Anda di halaman 1dari 12

Toxoplasmosis,Terapi dan Pencegahannya

Abstrak
Toxoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi dengan parasit obligat intraselluler
Toxoplasma gondii. Penyakit ini tersebar di seluruh dunia karena kemampuannya untuk
menimbulkan infeksi yang bisa mengenai setiap sel penjamu yang berinti. Toxoplasma gondii
dapat ditularkan kepada janin jika ibu mendapat infeksi primer sebelum kehamilan. Pencegahan
dapat dilakukan dengan cara vaksinasi pada ibu hamil yang beresiko tertular Toxoplasma gondii
serta hygiene dan gaya hidup sehat dianjurkan untuk menghindari makanan yang terkontaminasi.
Kata Kunci : Toxoplasmosis, Pencegahan, Parasit obligat

Abstract
Toxoplasmosis is a disease caused by infection with the obligate intracellular parasite
Toxoplasma gondii. The disease is spread all over the world because of its ability to cause
infections that may affect any of the host cell nucleus. Toxoplasma gondii can be transmitted to
the fetus if the mother has a primary infection prior to pregnancy. Prevention can be done by
way of vaccination in pregnant women at risk of contracting Toxoplasma gondii as well as
hygiene and healthy lifestyles are encouraged to avoid foods that are contaminated.
Key Word: Toxoplasmosis, Prevention, parasite obligate

Pendahuluan
Di negara beriklim lembab,penyakit parasit masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang cukup serius. Salah satu diantaranya adalah infeksi protozoa yang ditularkan melalui tubuh
kucing. Infeksi penyakit yang ditularkan oleh kucing ini mempunyai prevalensi yang cukup
tinggi,terutama pada masyarakat yang mempunyai kebiasaan makan daging mentah atau kurang

1
matang. Di indonesia faktor-faktor tersebut disertai dengan keadaan sanitasi lingkungan dan
banyaknya sumber penularan.
Toxoplasmosis,suatu penyakit yang disebabkan oleh toxoplasma gondii,merupakan
penyakit parasit pada manusia dan juga pada hewan yang menghasilkan daging bagi konsumsi
manusia. Infeksi yang disebabkan oleh T.gondii tersebar diseluruh dunia,pada hewan berdarah
panas, dan mamalia lainnya termasuk manusia sebagai hospes perantara, kucing dan berbagai
jenis felidae lainnya sebagai hospes definitive.
Infeksi toxoplasma tersebar luas dan sebagian besar berlangsung asimtomatis,meskipun
panyakit ini belum digolongkan sebagai penyakit parasite yang diutamakan pemberantasannya
oleh pemerintah,tetapi beberapa panelitian yang telah dilakukan di beberapa tempat untuk
mengetahui derajat distribusi dan prevalensinya. Indonesia sbagai Negara torpik merupakan
tempat yang sesuai untuk perkembangan parasit tersebut. Keadaan ini ditunjang oleh beberapa
factor seperti sanitasi lingkungan dan banyak sumber penularan terutama kucing dan
sebangsanya (Felidae).
Manusia dapat terkena infeksi parasit ini dengan cara didapat(Aquired Toxoplasmosis)
maupun diperoleh semenjak dalam kandungan(Congenital Toxoplasmosis). Diperkirakan
sepertiga penduduk dunia mengalami penyakit ini.
Protozoa ini hidup dalam sel epitel usus muda hospes definitif, sedangkan ookistanya
dikeluarkan bersama tinjanya. Penularan parasit ini terjadi dengan tertelannya ookista dan kista
jaringan dalam daging mentah atau kurang matang serta transplasental pada waktu janin dalam
kandungan. Diagnosis infeksi protozoa dilakukan dengan mendapatkan anti bodi IgM dan IgG
anti T. gondii dalam tes serologi.
Sebagai parasit T. gondii ditemukan dalam segala macam sel jaringan tubuh kecuali sel
darah merah. Tetepi pada umumya parasit ini ditemukan dalam sel retikulo endothelia dan
system syaraf pusat.

Pembahasan

Sejarah
Toxoplasma Gondii pada tahun 1908 pertama kali ditemukan pada binatang mengerat,
yaitu Ctenodactylus gundi, disuatu laboratorium di Tunisia dan pada seekor kelinci di

2
laboratorium Brazil (nicolle & Splendore). Pada tahun 1937 parasit ini ditemukan pada neonates
dengan ensefalitis. Walapun transmisi intrauterine secara transprasental sudah diketahui, baru
pada tahun 1970 daur hidup parasit ini menjadi jelas, ketika ditemukan daur seksualnya pada
kucing (Hutchison). Setelah dikembangkan tes seerologi yang sensitive oleh Sabin dan Feldman
(1948), zat anti T. Gondii ditemukan kosmopolit, terutama didaerah dengan iklim panas dan
lembab.1

Hospes dan nama Penyakit


Hospes Definitif T. gondii adalah kucing dan binatang sejenisnya (Felidae). Hosper
perantaranya adalah manusia, mamalia lainnya dan burung. Parasit ini menyebabkan
toxoplasmosis konginetal dan toksoplasmosis akuista.1

Cara infeksi :
1. Pada toxoplasmosis konginetal transmisi toxoplasma kepada janin terjadi in utero melalui
plasenta, bila ibunya mendapat infeksi primer waktu hamil.
2. Pada toxoplasmosis akuisita infeksi dapat terjadi, bila makan daging mntah atau kurang matang
(misalnya sate), kalau daging tersebut mengandung kista jaringan atau takizoit Toxoplasma.
Pada orang yang tidak makan dagingpun dapat terjadi infeksi bila ookista yang dikeluarkan
dengan tinja kucing tertelan.
3. Infeksi juga dapat terjadi di laboratorium pada orang yang bekerja dengan binatang percobaan
yang diinfeksi T.Gondii, melalui jarum suntik dan alat laboratorium lain yang terkontaminasi
dengan T.Gondii. ibu hamil tidak dianjurkan bekerja dengan T.Gondii yang hidup. Infeksi
dengan T.Gondii juga pernah terjadi waktu mengerjakan autopsy.
4. Infeksi dapat terjadi dengan transplantasi organ dari donor yang mederita toksoplasmosis laten.
5. Transfusi darah lengkap juga dapat menyebabkan infeksi. 1

Patologi dan Gejala Klinis


Setelah invasi yang biasanya terjadi diusus, maka parasit memasuki sel berinti atau
difagositosis. Sebagian parasit mati setelah difagositosis. Sebagian yang lain berkembangbiak
dalam sel, menyebabkan sel hospes pecah dan menyerang sel-sel lain. Dengan adanya parasit

3
didalam makrofag dan limfosit, maka penyebaran secara heterogen dan limfogen keseluruh
tubuh mudah terjadi. Parasitemia berlangsung selama beberapa minggu.
T.Gondii dapat menyerang semua organ dan jaringan tubuh hospes, kecuali sel darah
merah tidak berinti.
Kista jaringan dibentuk bila sudah ada kekebalan dan dapat ditmukan diberbagai alat dan
jaringan, mungkin untuk seumur hidup. Kerusakan yang terjadi pada jaringan tubuh, tergantung
pada :
1. umur, pada bayi kerusakan lebih berat daripada orang dewasa.
2. virulensi strain Toxoplasma
3. jumlah parasit, dan
4. organ yang diserang.
Lesi pada susunan saraf pusat dan mata biasanya lebih berat dan permanen, oleh Karena
jaringan ini tidak mempunyai kemampuan untuk regenerasi. Kelainan pada susunan saraf pusat
berupa nekrosis yang disertai dengan klasifikasi. Pada toksoplasmosi kongnital, nekrosis pada
pada otak lebih sering di korteks, ganglia basal dan daerah periventrikular. Penyumbatan
akuaduktus Sylvii atau foramen Monro oleh karena ependimitis mengakibatkan hidrosefalus pada
bayi.
Pada infeksi akut di retina ditemukan reaksi peradangan focal dengan edema dan infitrasi
leukosit yang dapat menyebabkan kerusakan total dan pada proses penyembuhan menjadi parut
(sikatriks) dengan atrofi retina dan koroid, disertai pigmentasi.
Di otot jantung dan otot bergaris ditemukan T.Gondii tanpa menimbulkan peradangan. Di
alat tubuh lainnya, seperti limpa dan hati, parasit lebih jarang ditemukan. 1,2

Toksoplasmosis akuista
Infeksi pada orang dewasa biasanya tidak diketahui oleh karena jarang menimbilkan
gejala (asimtomatik). Bila seseorang ibu hamil mendapat infeksi primer, maka ia dapat melahiran
anak toksomoplasmosis congenital. Manifestasi klinis yang paling sering dijumpai pada

4
toksomoplasmosis akuista akut adalah limfadenopati (servikal, suprakalvikular, axial, inguinal,
dan oksipital), rasa lelah, demam, nyeri otot, dan rasa sakit kepala. Gejalanya mirip
mononucleosis infeksiosa pada toksoplasmosis akuista. Toxoplasma menyebabkan infeksi
oportunistik yang disebabkan imunosupresi berhubungan dengan transplantasi organ dan
pengobatan keganasan. Pada tahun 1980-an ensefalitis toksoplasmik muncul sebagai penyakit
parasitic yang paling sering dijumpai pada penderita AIDS dan biasanya terjadi jika
CD4+<100>3. Kelainan susunan saraf pusat kerena toxoplasma mungkin tampak sebagai
manifestasi klinis pertama dan paling sering pada AIDS. Mula-mula timbul sakit kepala, demam,
letargi, perubahan mental dan berlanjut mnjadi kelainan neurologic dan kejang. Dengan CT-scan
dan MRI tampak lesi tunggal atau multiple ring-enchancing lesion yang dikelilingi edema otak
dengan predileksi pada ganglia basal dan cortico-medullary junction. Lesi dapat juga terjadi pada
serebelum dan thalamus. Lesi pada ganglia basal dapat mengganggu pergerakan seperti
hemikorea, hemiballism, Parkinson atau tremor. Pemeriksaan dengan menggunakan MRI lebih
sensitive daripada CT-scan. Lesi biasanyan tetap disusunan saraf pusat dan tidak menyebar ke
organ lain. Ini adalah reaktivasi infeksi laten, sehingga tampak antibody IgG dari infeksi lampau.
Manifestasi lainnya korioretinitis dan yang agak jarang pneumonitis dan miokarditis.
Toksoplasmosis paru pada pasien imunodefisiensi dapat timbul sebagai pneumonitis interstitial,
necrotizing pneumonia, konsolidasi dan enfusi pleura.3

Toksoplasmosis kongenital.
Gambaran klinis toksomoplasmosis congenital dapat bermacam-macam antara lain
prematuritas, retardasi pertumbuhan intrauterine, postmaturitas, retinokoroiditis, strabismus
retinokoroiditis, strabismus, kebutaan, retadasi psikomotor, mikrosephalus dan hidrosephalus,
kejang, hipotnus, ikterus, anemia dan hepatosplenomegali. Berat infeksi tergantung pada umur
janin saat terjadi infeksi : makin muda usia janin, makin besar kerusakan organ tubuh. Infeksi
pada kehamilan muda dapat mengakibatkan abortus spontan dan kematian janin. Sebaliknya,
makin muda usia kehamilan saat terjadi infeksi primer pada kehamilan saat terjadi infeksi primer
pada ibunya, makin kecil persentase janin yang terinfeksi. Ada yang tampaknya normal pada
waktu lahir dan gejala klinisnya baru timbul sampai beberapa minggu bahkan sampai beberapa

5
tahun. Ada gambaran eritroblastosis, hidrops fetalis dan triad klasik yang terdiri atas
hidrosephalus, retinokoroiditis dan perkapuran (kalsifikasi) intrakarnial atau tetrad sabin jika
disertai kelainan psikomotorik.
Kelainan susunan saraf pusat sering meninggalkan gejala sisa, misalnya retardasi mental
dan motorik. Kadang-kadang hanya ditemukan sitakriks pada retina, namun dapat kambuh pada
masa anak-anak, remaja atau dewasa. Retinokoroiditis karena toksoplasmosi pada remaja dan
dewasa biasanya akibat infeksi kongenita, jarang sekali akibat infeksi akuisita.
Pada anak yang lahir premature gejala klinis lebih berat daripada yang lahir cukup bulan, dapat
diserta hepatosplenomegali, ikterus, limfadenopati, kelainan susunan saraf pusat dan lesi mata. 3

Diagnosis
Diagnosis toxomoplasmosis akut dapat dipastikan bila menemukan takizoit dalam biopsy
otak atau sum-sum tulang. Cairan srebospinal dan ventrikel. Dengan cara pulasan biasa, takizoit
sukar ditemukan dalam specimen.1
Isolasi parasit dapat dilakukan dengan inokulasi pada mencit, tetapi hal ini sangat memerlukan
waktu lama. Isolasi dari cairan badan menunjukkan infeksi akut, tetapi isolasi dari jaringan
hanya menunjukkan kista dan tidak memastikan infeksi akut.
Tes serologi dapat menunjukkan diagnosis toksoplasmosis. IgG terhadap Toxoplasma biasanya
muncul 1-2 minggu setelah infeksi dan biasanya menetap seumur hidup. IgM pada penderita
imunokompromais biasanya tidak terdeteksi. Tes yang sering digunakan adalah ELISA uantuk
deteksi antibody IgG dan IgM. 3
Adanya zat anti IgM pada neonatus menunjukkan bahwa zat anti dibuat oleh janin IgM
dari ibu yang berukuran lebih besar tidak dapat melalui plasenta, tidak seperti halnya zat anti
IgG. Maka bila ditemukan zat anti IgG Toxoplasma pada neonatus, diagnosis toxoplasmosis
konginetal sudah dapat dipastikan.
Untuk memastikan diagnosis toxoplasmosis akuista, tidak cukup bila hanya sekali
menemukan zat anti IgG T. Gondii yang tinggi, karena titer zat anti yang ditemukan dengan tes
tersebut dapat ditemukan bertahun-yahun dalam tubuh seseorang. Diagnosis toxoplasmosis akut
dapat dibuat, bila titer IgG meninggi secara bermakna pada pemeriksaan kedua kali dalam jangka
waktu 3 minggu atau lebih, atau bila ada konversi dari negative kepositif. 4

6
Untuk memastikan diagnosis toxoplasmosis congenital pada neonatus perlu ditemukan
zat anti IgM, tetapi zat IgM tidak selalu dapat ditemukan. Zat anti IgM cepat menghilang dari
darah, walaupun kadang-kadang dapat ditemukan selama beberapa bulan bahkan sampai ketahun
atau lebih. Bila bayi tidak ditemukan zat anti IgM, maka bayi yang tersangkan menderita
toxoplasmosis kenginetal harus di Follow up. Zat anti IgG pada neonatus yang secara pasif
didapatkan dari ibunya melalui plasenta, berangsur-angsur berkurang dan menghilang pada bayi
yang tidak terinfeksi T.gondii. pada bayi yang terinfeksi T.gondii, zat anti IgG mulai dibentuk
sendiri pada umur 2-3 bulan dan pada waktu ini zat anti IgG tetap ada atau naik.4
Tes serologic tidak selalu dapat dipakai untuk mendapatkan diagnosis toksoplasmosis
akut dengan cepat dan tepat, karena IgM tidak selalu dapat ditemukan pada neonatus, atau karena
IgM dapat ditemukan selama berbulan-bulan bahkan sampai lebih dari setahun, sedangkan pada
penderita imunodefisiensi tidak dibentu antibodi IgM dan tidak dapat ditemukan titer IgG yang
meningkat.
Akhir-akhir ini dikembangkan PCR untuk deteksi DNA parasit pada cairan tubuh dan
jaringan. Dengan teknik ini dapat dibuat diagnosis dini yang cepat dan tepat untuk
toksoplasmosis kongenital prenatal dan postnatal serta infeksi toksoplasmosis akut pada ibu
hamil dan penderita imunokompromais.
Diagnosis pasti ensefalis toksoplasmik ditetapkan dengan menemukan takizoit pada
jaringan, darah atau cairan tubuh lainnya dan PCR untuk deteksi DNA T.gondii pada cairan
serebospinal cukup sensitive dan sangat spesifik untuk diagnosis ensefalis toksoplasmik. Cairan
serebospinal pada pasien ensefalis dapat normal dan menunjukkan pleositosis, kadar protein
meningkat. Respon terhadap terapi empiris dapat juga digunakan untuk diagnosis. Hampir 90 %
pasien baik secara klinis maupun radiologis memberikan respons terhadap terapi toksoplasmosis
serebral pada hari ke-14 setelah pengobatan.4

Pengobatan
Obat yang dipakai untuk saat ini hanya membunuh stadium tekizoit T.gondii dan tidak
membasmi stadium kista, sehingga obat dapat memberantas infeksi akut, tetapi tidak dapat
menghilangkan infeksi menahun, yang dapat aktif kembali.

7
Pirimetamin dan sulfonamide bekerja secara sinergistik, maka dipakai sebagai kombinasi selama
tiga minggu atau sebulan. Pirimetamin menekan homopoeiesis dan dapat menyebabkan
trobosipenia dan leucopenia. Untuk mencegah efek samping, dapat ditambahkan asam folinat
atau ragi. Perimetamin bersifat teratogenik, maka obat ini tidak dianjurkan untuk ibu hamil.1
Perimetamin diberikan dengan dosis 50 mg sampai 75 mg sehari untuk dewasa selama 3
hari kemudian dikurangi menjadi 25 mg sehari (0,5-1mg/kg berat badan /hari) selama beberapa
minggu pada penyakit berat. Karena waktu paruh adalah 4-5 hari, perimetamin dapat diberikan 2
hari sekali atau 3-4 hari sekali. Asam folinat (leucovorin) diberikan 2-4 mg sehari atau dapat
diberikan ragi roti 5-10 g sehari, 2 kali seminggu.
Sulfonamide dapat menyebabkan trombositopenia dan hematuria, diberikan dengan dosis
50-100 mg/kg berat badan /hari selama beberapa minggu atau bulan.
Spiramisin adalah antibiotic macrolide, yang tidak menembus plasenta, tetapi ditemukan
dengan konsentrasi tinggi di plasenta. Spiramisin diberikan dengan dosis 100 mg/kg berat
badan/hari selama 30-45 hari. Obat ini dapat diberikan pada ibu hamil yang mendapat infeksi
primer, sebagai obat profilaktik untuk mencegah transmisi T.gondii ke janin dan kandungannya.
Obat ini diberikan sampai aterm atau sampai janin terbukti terinfeksi toxoplasma. Bila janin
terbukti terinfeksi T.gondii maka pengobatan yang diberikan adalah pirimetamin, sulfonamide
dan asam folinat dan diberikan setelah kehamilan 12 minggu atau 18 minggu.
Klindamisin efektif untuk pengobatan toksoplasmosis, tetapi dapat enyebabkan colitis
pseudomembranosa atau colitis ulserativa, maka tidak dianjurkan untuk pengobatan rutin pada
bayi dan ibu hamil. Kortikosteroid digunakan untuk mengurangi peradangan pada mata, tetapi
tidak dapat diberikan sebagai obat tunggal.
Obat macrolide lain yang efektif terhadap T.gondii adalah klaritromisin dan azitromisin yang
diberikan bersama pirimetamin pada penderita AIDS dengan ensefalitis toksoplasmik. Obat baru
adalah hidroksinaftokuinon (atovaquone) yang bila dikombinasi dengan sulfadiazine atau obat
lain yang aktif terhadap T.gondii, dapat membunuh kista jaringan pada mencit. 4
Toksoplasmosis akuista yang asimtomatik tidak perlu diberikan pengobatan . seorang ibu
hamil dengan infeksi primer harus diberikan pengobatan profilaktik. Pada bayi dengan
toksoplasmosis konginetal diberikan perimetamin dan loading dose 2 mg/kg berat badan perhari
selama 2 hari kemudian 1 mg/kg perhari selama 2-6 bulan, kemudian diberikan 3 kali seminggu.
Toksoplasmosis kenginetal harus diberikan pengobatan selama sedikitnya 1 tahun.

8
Penderita imunokompromais (AIDS keganasan) yang terjangkit toksoplasmosis akut
harus diberi pengobatan sebgai berikut. :
Terapi Awal : diberikan selama 6 minggu
1. Pirimetamin 200 mg loading dose dilanjutkan 50-75 mg setiap 6 jam diberikan bersama
sulfadiazine 1000 (<60kg)-1500>
2. Alternatif :
- Pirimetamin+ asam folinat+klindamisisn 600 mg IV atau peroral tiap 6 jam.
- Trimotoprim + sulfametoksazol (trimetropim 5 mg/kgBB dan sulfametoksazol 25 mg/kgBB) iv
atau peroral tiap 12 jam.
- Pirimetamin + asam folinat + salah satu obat ini :
Dapson 100 mg peroral setiap 6 jam
Klaritromisin 500 mg peroral tiap 12 jam.
Azitromisin 900-1200 mg peroral tiap 6 jam
Atovaquon 1500 mg peroral tiap 12 jam diberikan bersama makan atau suplemen nutrisi
- Atovaquon + sulfadiazine
- Atovaquon saja bila intoleransiterhadap pirimetamin dan sulfadiazine. Pemberian steroid jika ada
edema.1
Terapi Pemeliharaan : (supresif, profilaksis sekunder) : diberikan seumur hidup, jika
rekonstitusi imun tidak terjadi.
1. Pirimetamin 25-50 mg peroral tiap 6 jam +asam folinat 10-25 mg/oral tiap 6 jam +sulfadiazine
500-1000 mg/oral tiap 6 jam
2. Aternatif :
- Klindamisin 300-450 mg tiap 6-8 jam + pirimetamin + asam folinat/oral
- Atovaquone 750 mg tiap 6-12 jam 25 mg tiap 6 jam + asam folinat 10 mg tiap 6 jam (peroral)
3. Terapi supresif dapat dipertimbangkan untuk dihentikan jika : terapi diberikan sedikitnya selama
6 minggu :
- Pasien tidak mempunyai gejala dan tanda klinis ensefalitis toksoplasmik
- CD4 + dipertahankan > 200 sel/mm3 selama 6 bulan pada terapi anti retroviral
- Profilaksis sekunder dimulai kembali jika CD4+ menurun sampai <200>3.1

Prognosis

9
Toksoplasmosis akuista biasanya tidak fatal. Gejala klinis dapat dihilangkan dengan
pengobatan akuadet. Parasit dalam kista jaringan tidak dapat dibasmi dan dapat menyebabkan
eksaserbasi akut bila kekebalan menurun. Bayi yang dilahirkan dengan toksoplasmosis
konginetal yang berat biasanya meninggal atau tetap hidup dengan infeksi menahun dan gejala
sisa yang sewaktu-waktu mengalami eksaserbasi akut. Pengobatan spesifik tidak dapat
menghilangan gejala sisa, hanya mencgah kerusakan lebih lanjut . seorang ibu yang melahirkan
anak dengan toksoplasmosis congenital untuk selanjutnya akan melahirkan anak normal, oleh
karena ibu tersebut ibu tersebut sudah mempunyai zat anti.1,5

Epidemologi
Di Indonesia prevalensi zat anti T.gondii yang positifpada manusia berkisar anta 2% dan
63%. Pada orang eksimo prevalensinya 1% dan di Elsavador, Amerika serikat90%. Prevalensi
zat anti T.gondii pada binatang di indoneis adalah sebagai berikut : pada kucing 35-73%, babi
11-36%, kambing 11-61%, anjing 75% dan pada ternak lain kurang dari 10%. Pada umumnya
prevalensi zat anti yang positif meningkat dengan umur, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan. Di daratan tinggi prevalensi lebih rendah, sedangkan di daerah tropic prevalensi
lebih tinggi.
Pervalensi toksomoplasmosis konginetal di beberapa Negara diperkiraan sebagai berikut :
Belanda 6,5 dari 1000 kelahiran hidup, New York 1,3 %, Paris 3 % dan Vienna 6-7 %.
Keadaan toksomoplasmosis di suatu daerah dipengaruhi oleh banyak factor, seperti
kebiasaan makan daging kurang matang, adanya kucing yang dipelihara sebagai binatang
kesayangan, tikus dan burung sebagai hospes perantara yang merupakan buruan kucing dan
adanya vector seperti lipas atau lalat yang dapat memindahkan ookista dari tinja kucing ke
makanan. Cacing tanah juga berperan untuk memindahkan ookista dari lapisan dalam ke
permukaan tanah.
Walaupun makanan daging kurang matang merupakan cara transmisi yang penting untuk
T.gondii, transmisi melalui ookista tidak dapat di abaikan, seekor kucing dapat mengeluarkan 10
juta butir ookista sehari selama 2 minggu. Ookista menjadi matang dalam waktu 1-5 hari dan
dapat hidup lebih dari setahun di tanah yang panas dan lembab. Ookista mati pada suhu 450-550,
juga mati bila dikeringkan atau bila bercampur formalin, ammonia atau larutan iodium.
Transmisi melalui ookista menunjukkan infeksi T.gondii pada orang yang tidak suka

10
menunjukkan infeksi T.gondii pada orang yang tidak suka makan daging atau terjadi pada
binatang herbivora.
Untuk mencegah infeksi T.gondii (terutama pada ibu hamil) harus menghindari makan
daging kurang matang yang mungkin mengandung kista ajringan dan menelan ookista matang
yang terdapat dalam tinja kucing.
Kista jaringan dalam daging tidak infektif bila sudah dipanaskan sampai 660C atau
diasap. Setelah memegang daging mentah (tukang jagal, tukang masak) sebaiknya tangan dicuci
bersih dengan sabun. Makanan harus ditutup untuk menghindari lalat atau lipas. Sayur-sayuran
sebagai lalap harus dicuci bersih atau dimasak . kucing peliharaan sebaiknya diberi makanan
matang dan dicegah berburu tikus dan burung.1,3,5

Kesimpulan
Toxoplasma gondii merupakan protozoa obligat intraseluler yang dapat menyebabkan
penyakit toxoplasmosis konginetal dan toksoplasmosis akuista. Hospes Definitif T. gondii adalah
kucing dan binatang sejenisnya (Felidae). Hospes perantaranya adalah manusia, mamalia lainnya
dan burung. Untuk mengetahui apakah terkena infeksi toxoplasmosis atau tidak, dapat dengan
cara memeriksakan diri ke dokter dengan pemeriksaan laboratorium antibodi kelas IgM dan IgG.
Untuk ibu hamil dianjurkan memeriksakan ke dokter pada trisemester pertama secara teratur.

Daftar Pustaka

1. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Parasitologi Kedokteran,Balai Penerbit

FKUI,Jakarta: 2008.h.162-171

2. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran Edisi

Keempat. FKUI. 2008

11
3.Soedarto. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Sagung Seto. 2011

4. Monotoyama JG, Lienselfeld O. Toxoplasmosis Lancet 2004;363: 1965-76

5. CDC - Toxoplasmosis - Epidemiology & risk factors [Internet]. [cited 2013 Oct 27]. Available

from: http://www.cdc.gov/parasites/toxoplasmosis/epi.html

12

Anda mungkin juga menyukai