Anda di halaman 1dari 4

Penangkapan berlebih atau over-fishing sudah menjadi kenyataan pada berbagai perikanan

tangkap di dunia. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) memperkirakan 75% dari
perikanan laut dunia sudah tereksploitasi penuh,mengalami tangkap lebih atau stok yang
tersisa bahkan sudah terkuras dan hanya 25% dari sumberdaya masih berada pada kondisi
tangkap

Sebagai salah satu provinsi kepulauan, Maluku yang memiliki kandungan sumberdaya hayati
laut yang sangat besar. baik itu ikan maupun non ikan. (1)

90% wilayah Provinsi Maluku adalah lautan = potensi sumberdaya perikanan (2) (Bappeda Provinsi
Maluku, 2009)

Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) memperkirakan 75% dari perikanan
laut dunia sudah tereksploitasi penuh,mengalami tangkap lebih atau stok yang tersisa
bahkan sudah terkuras dan hanya 25% dari sumberdaya masih berada pada kondisi
tangkap (3)

Perlindungan terhadap komoditas perikanan sebagai bentuk pengelolaan (4)

SDA Hayati dan nabati perlu dilestarikan untuk mencapai hasil yang memuaskan (5)

Melihat fakta perairan Maluku yang memiliki kandungan sumberdaya hayati laut yang
sangat besar. oleh karena itu maka perlu adanya suatu program yang dapat menjamin,
menjaga, dan melestarikan keberlangsungannya yaitu dengan menerapkan sistem
Marine Protect Area berbasis hukum adat sasi laut, Sebagai Bentuk Solusi Konservasi
Laut Bumi Raja-Raja , Maluku. (6)

sumber daya alam hayati dan nabati perlu di lestarikan dalam suatu periode tertentu untuk
memulihkan pertumbuhan dan perkembangan demi tercapainya hasil yang memuaskan
sehingga secara langsung dapat menjawab masalah ketahanan pangan nasional.

Melihat fakta perairan Maluku yang memiliki kandungan sumberdaya hayati


laut yang sangat besar. maka perlu adanya suatu sistem yang dapat menjamin dan
menjaga keberlangsungannya yaitu dengam sistem Marine Protect Area berbasis
hukum adat sasi laut
Upaya pelestarian lingkungan hidup bagi masyarakat Maluku, salah satunya
seperti penerapan sistem Marine Protect Area berbasis kearifan lokal sudah di
laksanakan dan diterapkan sejak dulu. Hal ini akan dibuktikan dengan salah satu
budaya masyarakat Maluku yang melarang pengambilan hasil-hasil potensi tertentu
dengan atau tanpa merusak lingkungan. Kegiatan larangan pengambilan hasil-hasil
potensi ini oleh masyarakat Maluku di kenal dengan sebutan SASI. Sasi merupakan
suatu tradisi masyarakat negeri di Maluku, untuk menjaga hasil-hasil potensi tertentu.
Bila sasi dilaksanakan, maka masyarakat dilarang untuk memetik buah-buah tertentu
di darat dan mengambil hasil tertentu dari laut selama jangka waktu yang di tetapkan
oleh pemerintah desa (Frank L. Cooley, 1987). Peranan sasi memungkinkan sumber
daya alam untuk terus menerus tumbuh dan berkembang.

Menurut definisi IUCN (International Union for Conservation of Nature), Marine Protected
Area (MPA) dinyatakan sebagai wilayah perairan termasuk flora, fauna dan corak budaya
dan sejarah yang berkaitan, dilindungi secara hukum maupun cara lain yang efektif, untuk
melindungi sebagian atau seluruh lingkungan di sekitarnya (Kelleher, 1999). Sebagai
terjemahan langsung dari MPA adalah kawasan konservasi perairan ( KKP). KKP merupakan
istilah yang digunakan dalam PP No. 60 tahun 2007, didefinisikan sebagai kawasan perairan
yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya
ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan.

paling tidak ada lima (5) prinsip dasar yang perlu diperhatikan dari batasan
KKP ialah:
Adanya wilayah perairan tertentu dengan batas-batas (delineasi) yang jelas,
walaupun membuat tanda batas di wilayah perairan termasuk pekerjaan yang agak
sulit. Sebagai contoh, Taman Nasional Komodo, memiliki batas wilayah perairan
yang tetap dengan total luas mencapai 120.000 ha
Wilayah perairan tersebut mempunyai ciri atau karakteristik tertentu yang akan
memberikan manfaat positif dalam usaha perlindungan keanekaragaman hayati atau
tujuan lain yang terkait (seperti peningkatan kesehatan stok perikanan tangkap,
pariwisata, bentang alam atau sejenisnya). Terumbu karang yang sehat merupakan
salah satu karakteristik yang sering dijadikan pertimbangan dalam memilih suatu
wilayah sebagai KKP.
Harus ada aturan pembatasan yang sangat jelas, boleh tertulis atau kebiasaan yang
tidak tertulis yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. UU No. 5
tahun 1990 bersama PP No. 68 tahun 1998, UU No. 31 tahun 2004 bersama PP No.
60 tahun 2007 merupakan contoh aturan tertulis tentang MPA di Indonesia.
Sedangkan Sasi Laut, Awig-Awig dan Panglima Laut merupakan contoh dari aturan
tidak tertulis tentang perlindungan laut.
Keberadaan KKP harus diakui secara luas dengan adanya sistem tata
kelola(governance) yang jelas. Pengelola KKP bisa murni dari pemerintah, murni
oleh masyarakat maupun kemitraan diantara keduanya (co-management).
Aturan tersebut pada point (c), ditegakkan dan dipatuhi oleh semua orang, tanpa
kecuali, serta terdapat sanksi mengikat bagi pelanggar aturan. Pernah terjadi, seorang
yang beberapa kali ketahuan melakukan pencurian rusa dari suatu wilayah Taman
Nasional, dikenakan hukuman penjara sampai 10 tahun.

Sasi dapat diartikan sebagai larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu
sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati (hewani
maupun nabati) alam tersebut. Karena peraturan-peraturan dalam pelaksanaan larangan ini
juga menyangkut pengaturan hubungan manusia dengan alam dan antar manusia dalam
wilayah yang dikenakan larangan tersebut, maka sasi, pada hakikatnya, juga merupakan suatu
upaya untuk memelihara tata-krama hidup bermasyarakat, termasuk upaya ke arah
pemerataan pembagian atau pendapatan dari hasil sumberdaya alam sekitar kepada seluruh
warga/penduduk setempat. Saat ini, sasi memang lebih cenderung bersifat HUKUM ADAT
bukan tradisi, dimana sasi digunakan sebagai cara mengambil kebijakan dalam pengambilan
hasil laut dan hasil pertanian. Namun, secara umum, sasi berlaku di masayarakat sebagai
bentuk etika tradisional. Sasi tidak berhubungan dengan ritus kelahiran, perkawinan,
kematian dan pewarisan, melainkan lebih cenderung bersifat tabu dan kewajiban setiap
individu dan masyarakat dalam mengelola sumber daya alam yang dimiliki. Seperti yang kita
tahu, bahwa taboo atau tabu berfungsi untuk menjaga kestabilan hidup masyarakat. Tabu
seringkali dikaitkan dengan sesuatu yang terlarang, karena akan mengakibatkan dampak
buruk bagi orang yang melanggar tabu.

Setelah kewenangan sasi semakin luas dan bertambah, akhirnya sasi berkembang menjadi
empat kategori, yakni sebagai berikut :

1. Sasi perorangan, yakni berlaku hanya untuk lahan saja, karena laut milik umum.
2. Sasi umun, hanya berlaku untuk tingkat desa saja.
3. Sasi gereja dan sasi masjid, yaitu sasi yang disetujui oleh pihak gereja, masjid atau
masyarakat umum.
4. Sasi negeri, yakni sasi yang disetujui oleh pemerintah lokal, seperti kepala desa, para
bupati, contohnya untuk mengatasi masalah perselisihan mengenai batas wilayah.

Dilema
Namun, terjadi dilema dimana sasi sendiri sudah tidak berlaku seperti pada awal mula sasi diberlakukan. Hal ini
karena kepala desa atau kewang, yakni orang yang ditunjuk untuk mendisiplinkan kewenangan atas sumber
daya alam dan wilayah sudah mulai malas untuk memperhatikan tradisi sasi itu sendiri. Selain itu, banyak
pendatang yang susah untuk ditertibkan, karena pada pendatang tersebut tidak terikat oleh sasi. Akibatnya,
pemberlakuan sasi tidak dapat ditindak secara tegas, meskipun terdapat hukuman-hukuman atas pelanggaran
sasi yang sudah disepakati sebelumnya. Banyaknya pendatang serta perusahaan-perusahaan besar yang
mengambil sumber daya alam di Maluku semakin mengaburkan sistem sasi secara perlahan-lahan. Contoh yang
terjadi akibat adanya pendatang adalah yang terjadi di Nus Leur dan Terbang Utara, dimana terdapat perahu-
perahu penangkap ikan yang melanggar batas ketika mengambil hasil laut.

JAWABAN
Terdapat beberapa hal yang menjadi sebab mengapa masalah ketahanan pangan
ikan perlu perhatikan secara serius untuk kecukupan ketahanan pangan ikan nasional.
Pertama, bahwa kebutuhan akan pangan ikan dari tahun ketahun semakin meningkat
seiring perkembangan jumlah penduduk dunia dan ledakan populasi penduduk dunia
sehingga memicu peningkatan kebutuhan ikan dan jenis daging konsumsi lainnya.
Disamping itu, semakin berkurangnya sumberdaya ikan akibat adanya penangkapan
ikan hingga sampai pada level over fishing sehingga menyebabkan menurunnya
sumber daya ikan di perairan bebas
Kedua, kondisi obyektif Indonesia masih berkutat pada masalah gizi. Masalah
gizi tersebut berakar pada masalah ketersediaan, distribusi, keterjangkauan pangan,
kemiskinan, pendidikan dan pengetahuan serta perilaku masyarakat. Dengan demikian
masalah pangan dan gizi merupakan permasalahan berbagai sektor dan menjadi
tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat. Selain itu, jumlah penduduk
Indonesia yang besar dan tersebar dalam bebagai wilayah memerlukan penanganan
ketahanan pangan ikan yang terpadu. Penanganan ketahanan pangan dimaksud
memerlukan perencanaan lintas sektor dan dengan sasaran serta tahapan yang jelas
dan terukur dalam jangka menengah maupun panjang.
Untuk memenuhi kebutuhan produksi perikanan yang terus meningkat tersebut
dan menjaga supaya kegiatan penangkapan ikan laut di Indonesia tetap berkelanjutan,
Harus ada aturan pembatasan yang sangat jelas, boleh tertulis atau kebiasaan yang
tidak tertulis yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. di Indonesia.
Sedangkan Sasi Laut, Awig-Awig dan Panglima Laot merupakan contoh dari aturan
tidak tertulis tentang perlindungan laut

Anda mungkin juga menyukai