan kelompok kambuhan berulang, yang akan memprediksi temuan
moderat/berat pada laringoskopi dan bronkoskopi langsung dan kebutuhan untuk
intervensi operasi lebih lanjut.5

Diagnosis Banding
Bakterial trakheitis adalah infeksi bakteri akut di jalan nafas atas, tidak ke epiglotis,
tetapi seperti epiglotitis dan croup, dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas yang
mengancam nyawa. Staphylococcus aureus adalah bakteri yang sering ada. Bakteri lain
Moraxella catarrhalis, non-typable H. influenza, dan bakteri anaerobik. Penyakit ini sering
pada anak < 3 tahun, tidak menutup kemungkinan pada anak berusia 5-7 tahun. Tingkat
keparahan penyakit tidak dilihat dari jenis kelamin. Gejala kliniknya batuk brassy, demam
tinggi dan distress pernapasan bisa terjadi sesaat atau beberapa hari setelah terserang
penyakit. Lemas, tidak drooling, tidak nyeri telan. Mukosa membengkak hingga cricoid,
sekresi purulen, dan kadang ada pseudomembran.7,a
Benda asing merupakan gejala yang tiba-tiba pada obstruksi jalan nafas, sering pada
anak 6 bulan hingga 3 tahun. gejalanya seperti tersedak, batuk-baatuk, dan sering tanpa
adanya tanda infeksi, tapi ada kemungkinan anak yang sudah mengalami infeksi baru
tersedak oleh benda asing.7,a
Epiglotitis akut merupakan infeksi yang sering disebabkan oleh Haemophilus
influenza tipe B yang menyerang epiglottis dan struktur supraglotis yang berakibat
obstruksi saluran nafas akut. Penyebab lainnya adalah S. aureus, S. pneumonia, C.
albicans, virus, dan trauma. Sering pada anak berusia 2-7 tahun dengan puncak usia 3,5
tahun. Gejalanya ditandai dengan demam tinggi mendadak dan berat, nyeri tenggorok,
sesak nafas, diikuti dengan gejala obstruksi saluran nafas yang progresif. Pada anak yang
lebih besar biasanya didahului dengan nyeri tenggorok dan disfagia, pasien lebih menyukai

8
posisi duduk, badan membungkuk ke depan dengan mulut terbuka dan leher ekstensi
(sniffing position). Gambaran foto rontgen lateral akan memperlihatkan penebalan dan
penonjolan epiglottis (tumb sign) dan pembengkakan lipatan ariepiglotik Pada anak kecil,
keadaan umum awalnya baik, kemudian anak terbangun di malam hari dengan panas
tinggi, afonia, lidah terjulur disertai gawat napas sedang hingga berat, dan stridor saat
inspirasi.8,a
Jika anak menderita epiglotitis, pemeriksaan menggunakan spatel lidah harus
dihindari karena akan menimbulkan refleks laringospasme dan obstruksi total akut, aspirasi
sekret, serta henti jantung. Tidak boleh tidur terlentang, akan mengalami agitasi dan terjadi
perubahan posisi epiglotis akibat gravitasi.8,a
Pertusis atau yang lebih dikenal orang awam sebagai batuk rejan atau batuk 100
hari merupakan salah satu penyakit menular saluran pernapasan. Penyebab tersering dari
pertussis adalah kuman Gram negatif Bordetella pertusis. Masa inkubasi pertusis 6-20 hari,
rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit ini berlangsung antara 6-8 minggu atau
lebih. Perjalanan klinis penyakit ini dapat berlangsung dalam 3 stadium, yaitu stadium
kataralis 1-2 minggu (gejala infeksi saluran nafas bagian atas yaitu timbulnya rhinore
dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan dan
panas tidak begitu tinggi), stadium akut paroksismal 2-4 minggu (frekuensi dan derajat
batuk bertambah, khas terdapat pengulangan 5-10 kali batuk kuat selama ekspirasi yang
diikuti oleh usaha inspirasi masif yang mendadak dan menimbulkan bunyi melengking/
whooping, muntah sesudah batuk, dan selama serangan muka merah dan sianosis, mata
menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi dan distensi vena leher bahkan sampai terjadi
ptekia di wajah), dan stadium konvalesens 1-2 minggu (Stadium penyembuhan ditandai
dengan berhentinya whoop dan muntah dengan puncak serangan paroksismal yang
berangsur-angsur menurun. Batuk biasanya masih menetap untuk beberapa waktu dan akan
menghilang sekitar 2-3 minggu). Manifestasi klinis tergantung dari etiologi spesifik, umur
dan status imunisasi. Gejala pada anak yang berumur kurang dari 2 tahun yaitu batuk
paroksismal, whoop, emesis, dispne dan kejang. Pada anak yang lebih besar manifestasi
klinis tersebut lebih ringan dan lama sakit lebih pendek, kejang jarang pada anak lebih dar
2 tahun. Demam lebih dari 38,4C jarang pada semua golongan umur. Penyakit yang
disebabkan B. parapertusis atau B. bronkiseptika lebih ringan daripada B. pertusis dan
lama sakit lebih pendek.b

9
Tatalaksana
Tatalaksana yang utama bagi pasien croup adalah mengatasi obstruksi jalan napas.
Sebagian besar pasien croup tidak perlu dirawat di rumah sakit, melainkan cukup dirawat
di rumah. Pasien dirawat di rumah sakit bisa dijumpai salah satu dari gejala-gejala berikut:1
- Anak berusia kurang dari 6 bulan
- Terdengar stridor progresif
- Stridor terdengar ketika sedang beristirahat
- Terdapat gejala gawat napas
- Hipoksemia
- Gelisah
- Sianosis
- Gangguan kesadaran
- Demam tinggi
- Anak tampak toksik
- Tidak ada respons terhadap terapi
Penatalaksanaan croup pada pasien dapat kita lihat dalam algoritma penatalaksanaan
sindrom croup dapat dilihat pada gambar 1.
Terapi inhalasi digunakan untuk mengatasi obstruksi jalan napas pada sindrom
croup. Pemakaian uap dingin lebih baik daripada uap panas, karena kulit akan melepuh
akibat paparan uap panas. Uap dingin akan melembabkan saluran pernapasan,
meringankan inflamasi, mengencerkan lendir pada saluran napas, sekaligus memberikan
efek yang nyaman dan menenangkan bagi anak.1
Sindrom croup biasanya cukup diatasi dengan terapi uap saja, tetapi kadang-kadang
membutuhkan farmakoterapi. Nebulalisasi epinefrin telah digunakan untuk mengatasi
sindrom croup selama hampir 30 tahun, dan pengobatan dengan epinefrin ini menyebabkan
trakeostomi hampir tidak diperlukan.1
Nebulisasi epinefrin sebaiknya juga diberikan kepada anak dengan sindrom croup
sedang-berat yang disertai dengan stridor saat istirahat dan membutuhkan intubasi, serta
kepada anak dengan retraksi sdan stridor yang tidak mengalami perbaikan setelah
diberikan terapi uap dingin. Terapi ini akan menurunkan permeabilitas vaskular epitel
bronkus dan trakea, memperbaiki edema mukosa laring, dan meningkatkan laju udara
pernapasan. Efek terapi nebulisasi epinefrin ini akan timbul dalam waktu 30 menit dan
bertahan selama 2 jam.1
Epinefrin yang dapat digunakan antara lain sebagai berikut:

10
1. Racemic epinephrine (campuran 1:1 isomer d dan 1 epinefrin); dengan dosis
0,5ml larutan racemic epinephrine 2,25% yang telah dilarutkan dalam 3 ml salin
normal. larutan tersebut diberikan melalui nebulizer selama 20 menit. Merupakan
pilihan utama, efek terapinya lebih besar dan mempunyai efek terhadap
kardiovaskuler seperti tatikardi dan hipertensi.
2. L-epinephrine 1:1000 sebanyak 5ml, diberikan melalui nebulizer. Efek terapi
terjadi dalam 2 jam.
Pemberian kortikosteroid akan mengurangi edema pada mukosa laring melalui
mekanisme antiradang. Uji klinik menunjukkan adanya perbaikan pada pasien
laringotrakeitis ringan-sedang yang diobati dengan steroid oral atau parenteral
dibandingkan dengan plasebo.1
Deksametason diberikan dengan dosis 0,6ml/KgBB peroral/intramuskular sebanyak
1 kali, dan dapat diulang dalam 6-24 jam. Efek klinis akan tampak 2-3 jam setelah
pengobatan, efek kostikosteroid sistemik terjadi dalam 1 jam. Keuntungan pemakaian
kortikosteroid adalah sebagai berikut:
Mengurangi rata-rata tindakan intubasi
Mengurangi rata-rata lama rawat inap
Menurunkan hari perawatan dan derajat penyakit
Selain deksametason, dapat juga diberikan prednisone atau prednisolon dengan dosis
1-2mg/KgBB.
Nebulisasi budesonid lebih bermanfaat pada paisen dengan muntah dan gawat napas
yang hebat. Larutan 2-4mg budesonid (2ml) diberikan melalui nebulizer dan dapat diulang
pada 12 dan 48 jam pertama. Efek terapi terjadi dalam 30 menit. Budesonid dan epinefrin
dapat digunakan secara bersamaan. Sebagian besar kasus pemakaian budesonid tidak lebih
baik daripada deksametason oral.1
Kortikosteroid tidak diberikan pada anak dengan varisela dan TB (kecuali pada anak
yang sedang mendapat OAT). Pemakaian kostikostreoid jangka waktu lama
(1mg/KgBB/hari selama delapan hari) dapat meningkatkan infeksi Candida albicans.1
Intubasi endotrakeal dilakukan pada pasien sindrom croup yang berat, yang tidak
responsif terhadap terapi lain. Intubasi endotrakeal merupakan terapi alternatif selain
trakeostomi untuk mengatasi obstruksi jalan napas. Indikasi dilakukan intubasi adalah
adanya hiperkarbia dan ancaman gagal napas. Selain itu, intubasi dilakukan jika terdapat
peningkatan stridor, peningkatan frekuensi napas, peningkatan frekuensi nadi, retraksi

11
Croup

Diagnosis banding
Obstruksi jalan napas yg - aspirasi benda asing
mengancam nyawa - abnormalitas kongenital
- sianosis - epiglotitis
- penurunan kesadaran
- O2 100% dengan sungkup muka dan nebulisasi
adrenalin 5ml (1:1000)
Tidak Ya - intubasi anak sesegera mungkin
- hubungi pusat rujukan pelayanan kesehatan anak

Ya
croup derajat ringan croup derajat sedang croup derajat berat
- batuk menggonggong - stridor saat istirahat - stridor menetap saat istirahat
- tanpa retraksi dada - terdapat retraksi - Tracheal tug dan retraksi dinding
- tanpa sianosis dinding dada minimal dada terlihat jelas
- mampu berinteraksi - apatis dan gelisah
- pulsus paradoksus

-edukasi orangtua kortikosteroid deksametason - minimal handling


- pertimbangkan kortikosteroid 0,15-0,3mg/Kg atau prednison - O2 4lpm dan nebulisasi adrenalin dan
dosis tunggal (oral) 1-2mg/Kg (oral) atau nebulisasi kortikosteroid sistemik
- periksa kemampuan orangtua budesonid 2mg jika kortikosteroid (dosis sama dengan croup derajat sedang)
dan kemampuan dalam oral tidak berpengaruh - intubasi
menyediakan transport
DIPULANGKAN OBSERVASI > 4 jam

Tidak membaik
Membaik - evaluasi ulang
- dipulangkan bila tidak ada Perbaikan - Rawat
stridor saat istirahat - Hubungi konsulen
- edukasi orangtua - Evaluasi diagnosis

- rawat/observasi di IGD - nebulisasi adrenalin (dosis sama)


- ulangi pemberian kortikosteroid dan kortikosteroid sistemik (dosis sama)
oral/12jam Sebagian - persiapkan pelayanan untuk tindakan darurat
- edukasi orangtua - pertimbangkan intubasi
- sediakan penjelasan tertulis untuk
dokter umum yang akan follow up

Gambar 1 Algoritma Penatalaksanaan Sindrom Croup1

12
dinding dada, sianosis, letargi, atau penurunan kesadaran. Intubasi hanya dibutuhkan untuk
jangka waktu yang singkat, yaitu hingga edema laring hilang/teratasi.1
Kombinasi oksigen dan helium (Heliox) digunakan oleh beberapa sentra untuk
mengatasi sindrom croup. Helium bersifat inert, tidak beracun, serta mempunyai densitas
dan viskositas yang rendah. Hal ini sangat membantu mengurangi obstruksi jalan napas,
yaitu dengan meningkatkan aliran gas dan mengurangi kerja otot-otot respiratori. Bila
helium dikombinasikan dengan oksigen maka oksigenasi darah akan meningkat.1
Dengan terapi oksigen-helium ini, pasien berat akan merasa nyaman dan
kemungkinan besar tidak memerlukan tindakan intubasi. Efek klinis pemberian kombinasi
oksigen-helium hampir sama dengan pemberian nebulisasi epinefrin.1
Antibiotik tidak diperlukan kecuali pada pasien dengan laringotrakeobronkitis atau
laringotrakeopneumonitis yang disertai infeksi bakteri. Pasien diberikan terapi empiris
sambil menunggu hasil kultur. Terapi awal dapat menggunakan sefalosporin generasi ke-2
dan ke-3. Pemberian sedatif dan dekongestan oral tidak dianjurkan pada pasien dengan
sindrom croup.1

Komplikasi
Secara umum, lama perawatan dan angka kematian dari obstruksi jalan napas atas
akan meningkat sesuai dengan seberapa banyak yang terinfeksi, kecuali epiglotitis, dimana
hanya lokal infeksi tetap menyebabkan hal yang fatal. Pada 15% kasus dilaporkan terjadi
komplikasi, misalnya otoitis media, dehidrasi, dan pneumonia (jarang terjadi).a Sebagian
kecil memerlukan tindakan intubasi. Gagal jantung dan gagal napas dapat terjadi pada
pasien yang perawatan dan pengobatannya tidak adekuat. Penyebab kematian tersering dari
croup adalah laryngeal obstruksi atau komplikasi dari tracheotomy. 1,5,7

Prognosis
Sindrom croup merupakan penyakit yang bersifat self-limited dengan prognosis yang
baik, pemulihan hampir selalu lengkap. Mayoritas pasien dapat dikelola dengan sukses
sebagai pasien rawat jalan, tanpa memerlukan perawatan di rawat inap. Tingkat rawat inap
sangat bervariasi di kalangan masyarakat, berkisar antara 1,5-30% dan rata-rata 2-5%.1,5

13
Pencegahan
Pencegahan terhadap croup bisa dilakukan sebagai berikut:3,9,10
1. Memberikan vaksin Haemophillus influenza (Hib), difteri, campak pada anak-
anak
2. Menghindari orang-orang yang menderita infeksi saluran napas
3. Mengajarkan cara etika batuk atau pilek pada anak
4. Menghindari asap rokok yang dapat menyebabkan iritasi pada laring
5. Menjaga kebersihan tangan dan badan
6. Menjaga agar tidak menggunakan suara secara berlebihan seperti berteriak dan
menangis

Kesimpulan
Croup merupakan infeksi yang paling umum terjadi pada saluran respiratori tengah
(laring, trakea, bronkus) yang onsetnya tiba-tiba dan berlangsung kurang dari 3 minggu.
Penyakit ini sering terjadi pada anak 3 bulan- 6 tahun, biasanya dapat sembuh sendiri,
namun penyakit ini juga dapat menimbulkan obstruksi saluran napas yang cenderung berat
bahkan berakibat fatal. Penyebab terseringnya adalah infeksi virus influenza,
parainfluenza, infeksi virus lain. Gejala klinis croup adalah batuk kasar yang
dideskripsikan seperti menggonggong (barking cough), suara serak, stridor inspirasi,
demam ringan, dan gangguan pernapasan yang dapat timbul secara lambat atau cepat. Oleh
karena itu, pencegahan dan penatalaksanaan yang tepat dan cepat sangat dibutuhkan.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku ajar respirologi anak. Edisi
pertama. cetakan ke-3. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2012. h.320-8
2. World Health Organization. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit.
Pedoman bagi rumah sakit rujukan tingkat pertama di Kabupaten/Kota. Cetakan ke-
1. Jakarta: World Health Organization; 2009. h. 104-5
3. Administrator. Croup (laringotrakeobronkitis). [serial online] 7 November 2012.
Didapatkan dari URL: https://bukusakudokter.org/2012/11/07/croup-
laringotrakeobronkitis/. Diakses pada tanggal 31 Juli 2017.
4. Yanagtjik K, Dadiyanti DW. Croup (laringotrakeobronkitis akut). Dalam: Rahajoe
NN, Supriyatno B, Setryanto DB. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010. h. 282-90
5. Defensi GL. Croup. [serial online] 27 September 2016. Didapatkan dari URL:
http://emedicine.medscape.com/article/962972-overview. Diakses pada tanggal 31
Juli 2017
6. Shah RK. Acute larungitis. [serial online] 11 Agustus 2014. Didapat dari URL:
http://emedicine.medscape.com/article/864671. Diakses pada tanggal 1 Agustus
2017
7. Roosevelt GE. Acute inflammatory upper airway obstruction (croup, epiglotitis,
laryngitis, and bacterial tracheitis). P. 1762-6
8. Yangtjik K, Arifin F. Epiglotitis. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setryanto DB.
Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2010. h. 316-20
9. NN. Laryngitis. [serial online] 11 Oktober 2012. Didapat dari URL:
http://nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001385.htm. Diakses pada tanggal 1
Agustus 2017
10. Feierabend RH, Shahram MN. Hoarseness in adults. Am Fam Physician. 2009 Aug
15;80(4):363-70. Dalam: Shah RK. Laryngitis [serial online] 8 September 2012.
Didapat dari URL:
http://www.emedicinehealth.com/script/main/art.asp?articlekey=58797&pf=3
&page=11.Diakses pada tanggal 1 Agustus 2017
a. nelson

15
b. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Pertusis. Dalam: Buku ajar
infeksi&pediatritropis. Edisi ke-2. Jakarta:IkatanDokterAnak Indonesia; 2008.
h.331-7.

16

Anda mungkin juga menyukai