Oleh :
NPM : 16020124
Grup : K4
Mata penonton sudah ditutup sebelum masuk ruang pentas. Mereka kemudian
dituntun saat masuk ruangan menuju tempat duduk yang berada di tengah panggung.
Sehingga, para penonton hanya bisa mendengar dan mengalami teater melalui indera
yang lain.
Margi Wuta, saya tawarkan sebagai karya teater dimana pada akhirnya para
pemain difabel netralah yang dapat melihat. Kegelapan yang menjadi pintu utama
memasuki pengalaman peristiwa teater ini, adalah dunia sehari-hari mereka.
Kemampuan mereka merasakan, mengenali, dan mengalami ruang sangat unggul.
Mereka saya anggap sebagai salah satu (atau mungkin satu-satunya) pihak yang dapat
membantu kita menegaskan teater ini sebagai pengalaman mengalami kini disini, dan
bukan melulu menonton. Sampai di isni saya berpikir, bagaimana jika pengalaman
mengalami itu termasuk pengalaman digelapkan secara audit lewat kemunculan
deru pesawat, dimana kita kehilangan akses mendengarkan. Padanannya, bayangkan
jika kita sendiri yang mengalami mati lampu pada tengah malam. Selebihnya, Margi
Wuta yang dialami sekarang tetap bersandar pada aspek-aspek awal desain yakni
sentuhan kaki dan tangan serta suara.
PEMBAHASAN
Beberapa saat setelah duduk, penonton langsung disambut dengan bunyian dan
rintikan air, suara seperti persidangan Jessica yang sedang ramai di televisi, kaleng
terjatuh, suara kerencengan dan suara pesawat yang seolah melintas di atas kepala.
Suara Pria A : Tidak bisa Har, nonton ketoprak itu paling enak sambil ngopi. Tapi ini
kopi habis. Aku ngga tau dimana Ratmi menyimpan Kopi. Air putih saja Har, nanti
kalau Ratmi sudah pulang, baru kita ngopi.Seperti itulah dialog pembuka dalam
pementasan Margi Wuta. Namun tidak semua penonton mampu mendengarkan dialog
dengan volume suara yang sama. Hal itu karena, penonton duduk di kursi yang
berbeda. Ada yang sangat dekat kurang dari satu meter dengan pemain ada juga yang
jaraknya lebih dari 1 meter dengan pemain.
Pentas yang disutradarai dan ditulis oleh oleh Joned Suryatmoko ini
menceritakan kehidupan sehari-hari warga di kampung. Mulai dari mendengarkan
ketoprak, urusan kucing yang mencuri makanan, membicarakan kasus Jessica yang
sedang ramai di televisi dan anak-anak muda bermain gitar. Selain itu, ada satu adegan
penonton diberikan martabak yang seolah-olah dibagikan oleh para pemain. Tetapi,
saat sedang menonton saya diberi kue bolu. Mereka juga diajak ikut serta melempar
bola, dengan intruksi yang diberikan pemain. Hal ini dilakukan juga oleh penonton agar
bisa merasakan lebih dekat dengan pemain dan merasakan apa yang dialami pemain.
Sesuai judulnya Margi Wuta yang berarti Jalan Buta dalam bahasa Indonesia,
teater ini ingin mengajak penontonnya menggunakan nalar buta.Penonton juga tidak
saja diajak untuk menonton, namun juga mengalami teater. Karena seluruh pemain
dalam pementasan ini merupakan difabel netra. Selain itu panggung pementasan juga
ditita dengan tiga elemen utama yang penting untuk aktor difabel netra yaitu kain tipis
sebagai penanda dinding, karpet sebagai penanda lantai dan juga suara dari speaker-
speaker kecil di sekat panggung.