OLEH
KELOMPOK 1
TAENIASIS
1. Defenisi
Taeniasis ialah penyakit zoonosis parasiter yang disebkan oleh cacing pita yang
tergolong dalam genus Taenia (Taenia saginata,Taenia solium dan Taenia asiatica ) pada
manusia.
2. Jenis-jenis Teania
a) Cacing pita Taenia solium (cacing pita daging babi): Cacing ini disebut juga cacing
pita daging babi karena hewan babi bertindak sebagai inang antaranya yang
mengandung larvanya. Ukuran cacing dewasa relatif lebih pendek dibandingkan
dengan T. saginata yaitu antara 2-8m (Noble & Noble 1982; Soulsby 1982). Setiap
individu cacing dewasa terdiri atas 800-900 segmen (Cheng 1986) hingga 1000
segmen (Soulsby 1982; Noble & Noble 1982).
b) Taenia saginata (cacing pita daging sapi) : cacing dewasa dapat ditemukan dalam usus
manusia penderita taeniasis, berbentuk pipih panjang seperti pita dan tubuhnya
beruas-ruas (segmen). Panjangnya rata-rata 5m bahkan bisa mencapai 25m yang
terdiri atas lebih dari 1000 segmen (Pawlowski & Schultz 1972; Soulsby 1982; Smyth
2004). Cacing ini memiliki kepala yang disebut scolex, berdiameter 2mm menempel
pada permukaan selaput lendir usus manusia. Ketika mencapai stadium dewasa, lebih
dari separuh segmennya telah mengandung telur, namun hanya beberapa puluh
segmen yang mengandung telur matang disebut segmen gravid. Segmen gravid
kurang lebih mengandung 800.000 telur pada setiap segmen (Soulsby 1982).
c) Taenia saginata taiwannesis (cacing pita daging babi) Secara morfologis cacing ini
sangat mirip dengan T. saginata, memiliki nama lain T. asiatica ( Eom & Rim 1993
Didalam : Dharmawan 1995 ). Keberadaan cacing ini di Indonesia relatif baru
dideskripsikan dari penderita di Sumatra Utara ( Fan et al. 1989; Dharmawan 1995 ).
Pada prinsipnya siklus hidupnya tidak berbeda dengan taenia manusia yang lain.
Namun yang menjadi perhatian adalah cysticercusnya hanya ditemukan dalam organ
hati babi sebagai inang antara, walaupun secara eksperimental juga berkembang
dalam tubuh sapi ( Dharmawan 1995 ).
3. Cara penularan
Manusia tertular lewat makanan berupa daging sapi atau daging babi kurang matang
yang berisi larva cacing pita hidup. Larva cacing pita ini terdapat pada otot, terutama pada
otot rahang (maseter), lidah, jantung, diafragma dan bahu. Dalam hal cacing pita babi lewat
makanan atau tangan tercemar. Sumber penularan taeniasis/sistiserkosis pada manusia yaitu
a. penderita taeniasis sendiri dimana tinjanya mengandung telur atau segmen tubuh
(proglotid) cacing pita,
b. hewan, terutama babi dan sapi yang mengandung larva cacing pita (sistisekus),
c. makanan, minuman dan lingkungan yang tercemar oleh telur cacing pita
Penularan pada manusia terjadi per os dari daging mengandung Cysticercosis bovis
yang tidak mati apabila proses pemasakan kurang sempurna. Penularan pada sapi terjadi per
os akibat memakan rumput atau minum air yang tercemar telur atau proglotid yang berisi
telur cacing. Telur cacing pita sapi dapat tahan 71 hari dalam tinja, 33 hari dalam air sungai
dan 159 hari pada rumput. Sampai di usus halus, telur menetas menjadi oncosphore.
Oncosphore bermigrasi kejaringan otot yang disukai (predileksi) melalui aliran darah. Dalam
waktu sekitar 3 bulan akan terbentuk kista (Cysticercosis bovis) dalam otot. Kista ini dapat
hidup 9 bulan atau lebih.
Cara penulara T.solium mirip dengan T. Saginata. Manusia sebagai induk semang
definitif tertular lewat makan daging babi mengandun Cysticercosis cellulosae, tetapi sebagai
induk semang antara tertular oleh telur cacing per os lewat makanan atau tangan tercemar
telur cacing. Babi tertular telur T.solium per os lewat makanan tercemar, minuman tercemar
atau tinja orang tertular.
Telur Taenia saginata yang dikeluarkan lewat tinja orang yang terinfeksi hanya bisa
menular kepada sapi dan di dalam otot sapi parasit akan berkembang menjadi Cysticercus
bovis, stadium larva dari Taenia saginata. Infeksi pada manusia terjadi karena orang tersebut
memakan daging sapi mentah atau yang dimasak tidak sempurna yang mengandung
Cysticerci; di dalam usus halus cacing menjadi dewasa dan melekat dalam mukosa usus.
Begitu juga infeksi T. solinum terjadi karena memakan daging babi mentah atau yang
dimasak kurang sempurna (measly pork) yang mengandung cysticerci; cacing menjadi
dewasa didalam intestinum.
Namun, cysticercosis dapat terjadi secara tidak langsung karena orang tersebut
menelan minuman yang terkontaminasi atau secara langsung dari tinja orang yang terinfeksi
langsung kemulut penderita sendiri (aoutoinfeksi) atau ke mulut orang lain. Apabila telur T.
solinum tertelan oleh manusia atau babi, maka embrio akan keluar dari telur, kemudian
menembus dinding usus menuju ke saluran limfe dan pembuluh darah selanjutnya dibawa
keberbagai jaringan dan kemudian berkembang menjadi cysticercosis.
4. Siklus Hidup
Cacing pita Taenia dewasa hidup dalam usus manusia yang merupakan induk semang
definitif. Segmen tubuh Taenia yang telah matang dan mengandung telur keluar secara aktif
dari anus manusia atau secara pasif bersama-sama tinja manusi. Bila inang definitif (manusia)
maupun inang antara (sapi dan babi) menelan telur maka telur yang menetas akan
mengeluarkan embrio (onchosphere) yang kemudian menembus dinding usus. Embrio cacing
yang mengikuti sirkulasi darah limfe berangsur-angsur berkembang menjadi sistiserkosis
yang infektif di dalam otot tertentu. Otot yang paling sering terserang sistiserkus yaitu
jantung, diafragma, lidah, otot pengunyah, daerah esofagus, leher dan otot antar tulang rusuk.
Manusia terkena taeniasis apabila memakan daging sapi atau babi yang setengah
matang yang mengandung sistiserkus sehingga sistiserkus berkembang menjadi Taenia
dewasa dalam usus manusia. Manusia terkena sistiserkosis bila tertelan makanan atau
minuman yang mengandung telur Taenia solium. Hal ini juga dapat terjadi melalui proses
infeksi sendiri oleh individu penderita melalui pengeluaran dan penelanan kembali makanan.
5. Epidemiologi
Cacing pita Taenia tersebar secara luas di seluruh dunia. Penyebaran Taenia dan
kasus taeniasis/sistisekosis lebih banyak terjadi di daerah tropis karena daerah tropis memiliki
curah hujan yang tinggi dan iklim yang sesuai untuk perkembangan parasit ini. Salah satu
bukti lebih luasnya penyebaran Taenia di daerah tropis yaitu ditemukannya spesies ketiga
penyebab taeniasis pada manusia di beberapa negera Asia yang dikenal dengan sebutan
Taiwan Taenia atau Asian Taenia. Asian Taenia dilaporkan telah ditemukan di negara-negara
Asia yang umumnya beriklim tropis seperti Indonesia, Thailand, Malaysia, Filipina, Korea
dan Cina. Kini Asian Taenia disebut Taenia asiatica. Prevalensi T. asiatica yang tinggi
terutama ditemukan di Pulau Samosir, Indonesia.
Kejadian Dan Penyakit Di Indonesia . Ditemukan pertama kali oleh LE COUELTRE,
ada babi Bali tahun 1920, dari hasil penelitian tersebut babi yang terinfeksi oleh cystcerkus
1,8-3,2 %. Pada tahun 1977 dilaporkan oleh Dinas Peternakan provinsi Bali ditemukan kasus
0,16 %. Karakteristik fisik wilayah tropik seperti Indonesia merupakan surga bagi
kelangsungan hidup cacing parasitik yang ditunjang oleh pola hidup kesehatan
masyarakatnya. Telah dibuktikan bahwa tingkat prevalensi kecacingan di Indonesia sampai
dengan tahun 1984 masih sangat tinggi yaitu sebesar 50% cacing tambang dan 65% cacing
gelang (Edmundson & Edmundson 1992).
Sedangkan infeksi oleh cacing pita kebanyakan disebabkan oleh cacing pita babi dan
cacing pita sapi (Margono 1989) yang terjadi pada daerah-daerah tertentu dengan kekhasan
tipe budaya masyarakatnya antara lain pulau Samosir, pulau Bali serta daerah migrannya di
Lampung, dan Papua (Irian Jaya).
6. Pencegahan
ANKILOSTOMIASIS
1. Defenisi
3. Penularan
Cacing tambang hidup dan bertelur didalam usus halus dengan mulut melekat pada
mukosa dinding usus dan kemudian keluar bersama tinja. telur akan berkembang menjadi
larva ditanah. Telur akan menetas dalam waktu 1 hari-1,5 hari. Larva bentuk pertama adalah
Rhabditiform yang akan berubah menjadi filariform dalam waktu 3 hari kemudian. Dari telur
sampai filariform membutuhkan waktu 5-10 hari. Larva masuk tubuh melalui kulit telapak
kaki terutama N.Americanus untuk masukke peredaran darah, selanjutnya larva akan ke paru,
terus ke trakea, berlanjut ke faring, kemudia larva tertelan ke saluran pencernaan. Larva bisa
hidup 8 tahun dengan menghisap darah (1 cacing = 0,2 ml/hari). Cara infeksi cacing A.
duodenale selain menembus kulit juga dapat tertelan bersama makanan.
4. Siklus Hidup
Daur hidup cacing tambang bersifat langsung, tanpa hospes antara. Hospes paratenik,
yaitu hewan bukan spesies utama, misalnya mencit, yang mengandung larva cacing bila
terkonsumsi oleh hospes utama, tidak dianggap sebagai hospes antara (intermediate-host)
(subronto, 2006).
Cacing dewasa hidup dari menghisap darah di usus halus. Cacing selalu berpindah-
pindah dalam menusuk mukosa usus hingga meninggalkan luka-luka yang perdarahannya
berlangsug lama, karena cacing tersebut menghasilkan toksin anti koagulasi darah. Cacing
betina menghasilkan telur dalam jumlah besar, bahkan seekor cacing diperkirakan mampu
bertelur sebanyak 10-30.000 telur perhari (Sousby, 1977). Diperkirakan seekor anak anjing
yang terinfeksi berat dalam tinjanya mengandung 5 juta telur per hari, selama satu bulan.
Jumlah tersebut setara dengan 250 ekor cacing betina yang masing-masing membebaskan
20.000 telur per hari (Levine, 1994).
Satu sampai dua hari setelah dibebaskan di dalam tinja di tempat yang lembab atau
basah, telur akan menetas dan terbebaslah larva stadium pertama. Setelah lebih kurang satu
minggu akan terbentuk larva infektif atau stadium ketiga dan siap menginfeksi hewan yang
rentan. Kondisi sekitar telur yang kering atau sebaliknya membeku seperti yang biasas
terdapat di pegunungan atau di daerah empat musim, akan memperpanjang waktu
perkembangan larva atau malah mematikannya. Biasanya factor-faktor suhu dan kelembaban
di suatu daerah menetukan kelangsungan hidup larva dan cacing di daerah tersebut (Levine,
1994).
4. Epidemiologi
Hospes utama dari cacing tambang adalah manusia. Menyerang semua umur dengan
proporsi terbesar pada anak-anak karena aktivitas anak yang relatif tidak higienis
dibandingkan dengan orang dewasa. Diperkirakan 700-900 juta orang di dunia kehilangan 1
juta darah (1 orang= 1 ml darah terhisap cacing). dalam suatu penelitian angka kesakitan
akibat cacing tambang adalah 50% pada balita, sedangkan 90% anak yang terserang adalah
anak berumur 9 tahun.
5. Pencegahan
Kegiatan pencegahan dapat dimulai dengan survei prevalensi untuk memulai besarnya
endemisitas di suatu daerah. Kegiatan dilanjutkan dengan pengobatan penderita, penyuluhan,
perbaikan sanitasi, terutama jamban kelurga yang sehat, selain itu membudayakan mencuci
tangan serta menggunakan alas kaki bagi masyarakat yang berisiko tertular.
ASCARIASIS
1. Definisi
Infeksi cacing gelang atau ascariasis adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh
cacing gelang Ascaris lumbricoides. Askariasis adalah penyakit kedua terbesar yang
disebabkan oleh makhluk parasit. Ascaris telah dikenal pada masa Romawi sebagai
Lumbricus teres dan mungkin telah menginfeksi manusia selama ribuan tahun. Jenis ini
banyak terdapat di daerah yang beriklim panas dan lembab, tetapi juga dapat hidup di daerah
beriklim sedang.
3. Penularan
Penularan terjadi karena menelan telur yang fertile dari tanah yang terkontaminasi
dengan kotoran manusia atau dari produk mentah yang terkontaminasi dengan tanah yang
berisi telur cacing. Penularan tidak terjadi langsung dari orang ke orang lain atau dari tinja
segar ke orang. Penularan terjadi paling sering di sekitar rumah, dimana anak-anak, tanpa
adanya fasilitas jamban yang saniter, mencemari daerah tersebut; infeksi pada anak
kebanyakan karena menelan tanah yang tercemar. Tanah yang terkontaminasi telur cacing
dapat terbawa jauh karena menempel pada kaki atau alas kaki masuk ke dalam rumah,
penularan melalui debu juga dapat terjadi.
Telur mencapai tanah melalui tinja, dan berkembang (embrionasi); pada suhu musim
panas mereka menjadi infektif setelah 2 3 minggu dan kemudian tetap infektif selama
beberapa bulan atau beberapa tahun di tanah dalam kondisi yang cocok. Telur embrionasi
yang tertelan menetas pada lumen usus, larva menembus dinding usus dan mencapai paru-
paru melalui sistem sirkulasi. Larva tumbuh dan berkembang pada paru-paru; 9 10 hari
setelah infeksi mereka masuk ke alveoli, menembus trakhea dan tertelan untuk mencapai usus
halus 14 20 hari setelah infeksi, didalam usus halus mereka tumbuh menjadi dewasa, kawin
dan mulai bertelur 45 60 hari setelah menelan telur yang terembrionasi.
Cacing akan menetap di usus dan kemudian berkopulasi dan bertelur. Telur ini pada
akhirnya akan keluar kembali bersama tinja. Siklus pun akan terulang kembali bila penderita
baru ini membuang tinjanya tidak pada tempatnya.
5. Pencegahan
6. Rekomendasi