Anda di halaman 1dari 26

2.

1 Definsi Ergonomi

Ergonomi ialah studi tentang tingkah laku dan aktifitas manusia yang bekerja

dengan menggunakan mesin atau peralatan mekanik dan listrik. Dengan perkataan lain,

ergonomi ialah studi mengenai hubungan antara manusia dengan mesin, berdasarkan

data yang diperoleh dari bidang engineering, biomekanika, fisiologi, antropologi dan

psikologi. Tugas ahli ergonomi ialah merencanakan atau memperbaiki tempat kerja,

perlengkapan dan prosedure kerja para pekerja guna menjamin keamanan, kesehatan

dan keberhasilan perorangan maupun organisasi secara efisien. (Zuljasri Albar,

Musculoskeletal Disorders Akibat Kerja, 2003).

Ergonomi menurut ACGIH (American Conference of Govermental Industrial

Hygiene) didefinisikan sebagai aplikasi ilmu pengetahuan ke lapangan yang

mempelajari dan mendesain interaksi antara manusia dan mesin untuk mencegah

kesakitan dan injuri dan untuk meningkatkan performa keja dan untuk memastikan

bahwa pekerjaan dan tugas didesain sedemikian rupa untuk kesesuaian dengan

kemampuan manusia.

Menurut ILO (International Labor Organization) adalah aplikasi manusia

terhadap ilmu biologi dalam hubungannya dengan engineering untuk mencapai

penyesuaian yang optimal antara seseorang dengan pekerjaannya yang diukur dalam

ruang lingkup efisiensi dan prilaku.

Menurut NIOSH, sering disebut dengan Human Factor Engineering,

didefinisikan sebagai penerapan ilmu pengetahuan yang lebih menitik beratkan

rancangan fasilitas peralatan, perkakas dengan peruntukan tugas yang sesuai dengan
bentuk karakteristi, anatomi, fisiologi, biomekanik, persepsi serta sikap kebiasaan

manusia. Dari definisi diatas, terlihat pada ergonomi terdapat 3 aspek utama, yaitu;

anthropometry, bio mechanic, dan safety behavior.

Dari berbagai pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa pusat dari ergonomi

adalah manusia. Konsep ergonomi ada berdasarkan kesadaran dan keterbatasan

kemampuan dan kapabilitas manusia, sehingga dalam usaha untuk mencegah cidera,

meningkatkan produktivitas, efisiensi dan kenyamanan dibutuhkan penyerasian antara

lingkungan kerja dan pekerjaan dengan manusia yang terlibat dengan pekerjaan

tersebut.

2.1.1 Risiko ergonomi

Risiko yang terpenting dari faktor ergonomi dalam tempat kerja adalah

musculoskeletal disorders (MSDs) atau gangguan otot. Gangguan otot merupakan cedera

atau gangguan pada otot, saraf, tendon, sendi, tulang rawan, dan tulang belakang.

Berdasarkan hasil penelitian dalam buku Industrial Ergonomic gangguan otot yang paling

sering banyak dialami dalam dunia industri adalah tulang belakang atau biasa disebut Low

Back Pain (LBP) dan keluhan tersebut dialami kurang lebih 70% - 80% oleh para pekerja

(Pulat, Alexander, David, 1995:41). Low Back Pain ini memungkinkan timbul dalam jangka

waktu yang cukup lama (adanya kumulatif risiko). Adapun faktor-faktor yang memicu LBP

ini antara lain:

Pekerjaan yang berulang-ulang dilakukan.

Postur tubuh yang tidak nyaman

Kecepatan gerakan
Putaran pada sendi

Getaran

2.1.2 Bahaya Faktor Ergonomi dan Pengaturan Kerja

Industri barang dan jasa telah mengembangkan kualitas dan produktivitas.

Restrukturisasi proses produksi barang dan jasa terbukti meningkatkan produktivitas dan

kualitas produk secara langsung berhubungan dgn disain kondisi kerja. Pengaturan cara

kerja dapat memiliki dampak besar pada seberapa baik pekerjaan dilakukan dan kesehatan

mereka yang melakukannya. Semuanya dari posisi mesin pengolahan sampai penyimpanan

alat-alat dapat menciptakan hambatan dan risiko. Penyusunan tempat kerja dan tempat

duduk yang sesuai harus diatur sedemikian sehingga tidak ada pengaruh yang berbahaya

bagi kesehatan. Tempat tempat duduk yang cukup dan sesuai harus disediakan untuk

pekerja-pekerja dan pekerja-pekerja harus diberi kesempatan yang cukup untuk

menggunakannya.

Prinsip ergonomi adalah mencocokan pekerjaan untuk pekerja. Ini berarti mengatur

pekerjaan dan area kerja untuk disesuaikan dengan kebutuhan pekerja, bukan

mengharapkan pekerja untuk menyesuaikan diri. Desain ergonomis yang efektif

menyediakan workstation, peralatan dan perlengkapan yang nyaman dan efisien bagi

pekerja untuk digunakan. Hal ini juga menciptakan lingkungan kerja yang sehat, karena

mengatur proses kerja untuk mengendalikan atau menghilangkan potensi bahaya. Tenaga

kerja akan memperoleh keserasian antara tenaga kerja, lingkungan, cara dan proses

kerjanya. Cara bekerja harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan

ketegangan otot, kelelahan yang berlebihan atau gangguan kesehatan yang lain. Risiko

potensi bahaya ergonomi akan meningkat:


dengan tugas monoton, berulang atau kecepatan tinggi

dengan postur tidak netral atau canggung

bila terdapat pendukung yang kurang sesuai

bila kurang istirahat yang cukup.

Apa yang dapat dilakukan untuk mencegah atau meminimalkan bahaya organisasi kerja

dan ergonomis?

Menyediakan posisi kerja atau duduk yang sesuai, meliputi sandaran, kursi / bangku

dan /atau tikar bantalan untuk berdiri.

Desain workstation sehingga alat-alat mudah dijangkau dan bahu pada posisi netral,

rileks dan lengan lurus ke depan ketika bekerja.

Jika memungkinkan, pertimbangkan rotasi pekerjaan dan memberikan istirahat

yang teratur dari pekerjaan intensif. Hal ini dapat mengurangi risiko kram berulang

dan tingkat kecelakaan dan kesalahan.

2.1.3 Keselamatan Listrik

Listrik merupakan energi dibangkitkan oleh sumber energi biasanya generator

dan dapat yang mengalir dari satu titik ke titik lain melalui konduktor dalam

rangkaian tertutup.

Potensi bahaya listrik adalah:

Bahaya kejut listrik

Panas yang ditimbulkan oleh energi listrik

Medan listrik

Pekerja dapat mengalami bahaya listrik pada kondisi-kondisi sebagai berikut:


Pekerja berhubungan/menyentuh kedua konduktor pada rangkaian listrik

yang bertegangan.

pekerja berada pada bagian antara konduktor yang ditanahkan (grounding)

dan konduktor yang tidak ditanahkan (grounding)

Pekerja berada pada bagian konduktor yang ditanahkan dengan material yang

tidak ditanahkan.

Dampak cidera akibat bahaya arus kejut pada manusia (pekerja) tergantung:

a. besar arus yang mengalir ke tubuh manusia

b. bagian tubuh yang terkena

c. lama/ durasi pekerja terkena arus kejut

Besar arus yang mengalir tergantung besar beda potensial dan resistansi. Efek arus

kejut pada manusia dapat mengakibatkan kematian. Arus kejut listrik yang

mengenai tubuh akan menimbulkan:

a. menghentikan fungsi jantung dan menghambat pernafasan.

b. Panas yang ditimbulkan oleh arus dapat menyebabkan kulit atau tubuh terbakar,

khususnya pada titik dimana arus masuk ke tubuh.


c. Beberapa kasus dapat menimbulkan pendarahan, atau kesulitan bernafas dan

gangguan saraf.

d. Gerakan spontan akibat terkena arus listrik, dapat mengakibatkan cidera lain

seperti akibat jatuh atau terkena/tersandung benda lain.

2.2 Ergonomic Risk Assassment Method

Ergonomic Risk Assassment Method adalah suatu metode yang digunakan untuk mengukur

tingkat resiko dari suatu pekerjaan menyangkut semua aspek dari pekerjaan yang mana

memasukkan sebuah cara pengembangan perbaikan di dalamnya. Dalam Ergonomic Risk

Assassment Method ada beberapa hal yang menjadi perhatian utama yaitu, postur tubuh pada saat

bekerja, gaya, frequensi, durasi dan hasil akhirnya berupa penilaian/ skoring untuk melihat tingkat

resiko.

Terdapat beberapa metode yang telah diperkenalkan para ahli dalam mengevaluasi

ergonomic untuk menilai tingkat risiko MSDs (Musculoskeletal Disosders) di tempat kerja yaitu

dengan menggunakan metode pengukuran risiko ergonomi (Ergonomic Risk Assassment). Berikut

ini kelompok kami membahas beberapa jenis dari metode pengkuran ergonomi OWAS, RULA dan

NBM (Nordic Body Map).


2.2.1 Metode OWAS (Ovaco Working Posture Analisys System)

Metode OWAS merupakan suatu metode yang digunakan untuk melakukan

pengukuran tubuh dimana prinsip pengukuran yang digunakan adalah keseluruhan

aktivitas kerja direkapitulasi, dibagi ke beberapa interval waktu (detik atau menit),

sehingga diperoleh beberapa sampling postur kerja dari suatu siklus kerja dan/atau

aktivitas lalu diadakan suatu pengukuran terhadap sampling dari siklus kerja tersebut.

Konsep pengukuran postur tubuh ini bertujuan agar seseorang dapat bekerja dengan aman

(safe) dan nyaman.

Metode OWAS adalah suatu metode ergonomi untuk mengevaluasi postural stress

yang terjadi pada seseorang ketika sedang bekerja. Metode ini dibuat oleh O. Karhu pada

tahun 1977. Metode ini digunakan untuk mengklasifikasikan postur kerja dan beban yang

digunakan selama proses kedalam beberapa kategori fase kerja. Postur tubuh dianalisa dan

kemudian diberi nilai untuk diklasifikasikan. OWAS bertujuan untuk mengidentifikasi

resiko pekerjaan yang dapat mendatangkan bahaya pada tubuh manusia yang bekerja.

Kegunaan dari metode ini adalah memperbaiki kondisi pekerja dala, bekeja, sehingga

performance kerja dapat ditingkatkan. Hasil yang diperoleh digunakan untuk merancang

metode perbaikan kerja guna meningkatkan produktifitas.

Langkah-langkah penggunaan OWAS :

1. Pengumpulan data / perekaman posisi

Dilakukan melalui observasi pd pekerja, analisis foto, video, / melihat

aktivitas yg sedang dilakukan.


2. Pemberian Kode

Setiap posisi diberi kode identifikasi dan kmdn dicatat pd lembar kerja.

Pengkodean dilakukan men risiko / ketdknyamanan pd posisi bekerja (tkt risiko

dng nilai 1 berarti rendah, dan tingkat risiko tertinggi bernilai 4). Setiap kategori

risiko yg diperoleh akan digunakan utk rekomendasi perbaikan.

3. Melakukan analisis kategori risiko

Dilakukan dng cara menghitung posisi yg diamati dan berbagai bagian

tubuh, akan mengidentifikasi suatu posisi yg paling penting dan melakukan

tindakan korektif yg diperlukan utk memperbaiki posisi kerja.

Metode OWAS memberikan informasi penilaian postur tubuh pada saat bekerja

sehingga dapat melakukan evaluasi dini atas resiko kecelakaan tubuh manusia yang terdiri

atas beberapa bagian penting, yaitu :

1. Punggung (back)

Pengukuran dilakukan dengan merekam gambar selama proses kerja

berlangsung, lalu menentukan besarnya sudut yang terbentuk pada posisi punggung

pekerja pada saat bekerja. Setelah mendapatkan besarnya sudut yang terbentuk

pada posisi punggung lalu dilakukan penilaian dengan menentukan hasil skor atau

kode posisi punggung. Hasil skor pengukuran terhadap posisi punggung sebagai

berikut :

1) Posisi 1 : Lurus/tegak (<20o)

2) Posisi 2 : Bungkuk ke depan (>20o)

3) Posisi 3 : Miruing ke samping (miring >20o)


4) Posisi 4 : Bungkuk ke depan dan miring ke samping miring dan bungkuk

>20o. (Gizybowska, 2010)

2. Lengan (arm)

Pengukuran dilakukan dengan merekam gambar selama proses kerja

berlangsung, lalu menentukan besarnya sudut yang terbentuk pada posisi

punggung pekerja pada saat bekerja. Setelah mendapatkan besarnya sudut yang

terbentuk pada posisi lengan lalu dilakukan penilaian dengan menentukan hasil

skor atau kode posisi lengan. Hasil skor pengukuran terhadap posisi lengan

sebagai berikut :

1) Posisi 1 : kedua tangan di bawah bahu

2) Posisi 2 : satu tangan pada atau di atas bahu

3) Posisi 3 : kedua tangan pada atau di atas bahu


3. Kaki (leg)

Pengukuran dilakukan dengan merekam gambar selama proses kerja

berlangsung, lalu menentukan besarnya sudut yang terbentuk pada posisi kaki

pekerja pada saat bekerja. Setelah mendapatkan besarnya sudut yang terbentuk

pada posisi punggung lalu dilakukan penilaian dengan menentukan hasil skor

atau kode posisi kaki. Hasil skor pengukuran terhadap posisi kaki sebagai

berikut :

1) Posisi 1 : duduk

2) Posisi 2 : berdiri dengan kedua kaki lurus dengan sudut lutut >150o

3) Posisi 3 :berdiri dengan bertumpu pada satu kaki lurus dan sudut satu

kaki lainnya >150 o

4) Posisi 4 : berdiri/ jongkok dengan kedua lutut dengan sudut 150 o

5) Posisi 5 : berdiri atau jongkok satu lutut dengan sudut 150

6) Posisi 6 : berlutut pada satu atau dua lutut yang brada di lantai

7) Posisi 7 : berjalan atau bergerak


4. Beban kerja

Pengukuran mengenai beban dilakukan dengan cara menentukan besarnya

beban obyek yang diangkat atau angkut oleh pekerja pada saat bekerja, lalu

dilakukan penilaian dengan menentukan hasil skor atau kode beban. Hasil skor

pengukuran terhadap beban sebagai berikut :


1) Skor 1 : apabila berat beban <10 kg (0 kg 9,9 kg)

2) Skor 2 : apabila berat beban < 20 kg (10 kg 19,9 kg )

3) Skor 3 : apabila berat beban >20 kg

5. Evaluasi Postural stress

Fase selanjutnya setelah semua data-data dimasukkan dalam kode, proyek di

evaluasi dengan mengklasifikasikan kode postur ke dalam skala/kategori. Pengkategorian

tersebut bertujuan untuk menilai secara subjektif dengan benar dari postural stress yang

dialami oeh pekerja yang diamati. Kemuadian dikategorikan dalam 4 kategori sebagai

berikut :

Kategori 1 : pekerjaan ringan, tidak memerlukan perbaikan

Kategori 2 : pekerjaan sedang, diperlukan perbaikan dan implementasi dari

perbaikan dilaksanakan dalam waktu yang akan dating.

Kategori 3 : pekerjaan berat (berbahaya), dilakukan perbaikan dan

implementasi dan perbaikan segera dilaksanakan.

Kategori 4 : pekerjaan sangat berat (sangat berbahaya), dilakukan perbaikan

dan implementasi dan perbaikan mendesak untuk dilakukan.

(Tarwaka, 2013)
2.2.2 Metode RULA (Rapid Upper Limb Assessment)

Rapid Upper Limb Assessment (RULA) adalah sebuah metode untuk menilai postur,

gaya, dan gerakan suatu aktivitas kerja yang berkaitan dengan penggunaan anggota tubuh

bagian atas (upper limb). Metode ini dikembangkan untuk menyelidiki resiko kelainan yang

akan dialami oleh seorang pekerja dalam melakukan aktivitas kerja yang memanfaatkan

anggota tubuh bagian atas (upper limb) (Andrian, 2013).

Metode ini menggunakan diagram postur tubuh dan tabel penilaian untuk

memberikan evaluasi terhadap faktor resiko yang akan dialami oleh pekerja. Faktor-faktor

resiko yang diselidiki dalam metode ini adalah yang telah dideskripsikan oleh McPhee

sebagai faktor beban eksternal (external load factors) yang meliputi: jumlah gerakan, jerja

otot statis, gaya, postur kerja yang ditentukan oleh perlengkapan dan perabotan, dan waktu

kerja tanpa istirahat. Pengembangan RULA dilakukan melalui evaluasi mengenai postur

yang di adopsi pekerja, tenaga yang dibutuhkan serta gerakan otot baik oleh operator display

maupun operator yang bekerja dalam berbagai tugas manufaktur dimana resiko yang terkain

dengan kelainan otot rangka pada tubuh bagian atas yang mungkin ada.
RULA dikembangkan oleh Dr.Lynn Mc Attamney dan Dr. Nigel Corlett yang

merupakan ergononom dari universitas di Nottingham (Universitys Nottingham Institute of

Occupational Ergonomics). Pertama kali dijelaskan dalam bentuk jurnal aplikasi ergonomi

pada tahun 1993 (Lueder, 1996). RULA diperuntukkan dan dipakai pada bidang ergonomi

dengan bidang cakupan yang luas (McAtamney, 1993).

Untuk menilai empat faktor beban eksternal pertama yang disebutkan di atas (jumlah

gerakan, kerja otot statis, gaya dan postur), Rapid Upper Limb Assessment (RULA) dikembangkan

untuk :
1. Menyediakan metode penyaringan populasi kerja yang cepat, untuk penjabaran

kemungkinan resiko cidera dari pekerjaan yang berkaitan dengan anggota tubuh bagian

atas.

2. Mengenali usaha otot berkaitan dengan postur kerja, penggunaan gaya dan melakukan

pekerjaan statis atau repetitif, dan halhal yang dapat menyebabkan kelelahan otot.

3. Memberikan hasil yang dapat digabungkan dalam penilaian ergonomi yang lebih luas

meliputi faktor-faktor epidemiologi, fisik, mental, lingkungan dan organisasional.

A. Prosedur Rapid Upper Limb Assessment (RULA)

Prosedur dalam pengembangan metode Rapid Upper Limb Assessment (RULA)

meliputi tiga tahap. Tahap pertama adalah pengembangan metode untuk merekam postur kerja,

tahap kedua adalah pengembangan sistem penilaian dengan skor, dan yang ketiga adalah

pengembangan dari skala tingkat tindakan yang memberikan panduan pada tingkat resiko dan

kebutuhan tindakan untuk mengadakan penilaian lanjut yang lebih detail.

1. Tahap 1 Pengembangan metode untuk merekam postur kerja

Untuk menghasilkan sebuah metode kerja yang cepat untuk digunakan, tubuh

dibagi dalam segmen-segmen yang membentuk dua kelompok atau grup yaitu grup A dan

B. Grup A meliputi bagian lengan atas dan bawah, serta pergelangan tangan. Sementara

grup B meliputi leher, punggung, dan kaki. Hal ini untuk memastikan bahwa seluruh postur

tubuh terekam, sehingga segala kejanggalan atau batasan postur oleh kaki, punggung atau

leher yang mungkin saja mempengaruhi postur anggota tubuh bagian atas dapat tercakup

dalam penilaian.
2. Tahap 2 Pengembangan sistem skor untuk pengelompokan bagian tubuh

Perkembangan sistem untuk pengelompokan skor postur bagian tubuh gambar

sikap kerja yang dihasilkan dari postur kelompok A yang meliputi lengan atas, lengan

bawah, pergelangan tangan dan putaran pergelangan tangan diamati dan ditentukan skor

untuk masing-masing postur. Kemudian skor tersebut dimasukkan dalam tabel A untuk

memperoleh skor A.
Table A

Gambar sikap kerja yang dihasilkan dari postur kelompok B yaitu leher, punggung

(badan) dan kaki diamati dan ditentukan skor untuk masing-masing postur. Kemudian skor

tersebut dimasukkan ke dalam tabel B untuk memperoleh skor B.

Tabel B dalam Worksheet RULA

Kemudian sistem pemberian skor dilanjutkan dengan melibatkan otot dan tenaga

yang digunakan. Penggunaan yang melibatkan otot dikembangkan berdasarkan penelitian

Durry, yaitu skor untuk penggunaan otot sebagai berikut:


+ 1 jika postur statis (dipertahankan dalam waktu 1 menit) atau penggunaan postur tersebut

berulang lebih dati 4 kali dalam 1 menit.

Penggunaan tenaga (beban) dikembangkan berdasarkan penelitian.

Putz-Anderson dan Stevenson dan Baaida, yaitu sebagai berikut:

o 0 jika pembebanan sesekali atau tenaga kurang dari 2 kg dan ditahan.

o 1 jika beban sesekali 2-10 kg.

o 2 jika beban 2-10 kg bersifat statis atau berulang.

o 2 jika beban sesekali namun lebih dari 10 kg.

o 3 jika beban atau tenaga lebih dari 10 kg dialami secara statis atau berulang.

o 4 jika pembebanan seberapapun besarnya dialami dengan sentakan cepat.

Skor penggunaan otot dan skor tenaga pada kelompok tubuh bagian A dan B diukur

da dicatat dalam kotak-kotak yang tersedia kemudian ditambahkan dengan skor yang

berasal dari tabel A dan B, yaitu sebagai berikut:

Skor A + skor penggunaan otot + skor tenaga (beban) untuk kelompok A = skor C.

Skor B + skor pengguanaan otot + skor tenaga (beban) untuk kelompok B = skor D.
3. Tahap 3 Pengembangan Grand Score dan Action List

Tahap ini bertujuan untuk menggabungkan Skor C dan Skor D menjadi suatu grand

score tunggal yang dapat memberikan panduan terhadap prioritas penyelidikan / investigasi

berikutnya. Tiap kemungkinan kombinasi Skor C dan Skor D telah diberikan peringkat,

yang disebut grand score dari 1-7 berdasarkan estimasi resiko cidera yang berkaitan dengan

pembebanan muskuloskeletal.

Setelah diperoleh grand score, yang bernilai 1 sampai 7 menunjukkan level

tindakan (action level) sebagai berikut:

Action level 1 (tingkat tindakan 1)

Suatu skor 1 atau 2 menunjukkan bahwa postur ini biasa diterima jika tidak

dipertahankan atau tidak berulang dalam periode yang lama.

Action level 2 (tingkat tindakan 2)

Skor 3 atau 4 menunjukkan bahwa diperlukan pemeriksaan lanjutan dan juga

diperlukan perubahan-perubahan.
Action level 3 (tingkat tindakan 3)

Skor 5 atau 6 menunjukkan bahwa pemeriksaaan dan perubahan perlu segera

dilakukan. 39

Action level 4 (tingkat tindakan 4)

Skor 7 menunjukkan bahwa kondisi ini berbahaya maka pemeriksaan dan

perubahan diperlukan dengan segera (saat itu juga).

B. Aplikasi Rapid Upper Limb Assessment (RULA)

1. Alat untuk melakukan analisis awal yang mampu menentukan seberapa jauh risiko pekerja

untuk terpengaruh oleh faktor-faktor penyebab cedera, yaitu: postur, kontraksi otot statis,

gerakan repetitive dan gaya.

2. Menentukan prioritas pekerjaan berdasarkan faktor risiko cedera. Hal ini dilakukan dengan

membandingkan nilai tugas-tugas yang berbeda yang dievaluasi menggunakan Rapid

Upper Limb Assessment (RULA).

3. Menemukan tindakan yang paling efektif untuk pekerjaan yang memiliki resiko relatif

tinggi. Analisis dapat menentukan kontribusi tiap faktor terhadap suatu pekerjaan secara

keseluruhan dengan cara melalui nilai tiap faktor resiko.

4. Menemukan sejauh mana penngaruh suatu modifikasi atas pekerjaan. Perbaikan secara

kuantitatif dapat diukur dengan cara membandingkan penilaian sebelum dan sesudah

modifikasi diterapkan.
2.2.3 Metode Nordic Body Map

Metode Nordic Body Map merupakan salah satu dari metode pengukuran subyektif

untuk mengukur rasa sakit otot para pekerja. Untuk mengetahui letak rasa sakit atau ketidak

nyamanan pada tubuh pekerja digunakan body map. Nordic Body Map adalah sistem

pengukuran keluhan sakit pada tubuh yang dikenal dengan musculoskeletal.

Keluhan otot yang terjadi pada organ tubuh tertentu dapat ditelusuri dengan

menggunakan beberapa alat ukur ergonomi mulai dari alat yang sederhana hingga

menggunakan peralatan komputer. Pengukuran subjektif merupakan cara pengumpulan

data menggunakan catatan harian, wawancara dan kuesioner (David, 2005). Untuk menilai

keluhan muskuloskeletal pada pekerja penyapu jalan dapat digunakan kuesioner Nordic

Body Map.

Metode Nordic Body Map merupakan metode penilaian yang sangat subjektif

artinya keberhasilan aplikasi metode ini sangat tergantung dari kondisi dan situasi yang

dialami pekerja pada saat dilakukannya penelitian dan juga tergantung dari keahlian dan

pengalaman observer yang bersangkutan. Kuesioner Nordic Body Map ini telah secara luas

digunakan oleh para ahli ergonomi untuk menilai tingkat keparahan gangguan pada sistem

muskuloskeletal dan mempunyai validitas dan reabilitas yang cukup (Tarwaka, 2011).

Pengisian kuesioner Nordic Body Map ini bertujuan untuk mengetahui bagian

tubuh dari pekerja yang terasa sakit sebelum dan sesudah melakukan pekerjaan pada

stasiun kerja.
Kuesioner ini menggunakan gambar tubuh manusia yang sudah dibagi menjadi 9

bagian utama, yaitu :

a) Leher

b) Bahu

c) Punggung bagian atas

d) Siku

e) Punggung bagian bawah

f) Pergelangan tangan/tangan

g) Pinggang/pantat

h) Lutut

i) Tumit/kaki
Pembagian bagian-bagian tubuh serta keterangan dari bagian-bagian tubuh dapat dilihat

pada gambar berikut.


0. Leher atas
1. Leher bawah
2. Bahu kiri
3. Bahu kanan
4. Lengan atas kirir
5. Punggung
6. Lengen atas kanan
7. Pinggang
8. Bawah pinggang
9. Bokong
10. Siku kiri
11. Siku kanan
12. Lengan bawah kiri
13. Lengan bawah kanan
14. Pergelangan tangan kiri
15. Pergelangan tangan kanan
16. Tangan kiri
17. Tangan kanan
18. Paha kiri
19. Paha kanan
20. Lutut kiri
21. Lutut kanan
22. Betis kiri
23. Betis kanan
24. Pergelangan kaki kiri
25. Pergelangan kaki kanan
26. Telapak kaki kiri
27. Telapak kaki kanan

Responden yang mengisi kuesioner diminta untuk menunjukkan ada atau tidaknya

gangguan pada bagian-bagian tubuh tersebut. Kuisioner Nordic Body Map ini diberikan kepada

seluruh pekerja yang terdapat pada stasiun kerja. Setiap responden harus mengisi ada atau tidaknya

keluhan yang diderita.

Dalam aplikasinya metode Nordic Body Map menggunakan lembar kerja berupa peta

tubuh (body map) merupakan cara yang sangat sederhana, mudah dipahami, murah dan

memerlukan waktu yang sangat singkat 5 menit per individu. Observer dapat langsung
mewawancarai atau menanyakan kepada responden otot otot skeletal bagian mana saja yang

mengalami gangguan/nyeri atau sakit dengan menunjuk langsung pada setiap otot skeletal sesuai

yang tercantum dalam lembar kerja kuesioner Nordic Body Map. Kuesioner Nordic Body Map

meliputi 28 bagian otot otot skeletal pada kedua sisi tubuh kanan dan kiri. Dimulai dari anggota

tubuh bagian atas yaitu otot leher sampai dengan otot pada kaki. Melalui kuesioner ini akan dapat

diketahui bagian bagian otot mana saja yang mengalami gangguan kenyerian atau keluhan dari

tingkat rendah (tidak ada keluhan/cedera) sampai dengan keluhan tingkat tinggi (keluhan sangat

sakit) (Tarwaka, 2011; Palilingan dkk, 2012b).

Pengukuran gangguan otot skeletal dengan kuesioner Nordic Body Map digunakan untuk

menilai tingkat keparahan gangguan otot skeletal individu dalam kelompok kerja yang cukup

banyak atau kelompok sampel yang mereprensentasikan populasi secara keseluruhan. Jika metode

ini dilakukan hanya untuk beberapa pekerja didalam kelompok populasi kerja yang besar, maka

hasilnya tidak akan valid dan reliabel.

Penilaian dengan menggunakan kuesioner Nordic Body Map dapat dilakukan dengan

berbagai cara; misalnya dengan menggunakan 2 jawaban sederhana yaitu Ya (adanya keluhan atau

rasa sakit pada otot skeletal) dan Tidak (tidak ada keluhan atau tidak ada rasa sakit pada otot

skeletal ). Tetapi lebih utama untuk menggunakan desain penelitian dengan skoring ( misalnya; 4

skala Likert). Apabila menggunakan skala Likert maka setiap skor atau nilai haruslah mempunyai

definisi operasional yang jelas dan mudah dipahami oleh responden (Tarwaka, 2011).

Selanjutnya setelah selesai melakukan wawancara dan pengisian kuesioner makalangkah

berikutnya adalah menghitung total skor individu dari seluruh otot skeletal (28 bagian otot skeletal)

yang diobservasi. Pada desain 4 skala Likert akan diperolehskor individu terendah adalah sebesar

28 dan skor tertinggi adalah 112. Langkah terakhir dari metode ini adalah melakukan upaya
perbaikan pada pekerjaan maupunsikap kerja, jika diperoleh hasil tingkat keparahan pada otot

skeletal yang tinggi. Tindakan perbaikan yang harus dilakukan tentunya sangat bergantung dari

resiko otot skeletal mana yang mengalami adanya gangguan. Hal ini dapat dilakukan dengan

melihat presentase jumlah skor pada setiap bagian otot skeletal dan kategoritingkat resiko.

Hasil setelah dijumlahkan :

Skor 28-49 : rendah, belum perlu perbaikan.

Skor 50-70 : sedang, mungkin perlu tindakan perbaikan

Skor 71-91 ; tinggi, perlu tindakan segera

Skor 92- 112 : sangat tinggi, perlu tindakan sesegera mungkin.

Anda mungkin juga menyukai