Anda di halaman 1dari 21

ASKEP Konstipasi (Sistem Pencernaan)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi (buang air
besar) dari kebiasaan normal. Dapat diartikan sebagai defekasi yang
jarang, jumlah feses kurang, atau fesesnya keras dan kering. Konstipasi
juga dapat diartikan sebagai keadaan dimana membengkaknya jaringan
dinding dubur (anus) yang mengandung pembuluh darah balik (vena),
sehingga saluran cerna seseorang yang mengalami pengerasan feses dan
kesulitan untuk melakukan buang air besar. Semua orang dapat
mengalami konstipasi, terlebih pada lanjut usia (lansia) akibat gerakan
peristaltik (gerakan semacam memompa pada usus, red) lebih lambat
dan kemungkinan sebab lain yakni penggunaan obat-obatan seperti
aspirin, antihistamin, diuretik, obat penenang dan lain-lain. Kebanyakan
terjadi jika makan makananan yang kurang berserat, kurang minum, dan
kurang olahraga. Kondisi ini bertambah parah jika sudah lebih dari tiga
hari berturut-turut.
Konstipasi merupakan keluhan saluran cerna terbanyak pada usia
lanjut. Kasus konstipasi umumnya diderita masyarakat umum sekitar 4%
sampai 30% pada kelompok usia 60 tahun ke atas. Ternyata wanita lebih
sering mengeluh konstipasi dibanding pria dengan perbandingan 3:1
hingga 2:1. Insiden konstipasi meningkat seiring bertambahnya umur,
terutama usia 65 tahun ke atas. Pada suatu penelitian pada orang berusia
usia 65 tahun ke atas, terdapat penderita konstipasi sekitar 34% wanita
dan pria 26%. Di Inggris ditemukan 30% penduduk di atas usia 60 tahun
merupakan konsumen yang teratur menggunakan obat pencahar . Di
Australia sekitar 20% populasi di atas 65 tahun mengeluh menderita
konstipasi dan lebih banyak pada wanita dibanding pria.
Menurut National Health Interview Survey pada tahun 1991, sekitar 4,5
juta penduduk Amerika mengeluh menderita konstipasi terutama anak-
anak, wanita dan orang usia 65 tahun ke atas.
Konstipasi bisa terjadi di mana saja, dapat terjadi saat bepergian,
misalnya karena jijik dengan WC-nya, bingung caranya buang air besar
seperti sewaktu naik pesawat dan kendaraan umum lainnya. Penyebab
konstipasi bisa karena faktor sistemik, efek samping obat, faktor
neurogenik saraf sentral atau saraf perifer. Bisa juga karena faktor
kelainan organ di kolon seperti obstruksi organik atau fungsi otot kolon
yang tidak normal atau kelainan pada rektum, anak dan dasar pelvis dan
dapat disebabkan faktor idiopatik kronik.
Mencegah konstipasi secara umum ternyata tidaklah sulit. Kuncinya
adalah mengonsumsi serat yang cukup. Serat yang paling mudah
diperoleh adalah pada buah dan sayur. Jika penderita konstipasi ini
mengalami kesulitan mengunyah, misalnya karena ompong, caranya
haluskan sayur atau buah tersebut dengan diblender.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum:
Untuk mengetahui dan memahami konsep dasar asuhan keperawatan
pada pasien dengan konstipasi, serta mampu menerapkan asuhan
keperawatan pada pasien dengan konstipasi.
2. Tujuan Khusus:
a. Untuk mengetahui dan memahami pengertian konstipasi
b. Untuk mengetahui dan memahami pembagian konstipasi
c. Untuk mengetahui dan memahami etiologi konstipasi
d. Untuk mengetahui dan memahami patofisiologi konstipasi
e. Untuk mengetahui dan memahami manifestasi klinis konstipasi
f. Untuk mengetahui dan mampu menerapkan pemeriksaan,
penatalaksanaan serta pencegahan untuk pasien dengan konstipasi
g. Untuk memahami dan menerapkan asuhan keperawatan pada pasien
dengan konstipasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Berikut pengertian konstipasi dari beberapa sumber sebagai berikut:
Konstipasi adalah suatu penurunan defekasi yang normal pada
seseorang, disertai dengan kesulitan keluarnya feses yang tidak lengkap
atau keluarnya feses yang sangat keras dan kering (Wilkinson, 2006).
Konstipasi adalah defekasi dengan frekuensi yang sedikit, tinja
tidak cukup jumlahnya, berbentuk keras dan kering (Oenzil, 1995).
Konstipasi adalah kesulitan atau kelambatan pasase feses yang
menyangkut konsistensi tinja dan frekuensi berhajat. Konstipasi
dikatakan akut jika lamanya 1 sampai 4 minggu, sedangkan dikatakan
kronik jika lamanya lebih dari 1 bulan (Mansjoer, 2000).
Konstipasi adalah kesulitan atau jarang defekasi yang mungkin
karena feses keras atau kering sehingga terjadi kebiasaaan defekasi yang
tidak teratur, faktor psikogenik, kurang aktifitas, asupan cairan yang
tidak adekuat dan abnormalitas usus. (Paath, E.F. 2004) .
Konstipasi merupakan gejala, bukan penyakit. Konstipasi adalah
penurunan frekunsi defekasi, yang diikuti oleh pengeluaran feses yang
lama atau keras dan kering. Adanya upaya mengedan saat defekasi
adalah suatu tanda yang terkait dengan konstipasi. Apabila motilitas
usus halus melambat, masa feses lebih lama terpapar pada dinding usus
dan sebagian besar kandungan air dalam feses diabsorpsi. Sejumlah
kecil air ditinggalkan untuk melunakkan dan melumasi feses.
Pengeluaran feses yang kering dan keras dapat menimbulkan nyeri pada
rektum. (Potter & Perry, 2005).
Normalnya pola defekasi yang biasanya setiap 2 sampai 3 hari
sekali tanpa ada kesulitan, nyeri, atau perdarahan dapat dianggap normal.
B. Tipe Konstipasi
Berdasarkan International Workshop on Constipation, adalah sebagai
berikut:
1. Konstipasi Fungsional
Kriteria:
Dua atau lebih dari keluhan ini ada paling sedikit dalam 12 bulan:
a. Mengedan keras 25% dari BAB
b. Feses yang keras 25% dari BAB
c. Rasa tidak tuntas 25% dari BAB
d. BAB kurang dari 2 kali per minggu
2. Penundaan pada muara rektum
Kriteria:
a. Hambatan pada anus lebih dari 25% BAB
b. Waktu untuk BAB lebih lama
c. Perlu bantuan jari-jari untuk mengeluarkan feses
Konstipasi fungsional disebabkan waktu perjalanan yang lambat dari
feses, sedangkan penundaan pada muara rektosigmoid menunjukkan
adanya disfungsi anorektal. Yang terakhir ditandai adanya perasaan
sumbatan pada anus.

C. Etiologi
Penyebab umum konstipasi yang dikutip dari Potter dan Perry, 2005
adalah sebagai berikut:
1. Kebiasaan defekasi yang tidak teratur dan mengabaikan keinginan
untuk defekasi dapat menyebabkan konstipasi.
2. Klien yang mengonsumsi diet rendah serat dalam bentuk hewani
(misalnya daging, produk-produk susu, telur) dan karbohidrat murni
(makanan penutup yang berat) sering mengalami masalah konstipasi,
karena bergerak lebih lambat didalam saluran cerna. Asupan cairan yang
rendah juga memperlambat peristaltik.
3. Tirah baring yang panjang atau kurangnya olahraga yang teratur
menyebabkan konstipasi.
4. Pemakaian laksatif yag berat menyebabkan hilangnya reflex defekasi
normal. Selain itu, kolon bagian bawah yang dikosongkan dengan
sempurna, memerlukan waktu untuk diisi kembali oleh masa feses.
5. Obat penenang, opiat, antikolinergik, zat besi (zat besi mempunyai efek
menciutkan dan kerja yang lebih secara lokal pada mukosa usus untuk
menyebabkan konstipasi. Zat besi juga mempunyai efek mengiritasi dan
dapat menyebabkan diare pada sebagian orang), diuretik, antasid dalam
kalsium atau aluminium, dan obat-obatan antiparkinson dapat
menyebabkan konstipasi.
6. Lansia mengalami perlambatan peristaltic, kehilangan elastisitas otot
abdomen, dan penurunan sekresi mukosa usus. Lansia sering
mengonsumsi makanan rendah serat.
7. Konstipasi juga dapat disebabkan oleh kelainan saluran GI
(gastrointestinal), seperti obstruksi usus, ileus paralitik, dan
divertikulitus.
8. Kondisi neurologis yang menghambat implus saraf ke kolon (misalnya
cedera pada medula spinalis, tumor) dapat menyebabkan konstipasi.
9. Penyakit-penyakit organik, seperti hipotirodisme, hipokalsemia, atau
hypokalemia dapat menyebabkan konstipasi.
Ada juga penyebab yang lain dari sumber lain, yaitu:
10. Peningkatan stres psikologi. Emosi yang kuat diperkirakan
menyebabkan konstipasi dengan menghambat gerak peristaltik usus
melalui kerja dari epinefrin dan sistem syaraf simpatis. Stres juga dapat
menyebabkan usus spastik (spastik/konstipasi hipertonik atau iritasi
colon ). Yang berhubungan dengan konstipasi tipe ini adalah kram pada
abdominal, meningkatnya jumlah mukus dan periode bertukar-tukarnya
antara diare dan konstipasi.
11. Umur
Otot semakin melemah dan melemahnya tonus spinkter yang terjadi
pada orang tua turut berperan menyebabkan konstipasi.

D. Patofisiologi
Defekasi seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis
yang menyertakan kerja otot-otot polos dan serat lintang, persarafan
sentral dan perifer, koordinasi dari sistem refleks, kesadaran yang baik
dan kemampuan fisis untuk mencapai tempat BAB. Kesukaran
diagnosis dan pengelolaan dari konstipasi adalah karena banyaknya
mekanisme yang terlibat pada proses BAB normal (Dorongan untuk
defekasi secara normal dirangsang oleh distensi rektal melalui empat
tahap kerja, antara lain: rangsangan refleks penyekat rektoanal, relaksasi
otot sfingter internal, relaksasi otot sfingter external dan otot dalam
region pelvik, dan peningkatan tekanan intra-abdomen). Gangguan dari
salah satu mekanisme ini dapat berakibat konstipasi. Defekasi dimulai
dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantarkan feses ke rektum
untuk dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan ampula dari rektum
diikuti relaksasi dari sfingter anus interna. Untuk meghindarkan
pengeluaran feses yang spontan, terjadi refleks kontraksi dari sfingter
anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang depersarafi oleh saraf
pudendus. Otak menerima rangsang keinginan untuk BAB dan sfingter
anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi, sehingga rektum
mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding perut.
kontraksi ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter
dan otot elevator ani. Baik persarafan simpatis maupun parasimpatis
terlibat dalam proses BAB.
Patogenesis dari konstipasi bervariasi, penyebabnya multipel,
mencakup beberapa faktor yang tumpang tindih. Walaupun konstipasi
merupakan keluhan yang banyak pada usia lanjut, motilitas kolon tidak
terpengaruh oleh bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak
mengakibatkan perlambatan dari perjalanan saluran cerna. Perubahan
patofisiologi yang menyebabkan konstipasi bukanlah karena
bertambahnya usia tapi memang khusus terjadi pada mereka dengan
konstipasi.
Penelitian dengan petanda radioopak yang ditelan oleh orang usia
lanjut yang sehat tidak mendapatkan adanya perubahan dari total waktu
gerakan usus, termasuk aktivitas motorik dari kolon. Tentang waktu
pergerakan usus dengan mengikuti petanda radioopak yang ditelan,
normalnya kurang dari 3 hari sudah dikeluarkan. Sebaliknya, penelitian
pada orang usia lanjut yang menderita konstipasi menunjukkan
perpanjangan waktu gerakan usus dari 4-9 hari. Pada mereka yang
dirawat atau terbaring di tempat tidur, dapat lebih panjang lagi sampai
14 hari. Petanda radioaktif yang dipakai terutama lambat jalannya pada
kolon sebelah kiri dan paling lambat saat pengeluaran dari kolon
sigmoid. Pemeriksaan elektrofisiologis untuk mengukur aktivitas
motorik dari kolon pasien dengan konstipasi menunjukkan
berkurangnya respons motorik dari sigmoid akibat berkurangnya
inervasi intrinsic karena degenerasi plexus mienterikus. Ditemukan juga
berkurangnya rangsang saraf pada otot polos sirkuler yang dapat
menyebabkan memanjangnya waktu gerakan usus.
Individu di atas usia 60 tahun juga terbukti mempunyai kadar
plasma beta-endorfin yang meningkat, disertai peningkatan ikatan pada
reseptor opiate endogen di usus. Hal ini dibuktikan dengan efek
konstipatif dari sediaan opiate yang dapat menyebabkan relaksasi tonus
kolon, motilitas berkurang, dan menghambat refleks gaster-kolon.
Selain itu, terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan
kekuatan otot-otot polos berkaitan dengan usia, khususnya pada
perempuan. Pasien dengan konstipasi mempunyai kesulitan lebih besar
untuk mengeluarkan feses yang kecil dan keras sehingga upaya
mengejan lebih keras dan lebih lama. Hal ini dapat berakibat penekanan
pada saraf pudendus sehingga menimbulkan kelemahan lebih lanjut.
Sensasi dan tonus dari rektum tidak banyak berubah pada usia
lanjut. Sebaliknya, pada mereka yang mengalami konstipasi dapat
mengalami tiga perubahan patologis pada rektum, sebagai berikut:
1. Diskesia Rektum
Ditandai dengan penurunan tonus rektum, dilatasi rektum, gangguan
sensasi rektum, dan peningkatan ambang kapasitas. Dibutuhkan lebih
besar regangan rektum untuk menginduksi refleks relaksasi dari sfingter
eksterna dan interna. Pada colok dubur pasien dengan diskesia rektum
sering didapatkan impaksi feses yang tidak disadari karena dorongan
untuk BAB sering sudah tumpul. Diskesia rektum juga dapat
diakibatkan karena tanggapnya atau penekanan pada dorongan untuk
BAB seperti yang dijumpai pada penderita demensia, imobilitas, atau
sakit daerah anus dan rektum
2. Dis-sinergis Pelvis
Terdapatnya kegagalan untuk relaksasi otot pubo-rektalis dan sfingter
anus eksterna saat BAB. Pemeriksaan secara manometrik menunjukkan
peningkatan tekanan pada saluran anus saat mengejan.
3. Peningkatan Tonus Rektum
Terjadi kesulitan mengeluarkan feses yang bentuknya kecil. Sering
ditemukan pada kolon yang spastik seperti pada penyakit Irritable
Bowel Syndrome, dimana konstipasi merupakan hal yang dominan.

E. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala akan berbeda antara seseorang dengan seseorang
yang lain, karena pola makan, hormon, gaya hidup dan bentuk usus
besar setiap orang berbeda-beda, tetapi biasanya tanda dan gejala yang
umum ditemukan pada sebagian besar atau kadang-kadang beberapa
penderitanya adalah sebagai berikut:
1. Perut terasa begah, penuh, dan bahkan terasa kaku karena tumpukan
tinja (jika tinja sudah tertumpuk sekitar 1 minggu atau lebih, perut
penderita dapat terlihat seperti sedang hamil).
2. Tinja menjadi lebih keras, panas, dan berwarna lebih gelap daripada
biasanya, dan jumlahnya lebih sedikit daripada biasanya (bahkan dapat
berbentuk bulat-bulat kecil bila sudah parah).
3. Pada saat buang air besar tinja sulit dikeluarkan atau dibuang, kadang-
kadang harus mengejan ataupun menekan-nekan perut terlebih dahulu
supaya dapat mengeluarkan tinja.
4. Terdengar bunyi-bunyian dalam perut.
5. Bagian anus terasa penuh, dan seperti terganjal sesuatu disertai sakit
akibat bergesekan dengan tinja yang panas dan keras.
6. Frekuensi buang angin meningkat disertai bau yang lebih busuk
daripada biasanya (jika kram perutnya parah, bahkan penderita akan
kesulitan atau sama sekali tidak bisa buang
7. Menurunnya frekuensi buang air besar, dan meningkatnya waktu transit
buang air besar (biasanya buang air besar menjadi 3 hari sekali atau
lebih).
8. Terkadang mengalami mual bahkan muntah jika sudah parah.
Suatu batasan dari konstipasi diusulkan oleh Holson, meliputi paling
sedikit 2 dari keluhan di bawah ini dan terjadi dalam waktu 3 bulan :
1. Konsistensi feses yang keras,
2. Mengejan dengan keras saat BAB,
3. Rasa tidak tuntas saat BAB, meliputi 25% dari keseluruhan BAB, dan
4. Frekuensi BAB 2 kali seminggu atau kurang.

F. Pemeriksaan
Pemeriksaan fisik pada konstipasi sebagian besar tidak
mendapatkan kelainan yang jelas. Namun demikian pemeriksaan fisik
yang teliti dan menyeluruh diperlukan untuk menemukan kelainan yang
berpotensi mempengaruhi fungsi usus besar.
Pemeriksaan dimulai pada rongga mulut meliputi gigi geligi,
adanya luka pada selaput lendir mulut dan tumor yang dapat
mengganggu rasa pengecap dan proses menelan.
Daerah perut diperiksa apakah ada pembesaran perut, peregangan
atau tonjolan. Perabaan permukaan perut untuk menilai kekuatan otot
perut. Perabaan lebih dalam dapat mengetahui massa tinja di usus
besar, adanya tumor atau pelebaran batang nadi. Pada pemeriksaan
ketuk dicari pengumpulan gas berlebihan, pembesaran organ, cairan
dalam rongga perut atau adanya massa tinja.
Pemeriksaan dengan stetoskop digunakan untuk mendengarkan
suara gerakan usus besar serta mengetahui adanya sumbatan usus.
Sedang pemeriksaan dubur untuk mengetahui adanya wasir, hernia,
fissure (retakan) atau fistula (hubungan abnormal pada saluran cerna),
juga kemungkinan tumor di dubur yang bisa mengganggu proses buang
air besar.
Colok dubur memberi informasi tentang tegangan otot, dubur,
adanya timbunan tinja, atau adanya darah.
Pemeriksaan laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi
faktor risiko konstipasi seperti gula darah, kadar hormon tiroid,
elektrolit, anemia akibat keluarnya darah dari dubur.
Anoskopi dianjurkan untuk menemukan hubungan abnormal pada
saluran cerna, tukak, wasir, dan tumor. Foto polos perut harus
dikerjakan pada penderita konstipasi untuk mendeteksi adanya
pemadatan tinja atau tinja keras yang menyumbat bahkan melubangi
usus. Jika ada penurunan berat badan, anemia, keluarnya darah dari
dubur atau riwayat keluarga dengan kanker usus besar perlu dilakukan
kolonoskopi. Bagi sebagian orang konstipasi hanya sekadar
mengganggu. Tapi, bagi sebagian kecil dapat menimbulkan komplikasi
serius. Tinja dapat mengeras sekeras batu di poros usus (70%), usus
besar (20%), dan pangkal usus besar (10%). Hal ini menyebabkan
kesakitan dan meningkatkan risiko perawatan di rumah sakit dan
berpotensi menimbulkan akibat yang fatal. Pada konstipasi kronis
kadang-kadang terjadi demam sampai 39,5oC , delirium (kebingungan
dan penurunan kesadaran), perut tegang, bunyi usus melemah,
penyimpangan irama jantung, pernapasan cepat karena peregangan sekat
rongga badan. Pemadatan dan pengerasan tinja berat di muara usus
besar bisa menekan kandung kemih menyebabkan retensi urine bahkan
gagal ginjal serta hilangnya kendali otot lingkar dubur, sehingga keluar
tinja tak terkontrol. Sering mengejan berlebihan menyebabkan turunnya
poros usus.

G. Penatalaksanaan
Banyaknya macam-macam obat yang dipasarkan untuk mengatasi
konstipasi, merangsang upaya untuk memberikan pengobatan secara
simptomatik. Sedangkan bila mungkin, pengobatan harus ditujukan
pada penyebab dari konstipasi. Penggunaan obat pencahar jangka
panjang terutama yang bersifat merangsang peristaltik usus, harus
dibatasi. Strategi pengobatan dibagi menjadi:
1. Pengobatan non-farmakologis
a. Latihan usus besar:
Melatih usus besar adalah suatu bentuk latihan perilaku yang disarankan
pada penderita konstipasi yang tidak jelas penyebabnya. Penderita
dianjurkan mengadakan waktu secara teratur setiap hari untuk
memanfaatkan gerakan usus besarnya. dianjurkan waktu ini adalah 5-10
menit setelah makan, sehingga dapat memanfaatkan reflex gastro-kolon
untuk BAB. Diharapkan kebiasaan ini dapat menyebabkan penderita
tanggap terhadap tanda-tanda dan rangsang untuk BAB, dan tidak
menahan atau menunda dorongan untuk BAB ini.
b. Diet:
Peran diet penting untuk mengatasi konstipasi terutama pada golongan
usia lanjut. Data epidemiologis menunjukkan bahwa diet yang
mengandung banyak serat mengurangi angka kejadian konstipasi dan
macam-macam penyakit gastrointestinal lainnya, misalnya divertikel
dan kanker kolorektal. Serat meningkatkan massa dan berat feses serta
mempersingkat waktu transit di usus. untuk mendukung manfaa serat ini,
diharpkan cukup asupan cairan sekitar 6-8 gelas sehari, bila tidak ada
kontraindikasi untuk asupan cairan.
c. Olahraga:
Cukup aktivitas atau mobilitas dan olahraga membantu mengatasi
konstipasi jalan kaki atau lari-lari kecil yang dilakukan sesuai dengan
umur dan kemampuan pasien, akan menggiatkan sirkulasi dan perut
untuk memeperkuat otot-otot dinding perut, terutama pada penderita
dengan atoni pada otot perut.
2. Pengobatan farmakologis
Jika modifikasi perilaku ini kurang berhasil, ditambahkan terapi
farmakologis, dan biasnya dipakai obat-obatan golongan pencahar. Ada
4 tipe golongan obat pencahar :
a. Memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain : Cereal, Methyl
selulose, Psilium.
b. Melunakkan dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan menurunkan
tegangan permukaan feses, sehingga mempermudah penyerapan air.
Contohnya : minyak kastor, golongan dochusate.
c. Golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk
digunakan, misalnya pada penderita gagal ginjal, antara lain : sorbitol,
laktulose, gliserin
d. Merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus besar.
Golongan ini yang banyak dipakai. Perlu diperhatikan bahwa pencahar
golongan ini bisa dipakai untuk jangka panjang, dapat merusak
pleksusmesenterikus dan berakibat dismotilitas kolon.
Contohnya : Bisakodil, Fenolptalein.
Bila dijumpai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat diatasi
dengan cara-cara tersebut di atas, mungkin dibutuhkan tindakan
pembedahan. Misalnya kolektomi sub total dengan anastomosis
ileorektal. Prosedur ini dikerjakan pada konstipasi berat dengan masa
transit yang lambat dan tidak diketahui penyebabnya serta tidak ada
respons dengan pengobatan yang diberikan. Pasa umumnya, bila tidak
dijumpai sumbatan karena massa atau adanya volvulus, tidak dilakukan
tindakan pembedahan.

H. Pencegahan
Berikut beberapa pencegahan untuk mencegah terjadinya konstipasi:
1. Jangan jajan di sembarang tempat.
2. Hindari makanan yang kandungan lemak dan gulanya tinggi.
3. Minum air putih minimal 1,5 sampai 2 liter air (kira-kira 8 gelas) sehari
dan cairan lainnya setiap hari.
4. Olahraga, seperti jalan kaki (jogging) bisa dilakukan. Minimal 10-15
menit untuk olahraga ringan, dan minimal 2 jam untuk olahraga yang
lebih berat.
5. Biasakan buang air besar secara teratur dan jangan suka menahan
buang air besar.
6. Konsumsi makanan yang mengandung serat secukupnya, seperti buah-
buahan dan sayur-sayuran.
7. Tidur minimal 4 jam sehari.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
KONSTIPASI

A. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Biodata Pasien
b. Keluhan Utama
c. Riwayat Kesehatan
d. Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan dibuat untuk mendapatkan informasi tentang awitan
dan durasi konstipasi, pola emliminasi saat ini dan masa lalu, serta
harapan pasien tentang elininasi defekasi. Informasi gaya hidup harus
dikaji, termasuk latihan dan tingkat aktifitas, pekerjaan, asupan nutrisi
dan cairan, serta stress. Riwayat medis dan bedah masa lalu, terapi obat-
obatan saat ini, dan penggunaan laksatif serta enema adalah penting.
Pasien harus ditanya tentang adanya tekanan rektal atau rasa penuh,
nyeri abdomen, mengejan berlebihan saat defekasi, flatulens, atau diare
encer.
e. Riwayat / Keadaan Psikososial
f. Pemeriksaan Fisik
g. Pola Kebiasaan Sehari-hari
h. Analisa Data
Pengkajian objektif mencakup inspeksi feses terhadap warna, bau,
konsistensi, ukuran, bentuk, dan komponen. Abdomen diauskultasi
terhadap adanya bising usus dan karakternya. Distensi abdomen
diperhatikan. Area peritonial diinspeksi terhadap adanya hemoroid,
fisura, dan iritasi kulit.
2. Diagnosa
a. Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
hilangnya nafsu makan.
c. Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen.
3. Intervensi
4. Implementasi
5. Evaluasi

B. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Konstipasi


Contoh kasus:
Seorang kakek bernama Evart yang berumur 65 tahun mengeluh nyeri
pada perut bagian bawah. Kakek mengatakan bahwa sudah seminggu
belum BAB. Biasanya kakek bisa BAB tiga hari sekali. Sejak saat itu
kakek tidak pernah menghabiskan porsi makan sehari-harinya karena
kurang nafsu makan. Setelah dikaji inspeksi terdapat pembesaran
abdomen dan saat dipalpasi ada impaksi feses.
1. Pengkajian
Nama : Evart
Tanggal lahir : 5 November 1945
Jenis kelamin : Laki-laki
Tanggal MRS : 30 November 2010
Alamat : Surabaya
Diagnosa Medis : Konstipasi
Sumber Informasi : Klien, pemeriksaan fisik, kolonoskopi
Keluhan utama : nyeri pada perut, seminggu belum BAB
Riwayat penyakit sekarang :
Evart yang berumur 65 tahun mengeluh nyeri pada perut bagian bawah.
Kakek mengatakan bahwa sudah seminggu belum BAB. Biasanya
kakek bisa BAB tiga hari sekali. Sejak saat itu kakek tidak pernah
menghabiskan porsi makan sehari-harinya. Selain itu, kakek mengaku
mudah lelah untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Riwayat kesehatan keluarga :-
Review of system :
a. B1 (Breath) : RR meningkat
b. B2 (Blood) : denyut jantung meningkat, TD meningkat
c. B3 (Brain) : nyeri pada abdomen bawah
d. B4 (Bladder) : -
e. B5 (Bowel) : nafsu makan turun, BB turun
f. B6 (Bone) :-
Hasil pemeriksaan fisik umum :
a. keadaan umum : lemah
b. TTV : tekanan darah 130/95 mmHg, nadi : 90x/mnt,
RR 23x/mnt
Pemeriksaan fisik abdomen
a. Inspeksi : pembesaran abdomen
b. Palpasi : perut terasa keras, ada impaksi feses
c. Perkusi : redup
d. Auskultasi : bising usus tidak terdengar

Analisa Data:
No Data Etiologi Masalah
1. Data subjektif : Pola BAB tidak Konstipasi
Seminggu tidak BAB, teratur
kebiasaan BAB tiga
kali sehari Eliminasi feses
Data objektif : tidak lancar
Inspeksi : pembesaran
abdomen. konstipasi
Palpasi : perut terasa
keras, ada impaksi
feses.
Perkusi : redup.
Auskultasi : bising
usus tidak terdengar
2. Data subjektif: Sulit BAB Nutrisi kurang dari
Klien tidak nafsu kebutuhan
makan Perut terasa begah

Data objektif: Nafsu


Bising usus tidak makan menurun
terdengar
Menurunnya intake
makanan
3. Data subjektif: konsistensi tinja Nyeri Akut
Keluhan nyeri dari yang keras
pasien
sulit keluar
Data objektif:
Perubahan nafsu Akumulasi di
makan kolon

Nyeri abdomen

2. Diagnosa
a. Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
hilangnya nafsu makan.
c. Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen.

3. Intervensi dan Rasional


a. Diagnosa : Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi
tidak teratur
Tujuan : pasien dapat defekasi dengan teratur (setiap hari)
Kriteria hasil :
1) Defekasi dapat dilakukan satu kali sehari.
2) Konsistensi feses lembut
3) Eliminasi feses tanpa perlu mengejan berlebihan
Intervensi Rasional
1. Mandiri:
a. Tentukan pola defekasi bagi klien dan a. Untuk mengembalikan keteraturan pola
latih klien untuk menjalankannya defekasi klien
b. Atur waktu yang tepat untuk defekasi
klien seperti sesudah makan b. Untuk memfasilitasi refleks defekasi
c. Berikan cakupan nutrisi berserat sesuai
dengan indikasi c. Nutrisi serat tinggi untuk melancarkan
d. Berikan cairan jika tidak kontraindikasi eliminasi fekal
2-3 liter per hari d. Untuk melunakkan eliminasi feses

2. Kolaborasi:
Pemberian laksatif atau enema sesuai
indikasi Untuk melunakkan feses
b. Diagnosa : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan hilangnya nafsu makan
Tujuan : menunjukkan status gizi baik
Kriteria Hasil :
1) Toleransi terhadap diet yang dibutuhkan
2) Mempertahankan massa tubuh dan berat badan dalam batas normal
3) Nilai laboratorium dalam batas normal
4) Melaporkan keadekuatan tingkat energi
Intervensi Rasional
1. Mandiri:
a. Buat perencanaan makan dengan a. Menjaga pola makan pasien sehingga
pasien untuk dimasukkan ke dalam pasien makan secara teratur
jadwal makan. b. Pasien merasa nyaman dengan
b. Dukung anggota keluarga untuk makanan yang dibawa dari rumah dan
membawa makanan kesukaan pasien dapat meningkatkan nafsu makan
dari rumah. pasien.
c. Dengan pemberian porsi yang besar
c. Tawarkan makanan porsi besar dapat menjaga keadekuatan nutrisi
disiang hari ketika nafsu makan tinggi yang masuk.
d. Pastikan diet memenuhi kebutuhan d. Tinggi karbohidrat, protein, dan
tubuh sesuai indikasi. kalori diperlukan atau dibutuhkan
selama perawatan.
e. Pastikan pola diet yang pasien yang e. Untuk mendukung peningkatan nafsu
disukai atau tidak disukai. makan pasien
f. Pantau masukan dan pengeluaran danf. Mengetahui keseimbangan intake dan
berat badan secara periodik. pengeluaran asuapan makanan.
g. Sebagai data penunjang adanya
g. Kaji turgor kulit pasien perubahan nutrisi yang kurang dari
kebutuhan
2. Kolaborasi:
a. Observasi: 1) Untuk dapat mengetahui tingkat
1) Pantau nilai laboratorium, seperti Hb, kekurangan kandungan Hb, albumin,
albumin, dan kadar glukosa darah dan glukosa dalam darah.
2) Klien terbiasa makan dengan
2) Ajarkan metode untuk perencanaan terencana dan teratur.
makan
b. Health Edukasi Menjaga keadekuatan asupan nutrisi
Ajarkan pasien dan keluarga tentang yang dibutuhkan.
makanan yang bergizi dan tidak
mahal

c. Diagnosa : Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses


keras pada abdomen
Tujuan : menunjukkan nyeri telah berkurang
Kriteria Hasil :
1) Menunjukkan teknik relaksasi secara individual yang efektif untuk
mencapai kenyamanan
2) Mempertahankan tingkat nyeri pada skala kecil
3) Melaporkan kesehatan fisik dan psikologisi
4) Mengenali faktor penyebab dan menggunakan tindakan untuk
mencegah nyeri
5) Menggunakan tindakan mengurangi nyeri dengan analgesik dan non-
analgesik secara tepat
Intervensi Rasional
1. Mandiri:
a. Bantu pasien untuk lebih berfokus a. Klien dapat mengalihkan perhatian
pada aktivitas dari nyeri dengan dari nyeri
melakukan penggalihan melalui
televisi atau radio.
b. Perhatikan bahwa lansia mengalami b. Hati-hati dalam pemberian anlgesik
peningkatan sensitifitas terhadap efek opiate
analgesik opiat
c. Perhatikan kemungkinan interaksi c. Hati-hati dalam pemberian obat-
obat obat dan obat penyakit pada obatan pada lansia
lansia

2. Kolaborasi
a. Observasi
1) Minta pasien untuk menilai nyeri atau
ketidak nyaman pada skala 0 10 a. Observasi
2) Gunakan lembar alur nyeri 1) Mengetahui tingkat nyeri yang
3) Lakukan pengkajian nyeri yang dirasakan klien
komperhensif
b. Health education
1) Instruksikan pasien untuk 2) Mengetahui karakteristik nyeri
meminformasikan pada perawat jika 3) Agar mngetahui nyeri secara spesifik
pengurang nyeri kurang tercapai
2) Berikan informasi tetang nyeri b. Health Education
1) Perawat dapat melakukan tindakan
yang tepat dalam mengatasi nyeri
klien

2) Agar pasien tidak merasa cemas

Anda mungkin juga menyukai