Manifestasi gejala klinis demam tifoid dan derajat beratnya penyakit bervariasi pada populasi yang
berbeda. Sebagian besar pasien yang dirawat di rumah sakit (RS) dengan demam tifoid berusia 5-25
tahun. Namun, beberapa penelitian di komunitas menunjukkan bahwa demam tifoid dapat terjadi pada
usia kurang dari 5 tahun dengan gejala non-spesifik yang secara klinis tidak tampak seperti tifoid.2
Demam tifoid merupakan penyakit demam yang sering ditemukan di negara berkembang. Pemberian
antibiotik menyebabkan perubahan gejala klinis demam tifoid sehingga gejala demam klasik yang
meningkat secara perlahan seperti stepladder dan toksisitas jarang ditemukan. Namun resistensi
antimikroba sering menyebabkan gejala penyakit menjadi berat dan terjadi komplikasi.
Pada anak, periode inkubasi dapat terjadi selama 5-40 hari dengan rata- rata antara 7-14 hari. Gejala
klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan yang tidak memerlukan perawatan khusus
sampai dengan gejala klinis berat yang harus dirawat. Variasi gejala ini disebabkan oleh faktor lamanya
penyakit sebelum diberikan antimikroba yang tepat, pemilihan antimikroba, umur pasien, riwayat
imunisasi, virulensi strain bakteri, jumlah kuantitas inokulum yang tertelan, dan beberapa faktor dari
status imun pejamu.
Pada awalnya, semua penderita demam tifoid akan mengalami demam. Pada masa pemakaian antibiotik
belum seperti saat ini, penampilan demam pada kasus demam tifoid ini memiliki istilah khusus yaitu
step-ladder temperature chart yang ditandai dengan demam timbul insidius, kemudian naik secara
bertahap hingga mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan tetap
tinggi (39-40 derajat celcius) hingga pada minggu ke-4 demam tersebut turun perlahan secara lisis,
kecuali jika terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap.
Orang tua dari pasien demam tifoid banyak yang melaporkan jika demam akan lebih tinggi di sore dan
malam hari dari pada di pagi hari. Jika demam sudah tinggi, maka demam tifoid dapat disertai gejala
sistem saraf pusat, seperti kesadaran berkabut atau delirium atau obtundasi atau penurunan kesadaran
mulai apati sampai koma.
Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala, malaise, anoreksia, nausea,
mialgia, nyeri perut da radang tenggorokan. Pada kasus dengan klinis berat, saat demam akan tampak
toksik/sakit berat. Bahkan penderita demam tifoid yang kekurangan cairan maupun makanan dapat
datang dengan kondisi syok hipovolemik. Gejala gastrointestinal pada kasus demam tifoid sangat
bervariasi. Pasien dapat mengeluh diare, obstipasi, atau obstipasi yang kemudian disusul dengan
episode diare, pada sebagian penderita lidahnya akan tampak kotor dengan putih pada bagian tengah
sedangkan di tepi dan ujungnya akan tampak kemerahan. Banyak dijumpai gejala meteorismus, berbeda
dengan buku bacaan Barat pada anak Indonesia lebih banyak dijumpai hepatomegali dibandingkan
splenomegali.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1-5 mm, dilaporkan pada
5%-30% kasus yang tampak terutama pada abdomen dan dada. sering kali dijumpai pada daerah
abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan
pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan selama 2-3 hari. Pada demam
tifoid banyak dijumpai dengan bronkitis, sehingga pada buku ajar lama dianggap sebagai bagian dari
penyakit demam tifoid. Bradikardi relatif jarang dijumpai pada anak.1,2
Komplikasi terjadi pada 10%-15% kasus yang menderita penyakit lebih dari 2 minggu. Komplikasi yang
sering terjadi adalah perforasi saluran cerna (10%) dan ensefalopati tifoid (10-40%). Oleh karena itu,
pemeriksaan diagnostik baru memegang peran penting untuk mengetahui insidens kasus demam tifoid
di suatu negara dan program jadwal imunisasi disesuaikan dengan prevalens penyakit di negara masing-
masing. Perkembangan alat uji diagnostik untuk demam tifoid yang murah dapat dipercaya dapat
memberi manfaat jangka panjang dalam mengendalikan dan mengobati penyakit tersebut.
Gambaran gejala klinis dapat berbeda berdasarkan penyakit komorbitiditas dan pemberian antibiotik
sebelumnya. Gejala demam tifoid yang mengalami multidrug resistant lebih berat, disertai kejadian
toksik, komplikasi, dan mortalitas yang lebih tinggi. Kendati penilaian klinis demam tifoid dapat sulit,
sebaiknya ada protokol algoritme penegakan diagnosis demam tifoid di daerah endemis sehingga tata
laksana menjadi adekuat.