Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Laringofaringeal Refluks (LPR) didefinisikan sebagai gejala kronis atau
kerusakan mukosa laring yang disebabkan oleh refluks abnormal isi lambung ke
dalam saluran napas bagian atas. Laringofaringeal Refluks (LPR) merupakan
suatu keadaan adanya refluks asam lambung ke ruang laringofaring, di mana
laringofaring merupakan bagian yang berdekatan dengan jaringan di traktus
aerodigestive atas.(1,2)
Laringofaringeal refluks banyak ditemukan di belahan bumi bagian barat
serta sering mengenai usia diatas 40 tahun. Tidak ditemukan predileksi ras pada
penyakit laringofaringeal refluks. Namun prevalensi pria dibandingkan wanita
yaitu 55% : 45% dan meningkat pada usia lebih dari 44 tahun. Penyebab yang
menimbulkan hal ini belum diketahui secara pasti diduga berhubungan dengan
pola konsumsi masyarakat barat, olahraga genetik dan kebiasaan berobat.(3)
Beberapa penulis mempertimbangkan bahwa pada dasarnya LPR merupakan
manifestasi ekstraesofageal dari gastroesofageal refluks (GERD). Amerika Serikat
beranggapan LPR merupakan bentuk lain dari Gastroesofageal refluks (GERD)
karena pada pasien LPR tidak perlu ditemukan gejala spesifik GERD seperti rasa
panas di dada (heartburn) dan regurgitasi. Walaupun penyebab kedua penyakit
tersebut sama, LPR harus dibedakan dari GERD. Pasien dengan LPR biasanya
mempunyai keluhan di daerah kepala dan leher sedangkan pada GERD biasanya
didapatkan keluhan klasik seperti esofagitis dan rasa panas di dada (heartburn).
Perbedaan ini menyebabkan kedua penyakit tersebut memerlukan perbedaan
penatalaksanaan.(2,3)
Insidens LPR mencapai sekitar 20% dari populasi orang dewasa di Amerika
Serikat. Berdasarkan data Audit Inggris (data tidak dipublikasikan), 4% dari 500
juta dihabiskan untuk membeli obat proton pump inhibitors setiap tahunnya oleh
the National Health Service digunakan untuk pengobatan LPR.(3)
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI

2.1.1 Anatomi Faring

Untuk keperluan klinis faring dibagi manjadi 3 bagian utama, yaitu


nasofaring, orofaring, dan laringofaring atau hipofaring. Nasofaring merupakan
sepertiga bagian atas faring, yang tidak dapat bergerak kecuali palatum mole di
bagian bawah. Orofaring terdapat pada bagian tengah faring, dari batas bawah
palatum mole sampai permukaan lingual epiglotis. Pada orofaring terdapat tonsila
palatina dengan arkusnya, dan tonsila lingualis pada dasar lidah. Hipofaring
merupakan bagian bawah faring yang menunjukkan daerah saluran napas atas
yang terpisah dari saluran pencernaan bagian atas.(4)

Gambar 1. Anatomi Faring( 1)


1. Nasofaring
Nasofaring merupakan ruang berbentuk trapezoid di belakang koana dengan
dinding kaku di bagian superior, posterior, dan lateral yang berhubungan dengan
orofaring dan terletak di superior palatum molle. Dinding superior nasofaring
dibentuk oleh korpus sfenoid dan prosesus basilar os oksipital, sebelah anterior

2
oleh koana dan palatum mole, sebelah posterior oleh vertebra servikalis, dan di
sebelah inferior nasofaring berlanjut menjadi orofaring. Orifisium tuba Eustachius
terletak pada dinding lateral nasofaring, di belakang ujung posterior konka
inferior. Di sebelah atas belakang orifisium tuba Eustachius terdapat satu
penonjolan yang dibentuk oleh kartilago eustachius.(5) Ruang nasofaring memiliki
hubungan dengan beberapa organ penting:(4)
- Pada dinding posterior terdapat jaringan adenoid yang meluas ke arah
kubah.
- Pada dinding lateral dan pada resesus faringeus terdapat jaringan limfoid
yang dikenal sebagai fossa Rosenmuller.
- Torus tubarius merupakan refleksi mukosa faringeal di atas bagian
kartilagi tuba eustachius, berbentuk lonjong, tampak seperti penonjolan
ibu jari ke dinding lateral nasofaring di atas perlekatan palatum mole.
- Koana posterior rongga hidung.
- Foramen kranial yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat
perluasan penyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui
nervus glosofaringeus, vagus, dan asesorius spinalis, dan foramen
hipoglosus yang dilalui nervus hipoglosus.
- Struktur pembuluh darah yang penting dan terletak berdekatan adalah
sinus petrosus inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal
dari oksipital dan arteri faringeal asenden.
- Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang letaknya
dekat dengan bagian lateral atap nasofaring.
- Ostium dari sinus-sinus sfenoid.

Batas-batas nasofaring:(4)
- Superior : basis cranii, diliputi oleh mukosa dan fascia
- Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior,
batas ini bersifat subyektif karena tergantung dari palatum durum.
- Anterior : koana, yang dipisahkan menjadi koana dekstra dan sinistra oleh
os vomer

3
- Posterior : vertebra ervicalis I dan II, fascia space, mukosa lanjutan dari
mukosa bagian atas
- Lateral : mukosa lanjutan dari mukosa di bagian superior dan posterior,
muara tuba Eustachii, Fossa Rosenmuller.

Gambar 2. Anatomi Rongga Hidung dan Nasofaring5

Keterangan: Bintang (Superior Turbinate), IT (Inferior Turbinate), MT (Media


Turbinate), V(tulang Vomer), panah hitam (torus tubarius)

2. Orofaring
Orofaring atau disebut juga mesofaring merupakan ruang antara palatum
molle dan radiks lingua yang memanjang ke bawah sepanjang hyoid bone.
Terdapat tosila palatina dan tosila lingua pada bagian faring ini. Batas atasnya
adalah palatum mole, batas bawahnya adalah tepi atas epiglotis, ke depan adalah
rongga mulut, sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal. Struktur yang
terdapa di rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatine, fosa
tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual, dan foramen
sekum. (1,6)

Tonsil adalah masa yang terdiri dari jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya.
Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatine, dan
tonsil lingual yang ketiganya membentuk suatu lingkaran yang disebut cincin
Waldeyer. (6)

4
Hard palate

Soft palate
Lips
Tonsil
Oropharynx

Tongue

Gambar 3. Struktur Orofaring dan Cincin Waldeyer (1)


3. Laringofaring
Daerah ini dimulai dari perpaduan dari nasofaring dan orofaring pada daerah
setinggi hyoid bone. Daerah laringofaring menurun ke bagian inferior dan dorsal
dari laring dan berakhir pada cricoid cartilage pada akhir bagian inferior dari
laring. Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas
inferior ialah esophagus, serta batas posterior ialah vertebra servikal (1)

5
Gambar 4. Bagian-bagian Faring (1)

2.1.2 Anatomi Laring

Laring merupakan bagian yang terbawah dari saluran napas bagian atas.
Bentuknya menyerupai limas segitiga terpancung, dengan bagian atas lebih besar
daripada bagian bawah. Batas atas laring adalah aditus laring, sedangkan batas
bawahnya ialah batas kaudal kartilago krikoid. (6)

Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hyoid dan
beberapa buah tulang rawan. Tulang hyoid berbentuk seperti huruf U yang
permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula dan tengkorak oleh
tendo dan otot. Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglotis,
kartilago tiroid, kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata,
kartilago kuneiformis, dan kartilago tritisea. (6)

Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik dan intrinsik.


Otot-otot ekstrinsik terutama bekerja pada laring secara keseluruhan, sedangkan

6
otot-otot intrinsik menyebabkan gerakan bagian-bagian tertentu yang
berhubungan dengan gerak pita suara. Otot ekstrinsik laring terdiri dari
suprahyoid (m.digastrikus, m.geniohioid, m.stilohioid, m.milohioid) dan
infrahioid (m.sternohioid, m.omohioid, m.tirohioid). Otot intrinsik laring berada
pada bagian lateral dan posterior laring, otot-otot ini kebanyakan adalah otot
aduktor. Laring dipersarafi oleh cabang-cabang n.vagus yaitu, n.laringis superior
dan n.laringis inferior. Kedua saraf ini merupakan campuran saraf motorik dan
sensorik. (1,6)

Perdarahan laring berasal dari percabangan a.tiroid superior dan inferior.


Arteri yang memperdarahi laring secara langsung dari kedua cabang arteri
tersebut adalah a.laringis superior dan a.laringis inferior. (6)

Gambar 5. Anatomi Laring (5)

Laring memiliki rongga laring yang memiliki batas atas aditus laring, batas
bawah bidang yang melalui pinggir bawah kartilago krikoid. Batas depannya ialah
permukaan belakang epiglotis, tuberkulum epiglotik, ligamentum tiroepiglotik,
sudut antara kedua belah lamina kartilago tiroid dan arkus kartilago tiroid. Batas
lateralnya ialah membrane kuadrangularis, kartilago aritenoid, konus elastikus,
dan arkus kartilago krikoid. Sedangkan batas belakangnya ialah m. Aritenois
transverses dan lamina kartilago krikoid.(6)

7
Gambar 6. Anatomi Laring 5

2.1.3 Anatomi Esofagus

Esofagus merupakan bagian saluran cerna yang menghubungkan hipofaring


dengan lambung. Bagian proksimalnya disebut introitus esofagus yang terletak
setinggi batas bawah kartilago krikoid atau setinggi vertebra servikal 6. Di dalam
perjalanannya dari daerah servikal, esofagus masuk ke dalam rongga toraks. Di
dalam rongga toraks , esofagus berada di mediastinum superior antara trakea dan
kolumna vertebra terus ke mediastinum posterior di belakang atrium kiri dan
menembus diafragma setinggi vertebra torakal 10 dengan jarak kurang lebih 3 cm
di depan vertebra. Akhirnya esofagus ini sampai di rongga abdomen dan bersatu
dengan lambung di daerah kardia.(1)

Berdasarkan letaknya esofagus dibagi dalam bagian servikal, torakal dan


abdominal. Esofagus menyempit pada tiga tempat. Penyempitan pertama yang
bersifat sfingter terletak setinggi tulang rawan krikoid pada batas antara esofagus
dengan faring, yaitu tempat peralihan otot serat lintang menjadi otot polos.
Penyempitan kedua terletak di rongga dada bagian tengah, akibat tertekan
lengkung aorta dan bronkus utama kiri. Penyempitan ini tidak bersifat sfingter.
Penyempitan terakhir terletak pada hiatus esofagus diafragma yaitu tempat
esofagus berakhir pada kardia lambung. Otot polos pada bagian ini murni bersifat
sfingter. Inervasi esofagus berasal dari dua sumber utama, yaitu saraf parasimpatis
nervus vagus dan saraf simpatis dari serabut-serabut ganglia simpatis servikalis
inferior, nervus torakal dan n. Splangnikus.(1)

8
Gambar 7. Anatomi Esofagus (5)

2.2 LARINGOFARINGEAL REFLUKS

2.2.1 Definisi

Laringofaringeal Refluks (LPR) didefinisikan sebagai gejala kronis atau


kerusakan mukosa laring yang disebabkan oleh refluks abnormal isi lambung ke
dalam saluran napas bagian atas. Penyakit gastroesophageal refluks (GERD)
didefinisikan sebagai gejala kronis atau kerusakan mukosa esofagus yang
disebabkan oleh refluks abnormal isi lambung ke esofagus. Gejala GERD
termasuk pyrosis (nyeri ulu hati), regurgitasi, disfagia, batuk, dan nyeri dada
atipikal. Gejala yang sering pada LPR termasuk perubahan suara, disfagia, globus,
lendir tenggorokan berlebihan dan pembersihan tenggorokan, dan batuk. Nyeri
ulu hati dan regurgitasi bukan gejala klinis yang sering muncul pada LPR.
Meskipun LPR dan GERD keduanya disebabkan oleh refluks abnormal isi
lambung, namun keduanya dibedakan berdasarkan gejala klinis dengan
mekanisme patofisiologis yang berbeda.(2,7)

9
Dalam menentukan diagnosis LPR perlu dilakukan anamnesis yang teliti,
pemeriksaan penunjang seperti laringoskopi fleksibel, pH dan lain-lain.
Pengobatan LPR meliputi kombinasi diet, modifikasi perilaku, antasida,
antagonis reseptor H2, proton pump inhibitor (PPI) dan tindakan bedah.(2,8)

2.2.2 Etiologi

Penyebab LPR adalah adanya refluks secara retrograd dari asam lambung
atau isinya seperti pepsin kesaluran esofagus atas hingga mencapai laring dan
menimbulkan cedera mukosa karena trauma langsung. Sehingga terjadi kerusakan
silia yang menimbulkan tertumpuknya mukus, aktivitas berdehem (throat
clearing) berlebihan dan batuk kronis akibatnya akan menimbulkan iritasi dan
inflamasi berulang pada faring.(3,7)

2.2.3 Patofisiologi

Patofisiologi tentang LPR masih menjadi kajian banyak para ilmuan. Sampai
saat ini dua hipotesis yang diterima dikalangan ilmuan untuk proses terjadinya
LPR. Hipotesis yang pertama yaitu asam lambung secara langsunng menciderai
laring dan jaringan sekitarnya. Hipotesis yang kedua menyatakan bahwa asam
lambung dalam esofagus distal merangsang reflex vagal yang mengakibatkan
bronkokonstriksi dan gerakan mendehem (throat clearing) dan batuk kronis, yang
pada akhirnnya menimbulkan lesi pada mukosa saluran nafas. Dua mekanisme ini
dapat bertindak secara kombinasi unntuk menghasilkan perubahan patologis yang
terlihat pada refluks laringofaringeal (LPR).(6)

LPR mengacu pada aliran balik isi lambung ke dalam laring, faring, dan
saluran aerodigestive atas. Pada individu normal, sfingter esofagus bagian atas
(UES) dan sfingter esofagus bagian bawah (LES) bekerja sama untuk mencegah
refluks isi lambung tersebut sampai ke esofagus. Dengan demikian, hal patologis
utama pada LPR yaitu pada disfungsi UES. Sfingter esofagus bagian atas (UES)
disusun atas krikofaringeal, thyrofaringeal, dan serviks esofagus proksimal, UES
menempel pada tiroid dan krikoid kartilago dan membentuk sling berbentuk C
yang membungkus di sekitar servikal esofagus dengan persarafan dari pleksus
faring, jaringan saraf yang tersusun dari nervus laring superior dan rekuren,

10
nervus glossofaringeal, dan persarafan simpatis yang berasal dari ganglion
servikal superior. Ketika terjadi refluks pada UES, menyebabkan isi lambung
tersebut memungkinkan untuk melakukan kontak dengan segmen
laringofaringeal. Asam lambung dan enzim pepsin aktif (enzim proteolitik)
menyebabkan kerusakan langsung pada mukosa laring. Hal ini menyebabkan
gangguan pembersihan mukosiliar, menyebabkan lendir stasis yang selanjutnya
memperburuk iritasi mukosa dan memberikan kontribusi untuk gejala pasien
seperti post nasal drip, pembersihan tenggorokan, dan sensasi globus.(7,9)

Disfungsi dari sfingter esofagus bagian atas (UES) diyakini bukan merupakan
penyebaba satu-satunya terjadi LPR, beberapa studi telah menemukan aspek
biokimia, mencatat korelasi antara LPR dan penurunan kadar isoenzim karbonik
anhidrase III (CA-III) di samping akibat adanya enzim pepsin dalam analisis
histologis jaringan laring dipengaruhi oleh kejadian LPR. Penurunan kadar CA-
III, yang mungkin berhubungan dengan peningkatan konsentrasi enzim pepsin,
hal ini penting untuk dipertimbangkan sebagai kondisi yang menyebabkan
penurunan jumlah anion bikarbonat untuk menetralkan sifat asam dari isi
lambung. Penurunan jumlah isoenzim karbonik anhidrase III serta kurangnya
dapar kimia pada laring yang bertujuan untuk melindungi mukosa laring,
menyebabkan timbulnya gejala klinis dari LPR.(7,9)

11
Gambar 7. Alogaritma patofisiologi LPR.(8)

2.2.4 Diagnosis

1. Gejala Klinis

Gejala laringofaringeal refluks (LPR) yang beragam dan termasuk disfonia,


gangguan bersihan tenggorokan kronis, lendir tenggorokan berlebihan, sialorrhea
(hipersalivasi), batuk, sensasi post nasal drip, disfagia, dysgeusia, halitosis, globus
atau sensasi benjolan di tenggorokan. Namun, gejala-gejala ini tidak khas muncul
pada LPR dan dapat disebabkan oleh alergi, penyakit neurologis degeneratif,
infeksi, gangguan perilaku, obat, dan neoplasia. Karena gejala-gejala ini tidak
spesifik, klinisi harus mengandalkan kombinasi dari gejala klinis, temuan
laringoskopi, monitoring pH, dan percobaan empiris pemberian proton pump
inhibitor (PPI) untuk membuat diagnosis yang akurat.(2,8)

Salah satu aspek yang dapat digunakan untuk memastikan etiologi keluhan
pasien berhubungan atau tidak dengan LPR adalah dengan membedakan keluhan
LPR tersebut dengan gejala klasik pada penyakit gastroesophageal reflux
(GERD). GERD biasanya bermanifestasikan dengan gejala nyeri ulu hati,
regurgitasi, dan refluks saat berbaring terlentang, sehingga menimbukan esofagitis

12
dan displasia Barrett dibandingkan dengan LPR. Disfagia ditemukan pada LPR
maupun GERD, namun masalah suara dan pernapasan lebih sering ditemukan
pada LPR.(9)

Mukus berlebihan pada tenggorokan dan gangguan pembersihan tenggorokan


kronis merupakan 2 dari gejala yang paling sering dijumpai pada LPR. Kondisis
asam pada esofagus dapat menyebabkan peningkatan produksi saliva, kondisi
mulut yang penuh akibat produksi saliva yang berlebih disebut dengan water
brash. Bikarbonat yang efektif dalam menetralkan asam lambung dapat
ditemukan dalam air liur. Air liur berlebihan menyebabkan rasa penuh dalam
faring yang biasanya merangsang seseorang untuk membersihkan
tenggorokannya. Membersihkan tenggorokan secara berlebihan dapat
menyebabkan edema hypopharyngeal, yang menyebabkan sekresi saliva
berlebihan di tenggorokan, hal ini akan merangsang kembali keinginan untuk
membersihkan tenggorokan, dan siklus ini berulang kembali. Selain itu gejala post
nasal drip, sensasi globus (benda asing) di tenggorokan serta disfonia dapat
ditemukan pada pasien LPR. Gejala-gejala ini dijadikan patokan untuk sistem
skoring Reflux Symtom Index (RSI) dalam mendiagnosa LPR.(2,5)

Tabel 1. Score Reflux Symtom Index (RSI)(2)

Apakah Beberapa Permasalahan Berikut Mengganggu 0 = tidak menganggu


Anda ? 5 = sangat mengganggu
1. Suara serak atau terdapat permasalahan dengan suara anda 0 1 2 3 4 5
2. Sering membersihkan dahak anda 0 1 2 3 4 5
3. Lendir berlebihan di tenggorokan atau post nasal drip 0 1 2 3 4 5
4. Kesulitan menelan makanan, minuman, atau pil 0 1 2 3 4 5
5. Batuk setelah anda makan atau berbaring 0 1 2 3 4 5

6. Kesulitan bernafas atau sering tersedak 0 1 2 3 4 5


7. Batuk yang sangat mengganggu 0 1 2 3 4 5
8. Sensasi sesuatu menempel di tenggorokan atau benjolan di 0 1 2 3 4 5
tenggorokan anda

13
9. Dada seperti terbakar (heartburn), nyeri dada, gangguan 0 1 2 3 4 5
pencernaan, atau refluks asam lambung
TOTAL SKOR
Data normatif menunjukkan bahwa skor RSI kurang dari sama dengan 10 adalah
normal, sedangkan nilai yang lebih dari sama dengan 13 menunjukkan LPR serta
dianjurkan untuk pemeriksaan monitor pH 24 jam. (2,9)

2. Pemeriksaan Fisik

Dapat ditemukan keadaan laring yang dicurigai teriritasi asam seperti


hipertrofi komisura posterior, globus faringeus, nodul pita suara, laringospasme,
stenosis subglotik dan karsinoma laring. Untuk melihat gejala LPR pada laring
dan pita suara perlu pemeriksaan Laringoskopi. Gejala paling bermakna seperti
adanya eritema, edema dan hipertrofi komisura posterior. Laringitis posterior
ditemukan pada 74% kasus begitu juga udem serta eritema laring dijumpai pada
60% kasus LPR. Dapat juga terjadi hipertrofi mukosa interaritenoid dan pada
kasus lanjutan dapat berkembang menjadi hyperkeratosis epitel pada komissura
posterior. Granuloma dan nodul pita suara dapat terjadi pada kasus yang tidak
diobati.(3,7)

Gambar 8. Tampakan laringoskopi pada pasien dengan LPR (9)

14
Gambar 9. a). Pseudosulkus vokalis bilateral (panah). Perhatikan edema
subglotis meluas melewati plika vokalis. Juga tampak adanya hipertrofi
commissure posterior, edema plika vokalis, edema laring diffuse. b). True
sulkus vokalis dari lipatan vocal kanan (panah). Sulkus terbentuk dari zona
midportion dan terhenti prosesnya pada aritenoid.(9)

Pseudosulcus vocalis telah dilaporkan bahwa 90% kasus LPR


didapatkan gambaran tersebut. Dalam studi terpisah, pseudosulcul memiliki
sensitivitas 70% dan spesifisitas 77% pada pasien dengan LPR. Hal ini
semakin mndukung bahwa dengan adanya pseudosulcus vocalis dapat
menandakan LPR.(9)

2. Pemeriksaan Penujang
a) Laringoskopi fleksibel
Merupakan pemeriksaan utama untuk mendiagnosis LPR.
Biasanya yang digunakan adalah laringoskop fleksibel karena lebih
sensitif dan mudah dikerjakan di poliklinik dibandingkan
laringoskop rigid. Belfasky (2002) membuat tabel penilaian gejala
LPR melalui pemeriksaan laringoskop fleksibel (Reflux Finding
Score/ RFS). Skor dimulai dari nol (tidak ada kelainan) dengan
nilai maksimal 26 dan jika nilai RFS 7 dengan tingkat keyakinan
95% dapat di diagnosis sebagai LPR.(5,8)

15
Tabel 2. Score Reflux Finding Score (RFS)(5)

KONDISI SKOR
1. Edema subglotis 0 = tidak ditemukan
2 = ditemukan
2. Obliterasi ventrikular 2 = sebagian
4 = komplit
3. Erithema / hiperemia 2 = hanya pada arythenoid
4 = tersebar difus
1 = ringan
4. Edema vocal cord 1 = edema ringan
2 = edema sedang
3 = edema berat
4 = polipoid
5. Edema laring difus 1 = edema ringan
2 = edema sedang
3 = edema berat
4 = obstruksi
6. Hipertrofi komisura-P 1 = edema ringan
2 = edema sedang
3 = edema berat
4 = obstruksi
7. Jaringan granulasi / granuloma 0 = tidak ditemukan
2 = ditemukan
8. Lendir endolaryngeal tebal 0 = tidak ditemukan
2 = ditemukan
TOTAL SKOR

b) Monitoring pH Faringoesofangeal Ambulatory 24 Jam


Pemeriksaan ini disebut ambulatory 24 hours double probe
pH monitoring yang merupakan baku emas dalam mendiagnosis
LPR. Pertama kali diperkenalkan oleh Wiener pada 1986.
Pemeriksaan ini dianjurkan pada keadaan pasien dengan keluhan
LPR tetapi pada pemeriksaan klinis tidak ada kelainan.
Pemeriksaan ini sangat sensitif dalam mendiagnosis refluks karena
pemeriksaan ini secara akurat dapat membedakan adanya refluks

16
asam pada sfingter esofagus atas dengan dibawah sehingga dapat
menentukan adanya LPR atau GERD. Kelemahan pemeriksaan ini
adalah mahal, invasif dan tidak nyaman dan dapat ditemukan hasil
negative palsu sekitar 20%.(3,7)
c) Pemeriksaan Endoskopi
Menggunakan esofagoskop dapat membantu dalam
penegakan diagnosis. Gambaran esofagitis hanya ditemukan
sekitar 30% pada kasus LPR. Gambaran yang patut dicurigai LPR
adalah jika kita temukan gambaran garis melingkar barret
dengan atau tanpa adanya inflamasi esofagus.(7)
d) Pemeriksaan Histopatologi
Pada biopsi laring ditemukan gambaran hyperplasia epitel
skuamosa dengan inflamasi kronik pada submukosa. Gambaran ini
dapat berkembang menjadi atopi dan ulserasi epitel serta
penumpukan fibrin, jaringan granulasi dan fibrotik didaerah
submukosa.(7)

2.2.5 Diagnosis Banding


Penulis memilih beberapa peyakit sebagai diagnosis banding untuk LPR
sesuai dengan kemiripan tanda dan gejala. Berikut penyakit-penyakit tersebut:(9)

Akut laryngitis

Functional voice disorder


Stenosis laring
Tumor ganas pada laring
Postcricoid area

2.2.6 Penatalaksanaan
1. Penetalaksanaan Non-famakologi
A. Diet
- Kurangi porsi makan.
- Makan harus 2-3 jam sebelum tidur.

17
- Hindari makanan yang merangsang aktivitas otot LES (lower spicter
esofagus) misalnya; gorengan atau lemak, coklat, alkohol, kopi,
minuman bersoda, buah jeruk atau jusnya, saus tomat, cuka dan lain
sebagainya.
- Makan lebih lambat untuk mengurangi udara masuk bersama makanan
ke dalam saluran penernaan.(9)

B. Aktivitas
- Menurunkan berat badan jika kelebihan berat badan.
- Tinggikan kepala saat tidur kira-kira 4-6 inci.
- Hindari pakaian ketat.
- Berhenti merokok.
C. Pembedahan
Tujuan terapi pembedahan adalah memperbaiki penahan/barier pada
daerah pertemuan esofagus dang aster sehingga dapat mencegah refluks
seluruh isi gaster kea rah esofagus. Keadaan ini dianjurkan pada pasien yang
terus menerus harus mendapat terapi obat atau dosis yang makin lama makin
tinggi untuk menekan asam lambung. Berikut model pembedahan pada
GRED.(9)
2. Penetalaksanaan Famakologi
A. Proton Pump Inhibitors
Menghambat sekresi asam lambung dengan cara menghambat enzim
H+/K+-ATPase pada sel parietal gaster.(9)

Omeprazole
Omeprazole secara khusus menekan sekresi asam lambung
dengan menghambat secara poten pada system enzim H+/K+-ATPase
pada sel parietal gaster. Omeprazole salah satu gologan PPI yang paling
sering diteliti dan merupakan satu-satunya agen yang digunakan dalam uji
klinis untuk mengevaluasi efekivitas PPI pada gangguan supraesofangeal
dengan dosis 20mg.(9)

18
Lansoprazole
Lansoprazole secara spesifik menekan sekresi asam lambung
melalui penghambatan enzim H+/K+-ATPase pada permukaan sel parietal
lambung. Lansoprazole memblok langkah terakhir pada proses sekresi
asam lambung. Dosis lansoprazole yang lazim digunakan untuk
pengobatan pada orang dewasa dengan dosis 30mg.(9)

Pantoprazole
Pantoprazole secara khusus menekan sekresi asam lambung
dengan cara menghambat enzim H+/K+-ATPase pada permukaan sel
parietal lambung. Penggunaan secara IV hanya diperuntukan jangka
pendek yaitu 7 10 hari dengan dosis 40mg.(9)

Bagan 1. Alur Penatalaksanaan LPR (9)

Suspect LPR RSI > 13 Terapi empiris,


berdasarkan gejala dan/atau perubahan gaya hidup,
klinis RSF > 7 PPI

Follow up setelah 3 bulan


Gejala menetap
namun keluhan
berkurang

Dosis PPI Gejala tidak


Gejala teratasi ditingkatkan responsif

Turunkan dosis Mengesampingkan alergi,


PPI tidak patuh berobat,
alkohol, merokok, asma,
penyalahgunaan suara

Terapi definitif : pH
monitoring dan atau
pembedahan

19
2.2.7 Komplikasi

LPR yang tidak diobati akan menyebabkan komplikasi seperti odinofagia,


batuk-batuk kronis, sinusitis, infeksi telinga, pembengkakan pita suara, ulkus pada
plika vokalis, pembentukan granuloma (massa) di tenggorokan, dan perburukan
asma, emfisema, bronchitis, spasme laring serta stenosis laring. LPR yang
dibiarkan saja juga kemungkinan berperan dalam perkembangan kanker pada
daerah laring.(5)

2.2.8 Prognosis

Angka keberhasilan terapi cukup tinggi bahkan sampai 90%, dengan catatan
terapi harus diikuti dengan modifikasi diet yang ketat dan gaya hidup. Dari salah
satu kepustakaan menyebutkan angka keberhasilan pada pasien dengan laryngitis
posterior berat sekitar 83% setelah diberikan terapi 6 minggu dengan omeprazol.
Dan sekitar 79% kasus alami kekambuhan setelah berhenti berobat, sedangkan
prognosis keberhasilan dengan menggunakan Lansoprazole 30 mg 2 kali sehari
selama 8 minggu memberikan angka keberhasilan 86%.(3)

20
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Laringofaringeal refluks (LPR) merupakan refluks secara retrograd dari asam


lambung atau isinya seperti pepsin ke saluran esofagus atas hingga mencapai
laring dan menimbulkan cedera mukosa karena trauma langsung. Sehingga terjadi
kerusakan silia yang menimbulkan tertumpuknya mukus, aktivitas mendehem dan
batuk kronis akibatnya akan menimbulkan iritasi dan inflamasi berulang. Gejala
yang sering pada LPR yakni perubahan suara, disfagia, globus, lendir tenggorokan
berlebihan dan pembersihan tenggorokan, dan batuk. Nyeri ulu hati dan
regurgitasi bukan gejala klinis yang sering muncul pada LPR.

Kejadian laringofaringeal refluks sering ditemukan di negara-negara barat,


umumnya mengenai usia diatas 40 tahun prevalensi sebanyak 35% serta sering
dihubungkan dengan pola kebiasaan seperti pola konsumsi makanan, olahraga
genetik dan kebiasaan berobat.

Pada laringofaringeal refluks terjadi disfungsi pada sfingter esofagus bagian


atas (UES), menyebabkan isi lambung dapat refluks kembali dan memungkinkan
untuk berkontak dengan mukosa laringofaringeal. Asam lambung dan enzim
pepsin aktif (enzim proteolitik) menyebabkan kerusakan langsung pada mukosa
laring. Kadar isoenzim karbonik anhidrase III yang rendah pada pasien LPR juga
berperan dalam kerusakan mukosa laring pada LPR.

Dalam mendiagnosa LPR, ditemukan gejala disfonia intermiten, gangguan


bersihan tenggorokan kronis, lendir tenggorokan berlebihan, sialorrhea
(hipersalivasi), batuk, sensasi post nasal drip, disfagia, dysgeusia, halitosis, sakit
tenggorokan, globus dan sensasi benjolan di tenggorokan (skor RSI) serta riwayat
gastroesofageal refluks (GERD). Pada pemeriksaan fisik ditemukan eritema,
edema dan hipertrofi di komissura posterior, dapat terjadi hipertrofi mukosa
interaritenoid selanjutya dapat berkembang menjadi hyperkeratosis epitel pada

21
komissura posterior. Pemeriksaan penunjan berupa laringoskop, monitoring pH
dan histopatologi.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Seeley, Stephen, Tate. Respiratory System. Anatomy and Physiology. Chapter


23.The McGraw-Hill Companies. 2004
2. Belafsky, Peter C. Rees, Catherine J. Identifying and Managing
Laryngopharyngeal Reflux, Department of Otolaryngology/Head and Neck
Surgery. University of California at Davis Medical Center. 2007
3. Irfandy, Dolly. Laryngopharyngeal Reflux. Bagian Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. 2008
4. Adams GL, Boies LR, Higler PA. BOIES: Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6.
Jakarta: EGC; 1997.
5. Ballenger, JJ. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, dan leher. Jilid 1. Jakarta.
Bina Rupa Aksara. 1997
6. Soepardi E.A, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti R.D. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Ed.VI. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. 2007
7. Anerson, Olle. Laryngopharyngeal Reflux Development and Refinement Of
Diagnostic Tools. Division of Otorhinolaryngology University of Gothenburg.
2009
8. Handa, K. K. Laryngpharyngeal Refluks : Current Opinion, Indian Journal of
Otolaryngology and Head and Neck Surgery. Vol. 57. No. 3. 2005
9. Pham, Viet. Underbrink, Michael. Quinn, Francis B, Stoner, Melinda.
Laryngopharyngeal Reflux With an Emphasis on Diagnostic and Therapeutic
Considerations. Department of Otolaryngology The University of Texas
Medical Branch. 2009
10. Koufman JA et al. Laryngopharyngeal Reflux: Position statement of the
Committee on Speech, Voice and Swallowing Disorders of the American
Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery. Otolaryngology Head
and Neck Surgery. 2002.

23

Anda mungkin juga menyukai