Anda di halaman 1dari 9

Usus besar terdiri dari kolon, sekum, apendiks, dan rektum (Gambar 16-29).

Sekum membentuk kantung


buntu di ba- wah pertemuan antara usus halus dan usus besar di katup ileosekum. Tonjolan kecil seperti
jari di dasar sekum adalah apendiks, suatu jaringan limfoid yang mengandung limfosit (lihat h. 448).

Kolon, yang membentuk sebagian besar usus besar, tidak bergelung seperti usus halus tetapi terdiri dari
tiga bagian yang relatif lurus - kolon asendens, kolon trans' uersum, dan kolon desendens. Bagian
terakhir kolon desendens membentuk huruf S, membentuk kolon sigmoid (sigmoid artinya "berbentuk
S"), kemudian lurus untuk membentuk rektum (rektum artinya "lurus").
Kolon normalnya menerima sekitar 500 ml kimus dari usus halus per hari. Karena sebagian besar
pencernaan dan penyerapan telah diselesaikan di usus halus maka isi yang di- salurkan ke kolon terdiri
dari residu makanan yang tak ter- cerna (misalnya selulosa), komponen empedu yang tidak diserap, dan
cairan. Kolon mengekstraksi HrO dan garam dari isi lumennya. Apa yang terringgal dan akan dikeluarkan
disebut feses (tinja). Fungsi utama usus besar adalah untuk menyimpan tinja sebelum defekasi. Selulosa
dan bahan lain yang tak tercerna di dalam diet membentuk sebagian besar massa dan karenanya
membantu mempertahankan keter- aturan buang air.

Lapisan otot polos longitudinal luar tidak mengelilingi usus besar secara penuh. Lapisan ini terdiri dari
tiga pita otot longitudinal yang terpisah, taeniae coli, yang berjalan di sepanjang usus besar. teniae coli
ini lebih pendek daripada otot polos sirkular dan lapisan mukosa di bawahnya jika ke- dua lapisan ini
dibentangkan datar. Karena itu, lapisan- Iapisan di bawahnya disatukan membentuk kantung atau
haustra, seperti rok panjang mengembang yang diikat di bagian pinggang yang menyempit. Haustra
bukanlah sekedar kumpulan permanen yang pasif; haustra secara aktif berganti lokasi akibat kontraksi
lapisan otot polos sirkular.

Umumnya gerakan usus besar berlangsung lambat dan tidak mendorong sesuai fungsinya sebagai
rempat penyerap- an dan penyimpanan. Motilitas utama kolon adalah kon- traksi haustra yang dipicu
oleh ritmisitas otonom sel-sel otot polos kolon. Kontralsi ini, yang menyebabkan kolon membentuk
haustra, serupa dengan segmentasi usus halus tetapi terjadi jauh lebih jarang. .Waktu di antara dua
kontraks ihaustra dapat mencapai tiga puluh menit, sementara kon- traksi segmentasi di usus halus
berlangsung dengan frekuensi 9 sampai 12 kali per menit. Lokasi kantung haustra secara bertahap
berubah sewaktu segmen yang semula melemas dan membentuk kantung mulai berkontraksi secara
perlahan se- mentara bagian yang tadinya berkontraksi melemas secara bersamaan untuk membentuk
kantung baru. Gerakan ini ti- dak mendorong isi usus tetapi secara perlahan mengaduknya maju-mundur
sehingga isi kolon terpajan ke mukosa penye- rapan. Kontraksi haustra umumnya dikontrol oleh refleks-
refleks lokal yang melibatkan pleksus intrinsik.

Tiga atau empat kali sehari, umumnya setelah makan, terjadi peningkatan mencolok motilitas saat
segmen-segmen besar kolon asendens dan transversum berkontraksi secara simul- tan. mendorong tinja
sepertiga sampai tiga perempat panjang kolon dalam beberapa detik. Kontraksi masif ini, yang secara
tepat dinamai gerakan massa, mendorong isi kolon ke bagian distal usus besar, tempat bahan disimpan
sampai terjadi defekasi.

Ketika makanan masuk ke lambung, terjadi refleks gastrokolon yang diperantarai dari lambung ke kolon
oleh gastrin dan saraf oronom ekstrinsik, yang menjadi pemicu utama gerakan massa di kolon. Pada
banyak orang, refleks ini paling jelas setelah sarapan dan sering diikuti oleh ke- inginan untuk buang air
besar. Karena itu, ketika makanan masuk ke saluran cerna, rerpicu refleks-refleks yang memin- dahkan
isi yang sudah ada ke bagian distal untuk menyedia- kan tempat bagi makanan yang baru masuk. Refleks
gas- troileum memindahkan isi usus halus yang masih ada ke dalam usus besar, dan refleks gastrokolon
mendorong isi ko- lon ke dalam rektum, memicu refleks defekasi.

Ketika gerakan massa di kolon mendorong tinja ke dalam rektum, peregangan yang terjadi di rektum
merangsang re- septor regang di dinding rektum, memicu refleks defekasi. Refleks ini menyebabkan
sffngter ani internus (yaitu otot polos) melemas dan rektum dan kolon sigmoid berkontraksi lebih kuat.
Jika sffngter ani eksternus (yaitu otot rangka) juga melemas maka terjadi defekasi. Karena otot rangka,
sfingter ani eksternus berada di bawah kontrol volunter. Pe- regangan awal dinding rektum disertai oleh
timbulnya tas^ ingin buang air besar. Jika keadaan tidak memungkinkan defekasi maka pengencangan
sfingter ani eksternus secara sengaja dapat mencegah defekasi meskipun refleks defekasi telah aktif. Jika
defekasi ditunda maka dinding rektum yangsemuia teregang secara perlahan melemas, dan keinginan
un- tuk buang air besar mereda sampai gerakan massa berikutnya mendorong lebih banyak tinja ke
dalam rektum dan kembali meregangkan rektum sema memicu refleks defekasi. Selama periode
inaktivitas, kedua sfingter tetap berkontraksi untuk menjamin kontinensia tinja.
Jika defekasi terjadi maka biasanya dibantu oleh gerakan mengejan volunter yang melibatkan kontraksi
otot abdomen dan ekspirasi paksa dengan glotis tertutup secara bersamaan. Tindakan ini sangat
meningkatkan tekanan intraabdomen, yang membantu mendorong rinja.

semuia teregang secara perlahan melemas, dan keinginan un- tuk buang air besar mereda sampai
gerakan massa berikutnya mendorong lebih banyak tinja ke dalam rektum dan kembali meregangkan
rektum sema memicu refleks defekasi. Selama periode inaktivitas, kedua sfingter tetap berkontraksi
untuk menjamin kontinensia tinja.
Jika defekasi terjadi maka biasanya dibantu oleh gerakan mengejan volunter yang melibatkan kontraksi
otot abdomen dan ekspirasi paksa dengan glotis tertutup secara bersamaan. Tindakan ini sangat
meningkatkan tekanan intraabdomen, yang membantu mendorong rinja.

Jika defekasi ditunda terlalu lama maka dapat terjadi konstipasi (sembelit). Ketika isi kolon tertahan
lebih lama daripada normal maka HrO yang diserap dari tinja me- ningkat sehingga tinja menjadi kering
dan keras. Variasi normal frekuensi defekasi di antara individu berkisar dari setiap makan hingga sekali
seminggu. Ketika frekuensi berkurang melebihi apa yang normal bagi yang bersang- kutan maka dapat
terjadi konstipasi berikut gejala-gejala terkaitnya. Gejala-gejala ini mencakup rasa tidak nyaman di
abdomen, nyeri kepala tumpul, hilangnya nafsu makan yang kadang disertai mual, dan depresi mental.
Berbeda dari anggapan umum, gejala-gejala ini tidak disebabkan oleh toksin yang diserap dari bahan
tinja yang tertahan. Meskipun me tabolisme bakteri menghasilkan bahan-bahdn yang mungkin toksik di
kolon namun bahan-bahan ini normalnya mengalir melalui sistem porta dan dising- kirkan oleh hati
sebelum dapat mencapai sirkulasi siste- mik. Gejala-gejala yang berkaitan dengan konstipasi disebabkan
oleh distensi berkepanjangan usus besar, ter- utama rektum; gejala segera hilang setelah peregangan
mereda.
Kemungkinan penyebab tertundanya defeksi yang da- pat menimbulkan konstipasi mencakup (l)
mengabaikan ke- inginan untuk buang air besar; (2) berkurangnya motilitas kolon karena usia, emosi,
atau diet rendah serat; (3) obstruksi gerakan feses di usus besar oleh tumor lokal atau spasme kolon;
dan (4) gangguan reflela defekasi, misalnya karena cedera jalur-jalur saraf yang terlibat.
CATAIAN KLINIS. Jika bahan tinja yang mengeras tersangkut di apendiks maka sirkulasi normal dan
sekresi mukus di tempat tersebut dapat terganggu. Penlmmbatan ini menyebabkan peradangan
apendiks, atau apendisitis. Apen- diks yang meradang sering membengkak dan terisi oleh pus, dan
jaringan dapat mati akibat gangguan sirkulasi lokal. Jika tidak diangkat dengan pembedahan maka
apendiks yang sakit dapat pecah, menumpahkan isinya yang penuh kuman ke dalam rongga abdomen.

Usus besar tidak mengeluarkan enzim pencernaan apapun. Tidak ada yang diperlukan karena
pencernaan telah selesai sebelum kimus mencapai kolon. Sekresi kolon terdiri dari larutan mukus basa
(NaHCOu) y^ng fungsinya adalah me- lindungi mukosa usus besar dari cedera mekanis dan kimiawi.
Mukus menghasilkan pelumasan untuk mempermudah feses bergerak, sementara NaHCOu menetralkan
asam-asam iritan yang diproduksi oleh fermentasi bakteri lokal. Sekresi me- ningkat sebagai respons
terhadap stimulasi mekanis dan kimiawi mukosa kolon yang diperantarai oleh refleks pendek dan
persarafan parasimpatis.
Tidak terjadi pencernaan di usus besar karena tidak ter- dapat enzim pencernaan. Namun, bakteri kolon
mencerna sebagian dari selulosa untuk kepentingan mereka.

Karena gerakan kolon yang lambat maka bakteri memiliki waktu untuk tumbuh dan menumpuk di usus
besar. Se- baliknya, di usus halus isi biasanya dipindahkan secara cepat sehingga bakteri tidak dapat
tumbuh. Selain itu, mulut, lam- bung, dan usus halus mengeluarkan bahan-bahan antibak- teri, tetapi
kolon tidak. Namun, tidak semua bakteri yang tertelan dihancurkan oleh lisozim dan HCl. Bakteri yang
bertahan hidup terus berkembang di usus besar. Jumlah bakteri yang hidup di kolon manusia adalah
sekitar 10 kali lebih banyak daripada jumlah sel yang ada di tubuh manusia. Secara kolektif, massa
bakteri ini memiliki berat 1000 g. Diperkirakan terdapat 500 sampai 1000 spesies bakteri yang berbeda
hidup di kolon. Mikroorganisme kolon ini biasanya tidak saja tidak membahayakan tetapi pada
keinyataannya dapat bermanfaat. Sebagai contoh, bakteri penghuni (1) meningkatkan imunitas usus
dengan berkompetisi mempe- rebutkan nutrien dan ruang dengan mikroba yang berpotensi patogen
(lihat h. 487); (2) mendorong modlitas kolon; (3) membantu memelihara integritas mukusa kolon; dan
(4) memberi kontribusi nutrisi. Sebagai contoh, bakteri mensin- tesis vitamin K yang dapat diserap dan
meningkatkan ke- asaman kolon sehingga mendorong penyerapan kalsium, magnesium, dan seng. Selain
itu, berbeda dari anggapan se- belumnya, sebagian dari glukosa yang dibebaskan selama pemrosesan
serat makanan oleh bakteri diserap oleh mukosa kolon.

Sebagian penyerapan berlangsung di dalam kolon, tetapi dengan tingkatan yang lebih rendah daripada
di usus halus. Karena permukaan lumen kolon cukup halus maka luas per- mukaan absorptifnya jauh
lebih kecil daripada usus halus. Selain itu kolon tidak dilengkapi oleh mekanisme transpor khusus seperti
yang dimiliki oleh usus halus. Jika motilitas usus halus yang tinggi menyebabkan isi usus cepat masuk ke
kolon sebelum absorpsi nutrien tuntas maka kolon tidak dapat menyerap sebagian besar bahan ini dan
bahan akan keluar sebagai diare.
Kolon dalam keadaan normal menyerap garam dan HrO. Natrium diserap secara aktil Cl- mengikuti
secara pasif menuruni gradien listrik, dan HrO mengikuti secara osmotis. Kolon menyerap sejumlah
elektrolit lain serta vitamin K yang disintesis oleh bakteri kolon.
Melalui absorpsi garam dan HrO terbentuk massa tinja yang padat. Dari 500 g bahan yang masuk ke
kolon setiap hari dari usus halus, kolon normalnya menyerap se- kitar 350 ml, meninggalkan 150 g feses
untuk dikeluarkan dari tubuh setiap hari (lihat Tabel 16-7). Bahan feses ini biasanya terdiri dari 100 g
HrO dan 50 g bahan padat, ter- masuk selulosa yang tidak rercerna, bilirubin, bakteri, dan sejumlah kecil
garam. Karena itu, berbeda dari pandangan umum, saluran cerna bukan saluran ekskresi utama untuk
mengeluarkan zat sisa dari tubuh. Produk sisa utama yang diekskresikan di tinja adalah bilirubin.
Konstituen-konsti- tuen tinja lain adalah residu makanan yang tidak terserap dan bakteri, yang
sebenarnya tidak pernah menjadi bagian dari tubuh.
Kadang-kadang, selain feses yang keluar dari anus, gas usus, atau flatus, juga keluar. Gas ini terutama
berasal dari dua sumber: (1) udara yang tertelan (hingga 500 ml udara mungkin tertelan ketika makan)
dan (2) gas yang di- produksi oleh fermentasi bakteri di kolon. Adanya gas yang mengalir melalui isi
lumen menimbulkan suara ber- kumur yang dikenal sebagai borborigmi. Bersendawa, mengeluarkan
sebagian besar udara yang tertelan dari lambung, tetapi sebagian masuk ke usus. Di usus biasanya hanya
sedikit terdapat gas karena gas cepar diserap atau diteruskan ke dalam kolon. Sebagian besar gas di
kolon disebabkan oleh aktivitas bakteri, dengan jumlah dan sifat gas bergantung pada jenis makanan
yang dikonsumsi dan karakteristik bakteri kolon. Sebagian makanan, misalnya kacang-kacangan,
mengandung tipe-tipe karbohidrat yang tidak dapat dicerna oleh manusia tetapi dapat diserang oleh
bakteri penghasil gas. Banyak dari gas ini yang di- serap melalui mukosa usus. Sisanya dikeluarkan
melalui anus.
Untuk secara selektif mengeluarkan gas ketika feses juga ada di rektum, yang bersangkutan secara
sengaja mengon- traksikan otot-otot abdomen dan sfingter ani eksternus secara bersamaan. Ketika
kontraksi abdomen meningkatkan tekan- an yang menekan sfingter ani eksternus yang menutup maka
terbentuk gradien tekanan yang memaksa udara keluar dengan kecepatan tinggi melalui lubang anus
yang berbentuk celah dan terlalu sempit untuk keluarnya feses. Lewatnya udara dengan kecepatan
tinggi menyebabkan tepi-tepi lu- bang anus bergetar, menghasilkan nada rendah khas yang menyertai
keluarnya gas.
Di Indonesia, seperti yang terdapat pada laporan registrasi kanker nasional yang dikeluarkan oleh
Direktorat Pelayanan Medik Departmen Kesehatan bekerja sama dengan Perhimpunan Patologi
Anatomik Indonesia, didapatkan angka yang agak berbeda. Hal yang menarik di sini adalah
kecenderungan untuk umur yang lebih muda dibandingkan dengan laporan dari negara barat. Untuk
Data dari Bagian Patologi Anatomik FKUI mendapatkan angka 35,265% untuk usia di bawah 40 tahun.

STADIUM, FAKTOR PROGNOSTIK DAN POLA PENAPISAN

Prognosis pasien KKR berhubungan dengan dalamnya penetrasi tumor ke dinding kolon, keterlibatan
KGB regional atau metastasis jauh. Semua variabel ini digabung sehingga dapat ditentukan sistem
staging yang awalnya dikembangkan oleh Dukes. (Tabel 3) dan diaplikasi dalam metode klasifikasi TNH
dalam hal ini, T menunjukkan kedalaman penetrasi tumor, N menandakan keterlibatan kelenjar getah
bening dan M ada tidaknya metastasis jauh.

Lesi superfisial yang tidak mencapai lapisan muskularis atau KGB dianggap sebagai stadium A (T 1 N 0 M
0 ), tumor yang merasuk lebih dalam namun tidak menyebar ke KGB dikelompokkan sebagai stadium B1
(T 2 N 0 M 0 ) . Bila tumor terbatas sampai lapisan muskularis disebut stadium B2 (T N M ) . Bila tumor
menginfiltasi serosa dan KGB disebut

3 0 0 stadium C (TxN,M 0 ), dan bila terdapat anak sebar di hati, paru, atau tulang mempertegas stadium
D (TxNxM 1 ) . Bila status metastasis belum dapat dipastikan maka sulit menentukan stadium. Oleh
karena itu pemeriksaan mikroskopik terhadap spesimen bedah sangat penting dalam menentukan
stadium.

Umumnya rekurensi kanker kolorektal terjadi dalam 4 tahun setelah pembedahan sehingga harapan
hidup rata-rata 5 tahun dapat menjadi indikator kesembuhan. lndikator buruknya prognosis kanker
kolorektal setelah menjalani operasi dapat dilihat pada tabel 4.

Kanker kolorektal umumnya menyebar ke KGB regional atau ke hati melalui sirkulasi vena portal. Hati
merupakan organ yang paling sering mendapat anak sebar KGB. Sepertiga kasus KKR yang rekuren
disertai

dengan metastasis ke hati dan duapertiga pasien KKR ditemukan metastasis di hati pada waktu
meninggal. KKR jarang bermetastasis ke paru. KGB superklavikula tulang atau otak tanpa ditemukan
anak sebar di hati terlebih dahulu. Pengecualian terjadi bilamana tumor dapat terletak di distal rektum,
sel tumor dapat menyebar melalui pleksus vena paravertebrae kemudian dapat mencapai paru atau
KGB supraklavikula tanpa melewati sistem vena porta. Rata-rata harapan hidup setelah ditemukan
metastasis berkisar 6-9 bulan (hepatomegali & gangguan pada hati) atau 20-30 bulan (nodul kecil di hati
yang ditandai oleh peningkatan CEA dan gambaran CT-Scan).

GAMBARAN KLINIS

Keluhan dan Tanda

Kebanyakan kasus KKR didiagnosis pada usia sekitar 50 tahun dan umumnya sudah memasuki stadium
lanjut sehingga prognosisnya juga buruk. Keluhan yang paling sering dirasakan pasien KKR di antaranya:
perubahan pola buang air besar, perdarahan per anus (hematokezia) dan konstipasi.

Kanker kolorektal umumnya berkembang lamban, keluhan dan tanda-tanda fisik timbul sebagai bagian
dari komplikasi seperti obstruksi, serta perdarahan akibat invasi lokal, dan kakeksia. Obstruksi kolon
biasanya terjadi di kolon transversum. Kolon descenden dan kolon sigmoid karena ukuran lumennya
lebih kecil daripada bagian kolon yang lebih proksimal.

Obstruksi parsial awalnya ditandai dengan nyeri abdomen. Namun bila obstruksi total terjadi akan
menyebabkan nausea, muntah, distensi dan obstipasi.

Kanker kolorektal dapat berdarah sebagai bagian dari tumor yang rapuh dan mengalami ulserasi.
Meskipun perdarahan umunnya tersamar namun hematokezia timbul pada sebagian kasus. Tumor yang
terletak lebih distal umumnya disertai hematokezia atau darah dalam feses tetapi tumor yang proksimal
sering disertai dengan anemia defesiensi besi.

lnvasi lokal dari tumor menimbulkan tenesmus, hematuria, infeksi saluran kemih berulang dan obstruksi
uretra. Akut abdomen dapat terjadi jika tumor tersebut menimbukan perforasi. Kadang timbul fistula
antara kolon dengan lambung atau usus halus. Asites maligna dapat terjadi akibat invasi tumor ke
lapisan serosa dan sebaran ke peritoneal. Metastasis jauh ke hati dapat menimbulkan nyeri perut,
ikterus dan hipertensi portal.

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Prosedur Diagnosis pada Pasien dengan Gejala

Keberadaan kanker kolorektal dapat dikenali dari beberapa tanda seperti: anemia mikrositik,
hematokezia, nyeri perut, berat badan turun atau perubahan defekasi, oleh sebab itu perlu segera
dilakukan pemeriksaan endoskopi atau radiologi. Temuan darah samar di feses memperkuat dugaan
neoplasia namun bila tidak ada darah samartidak dapat menyingkirkan lesi neoplasma.
Laboratorium.

Umumnya pemeriksaan laboratorium pada pasien adenoma kolon memberikan hasil normal.
Perdarahan intermitten dan polip yang besar dapat dideteksi melalui darah samar feses atau anemia
defisiensi besi.

Pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan enema barium kontras ganda hanya mampu mendeteksi 50% polip
kolon dengan spesifisitas 85%. Bagian rektosigmoid sering sulit untuk divisualisasi meskipun bila dibaca
oleh ahli radiologi senior. Oleh karena itu pemeriksaan rektosigmoidoskopi masih diperlukan. Bilamana
ada lesi yang mencurigakan pemeriksaan kolonoskopi diperlukan untuk biopsi. Pemeriksaan lumen
barium teknik kontras ganda merupakan alternatif lain untuk kolonoskopi namun pemeriksaan ini sering
tak bisa mendeteksi lesi berukuran kecil. Enema barium cukup efektif untuk memeriksa bagian kolon di
balik striktur yang tak terjangkau dengan pemeriksaan kolonoskopi.

Kolonoskopi. Kolonoskopi merupakan cara pemeriksaan mukosa kolon yang sangat akurat dan dapat
sekaligus melakukan biopsi pada lesi yang mencurigakan. Pemeriksaan kolon yang lengkap dapat
mencapai >95% pasien. Rasa tidak nyaman yang timbul sangat tergantung pada operator untuk itu
sedikit obat penenang intravena akan sangat membantu meskipun ada risiko perforasi dan perdarahan,
tetapi kejadian seperti ini kurang dari 0,5%. Kolonoskopi dengan enema barium, diindikasikan terutama
untuk mendeteksi lesi kecil seperti adenoma.

Masalah biaya sering dipersoalkan pada penggunaan kolonoskopi untuk pemeriksaan penapisan.
Sejumlah studi telah membuktikan bahwa kolonoskopi merupakan pemeriksaan yang paling akurat dan
sangat cost effective untuk pemeriksaaan pasien yang simptomatik.

Kolonoskopi merupakan prosedur terbaik pada pasien yang diperkirakan mempunyai polip kolon.
Kolonoskopi mempunyai sensitivitas (95%) dan spesifisitas (99%) paling tinggi dibanding modalitas yang
lain untuk mendeteksi polip adenomatosus. Di samping itu dapat melakukan biopsi dan tindakan
polipektomi untuk mengangkat polip. Secara endoskopi sulit untuk membedakan jenis- jenis polip
secara histologi, oleh karena itu biopsi dan polipektomi penting untuk menegakkan diagnosis secara
histologi.

Evaluasi histologi. Adenoma diklasifikasikan sesuai dengan gambaran histologi yang dominan. Yang
paling sering adalah adenoma tubular (85%), adenoma tubulovilosum (10%) dan adenom serrata (1%).
Temuan sel atipik pada adenoma dikelompokkan menjadi ringan, sedang dan berat. Gambaran atipik
berat menunjukkan adanya fokus karsinomatosus namun belum menyentuh membran basalis. Bilamana
sel ganas menembus membran basalis tapi tidak melewati muskularis mukosa disebut karsinoma intra
mukosa. Secara umum, risiko displasi berat atau adenokarsinoma berhubungan dengan ukuran polip
dan dominasi jenis vilosum.
Pengobatan

Kemoprevensi. Obat Antiinflamasi Nonsteroid (OAIN) termasuk aspirin dianggap berhubungan dengan
penurunan mortalitas KKR. Beberapa OAIN seperti sulindac dan Celecoxib telah terbukti secara efektif
menurunkan insidens berulangnya adenoma pada pasien dengan FAP (Familial Adenomatous polyposis).
Data epidemiologi menunjukkan adanya penurunan risiko kanker dikalangan pemakai OAIN namun bukti
yang mendukung manfaat pemberian aspirin dan OAIN lainnya untuk mencegah KKR sporadik masih
lemah.

Endoskopi dan Operasi. Umumnya polip adenomatosus dapat diangkat dengan tindakan polipektomi.
Bila ukuran <5 mm maka pengangkatan cukup dengan biopsi atau dengan elektrokoagulasi bipolar. Di
samping polipektomi, KKR dapat diatasi dengan operasi . lndikasi untuk hemikolektomi adalah tumor di
caecum, kolon asenden, dan kolon transversum. Lesi di fleksura lienalis dan kolon desenden di atasi
dengan hemikolektomi kiri.

Tumor di sigmoid dan rektum proksimal dapat diangkat dengan tindakan LAR (Low Anterior Resection).
Angka mortalitas akibat operasi sekaitar 5% tetapi bila operasi dikerjakan secara emergensi maka angka
mortalitas menjadi lebih tinggi. Reseksi metastasis di hati dapat memberikan hasil 25-35% rata-rata
masa bebas tumor (disease free survival rate).

Terapi Ajuvan. Sepertiga pasien yang menjalani operasi kuratif akan mengalami rekurensi. Kemoterapi
ajuvan diberikan untuk menurunkan tingkat rekurensi KKR setelah operasi. Pasien Dukes A jarang
mengalami rekurensi sehingga tidak perlu terapi ajuvan. Pasien KKR Dukes C yang mendapat levamisol
dan 5 FU secara signifikan meningkatkan harapan hidup dan masa interval bebas tumor (disease free
interval). Kemoterapi ajuvan tidak berpengaruh pada KKR Dukes B.

lrinotecan (CPT 11) inhibitor topoisomer dapat memperpanjang masa harapan hidup. Oxaliplatin analog
platinumjuga memperbaiki respon setelah diberikan SFU dan leucovorin. Manajemen KKR yang non-
reseksibel Nd-YAG foto koagulasi laser Self expanding metal endoluminal stent
Gejala kanker usus besar yang paling sering adalah perubahan kebiasaan defekasi, perdarahan, nyeri,
anemia, anoreksia, dan penurunan berat badan. Gejala dan tanda penyakit ini bervariasi sesuai dengan
letak kanker dan sering dibagi menjadi kanker yang mengenai bagian kanan dan kiri usus besar.
Karsinoms kalon kiri dan rektum cenderung menye- babkan perubahan defekasi akibat iritasi dan
respons refleks. Sering terjadi diare, nyeri mirip-kejang, dan kembung. Lesi pada kolon kiri cenderung
melingkar, sehingga sering timbul -gangguan obstruksi. Feses dapat kecil dan berbentuk seperti pita.
Baik mukus maupun darah segar sering terlihat pada feses. Dapat terjadi anemia akibat kehilangan
darah kronis. Pertum- buhan pada sigmoid atau rektum dapat mengenai radiks saraf, pembuluh limfe,
atau vena, menimbulkan gejala pfiJa tungkai atau perineum. Hemoroid, nyeri pinggang bagian bawah,
keinginan defekasi, atau sering berkemih dapat timbul akibat tekanan pada struktur tersebut. Karsiyoma
padskolonkann n (isi kolon berupa cairan) cenderung tetap tersamar hingga lanjut sekali, Terdapat
sedikit kecenderungan terjadi obstruksi karena lumen usus lebihbesar dan feses masih encer. Anemia
akibat perdarahan sering terjadi, dan darah bersifat samar dan hanya dapat dideteksi dengan uji guaiak
(suatu uji sederhana yang dapat dilakukan di klinik). Perdarahan dapat bersifat intermiten, sehingga
diindikasikan pemeriksaaan endoskopi atau radiogafi usus besar bila terjadi anemia. Mukus jarang
terlihat, karena tercampur dalam feses. Pada orang kurus, tumor kolon kanan kadang dapat diraba,
tetapi tidak khas pada stadium awal. Penderita mungkin merasa tidak enak pada abdomen, dan kadang
pada epigas- hium.

Anda mungkin juga menyukai