KIMIA TEKSTIL
POLITEKNIK STTT BANDUNG
2023
BAB I
PENDAHULUAN
I. Maksud dan Tujuan
1.1. Maksud
Untuk mengetahui dan memahami alur proses pencapan burn out pada kain TC&TR dengan
menggunakan zat warna dispersi.
1.2. Tujuan
- Mengetahui proses dan cara kerja pencapan burn ou kain TC dan TR menggunakan zat
warna dispersi meliputi, cara menghitung kebutuhan zat yang dipakai, cara membuat
pasta pencapan, melaksanakan proses pencapan, dan mengevaluasi hasil proses
pencapan.
- Mengetahui pengaruh variasi suhu thermofiksasi yang di pakai pada proses pencapan
dengan membandingkan k/s visual dan ketajaman motif pada hasil pencapan kain
TC&TR dengan zat warna dispersi.
- Membandingkan hasil kedua kain dari TC dan TR dengan pencapan metode burn out.
II. Teori Dasar
II.1. Poliester-Kapas (TC)
Tujuan utama dari pencampuran serat poliester dan kapas adalah untuk mendapatkan
kain yang mutunya lebih baik dibandingkan dengan kain yang terbuat dari masing - masing
seratnya. Faktor yang merupakan suatu keuntungan dalam pencampuran antar serat poliester
dan kapas adalah sifat buruk dari poliester merupakan sifat yang baik dari serat kapas, begitu
pula sebaliknya. Sehingga dari pencampuran kedua jenis serat ini, sifat - sifat yang kurang
dari salah satu jenis serat dapat diimbangi dengan sifat - sifat yang baik dari serat lain.
Bahan - bahan yang terbuat dari serat poliester merupakan bahan yang memiliki sifat-
sifat yang baik seperti kekuatan tinggi, daya tahan abrasi yang baik, sifat cuci pakai yang
baik, dan lipatan yang lama. Sifat - sifat yang baik dari serat poliester tersebut akan lebih baik
lagi jika dicampur dengan serat selulosa pada kondisi tertentu. Serat selulosa yang dicampur
dengan serat poliester ini akan memberikan bahan campuran dengan sifat yang baik,
diantaranya: Rasa yang nyaman dalam pemakaian.Nylon 66 memiliki kekuatan yang lebih
besar dibanding nylon 6, sehingga banyak digunakan untuk industry non sandang, serta
memiliki elastisitas dan tahan gosok yang baik. Serat pertama yang menjadi bahan kain
campuran ini merupakan jenis serat sintetik. Serat sintetik pada umumnya tidak memiliki
gugus reaktif yang mampu memberikan daya penyerapan terhadap air (hidrofob). Hal ini
membuat kain dari serat sintetik sangat sukar untuk dicelup dengan zat warna yang umumnya
digunakan untuk serat alam, dimana zat warna tersebut bersifat Jarut atau dapat dilarutkan
dalam air. Hal tersebut diatas berlaku pula pada serat poliester yang menjadi bahan kain
proses, dimana serat ini bersifat hidrofob dan sangat kompak susunan molekulnya, sehingga
cara pencelupan yang konvensional tidak dapat diterapkan.
Poliester dibuat dari reaksi antara senyawa asam tereftalat dengan etilena glikol.
Berikut ini skema pembuatan serat tersebut :
Gambar diatas merupakan skema dari strukur molekul serat selulosa. Struktur
molekul diatas tersusun dari molekul selulosa yang merupakan pengulangan dari -
anhidroglukosa. Pada scrat kapas diatas memiliki gugus hidroksil ( OH) yang memberikan
sifat penyerapannya terhadap air. Meskipun demikian, selulosa yang banyak mengandung
gugus hidroksil dapat bersifat tidak larut didalam air. Hal tersebut dimungkinkan karena berat
molekul selulosa yang sangat besar, juga karena terjadinya ikatan hidrogen antar molekul
selulosa yang mempersukar kelarutan selulosa didalam air.
Gugus hidroksil tersebut selain dapat menarik gugus hidroksil dari molekul lainnya,
juga dapat menarik gugus hidroksil air. Hal tersebut membuat serat yang mengandung banyak
gugus hidroksil akan mudah menyerap air sehingga serat tersebut memiliki moisture regain
yang tinggi. Dengan kemudahan molekul air terserap kedalam serat, menyebabkan serat
mudah menyerap zat warna yang berbentup pasta atau larutan. Pereaksi-pereaksi oksidasi,
asam dan alkali kuat dengan disertai oksigen dari udara pada umumnya akan menyerang
bagian atom oksigennya dan memutuskannya, sehingga panjang molekulnya lebih pendek,
yang berarti menurunkan kekuatan seratnya.
II.2. Poliester-Rayon (TR)
Serat pertama yang menjadi bahan kain campuran ini merupakan jenis serat sintetik.
Serat sintetik pada umumnya tidak memiliki gugus reaktif yang mampu membenkan daya
penyerapan terhadap air (hidrofob). Hal mi membuat kam dani serat sintetik sangat sukar
untuk dicelup dengan zat wama yang umumnya digunakan untuk serat alam, dimana zat
wama tersebut bersifat larut atau dapat dilarutkan dalam air. Hal tersebut diatas berlaku pula
pada serat poliester yang menjadi bahan kain proses, dimana serat ini bersifat hidrofob dan
sangat kompak susunan molekulnya, sehingga cara pencelupan yang konvensional tidak dap
at diterapkan. Poliester dibuat dari reaksi antara senyawa asam tereftalat dengan etilenaglikol.
Struktur fisika serat poliester ini pada penampang melintangnya berbentuk bulat.
Bentuk seperti ini memberikan pantulan cahaya yang diberikan lebih sempuma dan membuat
wama hasil celupan terlihat lebih brilian (mengkilap) khususnya untuk wama muda.Sifat
elastisitasnya sangat baik seperti serat termoplastik lainnya, sehinggadalam keadaan normal,
kain dari policster memiliki ketahanan kusut yang sangat baik.Karena titik lelehnya yang
sangat tinggi, maka kam dani serat poliester ini pun cukuptahan terhadap sinar matahari
langsung, dan tidak mudah menguning bila disimpandalam waktu yang cukup lama.
Bahan serat yang kedua, digunakan rayon yang merupakan jenis seratselulosa
Penampang melintang dari seat berbahan rayon memiliki bentuk yang tidak beraturan yaitu
seperti daun bergerigi. Bentuk penampang melintang seperti itu membuathasilpewamaan pada
permukaan jadi memiliki daya kilap yang kurang, akan tetapibentuk seperti itu memberikan
daya penutup kain yang lebih besar.
II.3. Zat Warna Dispersi
Zat warna dispersi adalah zat warna yang kelarutannya dalam air hanya sedikit, akan
tetapi mudah didispersikan atau disuspensikan dalam air, serta mempunyai daya
substantivitas terhadap serat-serat yang bersifat hidrofob. Zat warna dispersi merupakan zat
warna non iionik yang tidak atau sedikit larut dalam air dan mempunyai molekul yang relatif
kecil, sederhana dan tidak mempunyai gugus pelarut. Oleh karena itu zat warna dispersi
sedikit larut dalam air dan sering digunakan untuk mencap serat-serat hidrofob seperti
poliester. Beberapa jenis zat warna dispersi yaitu antrakuinon, azo dan difenilamina.
Sifat-sifat umum zat warna disperse, baik sifat kimia maupun sifat fisika merupakan faktor
penting dan erat hubungannya dengan penggunaannya dalama proses pencelupan. Sifat – sifat umum
zat warna disperse untuk pencelupan polyester (tipe B,C, dan D) adalah sebagai berikut.
B E 190oC 200oC X X V
C SE 200oC 210oC V V V
D S 210oC 220oC V V X
Untuk membedakan sifat pencelupan zat warna dispersi terhadap serat poliester, maka zat warna
dispersi digolongkan berdasarkan ukuran berat molekulnya. Besar kecilnya berat molekul zat warna
dispersi sangat erat kaitanya dengan ketahanan sublimasi zat warna. Semakin besar berat molekul
yang dimiliki. zat warna dispersi, maka ketahanan sublimasinya semakin besar, begitu pula
sebaliknya. Berdasarkan sturuktur kimianya, zat warna dispersi terbagi menjadi 3 golongan yaitu:
1. Golongan Azo (-N=N-)
C2H5
O2N N N N
OH O NH
N SO2NH
NH
2.3.3 Sifat-sifat
1. Sifat dasar mempunyai berat molekul yang rendah dengan inti kromofor, diantaranya : azo,
antrakuinon, dan dipenilamina.
2. Meleleh pada temperatur tinggi (lebih besar dari pada 150 0C), kemudian dapat mengkristal
lagi.
3. Sifat dasar adalah non ionic meskipun mempunyai gugus –OH, -NH2, dan gugus – NHR,
dansebagainya yang bertindak sebagai gugus pemberi (donor) hydrogen untuk mengadakan
ikatan dengan serat (gugus karbonil).
4. Gugus –OH, -NH2, dan gugus fungsional yang sejenis menyebabkan zat warna dispersi
sedikit larut dalam air (± 0,1 miligram/l), tapi mempunyai kejenuhan yang tinggi pada serat
pada kondisi pencelupan.
5. Penambahan zat pendispersi ke dalam larutan celupnya akan menyebabkan zat warna
dispersi stabil dalam air.
6. Secara relatif kerataan penyerapan zat warna dalam serat adalah tinggi (10 – 50 mg/g serat).
Ikatan yang utama antara zat warna disperse dengan poliester adalah ikatan hidrofobik,
namun untuk beberapa kasus dapat pula terjadi ikatan hydrogen atau ikatan dwi kutub. Dalam
perdagangan umumnya zat warna disperse mengandung gugus aromatic dan alifatik yang
mengakibatkatkan gugus fungsional seperti : -OH, - NH2,-NHR. Gugus fungsional tersebut
merupakan pengikat dipol atau dwi kutub juga membentuk ikatan hydrogen dengan gugus karboknil
atau gugus asetil. Berikut adalah reaksi terjadinya ikatan hydrogen pada proses pencelupan serat
poliester dengan zat warna dispersi.
II.4. Pencapan
Pencapan pada kain tekstil dapat digambarkan sebagai suatu teknologi seni
pemindahan desain- desain pada kain tekstil. Pencapan adalah suatu proses untuk
mewarnai bahan tekstil dengan melekatkan zat warna pada kain secara tidak merata
sesuai dengan motif yang diinginkan. Motif yang akan diperoleh pada kain cap nantinya
harusnya dibuat dulu gambar pada kertas. Kemudian dari gambar ini masing-masing
warna dalam komponen gambar yang akan dijadikan motif dipisahkan dalam kertas film.
Dari kertas film inilah motif dipindahkan ke screen, dimana dalam screen ini
bagian-bagian yang tidak ada gambarnya akan tertutup oleh zat peka cahaya sedangkan
untuk bagian-bagian yang merupakan gambar akan berlubang dan dapat meneruskan
pasta cap ke bahan yang akan dicap.
Pada pencapan, pelekatan zat warna pada kain lebih banyak secara mekanis. Pada
pencapan, bermacam-macam golongan zat warna dapat dipakai bersama-sama dalam satu
kain dengan tidak saling mempengaruhi warna aslinya.
2.5 Pencapan Burn Out
Pencapan bakar atau pencapan burn out (BO) adalah pencapan yang menggunakan
pasta cap yang bersifat merusak salah satu jenis serat pada kain yang terdiri dari serat
campuran. Metode pencapan burn out meliputi burn out total dan burn out parsial.
1. Pencapan burn out total
Selain mampu mengambil dan mengikat zat-zat yang dicampurkan kedalamnya, pengental
tersebut tidak boleh mengadakan reaksi dengan zat-zat tersebut. Sehingga dapat merubah
sifat pengental maupun zat-zat yang dicampurkan.
Sebagaimana fungsinya yang hanya bersifat sementara, yaitu sebagai medium. Maka
setelah zat warna terfiksasi dalam serat, maka pengental tersebut dihilangkan kembali.
pada umumnya penghilangannya dilakukan dengan pencucian dalam air panas tampa
penambahan zat-zat kimia yang dapat mempengaruhi zat warna. Oleh karena itu dengan
jalan pencucian tersebut pengental harus mudah dihilangkan kembali.
BAB II
PERCOBAAN
Suhu
Themofiksasi
1
180°C (TC)
Suhu
2 Themofiksasi
200°C (TR)
Suhu
3 Themofiksasi
180°C (TC)
Suhu
Themofiksasi
4
200°C (TR)
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Diskusi
Pencapan burn out menggunakan bahan pada pasta cap yang dapat merusak serat, atau salah
satu jenis serat pada bahan serat campuran. Prinsip perusakan serat ini sebenarnya dapat dilakukan
tidak hanya dengan pencapan burn out, tapi juga dengan padding terhadap bahan perusak serat yang
serupa, atau sering pula dikenal dengan istilah burn out total. Adapun burn out parsial, yakni
pencapan burn out hanya pada area tertentu kain, seperti halnya menggunakan motif. Pada praktikum
ini digunakan 2 jenis kain yaitu kain polyester-kapas dan poliester-rayon. Tujuannya adalah praktikan
akan melakukan perusakan (pembakaran) terhadap serat selulosanya, dengan menggunakan
Al2(SO4)3.
Pada praktikum kali ini menggunakan metode burn out parsial, Pencapan burn out parsial
dilakukan dengan variasi suhu termofiksasi pada kedua kain dengan suhu 180°C dan 200°C. Serat
selulosa tidak tahan terhadap asam kuat karena saat terkena asam kuat, serat selulosa akan mengalami
hidroselulosa yang dapat menyebabkan struktur molekulnya merenggang dan putus. Pada percobaan
ini digunakan asam yang tidak terlalu kuat dan tidak terlalu lemah agar perusakan serat selulosa
terjadi sebagian dan tidak habis semuanya. Suhu yang tinggi pada waktu yang lama akan
mengakibatkan seratnya terbakar dan ikatan antar molekulnya terputus sehingga motif yang tertinggal
pada kain hanya ada pada serat polyester. Motif inii akhirnya meninggalkan motif lain yaitu motif
cap pada kain yang berlubang. Semakin banyak lubang yang terbentuk maka semakin baik motif
yang dihasilkan dari hasil burn out parsial ini. Pada hasil proses pencapan bakar (burn out) didapatkan
hasil kain TC dengan variasi suhu termofiksasi 200°C selama kurang lebih 3 menit dengan hasil
paling optimal di bandingkan kain lainnya tetapi warna yang di hasilkan sedikit memudar. Hal ini
sesuai dengan teori di atas karena kain ini mengalami kenaikan suhu yang paling besar daripada kain
yang lain dan pengaruh jenis kain yang digunakan. Adapun kain TR suhu 200°C hasil kurang
maksimal di bandingkan dengan kain TC dengan suhu yang sama.
Hal ini dapat terjadi karena zat warna disperi yang masuk ke dalam serat polyester tidak
sebanyak kain TR dan pada praktikum ini pada kelompok kami tidak menggunakan zat pendispersi
dalam larutan cap nya. Sedangkan kain TR dengan suhu 180°C terlihat sedikit gosong karena terlalu
lama pada saat proses thermofiksasi dan kain TC terlihat warna pasa motif memudar dan kedua kain
tersebut kurang terlihat efek burn out nya.
Ketajaman motif atau warna yang dilakukan oleh kelompok kami adalah system visual dengan cara
melihat ketajaman dari motif hasil pencapan yang kemudian di bandingan dari variasi suhu pada kain
TC dan TR, semakin tinggi nilai yang didapat maka semakin tajam motifnya.
5 KETAJAMAN MOTIF
4
0
Variasi 1 180C TC Variasi 2 180C TR Variasi 3 200C TC Variasi 4 200C TR
Berdasarkan data hasil percobaan ketajaman motif atau warna pada hasil pencapan kelompok kami
terlihat bahwa pada kain TR lebih tajam dan menonjol dibandingkan dengan kain TC yang terlihat
pada motif dan warnnya sedikit memudar, dapat dikatakan jenis kain dapat mempengaruhi hassil
ketajaman motif dan warna yang dihasilkan meskipun dengan suhu dan waktu yang sama. Selain itu
faktor yang berpengaruh adalah karna kelompok kami tidak menggunakan zat pendispersi dimana
hasl itu sangat penting untuk meratakan zat warna karena zat warna yang di pakai adalai zat warna
dispersi.
3.3 Ketuaan Warna
4 KETUAAN WARNA
0
Variasi 1 180C TC Variasi 2 180C TR Variasi 3 200C TC Variasi 4 200 TR
Pada penilaian kerataan pada keempat kain ini yaitu dua TC dan dua TR keseluruhan sama-sama
memiliki nilai kerataan yang buruk karena pada dasarnya kelompok kami tidak menggunakan zat
pendispersi dimana hal tersebut sangat berpengruh terhadap kerataan warna pada motif yang di cap.
5
KERATAAN WARNA
0
Variasi 1 180C TC Variasi 180C TR Variasi 3 200C TC Variasi 4 200C TR
5
KERATAAN WARNA
0
Variasi 1 180C TC Variasi 180C TR Variasi 3 200C TC Variasi 4 200C TR
3.5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum pencapan burn out kain TC dan TR dengan variasi suhu
thermofiksasi di dapat hasil sebagai berikut:
Suhu fiksasi zat warna mempengaruhi efek burn out yang di dapat, semakin tinggi
suhu nya maka semakin terlihat efek burn out pada motif. Efek burn out yang paling
optimal diantara 4 kain tersebut adalah pada suhu 200C kain TC.
Viskositas pasta cap sangat mempengaruhi hasil kerataan warna pada hasil cap. Hasil
cap yang memiliki kerataan yang rendah yaitu variasi 1 180C TC dan variasi 3 200C
TC.
Semakin terlihat efek burn out yang di dapat pada kain TC di bandingkan kain TR
tetapi hasil yang didapat ini sebelum optimal karena masih kurang tipis dan kurang
transparan. Solusi yang harus dilakukan adalah menambahkan waktu thermofiksasu
dengan suhu 200C dan menambahkan zat pendispersi agar warna pada motif lebih
rata dan jelas.
DAFTAR PUSTAKA
Setiawan, adi, “Laporan Pencapan Burn Out”. Bandung : Politeknii STTT Bandung.