PENDAHULUAN
1
1.2 Tujuan
Untuk mengetahui serta memahami tentang kejadian yang tidak diharapkan di rumah
sakit
1.3 Manfaat
Supaya mahasiswa memahami serta mengerti tentang kejadian tidak diharapkan di
rumah sakit dan bisa menghindarinya.
2
BAB II
LANDASAN TEORI
3
disusul oleh Jamkesda yang menggunakan dana APBD (Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah) untuk menjamin kesehatan masyarakat di daerah masing-masing
sesuai dengan kebijakan pemerintah daerahnya (Komalawati, 2010)
Contoh kejadian tidak diinginkan ditinjau dari segi konstitusi ini adalah
pelayanan kesehatan bagi masyarakat suku terpencil atau pedalaman yang menderita
penyakit tumor atau penyakit yang memerlukan tindakan yang tidak tersedia di sarana
pelayanan dasar ataupun sarana pelayanan rujukan tingkat pertama sehingga perlu
dirujuk ke rumah sakit yang lebih lengkap sarana atau alat-alat kesehatan dan tenaga
spesialisnya. Namun karena pasien tersebut tidak mempunyai kartu Jamkesmas, yang
artinya pasien tersebut bukanlah peserta Jamkesmas, maka karena kendala dana
pasien tersebut tidak dapat dirujuk dan tidak mendapatkan tindakan medik yang
semestinya sehingga dapat menyebabkan kejadian yang tidak diinginkn (KTD).
Padahal menurut konstitusi yang berlaku, setiap orang berhak mendapatkan
pelayanan kesehatan secara maksimal (Bonas, 2003).
Menurut Komalawati (2010), dilihat dari kaca mata hukum, hubungan antara
pasien dengan dokter termasuk dalam ruang lingkup hukum perjanjian. Dikatakan
sebagai perjanjian (transaksi) karena adanya kesanggupan dari dokter untuk
mengupayakan kesehatan atau kesembuhan pasien. Sebaliknya pasien menyetujui
tindakan teraupetik yang dilakukan oleh dokter tersebut. Posisi yang demikian ini
menyebabkan terjadinya kesepakatan berupa perjanjian teraupetik.
Secara yuridis kesepakatan ini melahirkan hak dan kewajiban pada masing-
masing pihak dan harus dilaksanakan sebagaimana telah diperjanjikan. Apabila salah
satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya atau bertindak di luar apa yang telah
diperjanjikan, pihak yang dirugikan dapat mengajukan tuntutan ganti rugi. Kerugian
yang timbul tersebut merupakan suatu Kejadian yang Tidak Diinginkan (KTD) dalam
pemberian pelayanan kesehatan
4
Hubungan dokter-pasien bukanlah hubungan bisnis tetapi kontrak teraupetik.
Pasien datang membagi keterangan pribadi dan mempercayakan pengobatan
penyakitnya pada dokter. Kepercayaan pasien terhadap dokter merupakan unsur
utama kesembuhan pasien. Pasien yang percaya pada dokter akan menceritakan
semua sakit yang dirasakan sehingga dokter juga dapat dengan leluasa
menginformasikan penyakit yang diderita pasien dan menyampaikan pengobatan
yang harus dilakukan disertai dengan kemungkinan efek samping atau kegagalan
pengobatan. Pasien pun mendapatkan semua informasi yang perlu diketahui,
perawatan yang diperlukan, dan perkiraan kemungkinan yang terjadi. Seorang dokter
harus mendengarkan keluhan, menggali informasi dan menghormati pandangan serta
kepercayaan pasien yang berkaitan dengan keluhannya, memberikan informasi yang
diminta atau diperlukan tentang kondisi, diagnosis, terapi dan prognosis pasien serta
rencana perawatannya dengan cara yang bijak dan bahasa yang dimengerti pasien dan
keluarga. Selain itu pasien juga harus diberitahukan tentang tujuan pengobatan,
pilihan obat, cara pemberian dan pengaturan dosis, efek samping obat. Dokter hanya
boleh menyampaikan informasi tentang tindakan kedokteran yang dilakukan terhadap
pasien kepada keluarga setelah mendapatkan persetujuan dari pasien (Depkes, 2008)
5
2.2 Undang-Undang/Peraturan Yang Berlaku Di Rumah Sakit
6
BAB III
KASUS
3.1 Kasus
Suatu hari seorang dokter jaga IGD di sebuah Rumah Sakit swasta kedatangan
seorang pasien dengan keluhan pada kepalanya mengucur darah segar setelah ia
terjatuh dari sepedanya. Saat datang pertama kali seluruh tubuhnya penuh dengan
darah dan pada kepalanya dibebat dengan menggunakan kain sarung. Setelah ditanya
oleh perawat yang bertugas sebagai admin di IGD, diperoleh informasi dari keluarga
pasien bahwa ia tidak memiliki kartu jaminan kesehatan seperti Askes, Jamsostek
maupun kartu asuransi lainnya. Sementara ia mengaku memang tidak mampu sama
sekali untuk membayar biaya rumah sakit. Rumah sakit menolak untuk mengadakan
pemeriksaan atau pengobatan lebih lanjut, pasien diberi saran untuk di bawa ke
Rumah Sakit Umum pemerintah yang letaknya sekitar 15 menit dari RS swasta
tersebut. Dengan pertimbangan karena jika kasus tersebut tetap diselesaikan di RS
swasta maka biaya yang dibebankan kepada pasien akan sangat tinggi karena pasien
tersebut tergolong dalam pasien umum tanpa asuransi kesehatan. Namun jika pasien
tersebut dibawa ke RS pemerintah maka tidak akan dikenakan biaya pengobatan
karena telah dijamin pembiayaannya oleh pemerintah.
7
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Analisa Kasus
Kejadian tersebut merupakan suatu kejadian tidak diharapkan pada pasien
karena pihak rumah sakit (dokter dan perawat) tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil (omission), dan karena pihak rumah sakit tidak memahami
Undang-Undang/ peraturan yang berlaku (UU No. 23 Tahun 1994 Tentang
Kesehatan; UU Praktik Kedokteran UU nomor 29 tahun 2004 pasal 51 yang
menyatakan bahwa dokter harus melakukan pertolongan darurat atas dasar
perikemanusiaan; Peraturan tentang Kewajiban Medis dan Hak Pasien menurut UU
44/2009 Setiap pasien mempunyai hak memperoleh layanan yang manusiawi, adil,
jujur, dan tanpa diskriminasi; Peraturan tentang Kegawatdaruratan versi UU
36/2009 Pasal 190(1) Dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama
terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat yang bisa mengakibatkan
kecacatan atau kematian, dan lain sebagainya). Kesalahan tersebut bisa terjadi dalam
tahap diagnostik seperti tidak merespon ciri simtoma suatu penyakit; tahap preventif
seperti tidak segera memberikan terapi / pertolongan pertama; atau pada hal teknis
yang lain seperti kegagalan memahami hak dasar manusia atau sistem yang lain.
8
sosial dan finansial. Dalam kasus ini, baik dokter maupun perawat memiliki
kewajiban yang sama dalam menyelamatkan nyawa pasien terlebih dahulu bukannya
menanyakan tentang ada atau tidak adanya asuransi kesehatan lalu menolak untuk
melakukan tindakan medis ketika si pasien tidak memiliki dana untuk pembayaran
pengobatan. Setelah kondisi gawat darurat yang dialami pasien telah tertangani
dengan baik dan kondisi pasien stabil barulah perawat dapat mendiskusikan kepada
keluarga pasien tentang proses administrasi selanjutnya.
Semestinya hal ini juga didukung oleh manajemen RS tersebut dalam upaya
membantu pasien-pasien yang tak memiliki jaminan kesehatan dan dari golongan
ekonomi tidak mampu untuk diberikan pelayanan khusus yang gratis yang biayanya
diambil dari dana tabungan sosial / amal. Jadi bukannya pihak manajemen RS
menuntut dokter dan perawat untuk membayar ganti rugi bila dokter dan perawat
membebaskan biaya pengobatan pada pasien yang miskin tersebut.
Mungkin sikap apatis dari manajemen RS terhadap kasus-kasus seperti ini
juga tak luput dari andil keluarga pasien lainnya yang secara tidak langsung telah
mencoreng kepercayaan manajemen RS terhadap keluarga pasien. Karena tak dapat
dipungkiri sebelum kebijakan ini di tempuh pihak rumah sakit sering kali di tipu oleh
keluarga pasien. Dimana ketika pasien telah selesai dilakukan penanganan dan
kondisinya stabil, si keluarga pasien menolak menyelesaikan biaya administrasi
dengan alasan mereka tidak memiliki uang, padahal sesungguhnya mereka dari
keluarga yang cukup berada. Akhirnya, dengan adanya oknum-oknum keluarga yang
seperti ini berimbas pada keluarga pasien lainnya yang memang benar-benar tidak
mampu karena kini manajemen di rumah sakit telah berubah menjadi mengutamakan
masalah administrasi terlebih dahulu daripada pelayanan. Ironis memang, namun
permasalahan ini harus diselesaikan dengan sebaik-baiknya agar tidak ada pihak yang
merasa dirugikan baik itu dari sisi pasien, tenaga medis (dokter dan perawat) maupun
pihak manajemen RS.
9
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
10
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI, 2008. Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit, Jakarta
11