Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENCAPAN 2

PENGARUH SUHU THERMOFIKSASI PADA PENCAPAN KAIN TC&TR


DENGAN METODE BURN OUT TERHADAP K/S WARNA, KETAJAMAN MOTIF
DAN EFEK BURN OUT MENGGUNAKAN ZAT WARNA DISPERSI

Disusun Oleh : Kelompok 1


Nama : Mochammad Reyhand A (20420049)
Dita Kurnia (21420026)
Nenden Sri Rahayu (21420028)
Devi Apriani Putri (21420033)
Grup : 3K2
Dosen : Sukirman, S.ST., MIL.
Asisten : Brilyan M. R. R., SST.
David Christian, SST.

KIMIA TEKSTIL
POLITEKNIK STTT BANDUNG
2023
BAB I
PENDAHULUAN
I. Maksud dan Tujuan
1.1. Maksud
Untuk mengetahui dan memahami alur proses pencapan burn out pada kain TC&TR dengan
menggunakan zat warna dispersi.
1.2. Tujuan
- Mengetahui proses dan cara kerja pencapan burn ou kain TC dan TR menggunakan zat
warna dispersi meliputi, cara menghitung kebutuhan zat yang dipakai, cara membuat
pasta pencapan, melaksanakan proses pencapan, dan mengevaluasi hasil proses
pencapan.
- Mengetahui pengaruh variasi suhu thermofiksasi yang di pakai pada proses pencapan
dengan membandingkan k/s visual dan ketajaman motif pada hasil pencapan kain
TC&TR dengan zat warna dispersi.
- Membandingkan hasil kedua kain dari TC dan TR dengan pencapan metode burn out.
II. Teori Dasar
II.1. Poliester-Kapas (TC)
Tujuan utama dari pencampuran serat poliester dan kapas adalah untuk mendapatkan
kain yang mutunya lebih baik dibandingkan dengan kain yang terbuat dari masing - masing
seratnya. Faktor yang merupakan suatu keuntungan dalam pencampuran antar serat poliester
dan kapas adalah sifat buruk dari poliester merupakan sifat yang baik dari serat kapas, begitu
pula sebaliknya. Sehingga dari pencampuran kedua jenis serat ini, sifat - sifat yang kurang
dari salah satu jenis serat dapat diimbangi dengan sifat - sifat yang baik dari serat lain.
Bahan - bahan yang terbuat dari serat poliester merupakan bahan yang memiliki sifat-
sifat yang baik seperti kekuatan tinggi, daya tahan abrasi yang baik, sifat cuci pakai yang
baik, dan lipatan yang lama. Sifat - sifat yang baik dari serat poliester tersebut akan lebih baik
lagi jika dicampur dengan serat selulosa pada kondisi tertentu. Serat selulosa yang dicampur
dengan serat poliester ini akan memberikan bahan campuran dengan sifat yang baik,
diantaranya: Rasa yang nyaman dalam pemakaian.Nylon 66 memiliki kekuatan yang lebih
besar dibanding nylon 6, sehingga banyak digunakan untuk industry non sandang, serta
memiliki elastisitas dan tahan gosok yang baik. Serat pertama yang menjadi bahan kain
campuran ini merupakan jenis serat sintetik. Serat sintetik pada umumnya tidak memiliki
gugus reaktif yang mampu memberikan daya penyerapan terhadap air (hidrofob). Hal ini
membuat kain dari serat sintetik sangat sukar untuk dicelup dengan zat warna yang umumnya
digunakan untuk serat alam, dimana zat warna tersebut bersifat Jarut atau dapat dilarutkan
dalam air. Hal tersebut diatas berlaku pula pada serat poliester yang menjadi bahan kain
proses, dimana serat ini bersifat hidrofob dan sangat kompak susunan molekulnya, sehingga
cara pencelupan yang konvensional tidak dapat diterapkan.
Poliester dibuat dari reaksi antara senyawa asam tereftalat dengan etilena glikol.
Berikut ini skema pembuatan serat tersebut :

Skema diatas memperlihatkan pembuatannya yang menggunakan asam tereftalat


sebagai bahan baku yang membuat sifat poliester memiliki titik didih yang lebih tinggi.
Sedangkan penggunaan etilena glikol, dapat membentuk ester menjadi lebih kuat karena suhu
reaksi yang lebih tinggi. Proses polimerisasi asam tereftalat dan etilena glikol ini dilakukan
dalam kondisi suhu tinggi dan hampa udara. Serat poliester ini memiliki kristalinitas yang
tinggi dan tidak memiliki gugus yang aktif sehingga sangat sukar ditembus oleh molekul yang
berukuran besar atau tidak bereaksi dengan zat warna anion maupun kation.
Struktur fisika serat poliester ini pada penampang melintangnya berbentuk bulat.
Bentuk seperti ini memberikan pantulan cahaya yang diberikan lebih sempurna dan membuat
warna hasil celupan terlihat lebih brilian (mengkilap) khususnya untuk warna muda. Sifat
elastisitasnya sangat baik seperti serat termoplastik lainnya, sehingga dalam keadaan normal,
kain dari poliester memiliki ketahanan kusut yang sangat baik. Karena titik lelehnya yang
sangat tinggi, maka kain dari serat poliester ini pun cukup tahan terhadap sinar matahari
langsung, dan tidak mudah menguning bila disimpan dalam waktu yang cukup lama.
Bahan serat yang kedua, digunakan kapas yang merupakan jenis serat selulosa.
Penampang melintang dari seat berbahan kapas memiliki bentuk yang tidak beraturan yaitu
seperti ginjal. Bentuk penampang melintang seperti itu membuat hasilpewarnaan pada
permukaan jadi memiliki daya kilap yang kurang, akan tetapi bentuk seperti itu memberikan
daya penutup kain yang lebih besar.

Gambar diatas merupakan skema dari strukur molekul serat selulosa. Struktur
molekul diatas tersusun dari molekul selulosa yang merupakan pengulangan dari -
anhidroglukosa. Pada scrat kapas diatas memiliki gugus hidroksil ( OH) yang memberikan
sifat penyerapannya terhadap air. Meskipun demikian, selulosa yang banyak mengandung
gugus hidroksil dapat bersifat tidak larut didalam air. Hal tersebut dimungkinkan karena berat
molekul selulosa yang sangat besar, juga karena terjadinya ikatan hidrogen antar molekul
selulosa yang mempersukar kelarutan selulosa didalam air.
Gugus hidroksil tersebut selain dapat menarik gugus hidroksil dari molekul lainnya,
juga dapat menarik gugus hidroksil air. Hal tersebut membuat serat yang mengandung banyak
gugus hidroksil akan mudah menyerap air sehingga serat tersebut memiliki moisture regain
yang tinggi. Dengan kemudahan molekul air terserap kedalam serat, menyebabkan serat
mudah menyerap zat warna yang berbentup pasta atau larutan. Pereaksi-pereaksi oksidasi,
asam dan alkali kuat dengan disertai oksigen dari udara pada umumnya akan menyerang
bagian atom oksigennya dan memutuskannya, sehingga panjang molekulnya lebih pendek,
yang berarti menurunkan kekuatan seratnya.
II.2. Poliester-Rayon (TR)

Serat pertama yang menjadi bahan kain campuran ini merupakan jenis serat sintetik.
Serat sintetik pada umumnya tidak memiliki gugus reaktif yang mampu membenkan daya
penyerapan terhadap air (hidrofob). Hal mi membuat kam dani serat sintetik sangat sukar
untuk dicelup dengan zat wama yang umumnya digunakan untuk serat alam, dimana zat
wama tersebut bersifat larut atau dapat dilarutkan dalam air. Hal tersebut diatas berlaku pula
pada serat poliester yang menjadi bahan kain proses, dimana serat ini bersifat hidrofob dan
sangat kompak susunan molekulnya, sehingga cara pencelupan yang konvensional tidak dap
at diterapkan. Poliester dibuat dari reaksi antara senyawa asam tereftalat dengan etilenaglikol.

Struktur fisika serat poliester ini pada penampang melintangnya berbentuk bulat.
Bentuk seperti ini memberikan pantulan cahaya yang diberikan lebih sempuma dan membuat
wama hasil celupan terlihat lebih brilian (mengkilap) khususnya untuk wama muda.Sifat
elastisitasnya sangat baik seperti serat termoplastik lainnya, sehinggadalam keadaan normal,
kain dari policster memiliki ketahanan kusut yang sangat baik.Karena titik lelehnya yang
sangat tinggi, maka kam dani serat poliester ini pun cukuptahan terhadap sinar matahari
langsung, dan tidak mudah menguning bila disimpandalam waktu yang cukup lama.

Bahan serat yang kedua, digunakan rayon yang merupakan jenis seratselulosa
Penampang melintang dari seat berbahan rayon memiliki bentuk yang tidak beraturan yaitu
seperti daun bergerigi. Bentuk penampang melintang seperti itu membuathasilpewamaan pada
permukaan jadi memiliki daya kilap yang kurang, akan tetapibentuk seperti itu memberikan
daya penutup kain yang lebih besar.
II.3. Zat Warna Dispersi
Zat warna dispersi adalah zat warna yang kelarutannya dalam air hanya sedikit, akan
tetapi mudah didispersikan atau disuspensikan dalam air, serta mempunyai daya
substantivitas terhadap serat-serat yang bersifat hidrofob. Zat warna dispersi merupakan zat
warna non iionik yang tidak atau sedikit larut dalam air dan mempunyai molekul yang relatif
kecil, sederhana dan tidak mempunyai gugus pelarut. Oleh karena itu zat warna dispersi
sedikit larut dalam air dan sering digunakan untuk mencap serat-serat hidrofob seperti
poliester. Beberapa jenis zat warna dispersi yaitu antrakuinon, azo dan difenilamina.

2.3.1 Sifat Zat Warna Dispersi

Sifat-sifat umum zat warna disperse, baik sifat kimia maupun sifat fisika merupakan faktor
penting dan erat hubungannya dengan penggunaannya dalama proses pencelupan. Sifat – sifat umum
zat warna disperse untuk pencelupan polyester (tipe B,C, dan D) adalah sebagai berikut.

1. Mempunyai titik leleh sekitar 1500C dan kekritalinan yang tinggi.


2. Apabila digerus sampai halis dan didispersikan dengan zat pendispersi dapat menghasilkan
disperse yang yang stabil dalam larutan pencelupan dengan ukuran partikel 0,5 – 0,2 mikron.
3. Mempunyai berat molekul yang relative rendah.
4. Mempunyai tingkat kejenuhan 30 – 200 mg/g dalam serat.
5. Relative tidak mengalami perubahan kimia selama proses pencelupan berlangsung.
6. Pada dasarnya bersifat nonionic walaupun mengandung gugus NH2, NHR dan -OH yang
bersifat agak polar.
7. Kelarutan dalam air kecil sekali (kurang dari 30 mg/kg zat warna)
8. Ketahanan luntur warna hasil pencelupan terhadap keringat dan pencucian sangat baik tetapi
ketahanan sinarnya jelek.
2.3.2 Golongan Zat Warna Dispersi
Berdasarkan ketahanan sublimasinya, zat warna dispersi dapat digolongkan menjadi:

Bentuk Sumitomo Suhu Suhu Metoda Celup


Molekul Kelompok BASF Sublimasi Thermosol
Thermosol HT/HP Carrier
o 130oC 100oC
A 170 C o
180 C

B E 190oC 200oC X X V

C SE 200oC 210oC V V V

D S 210oC 220oC V V X

1. Zat warna dispersi golongan A


Zat warna ini mempunyai berat molekul yang terkecil, tingkat ketahanan sublimasinya rendah,
tersublimasi penuh ( 90 - 100 % ) pada suhu sekitar 130 0 C dan mempunyai sifat kerataannya yang
baik sekali. Zat warna golongan ini umumnya digunakan pada pencpan trasfer.

2. Zat warna dispersi golongan B


Zat warna ini memiliki sifat ketahannan sublimasi yang sedang, tersublimasi penuh pada suhu sekitar
1500 C - 1700 C, dan mempunyai sifat kerataan yang baik. Zat warna ini dapat digunakan untuk
mencap serat poliester dengan menggunakan bantuan zat pengembang dan pada pencelupan suhu
tinggi dan tekanan tinggi/normal.

3. Zat warna dispersi golongan C


Zat warna ini memiliki sifat ketahannan sublimasi yang tinggi, tersublimasi penuh pada suhu sekitar
1900C. zat warna ini biasanya digunakan untuk mencap poliester dengan menggunakan metode suhu
tinggi dan pemberian tekanan dan metode udara kering.

4. Zat warna dispersi golongan D


Zat warna ini memiliki sifat ketahannan sublimasi yang tinggi, tersublimasi penuh pada suhu 2200
C. zat warna ini biasanya digunakan untuk pencapan poliester dengan menggunakan metode udara
kering dengan penyerapan 60%.

Untuk membedakan sifat pencelupan zat warna dispersi terhadap serat poliester, maka zat warna
dispersi digolongkan berdasarkan ukuran berat molekulnya. Besar kecilnya berat molekul zat warna
dispersi sangat erat kaitanya dengan ketahanan sublimasi zat warna. Semakin besar berat molekul
yang dimiliki. zat warna dispersi, maka ketahanan sublimasinya semakin besar, begitu pula
sebaliknya. Berdasarkan sturuktur kimianya, zat warna dispersi terbagi menjadi 3 golongan yaitu:
1. Golongan Azo (-N=N-)
C2H5

O2N N N N

2. Golongan C2H4OH Antrakuinon


NO2 O OH

OH O NH

3. Golongan Difenil amin

N SO2NH

NH
2.3.3 Sifat-sifat
1. Sifat dasar mempunyai berat molekul yang rendah dengan inti kromofor, diantaranya : azo,
antrakuinon, dan dipenilamina.
2. Meleleh pada temperatur tinggi (lebih besar dari pada 150 0C), kemudian dapat mengkristal
lagi.
3. Sifat dasar adalah non ionic meskipun mempunyai gugus –OH, -NH2, dan gugus – NHR,
dansebagainya yang bertindak sebagai gugus pemberi (donor) hydrogen untuk mengadakan
ikatan dengan serat (gugus karbonil).
4. Gugus –OH, -NH2, dan gugus fungsional yang sejenis menyebabkan zat warna dispersi
sedikit larut dalam air (± 0,1 miligram/l), tapi mempunyai kejenuhan yang tinggi pada serat
pada kondisi pencelupan.
5. Penambahan zat pendispersi ke dalam larutan celupnya akan menyebabkan zat warna
dispersi stabil dalam air.
6. Secara relatif kerataan penyerapan zat warna dalam serat adalah tinggi (10 – 50 mg/g serat).
Ikatan yang utama antara zat warna disperse dengan poliester adalah ikatan hidrofobik,
namun untuk beberapa kasus dapat pula terjadi ikatan hydrogen atau ikatan dwi kutub. Dalam
perdagangan umumnya zat warna disperse mengandung gugus aromatic dan alifatik yang
mengakibatkatkan gugus fungsional seperti : -OH, - NH2,-NHR. Gugus fungsional tersebut
merupakan pengikat dipol atau dwi kutub juga membentuk ikatan hydrogen dengan gugus karboknil
atau gugus asetil. Berikut adalah reaksi terjadinya ikatan hydrogen pada proses pencelupan serat
poliester dengan zat warna dispersi.

II.4. Pencapan
Pencapan pada kain tekstil dapat digambarkan sebagai suatu teknologi seni
pemindahan desain- desain pada kain tekstil. Pencapan adalah suatu proses untuk
mewarnai bahan tekstil dengan melekatkan zat warna pada kain secara tidak merata
sesuai dengan motif yang diinginkan. Motif yang akan diperoleh pada kain cap nantinya
harusnya dibuat dulu gambar pada kertas. Kemudian dari gambar ini masing-masing
warna dalam komponen gambar yang akan dijadikan motif dipisahkan dalam kertas film.
Dari kertas film inilah motif dipindahkan ke screen, dimana dalam screen ini
bagian-bagian yang tidak ada gambarnya akan tertutup oleh zat peka cahaya sedangkan
untuk bagian-bagian yang merupakan gambar akan berlubang dan dapat meneruskan
pasta cap ke bahan yang akan dicap.
Pada pencapan, pelekatan zat warna pada kain lebih banyak secara mekanis. Pada
pencapan, bermacam-macam golongan zat warna dapat dipakai bersama-sama dalam satu
kain dengan tidak saling mempengaruhi warna aslinya.
2.5 Pencapan Burn Out

Pencapan bakar atau pencapan burn out (BO) adalah pencapan yang menggunakan
pasta cap yang bersifat merusak salah satu jenis serat pada kain yang terdiri dari serat
campuran. Metode pencapan burn out meliputi burn out total dan burn out parsial.
1. Pencapan burn out total

Pencapan burn out total adalah pencapan untuk menghilangkan seluruh


salah satu jenis seratnya pada kain campuran. Misalnya pada kain T/C maka
serat kapasnya akan dihilangkan semua. Syarat yang harus dipenuhi pada
saat akan melakukan pencapan burn out total adalah benang lusi dan
benang pakan yang menyusun serat campuran tersebut harus terdiri dari
campuran serat pada setiap benang lusi maupun benang pakannya.
2. Pencapan burn out parsial
Pada pencapan burn parsial serat yang akan dihilangkan membentuk
motif yang luas areanya tidak lebih dari 40%. Pada pencapan burn out
parsial yang umumnya dihilangkan adalah serat selulosanya karena serat
selulosa mudah dirusak oleh asam sulfat (hidroselulosa).
Pada pencapan burn out baik total maupun partial perlu diperhatikan beberapa
faktor yang mempengaruhi hasil burn out yaitu :
• Komposisi campuran serat
• Tenunan atau konstruksi kain
• Teknik atau proses pencapan
• Kondisi pada saat burn out
• Kepekaan serat terhadap zat burn out
• Daya absorpsi kain
• Viskositas pasta cap

II.5. Zat Pengental


Seperti halnya pada pencelupan, dimana pada umumnya menggunakan air sebagai
medium pembawa zat warna tekstil untuk dapat sampai pada serat kain, maka demikian
halnya dengan pencapan diperlukan juga suatu medium. Tentu saja air tidak dapat
digunakan, karna sifat air yang selalu menyebar, maka akan mengakibatkan zat warna
menyebar ke luar dari desain sehingga hasilnya tidak baik. Oleh karna itu sebagai
gantinya digunakan pengental. selain sebagai medium, pengental tersebut berfungsi untuk
melekatkan zat warna tetap pada tempatnya sesuai desain yang ditentukan. pengental di
masukan kedalam larutan zat warna dan zat pereaksi, hingga erupakan suatu pasta dengan
kekentalan tertentu. Pengental tidak boleh terlalu kental ataupun encer.
II.5.1. Syarat-Syarat Zat Pengental
1. Tidak Berwarna
Sebaiknya pengental yang akan di gunakan tidak berwarna. apa bila
pengental yang akan kita gunakan berwarna, maka akan mempengaruhi
warna dari zat warna itu sendiri, terutama untuk warna muda.
2. Stabil Dalam Penyimpanan
Bahan pengental sebisa mungkin harus stabil dalam penyimpanan yang
lama, sehingga tidak menimbulkan perubahan fisik maupun kimia.
3. Mempunyai Daya Ikat
Pengental harus bisa mengikat zat-zat yang dicampurkan dalam pasta
pencapan.
4. Tidak Mengadakan Reaksi Kimia

Selain mampu mengambil dan mengikat zat-zat yang dicampurkan kedalamnya, pengental
tersebut tidak boleh mengadakan reaksi dengan zat-zat tersebut. Sehingga dapat merubah
sifat pengental maupun zat-zat yang dicampurkan.

5. Dapat Dihilangkan Kembali

Sebagaimana fungsinya yang hanya bersifat sementara, yaitu sebagai medium. Maka
setelah zat warna terfiksasi dalam serat, maka pengental tersebut dihilangkan kembali.
pada umumnya penghilangannya dilakukan dengan pencucian dalam air panas tampa
penambahan zat-zat kimia yang dapat mempengaruhi zat warna. Oleh karena itu dengan
jalan pencucian tersebut pengental harus mudah dihilangkan kembali.

BAB II

PERCOBAAN

2.1 Alat dan Bahan


 Alat
- Baker gelas
- Batang pengaduk
- 2 buah gelas
- Gelas ukur
- Mixer
- Rakel
- Kasa
- Timbangan analitik
 Bahan
- Kain TC & TR
- Zat warna Dispersi
- Pengental Tamarin 8%
- Al2(SO4)3
- Gliserin
2.2 Fungsi Zat
1) Zat warna Dispersi : Sebagai zat yang memberikan warna pada kain
2) Gliserin : Zat higroskopis untuk menjaga kelembapan zat warna
3) Pengental Tamarin : Pengental yang berfungsi untuk memindahkan zat warna ke kain
4) Alumunium Sulfat : Sebagai pemberi donor asam pada suhu tinggi untuk merusak
selulosa
2.3 Cara Kerja
1) Menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan
2) Menghitung kebutuhan pasta cap
3) Membuat pasta cap sesuai dengan perhitungan resep
4) Melakukan proses pencapan sesuai diagram alir
5) Mengevaluasi dan menganalisi hasil pencapan
2.4 Diagram Alir

Drying Thermofiksasi Washing Off


Proses Pencapan
100° C 2’ 180°C-200°C
2.5 Resep Standar

Resep Pencapan Resep Pencucian


Zat Warna 20 g Teepol 1 g/l
Dispersi
Alumunium Sulfat 80-200 g Na karbonat 2 g/l
Pengental Tamari 8% / 700 g
Gliserin 60-100 g Waktu, Suhu 10’,
Balance x gram 90oC

2.6 Resep Variasi


VARIASI WAKTU
RESEP
VARIASI 1 VARIASI 2 Variasi 3 Variasi 4
ZW Dispersi 20 g
Alumunium Sulfat 200 g
Pengental 8% / 700 g
Gliserin 80 g
Waktu 1-2 menit (3)
Suhu
Themofiksasi 180°C (TC) 200°C (TR) 180°C (TC) 200°C (TR)

2.7 Perhitungan Resep


1) Peritungan Pencapan
20
Zat warna dispersi = x 75 = 1,5 g
1000
200
Alumunium Sulfat = x 75 = 15 g
1000
80
Gliserin = x 75 = 6 g
1000
700
Pengental = x 75 = 52,5 g
1000
Total = 75 g
Balance = 75 – 75
= 0 ml
2) Perhitungan cuci
Jumlah larutan = 500 ml
1
Teepol = x 500 = 0,5 ml
1000
2
Na karbonat = x 500 = 1 g
1000
2.8 Hasil Praktikum

NO. Variasi Hasil Uji

Suhu
Themofiksasi
1
180°C (TC)

Suhu
2 Themofiksasi

200°C (TR)

Suhu
3 Themofiksasi
180°C (TC)
Suhu
Themofiksasi
4
200°C (TR)

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Diskusi
Pencapan burn out menggunakan bahan pada pasta cap yang dapat merusak serat, atau salah
satu jenis serat pada bahan serat campuran. Prinsip perusakan serat ini sebenarnya dapat dilakukan
tidak hanya dengan pencapan burn out, tapi juga dengan padding terhadap bahan perusak serat yang
serupa, atau sering pula dikenal dengan istilah burn out total. Adapun burn out parsial, yakni
pencapan burn out hanya pada area tertentu kain, seperti halnya menggunakan motif. Pada praktikum
ini digunakan 2 jenis kain yaitu kain polyester-kapas dan poliester-rayon. Tujuannya adalah praktikan
akan melakukan perusakan (pembakaran) terhadap serat selulosanya, dengan menggunakan
Al2(SO4)3.

Pada praktikum kali ini menggunakan metode burn out parsial, Pencapan burn out parsial
dilakukan dengan variasi suhu termofiksasi pada kedua kain dengan suhu 180°C dan 200°C. Serat
selulosa tidak tahan terhadap asam kuat karena saat terkena asam kuat, serat selulosa akan mengalami
hidroselulosa yang dapat menyebabkan struktur molekulnya merenggang dan putus. Pada percobaan
ini digunakan asam yang tidak terlalu kuat dan tidak terlalu lemah agar perusakan serat selulosa
terjadi sebagian dan tidak habis semuanya. Suhu yang tinggi pada waktu yang lama akan
mengakibatkan seratnya terbakar dan ikatan antar molekulnya terputus sehingga motif yang tertinggal
pada kain hanya ada pada serat polyester. Motif inii akhirnya meninggalkan motif lain yaitu motif
cap pada kain yang berlubang. Semakin banyak lubang yang terbentuk maka semakin baik motif
yang dihasilkan dari hasil burn out parsial ini. Pada hasil proses pencapan bakar (burn out) didapatkan
hasil kain TC dengan variasi suhu termofiksasi 200°C selama kurang lebih 3 menit dengan hasil
paling optimal di bandingkan kain lainnya tetapi warna yang di hasilkan sedikit memudar. Hal ini
sesuai dengan teori di atas karena kain ini mengalami kenaikan suhu yang paling besar daripada kain
yang lain dan pengaruh jenis kain yang digunakan. Adapun kain TR suhu 200°C hasil kurang
maksimal di bandingkan dengan kain TC dengan suhu yang sama.

Hal ini dapat terjadi karena zat warna disperi yang masuk ke dalam serat polyester tidak
sebanyak kain TR dan pada praktikum ini pada kelompok kami tidak menggunakan zat pendispersi
dalam larutan cap nya. Sedangkan kain TR dengan suhu 180°C terlihat sedikit gosong karena terlalu
lama pada saat proses thermofiksasi dan kain TC terlihat warna pasa motif memudar dan kedua kain
tersebut kurang terlihat efek burn out nya.

3.2 Ketajaman Motif

Ketajaman motif atau warna yang dilakukan oleh kelompok kami adalah system visual dengan cara
melihat ketajaman dari motif hasil pencapan yang kemudian di bandingan dari variasi suhu pada kain
TC dan TR, semakin tinggi nilai yang didapat maka semakin tajam motifnya.

5 KETAJAMAN MOTIF
4

0
Variasi 1 180C TC Variasi 2 180C TR Variasi 3 200C TC Variasi 4 200C TR

5-1 Nilai Ketajaman Motif

Semakin besar semakin tajam

Berdasarkan data hasil percobaan ketajaman motif atau warna pada hasil pencapan kelompok kami
terlihat bahwa pada kain TR lebih tajam dan menonjol dibandingkan dengan kain TC yang terlihat
pada motif dan warnnya sedikit memudar, dapat dikatakan jenis kain dapat mempengaruhi hassil
ketajaman motif dan warna yang dihasilkan meskipun dengan suhu dan waktu yang sama. Selain itu
faktor yang berpengaruh adalah karna kelompok kami tidak menggunakan zat pendispersi dimana
hasl itu sangat penting untuk meratakan zat warna karena zat warna yang di pakai adalai zat warna
dispersi.
3.3 Ketuaan Warna

4 KETUAAN WARNA

0
Variasi 1 180C TC Variasi 2 180C TR Variasi 3 200C TC Variasi 4 200 TR

1-5 Nilai Ketuaan


Semakin kecil semakin tua
Dapat dilihat pada grafik di atas ketuaan warna di peroleh oleh variasi 4 dengan suhu 200C kain TR
sama seperti ketajaman motif hasil analisis visual ketajaman dan ketuaan warna di peroleh pada kain
TR walaupun suhu yang di pakai berbeda tetapi TR lebih baik di bandingkan dengan TC.

3.4 Kerataan Warna

Pada penilaian kerataan pada keempat kain ini yaitu dua TC dan dua TR keseluruhan sama-sama
memiliki nilai kerataan yang buruk karena pada dasarnya kelompok kami tidak menggunakan zat
pendispersi dimana hal tersebut sangat berpengruh terhadap kerataan warna pada motif yang di cap.

5
KERATAAN WARNA

0
Variasi 1 180C TC Variasi 180C TR Variasi 3 200C TC Variasi 4 200C TR

5-1 Nilai kerataan


Semakin besar semakin tidak rata
3.5 Efek Burn Out
Pada penilaian efek burn out ini dapat dilihat pada grafik hasil yang paling terlihat dibandingkan
dengan kain lain yaitu pada kain TC suhu 200c karena semakin tinggi suhu yang di pakai maka
semakin tipis dan transparan kain sehingga hanya tersisa serat kapas atau rayonnya saja, tetapi hasil
ini belum sangat maksimal.

5
KERATAAN WARNA

0
Variasi 1 180C TC Variasi 180C TR Variasi 3 200C TC Variasi 4 200C TR

1-5 Nilai Efek Burn Out


Semakin besar semakin terlihat efeknya

3.5 Kesimpulan

Berdasarkan hasil praktikum pencapan burn out kain TC dan TR dengan variasi suhu
thermofiksasi di dapat hasil sebagai berikut:

 Suhu fiksasi zat warna mempengaruhi efek burn out yang di dapat, semakin tinggi
suhu nya maka semakin terlihat efek burn out pada motif. Efek burn out yang paling
optimal diantara 4 kain tersebut adalah pada suhu 200C kain TC.
 Viskositas pasta cap sangat mempengaruhi hasil kerataan warna pada hasil cap. Hasil
cap yang memiliki kerataan yang rendah yaitu variasi 1 180C TC dan variasi 3 200C
TC.
 Semakin terlihat efek burn out yang di dapat pada kain TC di bandingkan kain TR
tetapi hasil yang didapat ini sebelum optimal karena masih kurang tipis dan kurang
transparan. Solusi yang harus dilakukan adalah menambahkan waktu thermofiksasu
dengan suhu 200C dan menambahkan zat pendispersi agar warna pada motif lebih
rata dan jelas.
DAFTAR PUSTAKA

Setiawan, adi, “Laporan Pencapan Burn Out”. Bandung : Politeknii STTT Bandung.

Alya, Nida, “Cap Burn Out-1” Politeknik STTT Bandung, 2020.

Purwanti, dkk, “Pedoman Praktikum Pencapan dan Penyempurnaan”. Bandung : Sekolah


Tinggi Teknologi Tekstil, 1978

Anda mungkin juga menyukai