Laringofaringeal-refluks-LPR Diaan
Laringofaringeal-refluks-LPR Diaan
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI
2
oleh koana dan palatum mole, sebelah posterior oleh vertebra servikalis, dan di
sebelah inferior nasofaring berlanjut menjadi orofaring. Orifisium tuba Eustachius
terletak pada dinding lateral nasofaring, di belakang ujung posterior konka
inferior. Di sebelah atas belakang orifisium tuba Eustachius terdapat satu
penonjolan yang dibentuk oleh kartilago eustachius.(5) Ruang nasofaring memiliki
hubungan dengan beberapa organ penting:(4)
- Pada dinding posterior terdapat jaringan adenoid yang meluas ke arah
kubah.
- Pada dinding lateral dan pada resesus faringeus terdapat jaringan limfoid
yang dikenal sebagai fossa Rosenmuller.
- Torus tubarius merupakan refleksi mukosa faringeal di atas bagian
kartilagi tuba eustachius, berbentuk lonjong, tampak seperti penonjolan
ibu jari ke dinding lateral nasofaring di atas perlekatan palatum mole.
- Koana posterior rongga hidung.
- Foramen kranial yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat
perluasan penyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui
nervus glosofaringeus, vagus, dan asesorius spinalis, dan foramen
hipoglosus yang dilalui nervus hipoglosus.
- Struktur pembuluh darah yang penting dan terletak berdekatan adalah
sinus petrosus inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal
dari oksipital dan arteri faringeal asenden.
- Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang letaknya
dekat dengan bagian lateral atap nasofaring.
- Ostium dari sinus-sinus sfenoid.
Batas-batas nasofaring:(4)
- Superior : basis cranii, diliputi oleh mukosa dan fascia
- Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior,
batas ini bersifat subyektif karena tergantung dari palatum durum.
- Anterior : koana, yang dipisahkan menjadi koana dekstra dan sinistra oleh
os vomer
3
- Posterior : vertebra ervicalis I dan II, fascia space, mukosa lanjutan dari
mukosa bagian atas
- Lateral : mukosa lanjutan dari mukosa di bagian superior dan posterior,
muara tuba Eustachii, Fossa Rosenmuller.
2. Orofaring
Orofaring atau disebut juga mesofaring merupakan ruang antara palatum
molle dan radiks lingua yang memanjang ke bawah sepanjang hyoid bone.
Terdapat tosila palatina dan tosila lingua pada bagian faring ini. Batas atasnya
adalah palatum mole, batas bawahnya adalah tepi atas epiglotis, ke depan adalah
rongga mulut, sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal. Struktur yang
terdapa di rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatine, fosa
tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual, dan foramen
sekum. (1,6)
Tonsil adalah masa yang terdiri dari jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya.
Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatine, dan
tonsil lingual yang ketiganya membentuk suatu lingkaran yang disebut cincin
Waldeyer. (6)
4
Hard palate
Soft palate
Lips
Tonsil
Oropharynx
Tongue
5
Gambar 4. Bagian-bagian Faring (1)
Laring merupakan bagian yang terbawah dari saluran napas bagian atas.
Bentuknya menyerupai limas segitiga terpancung, dengan bagian atas lebih besar
daripada bagian bawah. Batas atas laring adalah aditus laring, sedangkan batas
bawahnya ialah batas kaudal kartilago krikoid. (6)
Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hyoid dan
beberapa buah tulang rawan. Tulang hyoid berbentuk seperti huruf U yang
permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula dan tengkorak oleh
tendo dan otot. Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglotis,
kartilago tiroid, kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata,
kartilago kuneiformis, dan kartilago tritisea. (6)
6
otot-otot intrinsik menyebabkan gerakan bagian-bagian tertentu yang
berhubungan dengan gerak pita suara. Otot ekstrinsik laring terdiri dari
suprahyoid (m.digastrikus, m.geniohioid, m.stilohioid, m.milohioid) dan
infrahioid (m.sternohioid, m.omohioid, m.tirohioid). Otot intrinsik laring berada
pada bagian lateral dan posterior laring, otot-otot ini kebanyakan adalah otot
aduktor. Laring dipersarafi oleh cabang-cabang n.vagus yaitu, n.laringis superior
dan n.laringis inferior. Kedua saraf ini merupakan campuran saraf motorik dan
sensorik. (1,6)
Laring memiliki rongga laring yang memiliki batas atas aditus laring, batas
bawah bidang yang melalui pinggir bawah kartilago krikoid. Batas depannya ialah
permukaan belakang epiglotis, tuberkulum epiglotik, ligamentum tiroepiglotik,
sudut antara kedua belah lamina kartilago tiroid dan arkus kartilago tiroid. Batas
lateralnya ialah membrane kuadrangularis, kartilago aritenoid, konus elastikus,
dan arkus kartilago krikoid. Sedangkan batas belakangnya ialah m. Aritenois
transverses dan lamina kartilago krikoid.(6)
7
Gambar 6. Anatomi Laring 5
8
Gambar 7. Anatomi Esofagus (5)
2.2.1 Definisi
9
Dalam menentukan diagnosis LPR perlu dilakukan anamnesis yang teliti,
pemeriksaan penunjang seperti laringoskopi fleksibel, pH dan lain-lain.
Pengobatan LPR meliputi kombinasi diet, modifikasi perilaku, antasida,
antagonis reseptor H2, proton pump inhibitor (PPI) dan tindakan bedah.(2,8)
2.2.2 Etiologi
Penyebab LPR adalah adanya refluks secara retrograd dari asam lambung
atau isinya seperti pepsin kesaluran esofagus atas hingga mencapai laring dan
menimbulkan cedera mukosa karena trauma langsung. Sehingga terjadi kerusakan
silia yang menimbulkan tertumpuknya mukus, aktivitas berdehem (throat
clearing) berlebihan dan batuk kronis akibatnya akan menimbulkan iritasi dan
inflamasi berulang pada faring.(3,7)
2.2.3 Patofisiologi
Patofisiologi tentang LPR masih menjadi kajian banyak para ilmuan. Sampai
saat ini dua hipotesis yang diterima dikalangan ilmuan untuk proses terjadinya
LPR. Hipotesis yang pertama yaitu asam lambung secara langsunng menciderai
laring dan jaringan sekitarnya. Hipotesis yang kedua menyatakan bahwa asam
lambung dalam esofagus distal merangsang reflex vagal yang mengakibatkan
bronkokonstriksi dan gerakan mendehem (throat clearing) dan batuk kronis, yang
pada akhirnnya menimbulkan lesi pada mukosa saluran nafas. Dua mekanisme ini
dapat bertindak secara kombinasi unntuk menghasilkan perubahan patologis yang
terlihat pada refluks laringofaringeal (LPR).(6)
LPR mengacu pada aliran balik isi lambung ke dalam laring, faring, dan
saluran aerodigestive atas. Pada individu normal, sfingter esofagus bagian atas
(UES) dan sfingter esofagus bagian bawah (LES) bekerja sama untuk mencegah
refluks isi lambung tersebut sampai ke esofagus. Dengan demikian, hal patologis
utama pada LPR yaitu pada disfungsi UES. Sfingter esofagus bagian atas (UES)
disusun atas krikofaringeal, thyrofaringeal, dan serviks esofagus proksimal, UES
menempel pada tiroid dan krikoid kartilago dan membentuk sling berbentuk C
yang membungkus di sekitar servikal esofagus dengan persarafan dari pleksus
faring, jaringan saraf yang tersusun dari nervus laring superior dan rekuren,
10
nervus glossofaringeal, dan persarafan simpatis yang berasal dari ganglion
servikal superior. Ketika terjadi refluks pada UES, menyebabkan isi lambung
tersebut memungkinkan untuk melakukan kontak dengan segmen
laringofaringeal. Asam lambung dan enzim pepsin aktif (enzim proteolitik)
menyebabkan kerusakan langsung pada mukosa laring. Hal ini menyebabkan
gangguan pembersihan mukosiliar, menyebabkan lendir stasis yang selanjutnya
memperburuk iritasi mukosa dan memberikan kontribusi untuk gejala pasien
seperti post nasal drip, pembersihan tenggorokan, dan sensasi globus.(7,9)
Disfungsi dari sfingter esofagus bagian atas (UES) diyakini bukan merupakan
penyebaba satu-satunya terjadi LPR, beberapa studi telah menemukan aspek
biokimia, mencatat korelasi antara LPR dan penurunan kadar isoenzim karbonik
anhidrase III (CA-III) di samping akibat adanya enzim pepsin dalam analisis
histologis jaringan laring dipengaruhi oleh kejadian LPR. Penurunan kadar CA-
III, yang mungkin berhubungan dengan peningkatan konsentrasi enzim pepsin,
hal ini penting untuk dipertimbangkan sebagai kondisi yang menyebabkan
penurunan jumlah anion bikarbonat untuk menetralkan sifat asam dari isi
lambung. Penurunan jumlah isoenzim karbonik anhidrase III serta kurangnya
dapar kimia pada laring yang bertujuan untuk melindungi mukosa laring,
menyebabkan timbulnya gejala klinis dari LPR.(7,9)
11
Gambar 7. Alogaritma patofisiologi LPR.(8)
2.2.4 Diagnosis
1. Gejala Klinis
Salah satu aspek yang dapat digunakan untuk memastikan etiologi keluhan
pasien berhubungan atau tidak dengan LPR adalah dengan membedakan keluhan
LPR tersebut dengan gejala klasik pada penyakit gastroesophageal reflux
(GERD). GERD biasanya bermanifestasikan dengan gejala nyeri ulu hati,
regurgitasi, dan refluks saat berbaring terlentang, sehingga menimbukan esofagitis
12
dan displasia Barrett dibandingkan dengan LPR. Disfagia ditemukan pada LPR
maupun GERD, namun masalah suara dan pernapasan lebih sering ditemukan
pada LPR.(9)
13
9. Dada seperti terbakar (heartburn), nyeri dada, gangguan 0 1 2 3 4 5
pencernaan, atau refluks asam lambung
TOTAL SKOR
Data normatif menunjukkan bahwa skor RSI kurang dari sama dengan 10 adalah
normal, sedangkan nilai yang lebih dari sama dengan 13 menunjukkan LPR serta
dianjurkan untuk pemeriksaan monitor pH 24 jam. (2,9)
2. Pemeriksaan Fisik
14
Gambar 9. a). Pseudosulkus vokalis bilateral (panah). Perhatikan edema
subglotis meluas melewati plika vokalis. Juga tampak adanya hipertrofi
commissure posterior, edema plika vokalis, edema laring diffuse. b). True
sulkus vokalis dari lipatan vocal kanan (panah). Sulkus terbentuk dari zona
midportion dan terhenti prosesnya pada aritenoid.(9)
2. Pemeriksaan Penujang
a) Laringoskopi fleksibel
Merupakan pemeriksaan utama untuk mendiagnosis LPR.
Biasanya yang digunakan adalah laringoskop fleksibel karena lebih
sensitif dan mudah dikerjakan di poliklinik dibandingkan
laringoskop rigid. Belfasky (2002) membuat tabel penilaian gejala
LPR melalui pemeriksaan laringoskop fleksibel (Reflux Finding
Score/ RFS). Skor dimulai dari nol (tidak ada kelainan) dengan
nilai maksimal 26 dan jika nilai RFS 7 dengan tingkat keyakinan
95% dapat di diagnosis sebagai LPR.(5,8)
15
Tabel 2. Score Reflux Finding Score (RFS)(5)
KONDISI SKOR
1. Edema subglotis 0 = tidak ditemukan
2 = ditemukan
2. Obliterasi ventrikular 2 = sebagian
4 = komplit
3. Erithema / hiperemia 2 = hanya pada arythenoid
4 = tersebar difus
1 = ringan
4. Edema vocal cord 1 = edema ringan
2 = edema sedang
3 = edema berat
4 = polipoid
5. Edema laring difus 1 = edema ringan
2 = edema sedang
3 = edema berat
4 = obstruksi
6. Hipertrofi komisura-P 1 = edema ringan
2 = edema sedang
3 = edema berat
4 = obstruksi
7. Jaringan granulasi / granuloma 0 = tidak ditemukan
2 = ditemukan
8. Lendir endolaryngeal tebal 0 = tidak ditemukan
2 = ditemukan
TOTAL SKOR
16
asam pada sfingter esofagus atas dengan dibawah sehingga dapat
menentukan adanya LPR atau GERD. Kelemahan pemeriksaan ini
adalah mahal, invasif dan tidak nyaman dan dapat ditemukan hasil
negative palsu sekitar 20%.(3,7)
c) Pemeriksaan Endoskopi
Menggunakan esofagoskop dapat membantu dalam
penegakan diagnosis. Gambaran esofagitis hanya ditemukan
sekitar 30% pada kasus LPR. Gambaran yang patut dicurigai LPR
adalah jika kita temukan gambaran garis melingkar barret
dengan atau tanpa adanya inflamasi esofagus.(7)
d) Pemeriksaan Histopatologi
Pada biopsi laring ditemukan gambaran hyperplasia epitel
skuamosa dengan inflamasi kronik pada submukosa. Gambaran ini
dapat berkembang menjadi atopi dan ulserasi epitel serta
penumpukan fibrin, jaringan granulasi dan fibrotik didaerah
submukosa.(7)
Akut laryngitis
17
- Hindari makanan yang merangsang aktivitas otot LES (lower spicter
esofagus) misalnya; gorengan atau lemak, coklat, alkohol, kopi,
minuman bersoda, buah jeruk atau jusnya, saus tomat, cuka dan lain
sebagainya.
- Makan lebih lambat untuk mengurangi udara masuk bersama makanan
ke dalam saluran penernaan.(9)
B. Aktivitas
- Menurunkan berat badan jika kelebihan berat badan.
- Tinggikan kepala saat tidur kira-kira 4-6 inci.
- Hindari pakaian ketat.
- Berhenti merokok.
C. Pembedahan
Tujuan terapi pembedahan adalah memperbaiki penahan/barier pada
daerah pertemuan esofagus dang aster sehingga dapat mencegah refluks
seluruh isi gaster kea rah esofagus. Keadaan ini dianjurkan pada pasien yang
terus menerus harus mendapat terapi obat atau dosis yang makin lama makin
tinggi untuk menekan asam lambung. Berikut model pembedahan pada
GRED.(9)
2. Penetalaksanaan Famakologi
A. Proton Pump Inhibitors
Menghambat sekresi asam lambung dengan cara menghambat enzim
H+/K+-ATPase pada sel parietal gaster.(9)
Omeprazole
Omeprazole secara khusus menekan sekresi asam lambung
dengan menghambat secara poten pada system enzim H+/K+-ATPase
pada sel parietal gaster. Omeprazole salah satu gologan PPI yang paling
sering diteliti dan merupakan satu-satunya agen yang digunakan dalam uji
klinis untuk mengevaluasi efekivitas PPI pada gangguan supraesofangeal
dengan dosis 20mg.(9)
18
Lansoprazole
Lansoprazole secara spesifik menekan sekresi asam lambung
melalui penghambatan enzim H+/K+-ATPase pada permukaan sel parietal
lambung. Lansoprazole memblok langkah terakhir pada proses sekresi
asam lambung. Dosis lansoprazole yang lazim digunakan untuk
pengobatan pada orang dewasa dengan dosis 30mg.(9)
Pantoprazole
Pantoprazole secara khusus menekan sekresi asam lambung
dengan cara menghambat enzim H+/K+-ATPase pada permukaan sel
parietal lambung. Penggunaan secara IV hanya diperuntukan jangka
pendek yaitu 7 10 hari dengan dosis 40mg.(9)
Terapi definitif : pH
monitoring dan atau
pembedahan
19
2.2.7 Komplikasi
2.2.8 Prognosis
Angka keberhasilan terapi cukup tinggi bahkan sampai 90%, dengan catatan
terapi harus diikuti dengan modifikasi diet yang ketat dan gaya hidup. Dari salah
satu kepustakaan menyebutkan angka keberhasilan pada pasien dengan laryngitis
posterior berat sekitar 83% setelah diberikan terapi 6 minggu dengan omeprazol.
Dan sekitar 79% kasus alami kekambuhan setelah berhenti berobat, sedangkan
prognosis keberhasilan dengan menggunakan Lansoprazole 30 mg 2 kali sehari
selama 8 minggu memberikan angka keberhasilan 86%.(3)
20
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
21
komissura posterior. Pemeriksaan penunjan berupa laringoskop, monitoring pH
dan histopatologi.
22
DAFTAR PUSTAKA
23