Anda di halaman 1dari 11

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Rumah sakit merupakan tempat pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang sangat padat modal, padat
teknologi, padat karya, padat profesi, padat sistem, padat mutu dan padat risiko,
menjadikannya sebagai sebuah organisasi yang bersifat kompleks sehingga tidak
mengejutkan bila Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) akan sering terjadi dan
berakibat terjadinya cedera atau kematian pada pasien. Di rumah sakit terdapat
ratusan macam obat, ratusan tes dan prosedur, banyak alat dengan teknologinya,
bermacam jenis tenaga profesi dan non profesi yang siap memberikan pelayanan
pasien 24 jam terus menerus. Keberagaman dan kerutinan pelayanan tersebut
apabila tidak dikelola dengan baik dapat terjadi KTD. Keselamatan (safety) telah
menjadi isu global termasuk juga untuk rumah sakit. Ada lima isu penting yang
terkait dengan keselamatan (safety) di rumah sakit yaitu : 1) keselamatan pasien
(patient safety), 2) keselamatan pekerja atau petugas kesehatan, 3) keselamatan
bangunan dan peralatan di rumah sakit yang bisa berdampak terhadap
keselamatan pasien dan petugas, 4) keselamatan lingkungan (green productivity)
yang berdampak terhadap pencemaran lingkungan, dan 5) keselamatan bisnis
rumah sakit yang terkait dengan kelangsungan hidup rumah sakit. Ke lima aspek
keselamatan tersebut sangatlah penting untuk dilaksanakan di rumah sakit.
Namun harus diakui kegiatan institusi rumah sakit dapat berjalan apabila ada
pasien. Karena itu keselamatan pasien merupakan prioritas utama untuk
dilaksanakan dan hal tersebut terkait dengan isu mutu dan citra perumah sakitan
(Komalawati, 2010).

1
1.2 Tujuan
Untuk mengetahui serta memahami tentang kejadian yang tidak diharapkan di rumah
sakit
1.3 Manfaat
Supaya mahasiswa memahami serta mengerti tentang kejadian tidak diharapkan di
rumah sakit dan bisa menghindarinya.

2
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Kejadian Tidak diharapkan di Rumah Sakit


Rumah sakit sebagai tempat pelayanan kesehatan modern adalah suatu
organisasi yang sangat komplek karena padat modal, padat teknologi, padat karya,
padat profesi, padat sistem, dan padat mutu serta padat resiko sehingga tidak
mengejutkan bila kejadian tidak diinginkan (KTD = adverse event) akan sering
terjadi dan akan berakibat pada terjadinya injuri atau kematian pada pasien. KTD
adalah suatu kejadian yang mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan pada pasien
karena suatu tindakan (commission) atau karena tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil (omission) dan bukan karena under lying disease atau kondisi
pasien (Komalawati, 2010)
KTD dapat ditinjau dari berbagai faktor, salah satunya ditinjau dari faktor
konstitusi. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menjamin
adanya pelayanan kesehatan untuk masyarakat, sehingga tidak ada lagi masyarakat
yang tidak mendapatkan pelayanan secara maksimal. Pada pasal 28H UUD Negara
Republik Indonesia secara spesifik menyebutkan setiap orang berhak memperoleh
pelayanan kesehatan. Pasal 28H ayat 1 menyebutkan: Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang
baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Masyarakat harusnya
juga mendapatkan jaminan sosial sebagaimana pasal 28H ayat 3, setiap orang berhak
atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai
manusia yang bermartabat (Bonas, 2003).

Untuk menjalankan konstitusi tersebut, pemerintah merupakan institusi


pertama yang harus melakukannya. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya berbagai
program Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat diantaranya Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin oleh pemerintah pusat yaitu Jamkesmas,

3
disusul oleh Jamkesda yang menggunakan dana APBD (Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah) untuk menjamin kesehatan masyarakat di daerah masing-masing
sesuai dengan kebijakan pemerintah daerahnya (Komalawati, 2010)

Contoh kejadian tidak diinginkan ditinjau dari segi konstitusi ini adalah
pelayanan kesehatan bagi masyarakat suku terpencil atau pedalaman yang menderita
penyakit tumor atau penyakit yang memerlukan tindakan yang tidak tersedia di sarana
pelayanan dasar ataupun sarana pelayanan rujukan tingkat pertama sehingga perlu
dirujuk ke rumah sakit yang lebih lengkap sarana atau alat-alat kesehatan dan tenaga
spesialisnya. Namun karena pasien tersebut tidak mempunyai kartu Jamkesmas, yang
artinya pasien tersebut bukanlah peserta Jamkesmas, maka karena kendala dana
pasien tersebut tidak dapat dirujuk dan tidak mendapatkan tindakan medik yang
semestinya sehingga dapat menyebabkan kejadian yang tidak diinginkn (KTD).
Padahal menurut konstitusi yang berlaku, setiap orang berhak mendapatkan
pelayanan kesehatan secara maksimal (Bonas, 2003).

Menurut Komalawati (2010), dilihat dari kaca mata hukum, hubungan antara
pasien dengan dokter termasuk dalam ruang lingkup hukum perjanjian. Dikatakan
sebagai perjanjian (transaksi) karena adanya kesanggupan dari dokter untuk
mengupayakan kesehatan atau kesembuhan pasien. Sebaliknya pasien menyetujui
tindakan teraupetik yang dilakukan oleh dokter tersebut. Posisi yang demikian ini
menyebabkan terjadinya kesepakatan berupa perjanjian teraupetik.

Secara yuridis kesepakatan ini melahirkan hak dan kewajiban pada masing-
masing pihak dan harus dilaksanakan sebagaimana telah diperjanjikan. Apabila salah
satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya atau bertindak di luar apa yang telah
diperjanjikan, pihak yang dirugikan dapat mengajukan tuntutan ganti rugi. Kerugian
yang timbul tersebut merupakan suatu Kejadian yang Tidak Diinginkan (KTD) dalam
pemberian pelayanan kesehatan

4
Hubungan dokter-pasien bukanlah hubungan bisnis tetapi kontrak teraupetik.
Pasien datang membagi keterangan pribadi dan mempercayakan pengobatan
penyakitnya pada dokter. Kepercayaan pasien terhadap dokter merupakan unsur
utama kesembuhan pasien. Pasien yang percaya pada dokter akan menceritakan
semua sakit yang dirasakan sehingga dokter juga dapat dengan leluasa
menginformasikan penyakit yang diderita pasien dan menyampaikan pengobatan
yang harus dilakukan disertai dengan kemungkinan efek samping atau kegagalan
pengobatan. Pasien pun mendapatkan semua informasi yang perlu diketahui,
perawatan yang diperlukan, dan perkiraan kemungkinan yang terjadi. Seorang dokter
harus mendengarkan keluhan, menggali informasi dan menghormati pandangan serta
kepercayaan pasien yang berkaitan dengan keluhannya, memberikan informasi yang
diminta atau diperlukan tentang kondisi, diagnosis, terapi dan prognosis pasien serta
rencana perawatannya dengan cara yang bijak dan bahasa yang dimengerti pasien dan
keluarga. Selain itu pasien juga harus diberitahukan tentang tujuan pengobatan,
pilihan obat, cara pemberian dan pengaturan dosis, efek samping obat. Dokter hanya
boleh menyampaikan informasi tentang tindakan kedokteran yang dilakukan terhadap
pasien kepada keluarga setelah mendapatkan persetujuan dari pasien (Depkes, 2008)

Menurut Konsil Kedokteran Indonesia (2009), dalam menerima layanan


kedokteran/kedokteran gigi, pasien dapat saja mengalami ketidakpuasan ataupun hasil
yang tidak sebagaimana mestinya diharapkan (advers events). Ilmu kedokteran adalah
ilmu empiris, sehingga probabilitas dan ketidakpastian merupakan salah satu ciri
khasnya. Iptekdok (Ilmu Pengetahuan Teknologi Kedokteran) masih menyisakan
kemungkinan adanya bias dan ketidaktahuan, meskipun perkembangannya telah
sangat cepat sehingga sukar diikuti oleh standar prosedur yang baku dan kaku.
Kedokteran tidak mungkin menjanjikan hasil layanannya, melainkan hanya
menjanjikan upayanya (inspanningsverbintenis)

5
2.2 Undang-Undang/Peraturan Yang Berlaku Di Rumah Sakit

1. UU No. 23 Tahun 1994 Tentang Kesehatan;


2. UU Praktik Kedokteran UU nomor 29 tahun 2004 pasal 51
yang menyatakan bahwa dokter harus melakukan pertolongan darurat atas
dasar perikemanusiaan; Peraturan tentang Kewajiban Medis dan Hak Pasien
3. UU 44/2009 Setiap pasien mempunyai hak memperoleh layanan yang
manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;
4. Peraturan tentang Kegawatdaruratan versi UU 36/2009 Pasal 190(1) Dengan
sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam
keadaan gawat darurat yang bisa mengakibatkan kecacatan atau kematian,

6
BAB III

KASUS

3.1 Kasus

Suatu hari seorang dokter jaga IGD di sebuah Rumah Sakit swasta kedatangan
seorang pasien dengan keluhan pada kepalanya mengucur darah segar setelah ia
terjatuh dari sepedanya. Saat datang pertama kali seluruh tubuhnya penuh dengan
darah dan pada kepalanya dibebat dengan menggunakan kain sarung. Setelah ditanya
oleh perawat yang bertugas sebagai admin di IGD, diperoleh informasi dari keluarga
pasien bahwa ia tidak memiliki kartu jaminan kesehatan seperti Askes, Jamsostek
maupun kartu asuransi lainnya. Sementara ia mengaku memang tidak mampu sama
sekali untuk membayar biaya rumah sakit. Rumah sakit menolak untuk mengadakan
pemeriksaan atau pengobatan lebih lanjut, pasien diberi saran untuk di bawa ke
Rumah Sakit Umum pemerintah yang letaknya sekitar 15 menit dari RS swasta
tersebut. Dengan pertimbangan karena jika kasus tersebut tetap diselesaikan di RS
swasta maka biaya yang dibebankan kepada pasien akan sangat tinggi karena pasien
tersebut tergolong dalam pasien umum tanpa asuransi kesehatan. Namun jika pasien
tersebut dibawa ke RS pemerintah maka tidak akan dikenakan biaya pengobatan
karena telah dijamin pembiayaannya oleh pemerintah.

7
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Analisa Kasus
Kejadian tersebut merupakan suatu kejadian tidak diharapkan pada pasien
karena pihak rumah sakit (dokter dan perawat) tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil (omission), dan karena pihak rumah sakit tidak memahami
Undang-Undang/ peraturan yang berlaku (UU No. 23 Tahun 1994 Tentang
Kesehatan; UU Praktik Kedokteran UU nomor 29 tahun 2004 pasal 51 yang
menyatakan bahwa dokter harus melakukan pertolongan darurat atas dasar
perikemanusiaan; Peraturan tentang Kewajiban Medis dan Hak Pasien menurut UU
44/2009 Setiap pasien mempunyai hak memperoleh layanan yang manusiawi, adil,
jujur, dan tanpa diskriminasi; Peraturan tentang Kegawatdaruratan versi UU
36/2009 Pasal 190(1) Dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama
terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat yang bisa mengakibatkan
kecacatan atau kematian, dan lain sebagainya). Kesalahan tersebut bisa terjadi dalam
tahap diagnostik seperti tidak merespon ciri simtoma suatu penyakit; tahap preventif
seperti tidak segera memberikan terapi / pertolongan pertama; atau pada hal teknis
yang lain seperti kegagalan memahami hak dasar manusia atau sistem yang lain.

4.2 Indikasi Etik


Seharusnya Dokter tidak boleh menolak pasien apalagi dengan kondisi
kegawatdaruratan. Sesuai dengan sumpah Hipokrates yang beberapa poin isinya
mengatakan Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan
perikemanusiaan; Kesehatan penderita senantiasa akan saya utamakan dan dalam
menunaikan kewajiban terhadap penderita; Saya berikhtiar dengan sungguh-sungguh
supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan Keagamaan, Kebangsaan,
Kesukuan, Politik Kepartaian atau Kedudukan Sosial seharusnya ia dengan
kesadaran diri dapat melakukan tindakan perawatan terhadap pasien tersebut tanpa
melihat apakah pasien tersebut dari golongan mampu ataupun tidak mampu secara

8
sosial dan finansial. Dalam kasus ini, baik dokter maupun perawat memiliki
kewajiban yang sama dalam menyelamatkan nyawa pasien terlebih dahulu bukannya
menanyakan tentang ada atau tidak adanya asuransi kesehatan lalu menolak untuk
melakukan tindakan medis ketika si pasien tidak memiliki dana untuk pembayaran
pengobatan. Setelah kondisi gawat darurat yang dialami pasien telah tertangani
dengan baik dan kondisi pasien stabil barulah perawat dapat mendiskusikan kepada
keluarga pasien tentang proses administrasi selanjutnya.
Semestinya hal ini juga didukung oleh manajemen RS tersebut dalam upaya
membantu pasien-pasien yang tak memiliki jaminan kesehatan dan dari golongan
ekonomi tidak mampu untuk diberikan pelayanan khusus yang gratis yang biayanya
diambil dari dana tabungan sosial / amal. Jadi bukannya pihak manajemen RS
menuntut dokter dan perawat untuk membayar ganti rugi bila dokter dan perawat
membebaskan biaya pengobatan pada pasien yang miskin tersebut.
Mungkin sikap apatis dari manajemen RS terhadap kasus-kasus seperti ini
juga tak luput dari andil keluarga pasien lainnya yang secara tidak langsung telah
mencoreng kepercayaan manajemen RS terhadap keluarga pasien. Karena tak dapat
dipungkiri sebelum kebijakan ini di tempuh pihak rumah sakit sering kali di tipu oleh
keluarga pasien. Dimana ketika pasien telah selesai dilakukan penanganan dan
kondisinya stabil, si keluarga pasien menolak menyelesaikan biaya administrasi
dengan alasan mereka tidak memiliki uang, padahal sesungguhnya mereka dari
keluarga yang cukup berada. Akhirnya, dengan adanya oknum-oknum keluarga yang
seperti ini berimbas pada keluarga pasien lainnya yang memang benar-benar tidak
mampu karena kini manajemen di rumah sakit telah berubah menjadi mengutamakan
masalah administrasi terlebih dahulu daripada pelayanan. Ironis memang, namun
permasalahan ini harus diselesaikan dengan sebaik-baiknya agar tidak ada pihak yang
merasa dirugikan baik itu dari sisi pasien, tenaga medis (dokter dan perawat) maupun
pihak manajemen RS.

9
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Kejadian Tidak Diharapkan adalah suatu kejadian yang mengakibatkan cedera


yang tidak diharapkan pada pasien karena suatu tindakan (commission) atau karena
tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission) dan bukan karena
under lying disease atau kondisi pasien.
Kejadian tidak diinginkan ditinjau dari segi konstitusi ini adalah pelayanan
kesehatan bagi masyarakat suku terpencil atau pedalaman yang menderita penyakit
tumor atau penyakit yang memerlukan tindakan yang tidak tersedia di sarana
pelayanan dasar ataupun sarana pelayanan rujukan tingkat pertama sehingga perlu
dirujuk ke rumah sakit yang lebih lengkap sarana atau alat-alat kesehatan dan tenaga
spesialisnya.
5.2 Saran
Dengan adanya materi ini dhiharapkan kejadian tidak diharapkan di rumah
sakit dapat tidak terjadi lagi, dan bagi tenaga kesehatan di harapkan dapat mematuhi
peraturan/tata tertib undang-undang yang telah di tetapkan.

10
DAFTAR PUSTAKA

Bonas, A. 2003. Identifikasi Resiko Keselamatan Paien (Pasient Safety) Di Rumah


Sakit, UI Press, Jakarta

Depkes RI, 2008. Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit, Jakarta

Komalawati, Veronika. (2010). Community & Patient Safety Dalam


Perspektif Hukum Kesehatan.

11

Anda mungkin juga menyukai