I. SINYALEMEN
Nama Hewan :-
Umur :-
Berat Badan :-
Alamat pasien :
Status Vaksin :-
Suhu Ragawi : - 0C
Pulsus : - bpm
Respirasi : - bpm
Temperamen : Jinak
Gejala klinis :
b. Pewarnaan gram
Pewarnaan Gram dilakukan untuk mengetahui apakah bakteri tergolong bakteri Gram
positif atau Gram negatif. Hasil dari pewarnaan Gram yang telah dilakukan terlihat
bahwa bakteri berwarna ungu dan berbentuk coccus. Hal ini menandakan bahwa
bakteri tersebut bersifat Gram positif. Hasil pewarnaan Gram dapat dilihat pada
Gambar 2 dibawah ini
A B
e. Katalase
Uji katalase digunakan untuk mengetahui aktivitas katalase pada bakteri yang
diuji.Katalase adalah enzim yang mengkatalisasikan hidrogen peroksida (H2O2)
menjadi air dan O2. Hidrogen peroksida bersifat toksik terhadap sel karena bahan ini
mengaktifasi enzim dalam sel. Hidrogen peroksida terbentuk sewaktu metabolisme
aerob sehingga mikroorganisme yang tumbuh dalam lingkungan aerob harus
menguraikan bahan toksik tersebut. Katalase adalah salah satu enzim yang digunakan
mikroorganisme untuk menguraikan hidrogen peroksida. Uji katalase berguna dalam
identifikasi kelompok bakteri tertentu. Pada bakteri bentuk coccus, uji katalase
digunakan untuk membedakan staphylococcus dan streptococcus. Kelmompok
streptococus bersifat katalase negatif sedangkan staphylococcus bersifat katalase
positif. Hasil dari uji katalase dapat dilihat pada gambar 5 dibawah ini
A B
Gambar 6. A. hemolisis dan B. hemolisis
i. Uji sensitifitas
Medium Mueller Hinton Agar (MHA) merupakan medium tempat hidup dan
berkembangbiaknya suatu bakteri. Adapun kandungan dari MHA adalah pepton (6 g),
kasein (17,5 g), pati (1,5 g) dan agar (10 g). Semua kandungan tersebut dilarutkan dalam
1 liter air (Fadhlan, 2010). Uji sensitifitas dilakukan pada permukaan MHA (Mueller
Hinton Agar). Mueller Hinton Agar merupakan media diferensial yang digunakan untuk
melakukan uji sensitifitas terhadap beberapa antibiotik yang dilakukan dengan cara
mengambil biakan bakteri dari nutrient broth (NB) dengan menggunakan Cotton swab
steril. Lalu diusapkan merata pada seluruh permukaan media MHA. Kemudian
ditempelkankan beberapa disk antibiotik di atas permukaan media MHA dengan jarak
tertentu dan diinkubasikan ke dalam inkubator selama 24 jam pada suhu 370C.
Antibiotik yang di gunakan pada uji sensitifitas adalah chlorampenicol, gentamicin dan
streptomycin. Uji sensitifitas MHA dapat dilihat pada gambar 9 dan tabel 1 di bawah ini
Data hasil pengukuran zona hambat antibiotik dapat dilihat pada table 2 dibawah ini.
Tabel 2. Hasil pengukuran zona hambat antibiotik
BA
Mr (+) Salmone
2 Telinga - + - + + + - - - + +
Vp(-) lla thypii
Terpisah
h. UJI Sensitifitas
Medium Mueller Hinton Agar (MHA) merupakan medium tempat hidup dan
berkembangbiaknya suatu bakteri. Adapun kandungan dari MHA adalah pepton (6 g),
kasein (17,5 g), pati (1,5 g) dan agar (10 g). Semua kandungan tersebut dilarutkan
dalam 1 liter air (Fadhlan, 2010). Uji sensitifitas dilakukan pada permukaan MHA
(Mueller Hinton Agar). Mueller Hinton Agar merupakan media diferensial yang
digunakan untuk melakukan uji sensitifitas terhadap beberapa antibiotik yang
dilakukan dengan cara mengambil biakan bakteri dari nutrient broth (NB) dengan
menggunakan Cotton swab steril. Lalu diusapkan merata pada seluruh permukaan
media MHA. Kemudian ditempelkankan beberapa disk antibiotik di atas permukaan
media MHA dengan jarak tertentu dan diinkubasikan ke dalam inkubator selama 24
jam pada suhu 370C. Antibiotik yang di gunakan pada uji sensitifitas adalah
chlorampenicol, gentamicin dan streptomycin. Uji sensitifitas MHA dapat dilihat pada
gambar 15 dan tabel 4 di bawah ini.
Antibiotik merupakan zat kimia yang dihasilkan mikroorganisme yang dalam jumlah
amat kecil atau rendah bersifat merusak atau menghambat mikroorganisme lain (Entjang,
2003). Antibiotik sering digunakan untuk mengobati berbagai penyakit infeksi bakterial.
Dalam melakukan terapi dengan menggunakan antibiotik guna penanggulangan penyakit
infeksi bakterial, kadang diperlukan pemeriksaan kepekaan (tes sensitivitas) kuman
terhadap antibiotik yang tersedia, karena pada masa kini telah banyak ditemukan kuman
yang resisten terhadap antibiotik (Waluyo, 2008). Berdasarkan toksisitas selektif, ada
antimikroba yang bersifat menghambat pertumbuhan mikroba, dikenal sebagai aktivitas
bakteriostatik dan ada yang bersifat membunuh mikroba, dikenal sebagai aktivitas
bakterisidal. Berdasarkan spektrumnya, antimikroba dibagi menjadi dua, yaitu spektrum
sempit dan spektrum luas (Tjay dan Rahardja, 2002). Pada pengukuran zona hambat
antibiotik dengan menggunakan Gentamycin, Clorampenicol dan streptomycin
menunjukkan hasil sensitive.
VI. DIAGNOSA
BA
Mr (+) Salmone
2 Telinga - + - + + + - - - + +
Vp(-) lla typhi
Terpisah
VII. PEMBAHASAN KASUS
a. Staphlococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat
berdiameter 0,7-1,2 m, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur seperti
buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak bergerak. Bakteri ini
tumbuh pada suhu optimum 37 C, tetapi membentuk pigmen paling baik pada suhu
kamar (20 -25 C). Koloni pada perbenihan padat berwarna abu-abu sampai kuning
keemasan, berbentuk bundar, halus, menonjol, dan berkilau. Lebih dari 90% isolat
klinik menghasilkan Staphylococcus aureus yang mempunyai kapsul polisakarida atau
selaput tipis yang berperan dalam virulensi bakteri (Jawetz et al., 1995 ; Novick et al.,
2000).
Sebagian bakteri Staphylococcus aureus merupakan flora normal pada kulit, saluran
pernafasan, dan saluran pencernaan makanan pada manusia. Bakteri ini juga ditemukan
di udara dan lingkungan sekitar. Staphylococcus aureus yang patogen bersifat invasif,
menyebabkan hemolisis, membentuk koagulase, dan mampu meragikan manitol
(Warsa, 1994).
Infeksi oleh S. aureus ditandai dengan kerusakan jaringan yang disertai abses
bernanah. Beberapa penyakit infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus
adalah bisul, jerawat, impetigo, dan infeksi luka. Infeksi yang lebih berat diantaranya
pneumonia, mastitis, plebitis, meningitis, infeksi saluran kemih, osteomielitis, dan
endokarditis. Staphylococcus aureus juga merupakan penyebab utama infeksi
nosokomial, keracunan makanan, dan sindroma syok toksik (Ryan, et al., 1994; Warsa,
1994). Bisul atau abses setempat, seperti jerawat dan borok merupakan infeksi kulit di
daerah folikel rambut, kelenjar sebasea, atau kelenjar keringat. Mula-mula terjadi
nekrosis jaringan setempat, lalu terjadi koagulasi fibrin di sekitar lesi dan pembuluh
getah bening, sehingga terbentuk dinding yang membatasi proses nekrosis. Infeksi
dapat menyebar ke bagian tubuh lain melalui pembuluh getah bening dan pembuluh
darah, sehingga terjadi peradangan pada vena, trombosis, bahkan bakterimia.
Bakterimia dapat menyebabkan terjadinya endokarditis, osteomielitis akut hematogen,
meningitis atau infeksi paru-paru (Warsa, 1994; Jawetz et al., 1995).
Kontaminasi langsung Staphylococcus aureus pada luka terbuka (seperti luka
pascabedah) atau infeksi setelah trauma (seperti osteomielitis kronis setelah fraktur
terbuka) dan meningitis setelah fraktur tengkorak, merupakan penyebab infeksi
nosokomial (Jawetz et al., 1995). Keracunan makanan dapat disebabkan kontaminasi
enterotoksin dari Staphylococcus aureus. Waktu onset dari gejala keracunan biasanya
cepat dan akut, tergantung pada daya tahan tubuh dan banyaknya toksin yang termakan.
Jumlah toksin yang dapat menyebabkan keracunan adalah 1,0 g/gr makanan. Gejala
keracunan ditandai oleh rasa mual, muntah-muntah, dan diare yang hebat tanpa disertai
demam (Ryan, et al., 1994 ; Jawetz et al., 1995).
Sindroma syok toksik (SST) pada infeksi Staphylococcus aureus timbul secara tiba-
tiba dengan gejala demam tinggi, muntah, diare, mialgia, ruam, dan hipotensi, dengan
gagal jantung dan ginjal pada kasus yang berat. SST sering terjadi dalam lima hari
permulaan haid pada wanita muda yang menggunakan tampon, atau pada anak-anak
dan pria dengan luka yang terinfeksi stafilokokus. Staphylococcus aureus dapat
diisolasi dari vagina, tampon, luka atau infeksi lokal lainnya, tetapi praktis tidak
ditemukan dalam aliran darah (Jawetz et al., 1995).
b. Staphylococcus epidermidis
Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri yang bersifat
oportunistik (menyerang individu dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah). Bakteri
ini adalah salah satu patogen utama infeksi nosokomial, khususnya yang berkaitan
dengan infeksi benda asing. Organisme ini menghasilkan glycocalyx "lendir" yang
bertindak sebagai perekat mengikuti ke plastik dan sel-sel, dan juga menyebabkan
resistensi terhadap fagositosis dan beberapa jenis antibiotik. Staphylococcus
epidermidis memberikan kontribusi sekitar 65-90% dari semua staphylococcus yang
ditemukan dari flora aerobik manusia . Orang yang sehat dapat memiiliki hingga 24
strain (jenis) dari spesies, beberapa di antaranya dapat bertahan di permukaan yang
kering untuk waktu yang lama. Hospes bagi organisme ini adalah manusia dan hewan
berdarah panas lainnya (Nilsson, 1998). Staphylococcus epidermidis memiliki beberapa
karakteristik, antara lain (Jawetz, dkk., 2001), bakteri gram positif, koagulase negatif,
katalase positif, bersifat aerob atau anaerob fakultatif, berbentuk bola atau kokus,
berdiameter 0,5 1,5 m, tidak membentuk spora dan tidak bergerak, koloni berwarna
putih, dan bakteri ini tumbuh cepat pada suhu 37oC.
Infeksi Staphylococcus epidermidis sulit disembuhkan sebab kuman tumbuh pada
alat protese dimana bakteri dapat menghindar dari sirkulasi sehingga terhindar dari obat
antimikroba. Staphylococcus epidermidis lebih sering resisten terhadap antimikroba
daripada Staphylococcus aureus, hampir 75% strain Staphylococcus epidermidis
resisten terhadap nafsilin. (Jawetz, dkk., 2001). Karena banyak galur yang resisten obat,
maka tiap isolat stafilococcus harus diuji kepekaan antimikrobanya untuk membantu
memilih obat sistemik. Resistensi terhadap grup eritromisin terjadi sangat cepat
sehingga jangan digunakan secara tunggal untuk mengobati infeksi kronik. Resistensi
obat (terhadap penicilin, tetrasiklin, aminoglikosida, dan eritromisin) ditentukan oleh
plasmid yang ditransmisikan oleh stafilokokki dengan transdksi dan juga dengan
konjungasi (Jawetz, dkk., 2001). Staphylococcus epidermidis merupakan bagian dari
flora normal manusia, telah mengembangkan resistensi terhadap antibiotik yang umum
seperti methicillin, novobiocin, klindamisin, dan penisilin benzil. Untuk mengobati
infeksi digunakan vankomisin, hasil atau rifampin.
c. Salmonella Typhi
Salmonella sp. adalah bakteri batang lurus, gram negatif, tidak berspora, bergerak
dengan flagel peritrik, berukuran 2-4 m x 0.5-0,8 m.Salmonella sp. tumbuh cepat
dalam media yang sederhana (Jawetz,dkk, 2005), hampir tidak pernah memfermentasi
laktosa dan sukrosa, membentuk asam dan kadang gas dari glukosa dan manosa,
biasanya memporoduksi hidrogen sulfide atau H2S, pada biakan agar koloninya besar
bergaris tengah 2-8milimeter, bulat agak cembung, jernih, smooth, pada media BAP
tidak menyebabkan hemolisis, pada media Mac Concey koloni Salmonella sp. Tidak
memfermentasi laktosa (NLF), konsistensinya smooth (Tortora dkk.,2001 ).
Salmonella sp. tahan hidup dalam air yang dibekukan dalam waktu yang lama,
bakteri ini resisten terhadap bahan kimia tertentu (misalnya hijau brillian, sodium
tetrathionat, sodium deoxycholate) yang menghambat pertumbuhan bakteri enterik lain,
tetapi senyawa tersebut berguna untuk ditambahkan pada media isolasi Salmonella sp.
Pada sampel feses. Habitat bakteri salmonella adalah di dalam alat pencernaan manusia,
hewan, dan bangsa burung. Oleh karena itu cara penularannya adalah melalui mulut
karena makan/minum bahan yang tercemar oleh keluaran alat pencernaan penderita.
Salmonella akan berkambang biak di dalam alat pencernaan penderita, sehingga terjadi
radang usus (enteritis). Radang usus serta penghancuran lamina propria alat
pencernaan oleh penyususpan (proliferasi) salmonella inilah yang menimbulkan diare,
karena salmonella menghasilkan racun yang disebut cytotoxin dan enterotoxin
(Dharmojono, 2001). Salmonella di dalam tubuh host akan menginvasi mukosa usus
halus, berbiak di sel epitel dan menghasilkan toxin yang akan menyebabkan reaksi
radang dan akumulasi cairan di dalam usus. Kemampuan salmonella untuk menginvasi
dan merusak sel berkaitan dengan diproduksinya thermostable cytotoxic factor.
Salmonella ada di dalam sel epitel akan memperbanyak diri dan menghasilkan
thermolabile enterotoxin yang secara langsung mempengaruhi sekresi air dan elektrolit
(Ray, 2001). Menurut Lay dan Hastowo (1992), patogenesis yang disebabkan oleh
salmonella dapat terjadi dalam tiga tahap yaitu: Kolonisasi usus, Perasukan lapisan sel
epitel usus, Penggertakan .pengeluaran cairan.
Pencegahan dapat dilakukan, menurut Dharmojono (2001) tindakan sanitasi dan
higienik merupakan tindakan yang tepat untuk dilakukan dan tindakan ini adalah
tindakan yang paling murah untuk dilakukan. Pencegahan lain yang bisa dilakukan
yaitu dengan mengidentifikasi dengan benar, bahwa hewan yang baru masuk dari
peternakan lain berbas salmonellosis. Vaksin salmonellosis telah dibuat dan dipasarkan
baik yang aktif (dibuat dari salmonella avirulen) maupun yang pasif (Dhamojono,
2001). Menurut Wegener et al. (2003) pencegahan pada ayam bisa dilakukan dengan
prinsip top-down eradication , yaitu membebaskan piramid breeding broiler dari strata
puncak sampai strata terbawah. Flock yang terinfeksi dimusnahkan dan unggas yang
terinfeksi dipotong. Program pengujian dikembangkan terus dengan tujuan
mempertinggi keamanan pangan.
VIII. KESIMPULAN
Adapun Kesimpulan dari isolasi dan identifikasi dari sampel Beruang yaitu :
1. Dari 7 sampel beruang yang di identifikasi ada 5 sampel gram positif yakni MSA
anus, MC Feses, MC. Kaki Beruang, MSA Gigi dan BA Feses Terpisah sedangkan 2
sampel lagi gram negatif yakni BA Telinga dan BA Telinga terpisah, namun pada BA
Telinga.
2. Sampel MSA Anus, MC. Kaki Beruang dan BA feses terpisah merupakan bakteri
Staphylococcus Epidermis sedangkan MSA Gigi dan MC Feses merupakan bakteri
Staphylococcus aureus. Pada sampel BA Telinga terpisah merupakan bakteri
Salmonella typhi
DAFTAR PUSTAKA
Atlas, R.M. 1993. Handbook of Microbiological Media. CRC. Press Inc., New York.
Bhunia, A. 2008. Foodborne Microbial Pathogens. Springer. USA.
Cox, J., 2000. Salmonella (Introduction). Dalam Encyclopedia of Food Microbiology, Vol. 3.
Robinson, R.K., C.A. Batt and P.D. Patel (Editors). Academic Press, San Diego.
Dharmojono. 2001. Limabelas Penyakit Menular dari Binatang ke Manusia. Milenia Populer,
Jakarta.
Entjang, I. 2003. Mikrobiologi dan Parasitologi. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Fadhlan. 2010. Mikrobiologi Farmasi. Salemba medika. Jakarta
Jawetz, E., J.L. Melnick and E.A. Adelberg. 2001. Medical Microbiology. 22nd edition.
McGraw hill Companies Inc. USA.
Kusuma, S.A.F. 2009. Staphylococcus aureus. Makalah. Universitas Padjadjaran
Lay, B.W., And S. Hastowo. 1992. Mikrobiologi Rajawali Press, Jakarta
Nilsson, Lars, Flock, Pei, Lindberg, Guss.1998. A Fibrinogen-Binding Protein of
Staphylococcus epidermidis.Infection and Immunity. Amerika : American Society for
Microbiology (ASM).
Ryan, K.J and C.G. Ray. 2004. Sherris Medical Microbiology (edisi ke-4th ed.). McGraw
Hill.
Tortora GJ. Funke BR, Case CL. 2001. Microbiology: an Introduction. 7th ed. Addison
Wesley Longman, Inc. California
Waluyo, Lud. 2008. Teknik dan Metode Dasar Dalam Mikrobiologi. Malang. UMM Press.
Warsa, U.C. 1994. Staphylococcus dalam Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Edisi Revisi.
Jakarta : Penerbit Binarupa Aksara. hal. 103-110.
Wegener, H.C., T. Hald, D.L.F. Wong, M. Madsen, H. Korsgaard, F. Bager, P. Gerner-Smidt,
And K. Mlbak, 2003. Salmonella Control Programs In Denmark.