Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

TEKSTIL CERDAS

Modified Cotton Fabrics for Improved Ultraviolet Protection Performance


and Reactive Dyeing Property

Disusun Oleh:
Nama : Faza Intani N [16020101]

Ikeu Nur Halimah [16020103]

Rida Nadhira D [16020108]

Tyas Aditya Dewi [16020122]

Kelas : 3K4

Kelompok : 7 (Tujuh)

Dosen : M. Widodo, AT, M.Tech.,P.hD.

Asisten : Maya K.,S.SiT.M.T.

POLITEKNIK STTT BANDUNG


2019
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak
akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita
nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penyusun mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik
itu berupa sehar fisik maupun akal pikiran, sehingga penyusun mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Tekstil Cerdas dengan judul “Modifikasi
Kain Katun untuk Meningkatkan Kinerja Perlindungan Ultraviolet dan Sifat Hasil Pencelupan
Zat Warna Reaktif”.

Penyusun tentu menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penyusun
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat
banyak kesalahan pada makalah ini penyusun mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada M.
Widodo, AT, M.Tech.,P.hD. dan Maya K.,S.SiT.M.T. selaku dosen mata kuliah Tekstil
Cerdas.

Demikian, semoga tugas tekstil cerdas ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Bandung, 05 Maret 2019

Penyusun
Abstrak

Senyawa kationik ammonium kuartener reaktif, [2,3-epoxypropyl-1-methy


imidazole ammonium chloride (EPMI)] telah disintesis dengan 1-methylimidazole dan epoxy
chloropropane untuk meningkatkan sifat pewarnaan kain katun dan kain katun kationik yang
dikombinasikan dengan Fe3+ untuk mendapatkan sifat anti-UV. Fiksasi pewarna (F%) dari
tiga pewarna reaktif ditemukan 84,5-89,7% pada kain katun yang dimodifikasi. Nilai faktor
pelindung ultraviolet (UPF) kain katun yang dimodifikasi meningkat menjadi 137,47 dari 7,57
kain katun yang tidak dimodifikasi. Kekuatan putus dari kain katun yang dimodifikasi tetap
dipertahankan. Rona (h) sampel yang dicelup sebelum dan sesudah modifikasi
menunjukkan sedikit perubahan. UPF dari kain katun yang dimodifikasi menunjukkan daya
tahan yang sangat baik. Setelah 50 kali pencucian, nilai-nilai UPF turun menjadi 12,47%.
Pengamatan mikroskop electron dan pola XRD menunjukkan bahwa serat kapas yang
dimodifikasi dibiarkan hampir tidak rusak oleh modifikasi. Spektrea FTIR menunjukkan
bahwa EPMI dan Fe3+ digabungkan pada serat kapas.

Kata kunci: Kain kapas, Pencelupan, Senyawa kationik ammonium kuarterner, 1-


Methylimidazole, Sifat Anti-UV
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Meskipun kain kapas merupakan salah satu bahan tekstil tertua dan paling banyak
digunakan, sifat kain katun untuk menghalangi sinar ultraviolet (UV) rendah. Selain itu,
pencelupan zat warna reaktif penyerapan warna pada kain kapasnya relatif rendah dan
tingginya salinitas air limbah yang dihasilkan dapat mencemari lingkungan. Untuk
meningkatkan sifat-sifat ini, kain kapas perlu dimodifikasi untuk mendapatkan sifat anti
UV dan sifat bahan hasil pencelupan yang baik.

Untuk mendapatkan kain kapas dengan sifat pelindung UV yang baik, organik dan
anorganik anti UV finishing agent telah digunakan untuk memodifikasi kain kapas.
Pengabsorbsi organik UV terutama berisi derivatif benzotriazole, derivatif antrakuinon,
derivatif monoklorotriazin, pewarna dan ekstrak tanaman. Anorganik UV – pelindung
agent terutama berisi ZnO3 dan TiO2 yang didepositkan pada permukaan kain katun
sebagai lapisan film melalui teknik nano-sol. Modifikasi kationik adalah metode khusus
untuk meningkatkan sifat pencelupan kain kapas. Secara umum, pencelupannya tidak
memerlukan penggunaan garam dan penyerapan zat warna dari gugus kation kain
kapas meningkat dengan baik.

Dalam studi ini, 2,3-epoxypropyl-1-methy imidazol amonium klorida (EPMI) disintesis


dengan 1-methylimidazole dan epoxy chloropropana. EPMI ditransplantasikan pada
kain kapas untuk memperkaya serat kapas dengan kelompok fungsional kationik untuk
meningkatkan sifat hasil pencelupan kain kapas. Salah satu atom N dalam EPMI
memiliki pasangan elektron yang dapat digabungkan dengan Fe3+ untuk membentuk
senyawa kompleks. Kain katun dengan Fe3+ memiliki sifat anti-UV yang sangat baik.
Kain kapas yang dimodifikasi dengan EPMI dan disempurnakan dengan senyawa Fe3+,
tidak hanya memiliki sifat hasil pencelupan yang baik, tetapi juga memiliki sifat anti-UV
yang sangat baik.
2.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana proses modifikasi kain kapas menggunakan 2,3-epoxypropyl-1-methy


imidazol amonium klorida (EPMI) yang disintesis dengan 1-methylimidazole dan epoxy
chloropropane?

2. Bagaimana pengaruh 2,3-epoxypropyl-1-methy imidazol amonium klorida (EPMI)


dalam mendapatkan sifat anti UV dan sifat bahan hasil pencelupan zat warna reaktif
yang baik?

3. Bagaimana hasil uji kain kapas yang dimodifikasi menggunakan alat SEM, XRD dan
FTIR?

2.3. Tujuan

Untuk mengetahui dan memahami pengaruh dari 2,3-epoxypropyl-1-methy imidazol


amonium klorida (EPMI) yang disintesis dengan 1-methylimidazole dan epoxy
chloropropane dalam mendapatkan sifat anti UV dan sifat bahan hasil pencelupan zat
warna reaktif yang baik serta dapat mengevaluasi hasil tersebut menggunakan alat
seperti SEM, XRD dan FTIR.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kain Kapas

Kapas adalah salah satu jenis serat tumbuh-tumbuhan yang banyak


dipergunakan dalam industri tekstil, baik sebagai 100% serat kapas maupun sebagai
campuran serat lainnya. Sebagai bahan campuran serat kapas dapat memperbaiki
kekurangan dari serat lainnya seperti daya tahan panas dan daya serat air, karena
kedua sifat tersebut sangat baik pada serat kapas. Serat kapas terutama tersusun dari
zat selulosa, oleh karena itu sifat kimia dan fisika serat kapas tergantung pada sifat
kimia dan fisika selulosa.

Zat- zat selain selulosa yang terdapat dalam serat kapas harus dihilangkan.
Cara menghilangkannya itu adalah dengan cara pemasakan dalam larutan NaOH.
Semua zat kecuali pigmen dan selulosa akan hilang. Pigmen dihilangkan dengan
proses pengelantangan yang menggunakan zat oksidator seperti NaOCl, CaOCl2 dan
sebagainya.

1. Struktur Serat Kapas


A. Morfologi
 Penampang Melintang

Bentuk penampang serat kapas sangat bervariasi dari pipih sampai bulat tetapi
pada umumnya berbentuk seperti ginjal. Serat kapas dewasa, penampang
lintangnya terdiri dari 6 bagian, yaitu :

a. Kutikula

Merupakan lapisan terluar yang mengandung lilin, pektin dan protein.


Adanya lilin menyebabkan lapisan ini halus, sukar tembus air dan zat
pewarna. Berfungsi melindungi bagian dalam serat.

b. Dinding Primer

Merupakan dinding tipis sel yang asli, terutama terdiri dari selulose tetapi
juga mengandung pektin, protein, dan zat-zat yang mengandung lilin.
Selulose dalam dinding primer berbentuk benang yang sangat halus yang
tidak tersusun sejajar sepanjang serat tetapi membentuk spiral
mengelilingisumbu serat.

c. Lapisan Antara

Merupakan lapisan pertama dari dinding sekunder dan strukturnya sedikit


berbeda dengan dinding primer.

d. Dinding Sekunder

Merupakan lapisan-lapisan selulose, yang merupakan bagian utama serat


kapas. Dinding ini juga merupakan lapisan benang yang halus yang
membentuk spiral mengelilingi sumbu serat. Arah putarannya berubah-
ubah.

e. Dinding Lumen

Dinding lumen lebih tahan terhadap zat kimia tertentu dibanding dinding
sekunder.

f. Lumen

Merupakan ruang kosong di dalam serat. Bentuk dan ukurannya bervariasi


dari serat ke serat lain maupun sepanjang satu serat.

Penampang Melintang Penampang Membujur

Gambar 1. Penampang Serat Kapas

B. Komposisi Kimia
a. Selulosa

Analisis serat kapas menunjukkan bahwa serat kapas terutama tersusun dari
zat selulosa. Derajat polimerisasi selulosa serat kapas kira-kira 10.000 dan
berat molekulnya kira-kira 1.580.000.
b. Pektat

Pektat adalah suatu karbohidrat dengan berat molekul yang tinggi. Struktur
molekulnya seperti struktur molekul selulosa. Pektat terutama tersusun oleh
susunan linier sisa-sisa asam galakturonat dalam garam-garam kalsium dan
besi yang tidak larut.

c. Lilin

Karena adanya lilin, maka akan mengurangi gaya gesekan sehingga kekuatan
benang akan lebih rendah.

d. Zat-zat yang mengandung Protein

Zat-zat protein yang terdapat pada kapas diduga berasal dari sisa-sisa
protoplasma kering yang tinggal dalam lumen setelah selnya mati.

e. Abu

Zat abu terutama terdiri dari garam-garam magnesium, kalsium atau kalium
pospat, sulfat atau khlorida. Garam-garam karbonat merupakan bagian yang
paling besar.

f. Pigmen dan zat lainnya

Komposisi kimia serat kapas mentah tercantum dalam tabel dibawah ini.

Komposisi Kimia Serat Kapas Mentah.

Macam Zat % terhadap berat kering


Selulosa 94
Protein 1,3
Pektat 1,2
Lilin 0,6
Abu 1,2
Pigmen dan zat lainnya 1,7
Kandungan air 8

2. Selulosa

Selulosa merupakan bagian pokok serat kapas, oleh karena itu untuk mengetahui
mekanisme pencelupan serat kapas dengan zat warna direk diperlukan keterangan
mengenai selulosa. Zat-zat selain selulosa yang terdapat dalam serat kapas merupakan
kotoran dan harus dihilangkan karena akan mengganggu proses pencelupan.

Kotoran tersebut dapat dihilangkan dengan proses pemasakan dalam larutan


NaOH, semua kotoran kecuali pigmen dan selulosa akan hilang sehingga persentase
kotoran dalam serat kapas menjadi sangat kecil. Pigmen dapat dihilangkan dengan
proses pengelantangan yang menggunakan oksidator seperti NaOCl, CaOCl2 dan
sebagainya.

a. Struktur Molekul Selulosa

Selulosa adalah sebuah polimer karbohidrat yang mempunyai berat molekul yang
tinggi, selulosa tersusun dari monomer d-glukosa yang dihubungkan satu sama lain
oleh suatu ikatan β – 1 – 4 glikosida, sehingga membentuk suatu rantai yang
sangat panjang. Derajat polimerisasi selulosa serat kapas kira-kira 10.000
sedangkan berat molekulnya kira-kira 1.580.000.

Rumus empiris selulosa yang asli adalah ( C6H12O6 ) n – ( n – 1 ) H2O. tetapi oleh
karena n merupakan bilangan yang sangat besar maka satu dapat diabaikan
terhadap n, sehingga rumus empiris selulosa dapat ditulis menjadi ( C6H10O6 )n.

b. Struktur Fisika Selulosa

Polimer selulosa tersebut kemudian bergabung satu sama lain oleh suatu ikatan
hidrogen diantara gugus-gugus hidroksil, sehingga membentuk zat yang besar
yang menyebabkan serat selulosa dapat terlihat oleh mata. Berdasarkan
penyelidikan dengan menggunakan sinar X oleh Meyer penggabungan rantai-rantai
molekul selulosa tersebut terdiri dari dua bentuk yaitu :

1. Bagian yang Berbentuk Kristalin

Bagian ini terdiri dari gabungan rantai-rantai molekul yang tersusun secara
teratur, yaitu rantai-rantai molekul tersebut sejajar satu sama lain.

2. Bagian yang Berbentuk Amorf

Terdiri dari gabungan rantai-rantai molekul selulosa yang susunannya tidak


beraturan. Bagian yang kristalin tidak dapat dimasuki air atau pereaksi-
pereaksikimia lainnya,sedangkan bagian amorf dapat dimasukinya. Oleh
karena itu kecepatan pencelupan selulosa tergantung dari banyak seduikitnya
selulosa tersebut, mengandung bagian yang amorf.
Selulosa serat kapas mengandung 70 – 80 % bagian yang kristalin dan sisanya
yaitu 20 – 30 % merupakan bagian amorf.

3. Sifat-Sifat Serat Kapas


a. Sifat Fisika
 Warna

Serat kapas berwarna putih kekuning-kuningan.

 Kekuatan

Kekuatan serat kapas cukup tinggi, kekuatan dalam keadaan basah


lebih tinggi daripada kekuatan dalam keadaan kering, sehingga sangat
menguntungkan untuk proses pencelupan, karena pada proses
pencelupan akan ada tarikan-tarikan pada kain kapas tersebut.

 Mulur

Mulur serat kapas 4 – 13%.

 Kandungan Air

Dalam keadaan standart, serat kapas mengandung 7 – 8,5% air


terhadap berat kering.

 Berat Jenis

Berat jenis serat kapas 1,5 – 1,56.

 Indeks Bias

Indeks bias sejajar sumbu serat 1,58.

Indeks bias melintang sumbu serat 1,53.

b. Sifat Kimia
 Oksidasi

Serat kapas dapat teroksidasi membentuk oksiselulosa sehingga


kekuatan serat akan turun.
 Asam

Serat kapas akan terhidrolisa oleh asam membentuk hidroselulosa.


Degradasi serat kapas akan lebih cepat didalam asam kuat dan
pekat.

 Alkali

Serat kapas tahan akan alkali, alkali kuat dengan konsentrasi yang
tinggi hanya akan menggelembungkan serat. Oleh karena itu, alkali
dipergunakan untuk proses merserisasi.

 Jamur dan Bakteri

Dalam kondisi yang lembab dan temperatur yang hangat, jamur dan
bakteri akan menyerang serat kapas.

2.2. Pencelupan

Pencelupan adalah pemberian warna pada bahan secara merata dan


permanen. Metode pemberian warna dilakukan dengan berbagai cara, tergantung dari
jenis zat warna dan serat yang akan diwarnai. Proses pewarnaan secara pencelupan
dianggap sempurna apabila sudah tercapai kondisi kesetimbangan, yaitu zat warna
yang terserap ke dalam bahan mencapai titik maksimum.

1. Migrasi zat warna

Pada tahap ini, zat warna dilarutkan dan diusahakan agar larutan zat warna bergerak
menempel pada bahan. Zat warna dalam larutan mempunyai muatan listrik sehingga
dapat bergerak kian kemari. Gerakan tersebut menimbulkan tekanan osmosis yang
berusaha untuk mencapai keseimbangan konsentrasi, sehingga terjadi difusi dari
bagian larutan dengan konsentrasi tinggi menuju konsentrasi rendah. Bagian dengan
konsentrasi rendah terletak di permukaan serat, yaitu pada kapiler serat. Jadi zat
warna akan bergerak mendekati permukaan serat.

2. Adsorpsi

Peristiwa difusi yang dijelaskan di atas menyebabkan zat warna berkumpul pada
permukaan serat. Daya adsorpsi akan terpusat pada permukaan serat, sehingga zat
warna akan terserap menempel pada bahan.

3. Difusi
Peristiwa ini terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi zat warna di permukaan
serat dengan konsentrasi zat warna di dalam serat. Karena konsentrasi di permukaan
lebih tinggi, maka zat warna akan terserap masuk ke dalam serat.

4. Fiksasi

Fiksasi terjadi karena adanya ikatan antara molekul zat warna dengan serat, yaitu
ikatan antara gugus auksokrom dengan serat.

Gaya-gaya pengikatan pada pencelupan yaitu:

a. Ikatan hidrogen

Ikatan hydrogen merupakan ikatan sekunder yang terjadi karena atom hidrogen pada
gugus hidroksi/amino mengadakan ikatan lemah dengan atom-atom lainnya.

H-O-H H

H-O-H-----O

b. Ikatan elektrovalen

Ikatan elektrovalen adalah ikatan antara zat warna dengan serat yang timbul karena
adanya gaya tarik-menarik antara muatan yang berlawanan. Misalnya ikatan antara
serat dengan gugus anion pada molekul zat warna.

c. Ikatan Van der Waals

Ikatan Van der Waals terjadi apabila antara zat warna dengan serat mempunyai gugus
hidrokarbon yang sesuai sehingga saat pencelupan zat warna cenderung lepas dari
air dan bergabung dengan serat.

d. Ikatan kovalen

Ikatan kovalen terjadi pada pencelupan serat dengan zat warna reaktif, sifatnya paling
kuat dibanding ikatan yang lain.

Zat warna meliputi semua bahan pewarna yang dapat larut dalam air dan
mempunyai daya tarik terhadap serat pada bahan tekstil. Suatu zat dapat berlaku
sebagai zat warna apabila:
1. Zat tersebut mempunyai gugus yang dapat menimbulkan warna (kromofor),
misalnya azo (-N=N-), nitro (-NO2), nitroso (-NO).
2. Zat tersebut mempunyai gugus yang dapat mempunyai afinitas terhadap serat
(auksokrom), misalnya amino (-NH2), hidroksil (-OH-).

Zat warna tekstil harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1. Mempunyai afinitas terhadap serat.


2. Mempunyai kemampuan untuk berdifusi.
3. Mampu menyerap hingga panjang gelombang tertentu secara intensif.
4. Dapat terdispersi dalam pelarut (umumnya air).
5. Stabil dalam serat.

Berdasarkan sifat pemakaian, zat warna digolongkan menjadi:

1. Zat warna subtantif, yaitu zat warna yang larut dalam air dan langsung dapat
mewarnai bahan.
2. Zat warna ajektif, yaitu zat warna yang memerlukan obat bantu untuk dapat
mewarnai bahan.

2.3. 2,3- Epoxypropyl

Ada dua kelompok fungsional dalam molekul GMA, kelompok vinil aktif dan
kelompok epoksi dengan reaksi ionik, dapat dipolimerisasi dalam kelompok fungsional,
dan dapat dipolimerisasi dalam reaksi ionik. Oleh karena itu, dapat digunakan untuk
modifikasi polimer vinil dan polimer polikondensasi.

GMA dapat melakukan intervensi dalam tiga cara:

Salah satu yang terlibat dalam polimerisasi polimerisasi etilen, epoksi terletak di rantai
bercabang, yaitu polimer tipe "O"

Yang lainnya adalah pembelahan epoksida, yang terletak di vinil bercabang, yaitu
polimer tipe "V".

Yang ketiga adalah reaksi senyawa GMA dengan hidrogen aktif, rantai pembuka cincin
pada epoksi. Dengan menggunakan salah satu dari tiga metode tersebut, dalam
polimerisasi, buatlah modifikasi polimer. Dalam pelapisan, karena menambahkan GMA,
dapat memperbaiki kekerasan, gloss, adhesi, dan ketahanan pelapis pelapis, juga dapat
digunakan dalam lapisan akrilik, pelapis resin alkid, resin vinil klorida dan beberapa
lapisan berbasis air.

Agen perekat akrilik, dan kain bukan tenunan dalam penggunaan GMA, dapat
memperbaiki adhesi logam, kaca, semen dan vinil fluorida polos; Bila digunakan untuk
lateks sintetis tanpa tenunan, tanpa mempengaruhi tangan, ketahanan pencucian
meningkat. Untuk pengolahan bahan resin sintetis, dapat memperbaiki injection
molding, pencetakan ekstrusi, dan adhesi logam yang meningkat secara signifikan.
Untuk serat sintetis, bisa meningkatkan kekuatan pencelupan serat dengan pencelupan
yang buruk, memperbaiki kerutan anti keriput, tahan luntur warna dan kemampuan anti
felting. Produk ini dapat meningkatkan sensitivitas resin fotosensitif, larutan dan
ketahanan korosi.

CAS 106-91-2
EINECS 203-441-9
Formula molekul C 7 H 10 O 3
Berat molekul 142.1525
massa jenis 1,095 g / cm 3
titik didih 189 ° C pada 760 mmHg
titik nyala 76,1 ° C
larut dalam air 0,5-1,0 g / 100 mL pada suhu 20 ° C
Tekanan uap 0,582 mmHg pada suhu 25 ° C

Menggunakan

1. Karena molekul tersebut mengandung ikatan rangkap dua karbon - karbon dan dasar
epoksi, ia banyak digunakan dalam sintesis dan modifikasi bahan polimer. Ini digunakan
sebagai pengencer aktif resin epoksi, penstabil vinil klorida, pengubah karet dan resin,
resin penukar ion dan perekat tinta cetak.

2. Ini juga digunakan dalam lapisan bubuk, pelapis thermosetting, agen perawatan
serat, agen perekat dan antistatik. Selain itu, perbaikan perekat dari GMA, ketahanan
air dan ketahanan pelarut pelapis perekat dan non-woven juga signifikan.

3. Dalam elektronik, film ini digunakan untuk melindungi film dari film resist optis, kawat
elektronik, film pelindung dan sinar inframerah jauh. Dalam polimer fungsional, resin
penukar ion, resin pengkelat, dll. Di bidang bahan medis, digunakan untuk bahan
pembekuan darah anti-darah, bahan gigi, dll.

2.4. 1-Methylimidazole

1-Methylimidazole atau N-methylimidazole adalah senyawa organik


heterosiklik aromatik dengan rumus CH3C3H3N2. Ini adalah cairan tidak berwarna yang
digunakan sebagai pelarut khusus, basa, dan sebagai pendahulu beberapa cairan ionik.
Ini adalah heterocycle nitrogen mendasar dan dengan demikian meniru berbagai basa
nukleosida serta histidin dan histamin.

Perpaduan

1-Methylimidazole disiapkan terutama oleh dua rute industri. Yang utama


adalah metilasi imidazol yang dikatalisis oleh asam dengan metanol. Metode kedua
melibatkan reaksi Radziszewski dari glioksal, formaldehida, dan campuran amonia dan
metilamin.

(CHO) 2 + CH2O + CH3NH2 + NH3 → H2C2N (NCH3) CH + 3 H2O

Senyawa ini dapat disintesis pada skala laboratorium dengan metilasi


imidazol pada nitrogen seperti piridin dan deprotonasi selanjutnya. Demikian pula, 1-
methylimidazole dapat disintesis oleh imidazol deprotonasi pertama untuk membentuk
garam natrium diikuti oleh metilasi.

H2C2N (NH) CH + CH3I → [H2C2 (NH) (NCH3) CH] I

H2C2 (NH) (NCH3) CH + NaOH → H2C2N (NCH3) CH + H2O + NaI

Aplikasi

Di laboratorium penelitian, 1-methylimidazole dan turunan terkait telah


digunakan sebagai aspek mimik beragam biomolekul berbasis imidazol.

1-Methylimidazole juga merupakan prekursor untuk sintesis monomer


methylimidazole dari pirol-imidazole poliamida. Polimer-polimer ini secara selektif dapat
mengikat sekuens spesifik dari DNA beruntai ganda dengan menginterkalasi secara
berurutan.
Prekursor cairan ionik

1-Methylimidazole alkylates untuk membentuk garam dialkyl imidazolium.


Bergantung pada agen alkilasi dan counteranion, berbagai cairan ionik dihasilkan,
misalnya: 1-butyl-3-methylimidazolium hexafluorophosphate ("BMIMPF6"):

BASF telah menggunakan 1-methylimidazole sebagai alat untuk


menghilangkan asam selama produksi diethoxyphenylphosphine skala industri. Dalam
pembilasan asam bifasik ini menggunakan proses cairan ionik (BASIL), 1-
methylimidazole bereaksi dengan HCl untuk menghasilkan 1-methylimidazolium
hidroklorida, yang secara spontan terpisah sebagai fase cair terpisah di bawah kondisi
reaksi.

2.5. Zat Warna Reaktif

Zat warna reaktif adalah zat warna yang dapat bereaksi dengan serat selulosa
secara kovalen. Oleh karenanya mempunyai ketahanan luntur yang sangat baik. Zat
warna ini terdiri dari dua jenis yaitu reaktif panas dan reaktif dingin. Reaktif dingin
mempunyai gugus reaktif yang lebih banyak sehingga tidak (kurang) memerlukan suhu
tinggi (jenis triklorotriazin) sedang reaktif panas memerlukan suhu tinggi dalam
penggunaannya. Keunggulan zat warna reaktif dalam pemakaiannya adalah warna
yang dihasilkannya sangat cerah dan mudah sekali penggunaannya

Gambar 2. Struktrur Zat Warna Reaktif Panas Jenis Monoklotriazin (MCT)


Struktur Molekul Zat Warna Reaktif
Struktur zat warna reaktif dibuat sedemikian rupa agar dapat memberikan
sifat zat warna reaktif yang dikehendaki, seperti mempunyai tingkat efisiensi fiksasi
yang tinggi, stabil pada penyimpanannya, mudah pemakaiannya, tahan luntur warnanya
tingi, dan secara teknis maupun ekonomis mudah membuuatnya.

Faktor mendasar yang lazim dipertimbangkan dalam mendisain struktur zat


warna reaktif tertentu adalah sifat primer zat warna reaktif, yaitu kereaktifan,
substantifitas, koefisien difusi dan kelarutannya.

Konsep yang umum dilakukan dalam mendesain struktur zat warna reaktif adalah :
 Mengatur kereaktifan zat warna sedemikian rupa guna memperbesar reaksi fiksasi
dan berusaha memperkecil reaksi hidrolisis. Hal ini penting karena zat warna reaktif
yang terhidrolisa tidak dapat bereaksi dengan serat, sehingga akan menurunkan
tingkat fiksasi zat warna. Kereaktifan juga akan berpengaruh terhadap stabilitas
penyimpanan dan ketahanan luntur warna hasil celupannya.

 Subtantifitas zat warna reaktif biasanya diatur tidak terlalu tinggi, agar zat warnanya
bersifat mudah rata dan untuk memudahkan dalam proses pencucianketika
membuang sisa zat warna yang tidak fiksasi. Substantivitas zat warna reaktif juga
tidak boleh terlalu rendah sebab akan mengurangi jumlah penyerapan zat warna.

 Ketahanan luntur hasil zat warna reaktif terhadap pencucian sangat tergantung pada
kestabilan ikatan antara serat dengan zat warna serta kesempurnaan proses
pencucian dalam membuang zat warna yang tidak fiksasi. Untuk mendapatkan zat
warna reaktif yang sifat – sifatnya sesuai dengan yang diharapkan, dalam mendesain
struktur zat warna reaktif perlu dipilih jenis gugus reaktif yang sesuai, umumnya
digabung dengan kromofor yang substantifitasnya tidak terlalu tinggi dan mempunyai
kelarutan yang optimum.

Pada umumnya zat warna reaktif mempunyai struktur kimia yang terdiri atas gugus-
gugus fungsional dengan fungsi tertentu, yaitu :
 Gugus pelarut
Gugus pelarut menyebabkan zat warna reaktif dapat larut dalam air. Gugus
pelarut ini umumnya ada pada bagian kromofor, yang berupa : Gugus sulfonat (–
SO3H atau –SO3Na) atau gugus karboksilat (–COONa atau –COOH)
Adanya gugus pelarut yang terdapat pada zat warna reaktif tidak hanya
berpengaruh pada kelarutan zat warna reaktif saja, tapi juga berpengaruh terhadap
sifat-sifat yang lain, seperti substantifitas, kereaktifan dan kestabilan ikatan serat dan
zat warna.
Gugus pelarut dapat berpengaruh terhadap substantifitas zat warna.
Kesamaan sifat ion antara gugus hidroksil selulosa dengan gugus pelarut zat warna
menyebabkan terjadinya reaksi tolak menolak, yang berakibat adsorbsi zat warna
terhambat, sehingga substantifitas zat warna menurun.
Kereaktifan zat warna akan meningkat dengan semakin banyaknya gugus
pelarut. Hal ini disebabkan karena gugus tersebut bersifat sebagai penarik elektron,
sehingga berpengaruh terhadap kekuatan ikatan zat warna. Pengaruh gugus pelarut
karboksilat terhadap kereaktifan relatif lebih kecil dibanding gugus pelarut sulfonat.
Oleh karena itu, zat warna reaktif dengan gugus pelarut karboksilat pada umumnya
mempunyai kestabilan terhadap hidrolisa yang lebih tinggi.

 Kromofor
Kromofor merupakan gugus pembawa warna yang menentukan corak dan
kecerahan warna. Kromofor juga berpengaruh terhadap substantifitas dan kooefisien
difusi, kereaktifan, serta kelarutan zat warna. Jenis struktur komofor zat warna reaktif
pada umumnya adalah jenis azo, antrakuinon, dan ftalosianin.
Peningkatan suhu celup dapat menurunkan substantifitas dan menaikkan
kereaktifan zat warna reaktif. Oleh karena itu zat warna reaktif yang kereaktifannya
tinggi pada umumnya mempunyai kromofor yang kecil (substantifitasnya kecil),
sebaliknya zat warna yang kereaktifannya rendah umumnya mempunyai kromofor
yang agak besar (substantifitasnya lebih besar).

 Gugus penghubung
Gugus penghubung adalah gugus yang menghubungkan kromofor dengan
gugus reaktif, misalnya gugus amina (–NH–), sulfoamina (–SO2NH), dan amida (–
CONH–). Gugus penghubung ini berpengaruh juga terhadap kereaktifan zat warna
reaktif karena bersifat sebagai penarik elektron (elektrofilik). Selain itu berpengaruh
juga terhadap kestabilan hasil celup karena ikatan antara serat dengan zat warna
dapat diputus pada bagian ini.

 Gugus reaktilf
Gugus reaktif adalah gugus yang dapat bereaksi dengan serat. Gugus ini
sangat besar pengaruhnya terjadap kereaktifan zat warna, karena mempunyai atom
karbon bermuatan positif yang mencari tempat negatif (elektrofilik), yang akan
bereaksi dengan gugus fungsi serat yang mempunyai sepasang elektron bebas
(nukleofilik).
Gugus reaktif dapat berupa triazin, pirimidin, kinoaksalin, vinilsulfon,
sulfoetilamida atau akrilamida. Pada gugus reaktif terdapat gugus yang mudah
terlepas (gugus lepas). Pada zat warna reaktif, setelah melepaskan gugus lepasnya
akan memiliki ion positif. Ion ini dapat bereaksi secara adisi atau substitusi dengan
gugus negatif yang memiliki elektron bebas. Gugus lepas ini dapat berupa gugus
flour, klor, brom, atau sulfat.

Golongan Zat Warna Reaktif


Zat warna reaktif dapat dikelompokkan menjadi beberapa golongan, yaitu :
1. Berdasarkan reaksi
Berdasarkan reaksi yang terjadi, zat warna reaktif dapat dibagi menjadi dua
golongan, yaitu :
a. Golongan I (satu)
Zat warna reaktif golongan 1 yaitu zat warna reaktif yang dapat
mengadakan reaksi adisi nukleofilik dengan serat selulosa dan membentuk ikatan
eter dengan gugus vinil sulfon. Ikatan ini biasanya tahan terhadap kondisi asam,
tetapi kurang tahan terhadap kondisi alkali. Salah satu zat warna reaktif yang
mengadakan reaksi ini yaitu dari golongan vinil sulfon. Reaksi fiksasi yang terjadi
antara zat warna dengan serat adalah sebagai berikut;
D-SO2-CH2-CH2-O-SO3Na + NaOH → D-SO2-CH=CH2 + Na2SO4 + H2O
D-SO2-CH=CH2 + Sel-OH → D-SO2-CH2-CH2-O-Sel

b. Golongan II (dua)
Zat warna reaktif golongan 2Yaitu zat warna reaktif yang dapat
mengadakan reaksi substitusi nukleofilik dengan selulosa membentuk ikatan
pseudo-ester. Ikatan ini biasanya tahan terhadap kondisi alkali, tetapi kurang
tahan terhadap kondisi asam. Contoh zat warna reaktif yang mengadakan reaksi
ini yaitu zat warna reaktif dengan gugus triazin.

2. Berdasarkan cara pemakaian


Berdasarkan cara pemakaiannya, zat warna reaktif digolongkan menjadi dua
golongan, yaitu :
a. Zat warna reaktif dingin
Yaitu zat warna reaktif yang mempunyai kereaktifan tinggi, dicelup pada suhu
rendah. Misalnya procion M, dengan sistem reaktif dikloro triazin.
b. Zat warna reaktif panas
Yaitu zat warna reaktif yang mempunyai kereaktifan rendah, dicelup pada suhu
tinggi. Misalnya Procion H, Cibacron dengan sistem reaktif mono kloro triazin,
Remazol dengan sistem reaktif vinil sulfon. Di dalam air, zat warna reaktif dapat
terhidrolisa, sehingga sifat reaktifnya hilang dan hal ini menyebabkan penurunan
tahan cucinya. Hidrolisa tersebut menurut reaksi sebagai berikut :
HCl-D D – OH + HCl

Zat Warna Reaktif Dingin


Reaktif dingin mempunyai gugus reaktif yang lebih banyak sehingga kurang
memerlukan suhu tinggi (jenis triklorotriazin) sedang reaktif panasmemerlukan suhu
tinggi dalam penggunaannya.Proses fiksasi zat warna ini berlangsung dengan bantuan
alkali, untukitu dipilih medium pengental yang tahan terhadap alkali.termasuk zat warna
reaktif dingin adalah Procion M dengan system reaktif diklorotriazin (DCT) dfan
drimarene K engan system reaktif dyfluoro-monokhlro-pirimidin. Keduannya termasuk
zat warna raktif yang zat warna zat warna reaktif bereaksi dengan serat melalui
mekanisme substitusi nukleofilik.

Kereaktifan zat warna reaktif dingin sangat tinggi sehingga proses


pencelupannya dapat dilakukan pada suhu 30oC – 40OC. Oleh karena itu kromogen zat
warna reaktif dingin relative kecil sehingga warnannya lebih cerah dari zat warna reaktif
panas.

Hal yang sangat perlu dilakukan diperhatikan dalam proses pencelupannya


adalah zat warnanya sangat kurang stabil, sangat mudah rusak terhidrolisis, sehingga
perlu dilakukan usaha-usaha guna menguirangi terjadinnya reaksi hidrolisis.

Salah satu cara engurangi terjainya hidrolisis zat warna reaktif dingin adalah
pada proses persiapan larutan celup, persiapan larutan alkali an zat warna dipisah pada
tangki yang berbeda, dari resep pencelupan biasanya dibuat dengan perbandigan 4 : 1
dan keduannya baru dicampurkan sesaat ketika hendak dipakai.

Dibanding dengan zat warna reaktif panas, karena lebih reaktif maka
pemakaiannya alkali untuk zat warna reaktif dingin lebih sedikit (hamper setengahnya
dari jumlah alkali untuk zat warna reaktif panas ), selain itu kecerahan zat warna reaktif
dingin lbih cerah darui zat warna reaktif panas karena kromogennya (D) lebih kecil dari
kromogen zat warna reaktif panas

Zat Warna Reaktif Panas


Zat warna reakrif yang mempunyai kereaktifan rendah, dicelup pada suhu
tingi. Misalnya procion h, cibacron dengan sistem reaktif mon kloro triazin, remazol
dengan sistem reaktif vinil sulfon. Didalam air, zat warna reaktif dapat terhdidrolisa,
sehingga sifat reaktifnya hilang dan hal ini menyebabkan penurunan tahan cucinya.
Hidrolisa tersebut menurut reaksi sebagai berikut:
D - Cl + H2O → D – OH + HCl

Jenis zat warna ini merupakan jenis zat warna reaktif yang bereaksi dengan
serat melalui mekanisme adisi nukleofilik. Dilihat dari reaksinya, zat warna ini cocok
untuk dicelup dengan metoda pre pad alkali dan metoda all in yang pemasukan
alkalinya didepan. Kelebihan zat warna vinil sulfon adalah relatif lebih tahan laklai, tetapi
kelemahannya adalah hasil celupnya mudah rusak oleh pengerjaan dalam suasana
alkali, contohnya apabila hasil celupnya dilakukan proses pencucian dengan sabun
dalam suasana alkali dengan suhu yang terlalu panas maka ketuaan warnanya akan
sedikit turun lagi.
BAB III

METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
- Properti Pelindung UV
- SEM
- X-ray
- Padder
- Mesin curing
-
3.1.2 Bahan
- Kain kapas
- Zat Warna reaktif (C.I. Reactive Red 195, C.I. Reactive Yellow 145
and C.I. Reactive Blue 194)
- 2, 3-epoxypropyl-1-methy imidazole (EPMI)
- 1-methylimidazole
- ammonium chloride (EPMI)
- Natrium Karbonat
- Epoksi kloropropana
- Natrium Sulfat
- Peregal-O
- ferric trichloride hexahydrate (Besi (III) klorida heksahidrat)
- FeCl3

3.2 Cara Kerja


1. Sintesis EPMI dan Modifikasi Kain Katun
- Siapkan erlenmeyer
- Kemudian tambahkan Epoxy chloropropane 4.5mL, 1-methylimidazole
4.5mL, and aquades 40 mL
- Erlenmeyer yang sudah diisi dengan zat-zat tersebut kemudian di aduk
menggunakan magnetic stirrer dengan suhu 50 ℃ selama 30 menit.
- Setelah 30 menit, larutan tersebut akan berwarna transparan
- Setelah itu sampel kapas di rendam dengan konsentrasi 1, 2, 4, 6, 8, 10
and 12% larutan 2,3-epoxypropyl-1-methy imidazole ammonium
chloride(EPMI) (larutan yang sudah di buat tadi), dengan suhu 45 ℃ selama
20 menit.
- Kemudian kain tersebut di curing dengan suhu 80, 90, 100, 110 and 120 ℃
dengan waktunya 30 menit
- Setelah itu di cuci dengan air dingin (suhu kamar) kemudian dikeringkan
dengan suhu 100 ℃

2. Prosedur Pencelupan
- Kain yang sudah di modifikasi dilakukan proses pencelupan dengan
konsentrasi zat warna sebanyak 2% OWF
- setelah 30 menit masukkan natrium karbonat sebanyak 10g/L untuk rposes
fiksasi
- untuk pencelupan kain yang tidak di modifikasi dilakukan proses pencelupan
yang sama namun digunakan natrium sulfat sebanyak 60 g/L
- setelah itu dilakukan proses pencucian dingin, panas, dan dingin lagi
- jangan lupa dilakukan pencucian sabun dengan menggunakan 2 g/L natrium
karbonat dan 1 g/L Peregal O dengan suhu 90 ℃ dan waktunya 20 menit
dengan vlot 1:50
- kemudian dikeringkan
- dilakukan evaluasi

3.3 Diagram Alir

Persiapan bahan

Proses Sintesis EPMI dan Modifikasi Kain


Katun
Proses pencelupan

Pencucian
X-Ray Difraction

SEM
Pengeringan Parameter Warna
Luntur Warna

Evaluasi kain
Kekuatan Tarik

FTIR
3.4 Resep
1. Sintesis EPMI dan Modifikasi Kain Katun
- Epoxy chloropropane : 4,5 mL
- 1-methylimidazole : 4,5 mL
- Aquades : 40 mL
- Waktu : 30 menit
- Suhu : 50 ℃
- 2,3-epoxypropyl-1-methy imidazole ammonium chloride(EPMI)
1, 2, 4, 6, 8, 10 and 12% (o.w.bath)
- Vlot : 20 : 1
- Waktu : 20 menit
- Suhu : 45 ℃
- WPU : 100%
- Waktu curing : 30 menit
- Suhu curing : 80, 90, 100, 110 and 120 oC

2. Proses Pencelupan
- Zat Warna : 2% OWF
- Natrium Karbonat : 10 g/L
- Natrium sulfat : 60 g/L
- Vlot : 1:50
- Suhu pencelupan :60 ℃
- Waktu pencelupan : 45 menit

3. Proses pencucian
- Natrium karbonat : 2 g/L
- Peregal O : 1 g/L
- Suhu : 90 ℃
- Waktu : 20 menit
BAB IV

ANALISA

4.1. Hasil dan Diskusi

4.1.1. Kondisi optimum untuk mempersiapkan kain katun yang dimodifikasi

Untuk mengoptimalkan kondisi persiapan, konsentrasi EPMI, suhu


pembakaran dan konsentrasi FeCl3 dilakukan proses pengecekkan terlebih
dahulu. Kondisi yang optimal ditentukan berdasarkan presentase penyerapan zat
warna (E%) dan nilai-nilai UPF yang dimodifikasi pada kain katun. Zat warna C.I.
Red Reaktif 195 dipilih untuk mewarnai kain katun yang dimodifikasi secara
perbedaan kondisi persiapan.

4.1.1.1. Optimalisasi Konsentrasi EPMI

Gambar 10 menunjukkan hubungan antara konsentrasi EPMI


dan E% dari C.I. Red Reactif 195. Temperature pembakaran disetting
110˚C dan waktu baking selama 30 menit. Diamati bahwa E%

Gambar 10. Efek dari (a) Konsentrasi EPMI, (b) Suhu Baking, (c)
Konsentrasi FeCl3 dalam penyerapan zat warna (%E), dan (d) Efek dari
Konsentrasi FeCl3 dalam nila UPF
Secara bertahap dengan meningkatnya konsentrasi EPMI.
Namun saat konsentrasi EPMI meningkat dari 10% menjadi 12%, E%
tidak meningkat jelas. Hal ini dikarenakan sebagian besar situs reaktif
pada kain katun beraksi pada EPMI 10%, maka EPMI terus meningkat
secara bertahap. Dengan meningkatnya dosis konsentrasi EPMI, E%
tidak meningkat. Oleh karena itu EPMI 10% digunakan dalam percobaan
lebih lanjut.

4.1.1.2. Optimalisasi Suhu Pemanggangan

Gambar 10 (b) menunjukkan hubugan antara suhu baking dan


E%. Konsentrasi EPMI 30% dan waktu pemanggangan 30 menit. Dengan
peningkatan suhu baking hingga 100˚C, E% ditingkatkan. Namun ketika
suhu diatas 100˚C, E% hanya mengalami sedikit peningkatan dalam
suhu. Dapat disimpulkan bahwa suhu finishing lebih tinggi, tidak hanya
membutuhkan banyak sumber energi, tetapi juga merusak sifat mekanik
serat kapas. Oleh karena itu 100˚C dipilih sebagai suhu optimum dalam
pemeriksaan lebih lanjut.

4.1.1.3. Optimalisasi Konsentrasi FeCl3

Gambar 10 (c) dan (d) menunjukkan efek konsentrasi FeCl3


pada nilai E% dan UPF dari kain kapas yang dimodifikasi dengan EPMI
dan FeCl3. Konsentrasi EPMI dijaga 10% dan suhu baking 100˚C. itu bisa
dilihat dari gambar 10 (c) bahwa E% meningkat dari 85,75% menjadi
91,05% dengan peningkatan konsentrasi FeCl3. Hal ini jelas bahwa
penyerapan Fe3+ meningkat muatan positif, dan kemudian sampel E%
meningkat sedikit. Dari gambar 10 (d) saat kain katun diobati dengan
EPMI, nilai kapas UPF kain adalah 11,62, nilai UPF dari kapas yang tidak
dimodifikasi adalah 7,57. Dengan demikian, EPMI hanya memiliki sedikit
efek pada peningkatan sifat pelindung UV kain kapas. Setelah kain katun
ditambahkan FeCl3, sifat anti-UV sampel sangat meningkat. Ketika
konsentrasi FeCl3 meningkat dari 0,01% menjadi 0,1%, nilai-nilai UPF
pada kain katun dimodifikasi meningkat dari 63,66 menjadi 149,25. Hal ini
menunjukkan bahwa Fe3+ dapat memberikan sifat anti-UV pada kain
kapas yang sangat baik. Gambar 10 (d) menunjukkan bahwa konsentrasi
FeCl3 meningkat dari 0,06% hingga 0,1%, nilai UPF pada sampel yang
diuji menjadi sedikit meningkat. Oleh karena itu 0,06% dipilih FeCl3
sebagai konsentrasi optimal. Tergantung pada penentuan diatas, kondisi
optimal untuk mempersiapkan kain kapas yang dimodifikasi dengan
konsentrasi EPMI 10%, suhu baking 100˚C dan konsentrasi FeCl3 0,06%.

4.1.2. SEM Kain Katun Tidak Dimodifikasi dan Dimodifikasi

Gambar 11 menunjukkan gambar SEM dari serat kapas yang tidak


dimodifikasi, serat kapas dimodifikasi dengan 10% EPMI, dan serat kapas
dimodifikasi dengan 10% EPMI dan 0,06% besi klorida. Permukaan serat kapas
sebelum dan sesudah disambungkan dengan EPMI menunjukkan tekstur yang
halus. Hal ini menunjukkan bahwa penyambungan EPMI tidak mempengaruhi
permukaan, dan EPMI terutama memasuki bagian dalam serat kapas. Namun,
bagian permukaan serat kapas yang dimodifikasi dengan EPMI dan FeCl3
menunjukkan sedikit kristalin, mungkin Fe3+ yang terhidrolisis membentuk kristalin.

Gambar 11. Hasil SEM dari (a) Kain katun yang tidak dimodifikasi, (b) kain katun
yang dimodifikasi dengan EPMI 10%, dan (c) kain katun yang dimodifikasi dengan
EPMI 10% dan besi klorida 0.06%

4.3.1. Difraksi Sinar-X dari Serat Kapas

Gambar 12 (a) menunjukkan spektrum difraksi sinar-X dari serat


kapas yang tidak dimodifikasi dan dimodifikasi. Puncak difraksi utama dari serat
kapas yang tidak dimodifikasi adalah pada 14,87˚. 16,52˚ dan 22,76˚. Untuk serat
kapas yang dimodifikasi dengan EPMI ini berada pada 15,08˚, 16,63˚ dan 22,76˚.
Dan untuk serat kapas yang dimodifikasi dengan EPMI dan FeCl3 puncaknya
berada pada 14,87˚, 16,62˚ dan 22,76˚. Mereka hampir sama tanpa ada struktur
Kristal baru. EPMI dan FeCl3 memasuki bagian amorf dari serat kapas dan tidak
mempengaruhi bagian kristalin.
Gambar 12. (a) Hasil XRD, dan (b) Spektra FTIR dari kain kapas sebelum dan sesudah
dimodifikasi

4.4.1. Spektra FTIR dari Serat Kapas

Gambar 12 (b) menunjukkan spektrum inframerah serat kapas


sebelum dan sesudah modifikasi. Serat kapas yang tidak dimodifikasi ditandai
oleh puncak peregangan –OH pada 3440 cm-1 dan puncak gugus C-O-C pada
1090 cm-1. Selain puncak ini, serat kapas yang dimodifikasi dengan EPMI
menunjukkan puncak C–H di –CH3 pada 2950 cm-1, dan C-N di =CH-N- pada
1158 cm-1 dan 1028 cm-1. Jelas, kelompok –CH3 dan =CH-N- berasal dari EPMI.
Namun demikian, spectrum FTIR dari serat kapas yang dimodifikasi dengan EPMI
dan besi klorida menunjukkan puncak pada 556 cm-1, didapatkan dari ion besi dan
puncak –OH bergeser dari 3440 cm-1 ke 3377 cm-1.

4.5.1. Total Pewarnaan Fiksasi, Tahan Luntur Warna dan Kekuatan Putus dari Kain
Katun yang Dicelup

Tabel 1 menunjukkan fiksasi pewarna (F%), tahan luntur warna dan


kekuatan putus dari kain kapas yang dicelup. Kain kapas yang tidak dimodifikasi
ditambahkan 60 g/L Na2SO4 sebagai bahan percepatan sebelum pencelupan, dan
kain katun yang dimodifikasi dicelup tanpa penambahan zat untuk meningkatkan
penyerapan zat warna. Jelas dari tabel 1 bahwa, dapat dibandingkan dengan kain
kapas yang tidak diolah, F% dari kain kapas yang dimodifikasi meningkat secara
besar bahkan tanpa percepatan. Setelah dilakukan dengan EPMI, kain kapas
diberi banyak kationik yang dapat menyerap muatan negatif dari molekul zat
warna reaktif. Tabel 1 juga menunjukkan bahwa nilai tahan luntur cuci dan gosok
kain kapas yang diwarnai dan dimodifikasi dengan EPMI dan FeCl3 adalah sama
tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan kain kapas yang tidak diolah. Hal ini
dikaitkan dengan kationik pada kain katun yang dimodifikasi. Dari tabel 1, dapat
dilihat bahwa kekuatan putus benang lusi dan pakan dari kain katun yang
dimodifikasi berkurang 4-6%. Hal ini menunjukkan bahwa proses modifikasi
hampir tidak merusak kain katun.

4.6.1. Data Kolorimetri dari Kain Katun yang Dicelup

Data kolorimetri dari kedua kain katun yang dicelup sebelum dan
sesudah dimodifikasi telah diperiksa dan hasilnya tertera pada tabel 2. Tabel 2
menunjukkan bahwa nilai *L dari kain katun yang dimodifikasi lebih rendah
daripada kain katun yang tidak diolah. Kemerahan-kehijauan (a*), kebiruan-
kebiru-biruan (b*), kroma (*C) dan rona (h) menunjukkan sedikit perubahan.
Mungkin karena fakta bahwa setelah modifikasi, gugus kationik pada kain kapas
dapat membentuk interaksi elektrostatik dengan molekul zat warna reaktif untuk
mempengaruhi data kolorimetri. Tetapi dari tabel 2 dapat dilihat bahwa kain kapas
modifikasi hanya memiliki sedikit pengaruh pada data kolorimetri.

Tabel 1. Fiksasi pencelupan (F%), tahan luntur warna dan kekuatan dari kain
kapas hasil pencelupan

Tabel 2. Data Kolorimetri dari kain kapas hasil pencelupan sebelum dan sesudah
modifikasi
Tabel 3. Sifat Anti-UV dan kekuatan dari modifikasi kain kapas

4.7.1. Ketahana UV UPF Kain Katun yang Dimodifikasi

Tabel 3 menunjukkan nilai transmitansi UV (%T) dan nilai UPF dari kain yang
dimodifikasi setelah tahap pencucian berbeda (LC). Setelah 50 LCs, transmitansi
UVA (T%) berubah dari 2,8% menjadi 3,3%, transmitansi UVB (%T) dari 0,53%
menjadi 0,59% dan nilai UPF turun menjadi 12,47% dari 137,47 menjadi 120,32.
Hasil ini menunjukkan bahwa EPMI ditransplantasikan dengan kuat pada kain
kapas melalui ikatan kovalen dan Fe3+ dimodifikasi dengan baik dengan kelompok
=N- dan –OH. Jelas, bahwa kain kapas yang dimodifikasi memiliki daya tahan
UPF yang sangan baik.
BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Transplantasi EPMI pada kain kapas meningkatkan sifat hasil pencelupan


dari kain kapas. Kain kapas yang dimodifikasi dicelup tanpa menggunakan garam, dan
fiksasi pewarna dari C. I. Merah Reaktif 195, C. I. Kuning Reaktif 145 dan C. I. Biru
Reaktif pada kain katun yang dimodifikasi mencapai 84,50%, 86,25% dan 89,70%.
Tahan luntur pencucian dari kedua kain katun yang telah dimodifikasi sama, tetapi lebih
bagus kain katun yang tidak dimodifikasi. Kain katun yang dimodifikasi sengan EPMI
dan FeCl3 menunjukkan kualitas property perlindungan YV yang sangat baik, dan nilai-
nilai UPF bisa mencapai 137,47. Kain katun yang dimodifikasi menunjukkan daya tahan
yang baik. Data difraksi SEM dan X-ray menunjukkan bahwa struktur serat kapas yang
dimodifikasi tidak dipengaruhi oleh proses modifikasi, dan spektro FTIR menunjukkan
bahwa EPMI dan Fe3 baik dikombinasikan pada serat kapas.
DAFTAR PUSTAKA

Shuai He, Yajuan Feng, Fengxiu Zhang, Ling Zhong, Guangxian Zhang. (2017). Modified
cotton fabrics for improved ultraviolet protection performance and reactive dyeing property.
Indian Journal of Fibre & Textile Research Vol. 43, December 2018, pp. 450-456

Wikipedia. (Tanpa tahun). 1-Methylimidazole. Diperoleh 03 Maret 2019, dari


https://en.wikipedia.org/wiki/1-Methylimidazole

Anonim. (Tanpa Tahun). 2,3- Epoxypropyl [online].


(http://m.indonesian.medicalrawmaterials.com/quality-10346866d-2-3-epoxypropyl-
methacrylate-106-91-2-glycidyl-methacrylate-for-pvc-coating-alkyd-resin)

Karyana Dede, Elly K. 2005. Bahan Ajar Praktikum Pencelupan I. Bandung: Sekolah Tinggi
Teknologi Tekstil.

Anda mungkin juga menyukai