PEDOMAN DIAGNOSIS
&
PENATALAKSANAAN
DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency . Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis
pada tahun 2002, 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut
regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk
terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk, seperti terlihat
pada tabel 1
Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah
terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka
mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, prevalens HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB
yang muncul.
Tabel 1. Perkiraan insidens TB dan angka mortaliti, 2002
Jumlah kasus Kasus per 100 000 penduduk Kematian akibat TB (termasuk
(Ribu) kematian TB pada penderita HIV)
Pembagian daerahSemua kasus (%) Sputum positif Semua kasus (%) Sputum positif Jumlah Per 100 000
WHO (Ribu) penduduk
Afrika 2354 (26) 1000 350 149 556 83
Amerika 370 (4) 165 43 19 53 6
Mediteranian timur 622 (7) 279 124 55 143 28
Eropa 472 (5) 211 54 24 73 8
Asia Tenggara 2890 (33) 1294 182 81 625 39
Pasifik Barat 2090 (24) 939 122 55 373 22
Global 8797 (100) 2887 141 63 1823 29
Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan Cina. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan
sekitar 140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab
kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.
B. DEFINISI
C. BIOMOLEKULER M.Tuberculosis
Morfologi dan Struktur Bakteri
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3
0,6 mm dan panjang 1 4 mm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel
M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang
berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh
ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida
seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam,
yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam alkohol.
Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid, polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M. tuberculosis
dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibodi monoklonal . Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat molekul 14 kDa (kiloDalton), 19
kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitiviti dan spesifisiti yang bervariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen M.
tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik). Antigen yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang
hidup, contohnya antigen 30.000 a, protein MTP 40 dan lain lain.
Biomolekuler
Genom M. tuberculosis mempunyai ukuran 4,4 Mb (mega base) dengan kandungan guanin (G) dan sitosin (C) terbanyak. Dari hasil pemetaan
gen, telah diketahui lebih dari 165 gen dan penanda genetik yang dibagi dalam 3 kelompok. Kelompok 1 gen yang merupakan sikuen DNA
mikobakteria yang selalu ada (conserved) sebagai DNA target, kelompok II merupakan sikuen DNA yang menyandi antigen protein, sedangkan
kelompok III adalah sikuen DNA ulangan seperti elemen sisipan.
Gen pab dan gen groEL masing masing menyandi protein berikatan posfat misalnya protein 38 kDa dan protein kejut panas (heat shock protein)
seperti protein 65 kDa, gen katG menyandi katalase-peroksidase dan gen 16SrRNA (rrs) menyandi protein ribosomal S12 sedangkan gen rpoB
menyandi RNA polimerase.
Sikuen sisipan DNA (IS) adalah elemen genetik yang mobile. Lebih dari 16 IS ada dalam mikobakteria antara lain IS6110, IS1081 dan elemen
seperti IS (IS-like element). Deteksi gen tersebut dapat dilakukan dengan teknik PCR dan RFLP (dikutip dari 11).
BAB II
PATOGENESIS
A. TUBERKULOSIS PRIMER
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang
disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari
sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran
kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer.
Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut :
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
a. Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya
Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh
kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis.
Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan
peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman.
Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini
akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosis, typhobacillosis Landouzy.
Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan
sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan :
- Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat
ensefalomeningitis, tuberkuloma ) atau
- Meninggal. Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer.
B. TUBERKULOSIS POSTPRIMER
Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis
postprimer mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan
BAB III
KLASIFIKASI TUBERKULOSIS
A. TUBERKULOSIS PARU
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura.
1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi atas:
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu :
Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang,
ginjal, saluran kencing dan lain-lain.
Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi dari tempat lesi. Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan
pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan konsisten dengan TB ekstraparu aktif.
BAB IV
DIAGNOSIS
A. GAMBARAN KLINIK
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis/jasmani, pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan
penunjang lainnya
Gejala klinik
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala
lokal ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat)
1. Gejala respiratorik
- batuk > 2 minggu
- batuk darah
- sesak napas
- nyeri dada
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien
terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk
yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
2. Gejala sistemik
- Demam
- gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan menurun
3. Gejala tuberkulosis ekstraparu
Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat
dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosis
terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
Pemeriksaan Jasmani
Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat.
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya
tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen
posterior (S1 dan S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial,
amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada
auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor),
kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi cold abscess
Gambar 3. Paru : apeks lobus superior dan apeks lobus inferior
a. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan
untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)
b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
- Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
- Pagi ( keesokan harinya )
- Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)
atau setiap pagi 3 hari berturut-turut.
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih
dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasiliti, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek
(difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.
Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek, atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat
ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium.
Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus
dipastikan telah tertulis identiti pasien yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium.
Bila lokasi fasiliti laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan pasien, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa
pos.
Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:
- Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian tengahnya
- Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari kertas saring sebanyak + 1 ml
- Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu ujung yang tidak mengandung bahan dahak
- Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman, misal di dalam dus
- Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong plastik kecil
- Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi
- Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan dahak
- Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat laboratorium.
Obat Dosis Dosis yg dianjurkan DosisMaks Dosis (mg) / berat badan (kg)
(Mg/Kg Harian (mg/ kgBB / Intermitten (mg/Kg/BB/kali) (mg) < 40 40-60 >60
BB/Hari) hari)
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
S 15-18 15 15 1000 Sesuai BB 750 1000
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug
resistant tuberculosis). Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama WHO. International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam
pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti terlihat pada tabel 3. Keuntungan
kombinasi dosis tetap antara lain:
1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal
2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan yang tidak disengaja
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan standar
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan penggunaan monoterapi
Tabel 3. Dosis obat antituberkulosis kombinasi dosis tetap
Fase intensif Fase lanjutan
2 bulan 4 bulan
BB Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/minggu
RHZE RHZ RHZ RH RH
150/75/400/275 150/75/400 150/150/500 150/75 150/150
30-37 2 2 2 2 2
38-54 3 3 3 3 3
55-70 4 4 4 4 4
2 RHZE/ 4R3H3
TB paru kasus kambuh
Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji
resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan.
TB Paru kasus gagal pengobatan
Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2 (contoh paduan: 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin
dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan pada fase awal dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE.
Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan.
- Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal
- Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter spesialis paru
TB Paru kasus putus berobat
Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan kriteria sebagai berikut :
a. Berobat > 4 bulan
1) BTA saat ini negatif
Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut
untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari
awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.
2) BTA saat ini positif
Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama
b. Berobat < 4 bulan
1) Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama
2) Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif pengobatan diteruskan
Jika memungkinkan seharusnya diperiksa uji resistensi terhadap OAT.
TB Paru kasus kronik
- Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil
uji resistensi
(minimal terdapat 4 macam OAT yang masih sensitif) ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid dll. Pengobatan minimal
18 bulan.
- Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
- Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan
- Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke dokter spesialis paru
II - Kambuh -RHZES / 1RHZE / sesuai hasil uji resistensi atau 2RHZES Bila streptomisin alergi,
- Gagal pengobatan / 1RHZE / 5 RHE dapat diganti
-3-6 kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin / 15-18 kanamisin
ofloksasin, etionamid, sikloserin atau 2RHZES / 1RHZE /
5RHE
II - TB paru putus berobat Sesuai lama pengobatan sebelumnya, lama berhenti
minum obat dan keadaan klinis, bakteriologi dan radiologi
saat ini (lihat uraiannya) atau
*2RHZES / 1RHZE / 5R3H3E3
III -TB paru BTA neg. lesi 2 RHZE / 4 RH atau
minimal 6 RHE atau
*2RHZE /4 R3H3
Tidak nafsu makan, mual, sakit perut Rifampisin Obat diminum malam
sebelum tidur
Nyeri sendi Pyrazinamid Beri aspirin /allopurinol
Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki INH Beri vitamin B6 (piridoksin)
1 x 100 mg perhari
Warna kemerahan pada air seni Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu
diberi apa-apa
Mayor Hentikan obat
Gatal dan kemerahan pada kulit Semua jenis OAT Beri antihistamin dan
dievaluasi ketat
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan
Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisin dihentikan
BAB VI
RESISTEN GANDA (Multi Drug Resistance/ MDR)
Definisi
Resistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya
Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis dibagi menjadi :
- Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan TB
- Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasiennya sudah pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak
- Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah punya riwayat pengobatan sebelumnya.
Laporan pertama tentang reistensi ganda datang dari Amerika Serikat, khususnya pada pasien TB dan AIDS yang menimbulkan angka kematian
70% 90% dalam waktu hanya 4 sampai 16 minggu. Laporan WHO tentang TB tahun 2004 menyatakan bahwa sampai 50 juta orang telah terinfeksi
oleh kuman tuberkulosis yang resisten terhadap obat anti tuberkulosis. TB paru kronik sering disebabkan oleh MDR
Ada beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap obat tuberkulosis, yaitu :
- Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis
- Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi
terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut sudah
cukup tinggi
- Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu stop, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter
dan mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian seterusnya
- Fenomena addition syndrome (Crofton, 1987), yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila
kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka penambahan (addition) satu macam obat hanya akan
menambah panjang daftar obat yang resisten
- Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik, sehingga mengganggu bioavailabiliti obat
- Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daerah kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan
- Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga menimbulkan kejemuan
- Pengetahuan pasien kurang tentang penyakit TB
- Kasus MDR-TB rujuk ke dokter spesialis paru
Pengobatan Tuberkulosis Resisten Ganda (MDR)
Klasifikasi OAT untuk MDR
Kriteria utama berdasarkan data biologikal dibagi menjadi 3 kelompok OAT:
1. Obat dengan aktiviti bakterisid: aminoglikosid, tionamid dan pirazinamid yang bekerja pada pH asam
2. Obat dengan aktiviti bakterisid rendah: fluorokuinolon
3. Obat dengan akiviti bakteriostatik, etambutol, cycloserin dan PAS
Fluorokuinolon
Fluorokuinolon (moksifloksasin, levofloksasin, ofloksasin dan siprofloksasin) dapat digunakan untuk kuman TB yang resisten terhadap lini-1.
Resistensi silang
pengobataPada pengobatan MDR TB harus dipertimbangkan resistensi silang dalam memilih jenis OAT. Tidak efektif memberikan OAT dari golongan yang
sama atau paduan OAT yang berpotensi terjadi resistensi silang.
- Tionamid dan tiosetason
Etionamid adalah golongan tionamid yang dapat menginduksi terjadinya resistensi silang dengan proteonamid karena satu golongan. Sering
ditemukan resistensi silang antara tionamid dengan tioasetason, galur yang biasanya resisten dengan tiosetason biasanya masih sensitif terhadap
etionamid dan proteonamid. Galur yang resisten terhadap etionamid dan proteonamid biasanya juga resisten juga terhadap tioasetason pada lebih
dari 70% kasus.
- Aminoglikosid
Galur yang resisten terhadap streptomisin biasanya sensitif terhadap kanamisin dan amikasin. Galur yang resisten terhadap kanamisin dapat
menyebabkan resisten silang terhadap amikasin. Galur yang resisten terhadap kanamisin dan amikasin juga menimbulkan resisten terhadap
streptomisin. Galur yang resisten terhadap streptomisin, kanamisin, amikasin biasanya masih sensitif terhadap kapreomisin.
. Resisten terhadap streptomisin gunakan kanamisin atau amikasin
BAB VII
PENGOBATAN TUBERKULOSIS PADA KEADAAN KHUSUS
A TB MILIER
Rawat inap
Paduan obat: 2 RHZE/ 4 RH
Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinis, radiologi dan evaluasi pengobatan, maka pengobatan lanjutan dapat
diperpanjang
Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan
- Tanda / gejala meningitis
- Sesak napas
- Tanda / gejala toksik
- Demam tinggi
B. PLEURITIS EKSUDATIVA TB (EFUSI PLEURA TB)
Paduan obat: 2RHZE/4RH.
- Evakuasi cairan, dikeluarkan seoptimal mungkin, sesuai keadaan pasien dan dapat diberikan kortikosteroid
- Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas dan DM.
- Evakuasi cairan dapat diulang bila diperlukan
C. TB PARU DENGAN DIABETES MELITUS (DM)
- Paduan OAT pada prinsipnya sama dengan TB tanpa DM, dengan syarat kadar gula darah terkontrol
- Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat dilanjutkan sampai 9 bulan
- Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping etambutol pada mata; sedangkan pasien DM sering mengalami komplikasi
kelainan pada mata
- Perlu diperhatikan penggunaan rifampisin karena akan mengurangi efektiviti obat oral antidiabetes (sulfonil urea), sehingga dosisnya perlu
ditingkatkan
- Perlu kontrol / pengawasan sesudah pengobatan selesai, untuk mengontrol / mendeteksi dini bila terjadi kekambuhan
D. TB PARU DENGAN HIV / AIDS
Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan kemungkinan koinfeksi TB-HIV, maka konseling dan pemeriksaan HIV
diindikasikan untuk seluruh TB pasien sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin. Pada daerah dengan prevalens HIV yang rendah, konseling dan
pemeriksaan HIV hanya diindikasi pada pasien TB dengan keluhan dan tanda tanda yang diduga berhubungan dengan HIV dan pada pasien TB
dengan riwayat risiko tinggi terpajan HIV.
Jadi tidak semua pasien TB paru perlu diuji HIV. Hanya pasien TB paru tertentu saja yang memerlukan uji HIV, misalnya:
a. Ada riwayat perilaku risiko tinggi tertular HIV
b. Hasil pengobatan OAT tidak memuaskan
c. MDR TB / TB kronik
Pemeriksaan minimal yang perlu dilakukan untuk memastikan diagnosis TB paru adalah pemeriksaan BTA dahak, foto toraks dan jika
memungkinkan dilakukan pemeriksaan CD4. Gambaran penderita HIV-TB dapat dilihat pada tabel 7 berikut.
BAB VIII
KOMPLIKASI
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai
pengobatan.
Beberapa komplikasi yang mungikin timbul adalah :
- Batuk darah
- Pneumotoraks
- Luluh paru
- Gagal napas
BAB IX
DIRECTLY OBSERVED TREATMENT SHORT COURSE (DOTS)
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci keberhasilan program penanggulangan tuberkulosis adalah dengan
menerapkan strategi DOTS, yang juga telah dianut oleh negara kita. Oleh karena itu pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang sangat penting
agar TB dapat ditanggulangi dengan baik.
DOTS mengandung lima komponen, yaitu :
Saat ini terdapat 6 elemen kunci dalam strategi stop TB yang direkomendasi oleh WHO:
1. Peningkatan dan ekspansi DOTS yang bermutu, meningkatkan penemuan kasus dan penyembuhan melalui pendekatan yang efektif terhadap
seluruh pasien terutama pasien tidak mampu
2. Memberikan perhatian pada kasus TB-HIV, MDR-TB, dengan aktiviti gabungan TB-HIV, DOTS-PLUS dan pendekatan-pendekatan lain yang
relevan
3. Kontribusi pada sistem kesehatan, dengan kolaborasi bersama program kesehatan yang lain dan pelayanan umum
4. Melibatkan seluruh praktisi kesehatan, masyarakat, swasta dan nonpemerintah dengan pendekatan berdasarkan Public-Private Mix (PPM) untuk
mematuhi International Standards of TB Care
5. Mengikutsertakan pasien dan masyarakat yang berpengaruh untuk berkontribusi pada pemeliharaan kesehatan yang efektif
6. Memungkinkan dan meningkatkan penelitian untuk pengembangan obat baru, alat diagnostik dan vaksin. Penelitian juga dibutuhkan untuk
meningkatkan keberhasilan program
A. Tujuan :
Mencapai angka kesembuhan yang tinggi
Mencegah putus berobat
Mengatasi efek samping obat jika timbul
Mencegah resistensi
B. Pengawasan
Pengawasan terhadap pasien TB dapat dilakukan oleh :
Pasien berobat jalan
Bila pasien mampu datang teratur, misal tiap minggu maka paramedis atau petugas sosial dapat berfungsi sebagai PMO. Bila pasien diperkirakan
tidak mampu datang secara teratur, sebaiknya dilakukan koordinasi dengan puskesmas setempat. Rumah PMO harus dekat dengan rumah pasien
TB untuk pelaksanaan DOT ini
Beberapa kemungkinan yang dapat menjadi PMO
1. Petugas kesehatan
2. Orang lain (kader, tokoh masyarakat dll)
3. Suami/Istri/Keluarga/Orang serumah
Pasien dirawat :
Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah petugas rumah sakit, selesai perawatan untuk pengobatan selanjutnya sesuai
dengan berobat jalan.
D. Persyaratan PMO
PMO bersedia dengan sukarela membantu pasien TB sampai sembuh selama pengobatan dengan OAT dan menjaga kerahasiaan penderita
HIV/AIDS.
PMO diutamakan petugas kesehatan, tetapi dapat juga kader kesehatan, kader dasawisma, kader PPTI, PKK, atau anggota keluarga yang
disegani pasien
E. Tugas PMO
Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik
Melakukan pengawasan terhadap pasien dalam hal minum obat
Mengingatkan pasien untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal yang telah ditentukan
Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratur hingga selesai
Mengenali efek samping ringan obat, dan menasehati pasien agar tetap mau menelan obat
Merujuk pasien bila efek samping semakin berat
Melakukan kunjungan rumah
Menganjurkan anggota keluarga untuk memeriksa dahak bila ditemui gejala TB
F. Penyuluhan
Penyuluhan tentang TB merupakan hal yang sangat penting, penyuluhan dapat dilakukan secara :
LAMPIRAN
LAMPIRAN I
5. Diagnosis TB paru, BTA negatif harus berdasarkan kriteria berikut : negatif paling kurang pada 3 kali pemeriksaan (termasuk minimal 1 kali
terhadap dahak pagi hari), foto toraks menunjukkan kelainan TB, tidak ada respons terhadap antibiotik spektrum luas (hindari pemakaian
flurokuinolon karena mempunyai efek melawan M.tb sehingga memperlihatkan perbaikan sesaat). Bila ada fasiliti, pada kasus tersebut harus
dilakukan pemeriksaan biakan. Pada pasien denagn atau diduga HIV, evaluasi diagnostik harus disegerakan.
6. Diagnosis TB intratoraks (paru, pleura,KGB hilus/mediastinal) pada anak dengan BTA negatif berdasarkan foto toraks yang sesuai dengan TB
dan terdapat riwayat kontak atau uji tuberkulin/interferon gamma release assay positif. Pada pasien demikian, bila ada fasiliti harus dilakukan
pemeriksaan biakan dari bahan yang berasal dari batuk, bilasan lambung atau induksi sputum.
7. Setiap petugas yang mengobati pasien TB dianggap menjalankan fungsi kesehatan masyarakat yang tidak saja memberikan paduan obat yang
sesuai tetapi juga dapat memantau kepatuhan berobat sekaligus menemukan kasus-kasus yang tidak patuh terhadap rejimen pengobatan.
Dengan melakukan hal tersebut akan dapat menjamin kepatuhan hingga pengobatan selesai.
8. Semua pasien (termasuk pasien HIV) yang belum pernah diobati harus diberikan paduan obat lini pertama yang disepakati secara internasional
menggunakan obat yang biovaibilitinya sudah diketahui. Fase awal terdiri dari INH, rifampisin, pirazinamid dan etambutol diberikan selama 2
bulan. Fase lanjutan yang dianjurkan adalah INH dan rifampisin yang selama 4 bulan. Pemberian INH dan etambutol selama 6 bulan merupakan
paduan alternatif untuk fase lanjutan pada kasus yan keteraturannya tidak dapat dinilai tetapi terdapat angka kegagalan dan kekambuhan yang
tinggi dihubungkan dengan pemberian alternatif tersebut diatas kususnya pada pasien HIV. Dosis obat antituberkulosis ini harus mengikuti
rekomendasi internasional. Fixed dose combination yang terdiri dari 2 obat yaitu INH dan rifampisin, yang terdiri dari 3 obat yaitu INH, rifampisin,
pirazinamid dan yang terdiri dari 4 obat yaitu INH, rifampisin, pirazinamid dan etambutol sangat dianjurkan khususnya bila tidak dilakukan
pengawasan langsung saat menelan obat.
9. Untuk menjaga dan menilai kepatuhan terhadap pengobatan perlu dikembangkan suatu pendekatan yang terpusat kepada pasien berdasarkan
kebutuhan pasien dan hubungan yang saling menghargai antara pasien dan pemberi pelayanan. Supervisi dan dukungan harus memperhatikan
kesensitifan gender dan kelompok usia tertentu dan sesuai dengan intervensi yang dianjurkan dan pelayanan dukungan yang tersedia termasuk
edukasi dan konseling pasien. Elemen utama pada strategi yang terpusat kepada pasien adalah penggunaan pengukuran untuk menilai dan
meningkatkan kepatuhan berobat dan dapat menemukan bila terjadi ketidak patuhan terhadap pengobatan. Pengukuran ini dibuat khusus untuk
keadaan masing masing individu dan dapat diterima baik oleh pasien maupun pemberi pelayanan. Pengukuran tersebut salah satunya termasuk
pengawasan langsung minum obat oleh PMO yang dapat diterima oleh pasien dan sistem kesehatan serta bertanggungjawab kepada pasien
dan sistem kesehatan
10. Respons terapi semua pasien harus dimonitor. Pada pasien TB paru penilaian terbaik adalah dengan pemeriksaan sputum ulang (2x) paling
kurang pada saat menyelesaikan fase awal (2 bulan), bulan ke lima dan pada akhir pengobatan. Pasien dengan BTA+ pada bulan ke lima
pengobatan dianggap sebagai gagal terapi dan diberikan obat dengan modifikasi yang tepat (sesuai standar 14 dan 15). Penilaian respons terapi
pada pasien TB paru ekstraparu dan anak-anak, paling baik dinilai secara klinis. Pemeriksaan foto toraks untuk evaluasi tidak diperlukan dan
dapat menyesatkan (misleading)
11. Pencatatan tertulis mengenai semua pengobatan yang diberikan, respons bakteriologis dan efek samping harus ada untuk semua pasien
12. Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan kemungkinan co infeksi TB-HIV, maka konseling dan pemeriksaan HIV
diindikasikan untuk seluruh TB pasien sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin. Pada daerah dengan prevalens HIV yang rendah, konseling
dan pemeriksaan HIV hanya diindikasi pada pasien TB dengan keluhan dan tanda tanda yang diduga berhubungan dengan HIV dan pada
pasien TB dengan riwayat risiko tinggi terpajan HIV.
13. Semua pasien TB-HIV harus dievaluasi untuk menentukan apakah mempunyai indikasi untuk diberi terapi antiretroviral dalam masa pemberian
OAT.Perencanaan yang sesuai untuk memperoleh obat antiretroviral harus dibuat bagi pasien yang memenuhi indikasi. Mengingat terdapat
kompleksiti pada pemberian secara bersamaan antara obat antituberkulosis dan obat antiretroviral maka dianjurkan untuk berkonsultasi kepada
pakar di bidang tersebut sebelum pengobatan dimulai, tanpa perlu mempertimbangkan penyakit apa yang muncul lebih dahulu. Meskipun
demikian pemberian OAT jangan sampai ditunda. Semua pasien TB-HIV harus mendapat kotrimoksasol sebagai profilaksis untuk infeksi lainnya.
14. Penilaian terhadap kemungkinan resistensi obat harus dilakukan pada semua pasien yang berisiko tinggi berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya, pajanan dengan sumber yang mungkin sudah resisten dan prevalens resistensi obat pada komuniti. Pada pasien dengan
kemungkinan MDR harus dilakukan pemeriksaan kultur dan uji sensitifity terhadap INH, rifampisin dan etambutol.
15. Pasien TB dengan MDR harus diterapi dengan paduan khusus terdiri atas obat-obat lini kedua. Paling kurang diberikan 4 macam obat yang
diketahui atau dianggap sensitif dan diberikan selama paling kurang 18 bulan. Untuk memastikan kepatuhan diperlukan pengukuran yang
berorientasi kepada pasien. Konsultasi dengan pakar di bidang MDR harus dilakukan.
16. Semua petugas yang melayani pasien TB harus memastikan bahwa individu yang punya kontak dengan pasien TB harus dievaluasi (terutama
anak usia dibawah 5 tahun dan penyandang HIV), dan ditatalaksana sesuai dengan rekomendasi internasional. Anak usia dibawah 5 tahun dan
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO Tuberculosis Fact Sheet no. 104. Available at: http//www.who.Tuberculosis.htm. Accesed on March 3, 2004.
2. Global tuberculosis control. WHO Report, 2003.
3. Rasjid R. Patofisiologi dan diagnostik tuberkulosis paru. Dalam: Yusuf A, Tjokronegoro A. Tuberkulosis paru pedoman penataan diagnostik dan
terapi. Jakarta, Balai Penerbit FKUI, 1985:1-11.
4. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, eds 9. Jakarta, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005.
5. Aditama TY, Luthni E. Buku petunjuk teknik pemeriksaan laboratorium tuberkulosis, eds 2. Jakarta, Laboratoirum Mikrobiologi RS Persahabatan
dan WHO Center for Tuberculosis, 2002.
6. Hopewell PC, Bloom BR. Tuberculosis and other mycobacterial disease. In: Murray JF, Nadel JA. Textbook of respiratory medicine 2nd ed.
Philadelphia, WB Saunders Co, 1994;1095-100.
7. McMurray DN. Mycobacteria and nocardia. In: Baron S. Medical microbiology 3rd ed. New York, Churchil Livingstone, 1991; 451-8.
8. Besara GS, Chatherjee D. Lipid and carbohydrate of Mycobacterium tuberculosis. In: Bloom BR. Tuberculosis. Washington DC, ASM Preess,
1994;285-301.
9. Edward C, Kirkpatrick CH. The imunology of mycobacterial disease. Am Rev Respir Dis 1986;134:1062-71.
10. Andersen AB, Brennan P. Proteins and antigens of Mycobacterium Tuberculosis. In: In: Bloom BR. Tuberculosis. Washington DC, ASM Preess,
1994;307-32.
11. Rosilawati ML. Deteksi Mycobacterium tuberculosis dengan reaksi berantai Polimerasa / Polymerase Chain Reaction (PCR). Tesis Akhir Bidang
Ilmu Kesehatan Ilmu Biomedik Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Jakarta, 1998.
12. Netter FH. Respiratory system. In: Divertie MB, Brass A. The Ciba colletion of medical illustrations. CIBA Pharmaceuticals Company, 1979:189.
13. Winariani. Pedoman penanganan tuberkulosis paru dengan resistensi multi obat (MDR-TB). Kumpulan naskah ilmiah tuberkulosis. Pertemuan
Ilmiah Nasional Tuberkulosis PDPI, Palembang 1997.
14. American Thoracic Society Workshop. Rapid diagnostic test for tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med, 1997;155:1804-14.
15. ICT Diagnostic. Performance characteristics of the ICT tuberculosis test in China, 1997;1-9.
16. Cole RA, Lu HM, Shi YZ, Wang J, De Hua T, Zhun AT. Clinical evaluation of a rapid immunochromatographic assay based on the 38 kDa antigen
of Mycobacterium tuberculosis in China. Tubercle Lung Dis 1996;77:363-8.
17. Mycodot test kit untuk mendeteksi antibodi terhadap Mycobacterium spp sebagai alat Bantu dalam mendiagnosis TB aktif. Mycodot diagnosa
cepat tuberculosis. PT. Enseval Putera Megatrading.
18. Kelompok Kerja TB-HIV Tingkat Pusat. Prosedur tetap pencegahan dan pengobatan tuberkulosis pada orang dengan HIV / AIDS. Jakarta,
Departemen Kesehatan RI, 2003.
19. Soepandi PZ. Stop mutation with fixed dose combinantion. Departemen of Respiratory Medicine, Faculty of Medicine, University of Indonesia
Persahabatan Hospital, Jakarta-Indonesia.
20. Soepandi PZ. Penatalaksanaan kasus TB dengan resistensi ganda (Multi Drug Resistance/MDR). Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
Respirasi FKUI, RS Persahabatan - Jakarta.
21. Khaled NA, Enarson D. Tuberculosis a manual for medical students. WHO, 2003.
22. Treatment of Tuberculosis. Guidelines for National Programmes 3rd ed. WHO Geneva, 2003.
23. Pedoman Pengobatan Antiretroviral (ART) di Indonesia. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan, 2004.
24. Prihatini S. Directly observed treatment shortcourse. Simposium tuberculosis terintegrasi. Kegiatan dies natalis Universitas Indonesia ke-49.
FKUI, Jakarta 1998.
25. Strategic directions. The global plan to stop TB 2006 2015. Available at:http/www.stoptb.org/globanplan/plan. Accesed on June 4, 2006.
Sarjana Universitas Indonesia. Jakarta, 1998. 12. Netter FH. Respiratory system. In: Divertie MB, Brass A. The Ciba colletion of medical
illustrations. CIBA Pharmaceuticals Company, 1979:189. 13. Winariani. Pedoman penanganan tuberkulosis paru dengan resistensi multi obat (MDR-
TB). Kumpulan naskah ilmiah tuberkulosis. Pertemuan Ilmiah Nasional Tuberkulosis PDPI, Palembang 1997. 14. American Thoracic Society
Workshop. Rapid diagnostic test for tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med, 1997;155:1804-14. 15. ICT Diagnostic. Performance characteristics of
the ICT tuberculosis test in China, 1997;1-9. 16. Cole RA, Lu HM, Shi YZ, Wang J, De Hua T, Zhun AT. Clinical evaluation of a rapid
immunochromatographic assay based on the 38 kDa antigen of Mycobacterium tuberculosis in China. Tubercle Lung Dis 1996;77:363-8. 17. Mycodot
test kit untuk mendeteksi antibodi terhadap Mycobacterium spp sebagai alat Bantu dalam mendiagnosis TB aktif. Mycodot diagnosa cepat tuberculosis.
PT. Enseval Putera Megatrading. 18. Kelompok Kerja TB-HIV Tingkat Pusat. Prosedur tetap pencegahan dan pengobatan tuberkulosis pada orang
dengan HIV / AIDS. Jakarta, Departemen Kesehatan RI, 2003. 19. Soepandi PZ. Stop mutation with fixed dose combinantion. Departemen of
Respiratory Medicine, Faculty of Medicine, University of Indonesia Persahabatan Hospital, Jakarta-Indonesia. 20. Soepandi PZ. Penatalaksanaan
kasus TB dengan resistensi ganda (Multi Drug Resistance/MDR). Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI, RS Persahabatan -
Jakarta. 21. Khaled NA, Enarson D. Tuberculosis a manual for medical students. WHO, 2003. 22. Treatment of Tuberculosis. Guidelines for National
Programmes 3rd ed. WHO Geneva, 2003. 23. Pedoman Pengobatan Antiretroviral (ART) di Indonesia. Departemen Kesehatan RI Direktorat
Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, 2004. 24. Prihatini S. Directly observed treatment shortcourse. Simposium
tuberculosis terintegrasi. Kegiatan dies natalis Universitas Indonesia ke-49. FKUI, Jakarta 1998. 25. Strategic directions. The global plan to stop TB