Anda di halaman 1dari 12

ABSES TUBO OVARIUM (3B)

I. Definisi
Tubo-ovarian abscess (TOA) adalah pembengkakan yang terjadi pada tuba-ovarium yang ditandai
dengan radang bernanah, baik di salah satu tuba-ovarium, maupun keduanya (Granberg, 2009). TOA
Merupakan komplikasi termasuk efek jangka panjang dari salfingitis akut tetapi biasanya akan muncul
dengan infeksi berulang atau kerusakan kronis dari jaringan adnexa. Biasanya dibedakan dengan ada
tidaknya ruptur. Dapat terjadi bilateral walaupun 60% dari kasus abses yang dilaporkan merupakan
kejadian unilateral dengan atau tanpa penggunaan IUD. Abses biasanya polimikroba.

II. Etiologi
TOA biasanya disebabkan oleh bakteri aerob dan anaerob, seperti Escherichia coli, Hemolytic
streptococci and Gonococci, Bacteroides species dan Peptococcus Pada beberapa kasus, Hemophilus
inuenzae, Salmonella, actinomyces, dan Staphylococcus aureus juga dilaporkan menjadi penyebab TOA.
Sekitar 92% penyebab TOA adalah Streptococci
Dikatakan bahwa nekrosis tuba fallopi dan kerusakan epitel terjadi dikarenakan bakteri patogen
menciptakan lingkungan yang diperlukan untuk invasi anaerob dan pertumbuhan. Terdapat salfingitis
yang melibatkan ovarium dan ada juga yang tidak. Proses inflamasi ini dapat terjadi spontan atau
merupakan respon dari terapi. Hasilnya dapat terjadi kelainan anatomis yang disertai denagn
perlengketan ke organ sekitar. Keterlibatan ovarium biasanya terjadi di tempat terjadinya ovulasi yang
sering menjadi tempat masuk infeksi yang luas dan pembentukan abses. Apabila eksudat purulen itu
ditekan maka akan menyebabkan ruptur dari abses yang dapat disertai oleh peritonitis berat serta
tindakan laparotomi. Perlengketan yang lambat dari abses akan menyebabkan abses cul de sac.
Biasanya abses ini muncul ketika penggunaan IUD, atau munculnya infeksi granulomatous ( TBC,
aktinomikosis).
Adapun faktor risiko adalah sebagai berikut ,(Tuncer et al., 2012) :
a. Multiple partner
b. Status ekonomi rendah.
c. Riwayat PID
d. Menggunakan AKDR (alat kontrasepsi dalam rahim)
e. Adanya riwayat STD
IV. Patogenesis
Adanya penyebaran bakteri dari vagina ke uterus lalu ke tuba dan atau parametrium, terjadilah
salpingitis dengan atau tanpa ooforitis. Keadaan ini bisa terjadi pada pasca abortus, pasca persalinan
atau setelah tindakan genekologi sebelumnya (Mudgil, 2009). Mekanisme pembentukan TOA secara
pasti masih sulit ditentukan, tergantung sampai dimana keterlibatan tuba infeksinya sendiri. Pada
permulaan proses penyakit, lumen tuba masih terbuka mengeluarkan eksudat yang purulent dari febriae
dan menyebabkan peritonitis, ovarium sebagaimana struktur lain dalam pelvis mengalami inflamasi,
tempat ovulasi dapat sebagai tempat masuk infeksi. Abses masih bisa terbatas mengenai tempat masuk
infeksi. Abses masih bisa terbatas mengenai tuba dan ovarium saja, dapat pula melibatkan struktur
pelvis yang lain seperti usus besar,buli-buli atau adneksa yang lain. Proses peradangan dapat mereda
spontan atau sebagai respon pengobatan, keadaan ini biasanya memberi perubahan anatomi disertai
perlekatan fibrin terhadap organ terdekatnya. Apabila prosesnya menghebat dapat terjadi pecahnya
abses

V. Manifestasi Klinis
Pada semua kasus TOA, termasuk yang disebabkan oleh Pneumococcus, menunjukkan gejala-
gejala berikut: nyeri (88%), demam (35%), massa adneksa (35%), diare (24%), mual dan muntah (18%),
haid tidak teratur (12%).
Pada pemeriksaan touching : nyeri goyang portio, nyeri kiri dan kanan uterus atau salah satunya,
kadang-kadang terdapat penebalan tuba (tuba yang normal, tidak teraba), seta nyeri pada ovarium
karena meradang.
Gejala dapat sangat bervariasi dari asimptomatis sampai terjadinya akut abdomen sampai syok
septik. Karateristik pasien biasanya yang muda serta paritasnya rendah dengan riwayat infeksi pelvis.
Durasi dari gejala pada wanita biasanya kurang lebih 1 minggu dan onsetnya biasanya terjadi 2 minggu
atau lebih setelah siklus menstruasi.

VI. Penegakan Diagnosis


a. Pemeriksaan laboratorium: Hasil pemeriksaan yang didapatkan dari laboratorium kurang
bermakna. Hitung jenis sel darah putih bervariasi dari leukopeni sampai leukositosis. Hasil
urinalisis memperlihatkan adanya pyuria tanpa bakteriuria. Nilai laju endap darah minimal 64
mm/h serta nilai akut C-reaktif protein minimal 20 mg/L dapat difikirkan ke arah diagnosa TOA.
b. USG
Dapat membantu untuk mendeteksi perubahan seperti terjadinya progressi. regresi, ruptur atau
pembentukan pus. Ultrasound adalah modalitas pencitraan pilihan pertama untuk diagnosis dan
evaluasi TOA. USG menawarkan akurasi, siap ketersediaan, biaya rendah dan kurangnya radiasi
pengion. Namun, tetap memerlukan keahlian teknis untuk mencapai potensi diagnostik yang
akurat. Ini dapat dilakukan baik transvaginal atau transabdominal: pencitraan yang transvaginal
memberikan gambaran lebih detail, dimana transduser berada di dalam dekat dengan daerah
pemeriksaan, sedangkan pencitraan pelvis yang transabdominal menawarkan keuntungan
imaging dalam satu tampilan organ besar seperti rahim. Habitus tubuh besar dan adanya loop
dari usus di pelvis dapat menimbulkan kesulitan dalam pencitraan dengan US transabdominal.
c. CT (computed tomography)
Computed tomography telah digunakan, sejak perkembagan dari US dan MRI, peran terbatas
dalam evaluasi radiologi dari PID. Penggunaan radiasi pengion yang membatasi faktor lainnya,
karena mayoritas pasien tersebut dalam usia reproduksi (Tukeva et al., 1999). Kinerja CT dengan
penggunaan media kontras oral dan intravena meningkatkan metode dari akurasi diagnostik
karena karakterisasi jaringan yang lebih baik. Sejumlah kecil cairan dalam cul de sac bisa
dideteksi oleh CT. Suatu abses Tubo-ovarium mungkin tergambar sebagai massa peradangan
dengan komponen padat dan kistik, dengan peningkatan semua atau bagian dari komponen
padat. Tampilan paling sering dari Tubo-ovarium abcess adalah adanya cairan yang mengandung
massa dengan dinding tebal. Septations mungkin juga ada. Salah satu tanda yang lebih spesifik
dari abses Tubo-ovarium, yang tidak umum pada PID, adalah munculnya gelembung gas pada
massa. Limfadenopati biasanya ada di daerah paraaortic pada tingkatan dari hila ginjal (limfatik
ovarium dan limfatik salpingial sejajar dengan vena gonad) (Hricak et al., 2000). Kadang-kadang
ovarium dapat dideteksi dalam massa. Dalam kasus seperti diagnosis abses Tubo-ovarium tidak
sulit, jika tidak, massa yang mengalami inflamasi bisa dibedakan dari proses peradangan yang
timbul dari appendiks (abses appendiceal) atau divertikula (Abses divertikular) atau bahkan
keganasan kandung kemih.
d. Kuldosentesis
Cairan kuldosentesis pada wanita denagn TOA yang tidak ruptur memperlihatkan gambaran
reaction fluid yang sama seperti di salpingitis akut. Apabila terjadi ruptur TOA maka akan
ditemukan cairan yang purulen.

Penegakan diagnosis berdasarkan gejala-gejala yang telah didapatkan dan dapat disertai adanya
:
- Riwayat infeksi pelvis
- Adanya massa adnexa, biasanya lunak
- Produksi pus dari kuldesintesis pada ruptur

VII. Penatalaksanaan
a. Curiga TOA utuh tanpa gejala
- Antibotika dengan masih dipertimbangkan pemakaian golongan : doksiklin 2x / 100 mg /
hari selama 1 minggu atau ampisilin 4 x 500 mg / hari, selama 1 minggu.
- Pengawasan lanjut, bila masa tak mengecil dalam 14 hari atau mungkin membesar
adalah indikasi untuk penanganan lebih lanjut dengan kemungkinan untuk laparatomi
b. TOA utuh dengan gejala
- Masuk rumah sakit, tirah baring posisi semi fowler, observasi ketat tanda vital dan
produksi urine, perksa lingkar abdmen, jika perlu pasang infuse P2 - Antibiotika massif
(bila mungkin gol beta lactar) minimal 48-72 jam Gol ampisilin 4 x 1-2 gram selama /
hari, IV 5-7 hari dan gentamisin 5 mg / kg BB / hari, IV/im terbagi dalam 2x1 hari selama
5-7 hari dan metronida xole 1 gr reksup 2x / hari atau kloramfinekol 50 mg / kb BB /
hari, IV selama 5 hari metronidazol atau sefaloosporin generasi III 2-3 x /1 gr / sehari
dan metronidazol 2 x1 gr selama 5-7 hari
- Pengawasan ketat mengenai keberhasilan terapi
- Jika perlu dilanjutkan laparatomi, SO unilateral, atau pengangkatan seluruh organ
genetalia interna.
c. TOA yang pecah
TOA yang pecah merupakan kasus darurat: dilakukan laparotomi pasang drain kultur nanah.
Setelah dilakukan laparatomi, diberikan sefalosporin generasi III dan metronidazol 2 x 1 gr
selama 7 hari (1 minggu).
RUPTUR UTERI (2)
I. Definisi
Ruptur Uteri adalah robekan pada rahim sehingga rongga uterus dan rongga peritoneum dapat
berhubungan. Yang dimaksud dengan ruptur uteri komplit adalah keadaan robekan pada rahim dimana
telah terjadi hubungan langsung antara rongga amnion dan rongga peritoneum. Peritoneum viserale
dan kantong ketuban keduanya ikut ruptur dengan demikian janin sebagia atau seluruh tubuhnya telah
keluar oleh kontraksi terakhir rahim dan berada dalam kavum peritonei atau rongga abdomen.

II. Etiologi
Ruptura uteri bisa disebabkan oleh anomali atau kerusakan yang telah ada sebelumnya, karena trauma,
atau sebagai komplikasi persalinan pada rahim yang masih utuh. Paling sering terjadi pada rahim yang
telah diseksio sesarea pada persalinan sebelumnya. Lebih lagi jika pada uterus yang demikian dilakukan
partus percobaan atau persalinan dirangsang dengan oksitosin atau sejenisnya.

Pasien yang berisiko tinggi antara lain :


A. persalinan yang mengalami distosia, grande multipara, penggunaan oksitosin atau prostaglandin
untuk mempercepat persalina
B. pasien hamil yang pernah melahirkan sebelumnya melalui bedah seksio sesarea atau operasi
lain pada rahimnya
C. pernah histerorafi
D. pelaksanaan trial of labor terutama pada pasien bekas seksio sesarea, dan sebagainya.
Oleh sebab itu, untuk pasien dengan panggul sempit atau bekas seksio sesarea klasik berlaku
adagium Once Sesarean Section always Sesarean Section. Pada keadaan tertentu seperti ini dapat
dipilih elective cesarean section (ulangan) untuk mencegah ruputura uteri dengan syarat janin sudah
matang.

III. Klasifikasi
1. Menurut sebabnya :
a. Kerusakan atau anomali uterus yang telah ada sebelum hamil
i. pembedahan pada miometrium : seksio sesarea atau histerektomi, histerorafia,
miomektomi yang sampai menembus seluruh ketebalan otot uterus, reseksi
pada kornua uterus atau bagian interstisial, metroplasti.
ii. Trauma uterus koinsidensial : instrumentasi sendok kuret atau sonde pada
penanganann abortus, trauma tumpul atau tajam seperti pisau atau peluru,
ruptur tanpa gejala pada kehamilan sebelumnya (silent rupture in previous
pregnancy).
iii. Kelainan bawaan : kehamilan dalam bagian rahim (born) yang tidak berkembang
b. Kerusakan atau anomali uterus yang terjadi dalam kehamilan
i. sebelum kelahiran anak : his spontan yang kuat dan terus menerus, pemakaian
oksitosin atau prostaglandin untuk merangsang persalinan, trauma luar tumpul
atau tajam, versi luar, pembesaran rahim yang berlebihan misalnya hidramnion
atau kehamilan ganda.
ii. Dalam periode intrapartum : versi-ekstraksi, ekstraksi cunam yang sukar,
ekstraksi bokong, anomali janin yang menyebabkan distensi berlebihan pada
segmen bawah rahim, tekanan kuat pada uterus dalam persalinan, kesulitan
dalam melakukan manual plasenta.
iii. Cacat rahim yang didapat : plasenta inkreta atau perkreta, neoplasia trofoblas,
gestasional, adenomiosis, retroversio uterus gravidus inkarserata.
2. Menurut Lokasinya :
a. Korpus uteri, ini biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi
seperti seksio sesarea klasik ( korporal ), miemektomi
b. Segmen bawah rahim ( SBR ), ini biasanya terjadi pada partus yang sulit dan lama tidak
maju, SBR tambah lama tambah regang dan tipis dan akhirnya terjadilah ruptur uteri
yang sebenarnya
c. Serviks uteri ini biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forseps atau versi dan
ekstraksi sedang pembukaan belum lengkap
d. Kolpoporeksis, robekan-robekan di antara serviks dan vagina.
3. Menurut etiologinya :
a. Ruptur uteri spontanea
Rupture uteri spontanea dapat terjadi akibat dinding rahim yang lemah seperti pada
bekas operasi sesar, bekas miomektomi, bekas perforasi tindakan kuret atau bekas
tindakan plasenta manual. Rupture uteri spontan dapat pula terjadi akibat peregangan
luar biasa dari rahim seperti pada ibu dengan panggul sempit, janin yang besar, kelainan
kongenital dari janin, kelainan letak janin, grandemultipara dengan perut gantung
(pendulum) serta pimpinan persalinan yang salah.
b. Ruptur uteri violenta
Rupture uteri violenta dapat terjadi akibat tindakan tindakan seperti misalnya
Ekstraksi forceps, versi dan ekstraksi ,embriotomi ,braxton hicks version, manual
plasenta,kuretase ataupun trauma tumpul dan tajam dari luar.

IV. Patogenesis
aat his korpus uteri berkontraksi dan mengalami retraksi. Dengan demikian, dinding korpus uteri atau
segmen atas rahim menjadi lebih tebal dan volume korpus uteri menjadi lebih kecil. Akibatnya tubuh
janin yang menempati korpus uteri terdorong ke dalam segmen bawah rahim. Segmen bawah rahim
menjadi lebih lebar dan karenanya dindingnya menjadi lebih tipis karena tertarik keatas oleh kontraksi
segmen atas rahim yang kuat, berulang dan sering sehingga lingkaran retraksi yang membatasi kedua
segmen semakin bertambah tinggi.
Apabila bagian terbawah janin tidak dapat turun oleh karena suatu sebab (misalnya : panggul
sempit atau kepala besar) maka volume korpus yang bertambah mengecil pada waktu ada his harus
diimbangi perluasan segmen bawa rahim ke atas. Dengan demikian lingkaran retraksi fisiologis semakin
meninggi kearah pusat melewati batas fisiologis menjadi patologis yang disebut lingkaran bandl (ring
van bandl). Ini terjadi karena, rahim tertarik terus menerus kearah proksimal tetapi tertahan dibagian
distalnya oleh serviks yang dipegang ditempatnya oleh ligamentum ligamentum pada sisi belakang
(ligamentum sakrouterina), pada sisi kanan dan kiri (ligamentum cardinal) dan pada sisi dasar kandung
kemih (ligamentum vesikouterina).
Jika his berlangsung terus menerus kuat, tetapi bagian terbawah janin tidak kunjung turun lebih
ke bawah, maka lingkaran retraksi semakin lama semakin tinggi dan segmen bawah rahim semakin
tertarik ke atas dan dindingnya menjadi sangat tipis. Ini menandakan telah terjadi rupture uteri iminens
dan rahim terancam robek. Pada saat dinding segmen bawah rahim robek spontan dan his berikutnya
dating, terjadilah perdarahan yang banyak (rupture uteri spontanea).
Ruptur uteri pada bekas seksio sesarea lebih sering terjadi terutama pada parut pada bekas
seksio sesarea klasik dibandingkan pada parut bekas seksio sesarea profunda. Hal ini disebabkan oleh
karena luka pada segmen bawah uterus yang tenang pada saat nifas memiliki kemampuan sembuh lebih
cepat sehingga parut lebih kuat. Ruptur uteri pada bekas seksio klasik juga lebih sering terjadi pada
kehamilan tua sebelum persalinan dimulai sedangkan pada bekas seksio profunda lebih sering terjadi
saat persalinan. Rupture uteri biasanya terjadi lambat laun pada jaringan jaringan di sekitar luka yang
menipis kemudian terpisah sama sekali. Disini biasanya peritoneum tidak ikut serta, sehingga terjadi
rupture uteri inkompleta. Pada peristiwa ini perdarahan banyak berkumpul di ligamentum latum dan
sebagian lainnya keluar.

V. Manifestasi Klinis
Gejala Saat Ini :
o Nyeri Abdomen dapat tiba-tiba, tajam dan seperti disayat pisau. Apabila terjadi ruptur
sewaktu persalinan, konstruksi uterus yang intermitten, kuat dapat berhenti dengan
tiba-tiba. Pasien mengeluh nyeri uterus yang menetap.
o Perdarahan Pervaginam dapat simptomatik karena perdarahan aktif dari pembuluh
darah yang robek.
o berhentinya persalinan dan syok
o Nyeri bahu dapat berkaitan dengan perdarahan intraperitoneum.
Riwayat Penyakit Dahulu
Ruptur uteri harus selalu diantisipasi bila pasien memberikan suatu riwayat paritas tinggi,
pembedahan uterus sebelumnya, seksio sessaria atau miomektomi.
Pemeriksaan Umum
Takikardi dan hipotensi merupakan indikasi dari kehilangan darah akut, biasanya perdarahan
eksterna dan perdarahan intra abdomen.
Pemeriksaan Abdomen
o Sewaktu persalinan, kontur uterus yang abnormal atau perubahan kontur uterus yang
tiba-tiba dapat menunjukkan adanya ekstrusi janin.Kontraksi uterus dapat berhenti
dengan mendadak dan bunyi jantung janin tiba-tiba menghilang.
o Sewaktu atau segera melahirkan, abdomen sering sangat lunak, disertai dengan nyeri
lepas mengindikasikan adanya perdarahan intraperitoneum.
Pemeriksaan Pelvis
o Menjelang kelahiran, bagian presentasi mengalami regresi dan tidak lagi terpalpasi
melalui vagina bila janin telah mengalami ekstrusi ke dalam rongga peritoneum.
o Perdarahan pervaginam mungkin hebat.
o Ruptur uteri setelah melahirkan dikenali melalui eksplorasi manual segmen uterus
bagian bawah dan kavum uteri.Segmen uterus bagian bawah merupakan tempat yang
paling lazim dari ruptur.

VI. Penegakan Diagnosis


Ruptura uteri iminens mudah dikenal pada ring van Bandl yang semakin tinggi dan segmen bawah
rahim yang tipis dan keadaan ibu yang gelisah takut karena nyeri abdomen atau his kuat yang
berkelanjutan disertai tanda-tanda gawat janin. Gambaran klinik ruptura uteri adalah khas sekali. Oleh
sebab itu pada umumnya tidak sukar menetapkan diagnosisnya atas dasar tanda-tanda klinik yang telah
diuraikan. Untuk menetapkan apakah ruptura uteri itu komplit perlu dilanjutkan dengan periksa dalam.
Pada ruptura uteri komplit jari-jari tangan pemeriksa dapat menemukan beberapa hal berikut :
1. jari jari tangan dalam bisa meraba permukaan rahim dan dinding perut yang licin
2. dapat meraba pinggir robekan, biasanya terdapat pada bagian depan di segmen bawah rahim
3. dapat memegang usus halus atau omentum melalui robekan
4. dinding perut ibu dapat ditekan menonjol ke atas oleh ujung-ujung jari-jari tangan dalam
sehingga ujung jari-jari tangan luar saling mudah meraba ujung jari-jari tangan dalam.
Gambar . Ring van Bandl
POLIP SERVIKS (3A)
I. Definisi
Polip serviks adalah polip berukuran kecil, tumbuh di permukaan mukosa serviks, atau pada
saluran endoserviks dan menonjol pada mulut serviks polip serviks (cervical polyp).
Polip serviks adalah pertumbuhan jaringan serviks (stroma) yang berlebihan sehingga tampak
sebagai benjolan berwarna merah, bertangkai, yang menjulur keluar dari serviks. Benjolan dapat
berukuran beberapa mm hingga beberapa cm yang biasanya tampak saat dilakukan pemeriksaan
dalam.

Polip serviks termasuk kelainan jinak yang sering ditemukan. Polip merupakan suatu adenoma maupun
adeno fibroma yag berasal dari selaput lendir endoserviks. Polip serviks tumbuh dari kanal serviks
dengan pertumbuhan ke arah vagina. Tangkainya dapat panjang hingga keluar dari vulva. Terdapat
berbagai ukuran dan biasanya berbentuk gelembung-gelembung dengan tangkai yang kecil. Secara
histopatologi, polip serviks sebagian besar bersifat jinak (bukan merupakan keganasan) dan dapat
terjadi pada seseorang atau kelompok polulasi. Polip serviks memiliki ukuran kecil, yaitu antara 1 hingga
2 cm. Namun, ukuran polip dapat melebihi ukuran rata-rata dan disebut polip serviks raksasa bila
melebihi diameter 4 cm. Epitel yang melapisi biasanya adalah epitel endoserviks yang dapat juga
mengalami metaplasi menjadi lebih kompleks. Bagian ujung polip dapat mengalami nekrosis serta
mudah berdarah. Polip ini berkembang karena pengaruh radang maupun virus. Polip ednoserviks
diagkat dan perlu diperiksa secara histologik.

II. Etiologi
Penyebab timbulnya polip serviks belum diketahui dengan pasti. Namun sering dihubungkan dengan
radang yang kronis, respon terhadap hormon estrogen dan pelebaran pembuluh darah serviks.
Penampilan polip serviks menggambarkan respon epitel endoservik terhadap proses peradangan.
Polip servik dapat menimbulkan perdarahan pervaginam, perdarahan kontak, pasca coitus
merupakan gejala yang tersering dijumpai. Polip servik yang terjadi sebagai akibat stroma local yang
menutupi daerah antara kedua celah pada kanalis servik. Epitellium silinder yang menutupi polip
dapat mengalami ulserasi polip serviks pada dasarnya adalah suatu reaksi radang, penyebabnya
sebagian besar belum diketahui. Karena pada dasarnya adalah reaksi radang, maka ada
kemungkinan:
1. Radang sembuh sehingga polip mengecil atau kemudian hilang dengan sendirinya.
2. Polip menetap ukurannya.
3. Polip membesar.
III.Klasifikasi
1. Polip ektoserviks.
Polip serviks dapat tumbuh dari lapisan permukaan luar serviks.
Polip ektoserviks sering diderita oleh wanita yang telah memasuki periode paska-menopause,
meskipun dapat pula diderita oleh wanita usia produktif. Prevalensi kasus polip serviks berkisar
antara 2 hingga 5% wanita. Polip ektoserviks berwarna agak pucat atau merah daging, lunak,
dan tumbuh melingkar atau memanjang dari pedikel. Polip ini tumbuh di area porsio dan jarang
sekali menimbulkan perdarahan sebagaimana polip endoserviks atau degenerasi polipoid
maligna.
Secara mikroskopis, jaringan polip ektoserviks lebih banyak mengandung serat fibrosa di
banding polip endoserviks. Polip ektoserviks memiliki atau bahkan tidak mengandung kelenjar
mukosa. Bagian luar polip ektoserviks dilapisi oleh epitel stratifikatum skuamosa. Perubahan sel
menjadi ganas dapa terjadi, terutama pada polip ektoserviks yang disertai inflamasi kronik, yang
sering menyebabkan nekrosis di bagian ujung polip. Insidensi degenerasi maligna dari polip
ektoserviks diperkirakan kurang dari 1%. Karsinoma sel skuamosa merupakan yang tersering,
meskipun adenokarsinoma juga pernah dilaporkan.

2. Polip endoserviks.
Pertumbuhan polip berasal dari bagian dalam serviks. Biasanya Pada wanita
premenopause (di atas usia 20 tahun) dan telah memiliki setidaknya satu anak. Meskipun
pembagian polip serviks menjadi polip ektoserviks dan endoserviks cukup praktis untuk
menentukan lokasi lesi berdasarkan usia, namun hal itu bukan merupakan ukuran absolut untuk
menetapkan letak polip secara pasti.

IV. Patogenesis
Polip servik dapat menyerang lapisan permukaan luar servik (ektoservik) dan bagian dalam servik
(endoservik). Normalnya servik uteri pada nullipara dalam keadaan normal kanalis servikalis bebas
kuman, pada multipara dengan ostium uteri eksternum lebih terbuka, batas ke atas ostium uteri
internum bebas kuman.Radang pada servik uteri, bisa terdapat pada porsio uteri diluar ostium uteri
eksternum dan / pada endoservik. Penyakit gonorea, sifilis, ulkus molle dan granuloma inguinale dan
TBC dapat ditemukan peradangan kronis pada servik.Karena adanya peradangan yang kronis / virus
memicu endoservik merespon dengan timbulnya Adenoma-Adenoma fibroma (hiperplasia pada epitel
endoservik).Setelah epitel endoservik tumbuh menonjol dan / bertangkai dan dapat panjang hingga
keluar dari vulva, ujungnya mengalami nekrosis serta mudah berdarah.

V. Manifestasi Klinis
Biasanya, tidak akan ada gejala untuk polip serviks tetapi pada waktu penyakit ini akan ditandai
oleh:
1. Abnormal pendarahan vagina yang terjadi antara periode :
a. Menstruasi.
b. setelah menopause.
c. Setelah hubungan seksual.
2. Polip serviks bisa meradang tetapi jarang menjadi terinfeksi periode normal berat atau
menoragia keluarnya lendir putih atau kuning, sering disebut keputihan.
Gejala utamanya adalah terjadinya perdarahan diluar haid yang warnanya lebih terang dari darah
haid. Terutama timbul setelah melakukan senggama (Perdarahan Paska Senggama = Post Coital
Bleeding = PCB). Perlu dipertimbangkan juga adanya kanker leher rahim jika ditemukan PCB.
Walaupun kadang kadang polip cervix dapat berulang, namun 99% polip cervix bersifat jinak.
Banyak polip serviks tidak memberikan gejala tetapi ada gejala utama adalah dasar diagnosa
perdarahan intermitten dan gejala-gejala umum ke-3 bentuk abnormal tersebut:
a. Leukorea yang sulit disembuhkan.
b. Terasa discomfort dalam vagina.
c. Kontak berdarah dan Terdapat infeksi.
Pada pemeriksaan inspekulum dijumpai:
a. Jaringan bertambah
b. Mudah berdarah
c. Terdapat pada vagina bagian atas.
Makroskopis dapat tunggal atau multipel dengan ukuran beberapa centimeter, warna kemerah
merahan dan rapuh. Kadang kadang tangkainya jadi panjang sampai menonjol dari introitus.
Kalau asalnya dari portio konsistensinya lebih keras dan pucat dengan tangkai yang tebal.
Histologi Berasal dari mukosa yang dilapisi oleh 1 lapis epitel yang terdiri dari sel sel silindris
yang tinggi, yang khas berasal dari endocervix, dengan kelenjar cervix dan stroma dari jaringan
ikat yang halus disertai oedem dan infiltrasi sel bulat. Sering pula disertai ulserasi pada ujungnya
yang menyebabkan terjadinya perdarahan. Banyak polip servic yang menunjukkan metaplasia
yang luas, disertai infeksi, menyerupai permulaan dari carcinum, Ca epidermoid kadang
kadang berasal dari polip.
VI. Pemeriksaan
1. Pemeriksaan Radiologi
Polip yang terletak jauh di endoserviks dapat dievaluasi melalui pemeriksaan histerosalfingografi
atau sonohisterografi dengan infus salin. Biasanya, hasil pemeriksaan ini memberikan hasil yang
bermakna dalam mengetahui adanya polip atau kelainan lainnya.
2. Pemeriksaan Laboratorium
Sitologi vagina dapat menunjukkan adanya tanda infeksi dan sering kaliditemukan sel-sel atipik.
Pemeriksaan darah dan urin tidak terlalu banyak membantu menegakkan diagnosis.
3. Pemeriksaan Khusus
Polip yang terletak jauh di kanal endoserviks tidak dapat dinilai melalui inspeculo biasa, tetapi
dapat dilakukan pemeriksaan khusus menggunakan spekulum endoserviks atau histeroskopi.
Seringkali polip endoserviks ditemukan secara tidak sengaja pada saat dilakukan pemeriksaan
perdarahan abnormal. Pemeriksaan ultrasonografi dilakukan untuk menyingkirkan adanya massa
atau polip yang tumbuh dari uterus.

VII. Penatalaksanaan
Bila dijumpai polip serviks, dokter dapat mengambil 2 macam tindakan:
1. Konservatif.
Yakni bila ukuran polip kecil, tidak mengganggu, dan tidak menimbulkan keluhan (misal sering
bleeding, sering keputihan). dokter akan membiarkan dan mengobservasi perkembangan polip
secara berkala.
2. Agresif.
Yakni bila ukuran polip besar, ukuran membesar, mengganggu aktifitas, atau menimbulkan
keluhan. tindakan agresif ini berupa tindakan curettage atau pemotongan tangkai polip. tindakan
kauter ini bisa dilakukan dengan rawat jalan, biasanya tidak perlu rawat inap. untuk tindakan
pengobatan selain curettage untuk saat ini belum ada. tapi untuk polip-polip yang ukurannya
kecil (beberapa milimeter) bisa dicoba pemberian obat yang dimasukkan melalui vagina, untuk
mengurangi reaksi radang. setelah pemberiannya tuntas, diperiksa lagi, apakah pengobatan
tersebut ada efeknya pada polip atau tidak. jika tidak, maka untuk pengobatannya dengan
kauterisasi.Bila polip mempunyai tangkai kurus, tangkainya digenggam dengan forsep polip dan
diputar beberapa kali sampai dasar polipnya terlepas dari jaringan servik dasarnya. Bila terdapat
perdarahan pervaginam abnormal, maka diperlukan curettage di RS untuk menyingkirkan
keganasan servik dan endometrium.
Polip yang mudah terlihat dengan tangkai yang tipis dapat disekam dengan klem arteri atau
forcep kasa dan dipluntir putus. Dianjurkan mengkauterisasi dasarnya untuk mencegah
perdarahan dan rekurensi. Pasien yang mempunyai banyak polip mungkin terbaik diterapi
dengan cara konisasi sehingga setiap polip yang tidak terlihat didalam kanalis tidak akan
diabaikan. Biasanya, polipektomi cervix harus dilakukan bersama dengan suatu kuretase.
Gambar-gambar

Polip serviks

Polip endoserviks

Anda mungkin juga menyukai