Anda di halaman 1dari 12

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis)

1. Taksonomi dan Morfologi

Menurut Weber dan Beofort (1940), klasifikasi kerapu tikus adalah sebagai berikut :

Phylum : Chordata

Sub phylum : Verterbrata

Class : Osteichtyes

Sub class : Actinoperigi

Ordo : Percomorphi

Sub ordo : Percoidea

Famili : Serranidae

Genus : Cromileptes

Spesies : C. altivelis

Kerapu tikus bertubuh agak pipih dan warna dasar kulit tubuhnya abu-abu dengan bintik-bintik hitam
diseluruh permukaan tubuh (Gambar 1). Kepala berukuran kecil dengan moncong agak meruncing.
Karena kepala yang kecil mirip bebek, maka jenis ini popular sebagai kerapu bebek. Namun, ada pula
yang menyebutnya sebagai kerapu tikus karena bentuk moncongnya yang meruncing menyerupai 7

moncong tikus. Kerapu tikus digolongkan sebagai ikan konsumsi bila bobot tubuhnya telah mencapai 0.5
– 2 kg/ekor (Kordi, 2001).

Kerapu tikus memiliki bentuk sirip yang membulat. Sirip punggung tersusun dari 10 jari-jari keras dan 19
jari-jari lunak. Pada sirip dubur, terdapat 3 jari-jari keras dan 10 jari-jari lunak. Ikan ini bisa mencapai
panjang tubuh 70 cm atau lebih, namun yang dikonsumsi, umumnya berukuran 30-50 cm. kerapu bebek
tergolong ikan buas yang memangsa ikan-ikan dan hewan-hewan kecil lainnya. Kerapu bebek
merupakan salah satu ikan laut komersial yang telah dibudidayakan baik dengan tujuan pembenihan
maupun pembesaran (Hemstra and Randall‚ 1993).

Gambar 1. Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis)


2. Habitat dan Biologi

Daerah penyebaran kerapu tikus yaitu Afrika Timur sampai Pasifik Barat Daya. Di Indonesia kerapu tikus
banyak ditemukan di perairan Pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi, Buru dan Ambon. Salah satu indikator
adanya kerapu tikus adalah perairan karang yang terhampar hampir diseluruh perairan pantai di
Indonesia (Gambar 2). 8

Gambar 2. Distribusi ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis)

(Hemstra and Randall‚ 1993)

Setianto (2011) mengemukakan bahwa pada umumnya siklus hidup kerapu tikus muda hidup di perairan
karang pantai dengan kedalaman 0,5 - 3 meter selanjutnya saat masa dewasa beruaya ke perairan yang
lebih dalam antara 7 - 40 meter, pada umumnya perpindahan ini berlangsung pada siang hari dan senja
hari, telur dan larva bersifat pelagis sedangkan kerapu muda hinggga dewasa bersifat demersal.
Menurut Subyakto dkk. (2003), kerapu bersifat hermaprodit protogini, yakni pada tahap perkembangan
mencapai dewasa (matang gonad) berjenis kelamin betina kemudian berubah menjadi jantan setelah
tumbuh besar atau ketika umurnya bertambah tua.

Kebiasan makan kerapu tikus, yang termasuk dalam keluarga serranidae merupakan ikan nokturnal
dimana ikan ini mencari makan pada malam hari (Risamasu‚ 2008). Aktivitas ikan nokturnal mencari
makan dimulai saat hari mulai gelap. Ikan-ikan tersebut digolongkan sebagai ikan soliter di mana
aktivitas 9

makan dilakukan secara individu, gerakannya lambat cenderung diam dan arah gerakannya tidak begitu
luas serta lebih banyak menggunakan indera perasa dan indera penciuman (Subyakto dkk.‚ 2003).

B. Viral Nervous Necrosis (VNN)

1. Agen Faktor

Betanodavirus merupakan agen penyebab VNN‚ sebuah penyakit yang merugikan budidaya perikanan
laut hampir di seluruh dunia (Thiery et al.‚ 2006). Klasifikasi betanodavirus tergolong dalam family
Nodaviridae dengan diameter sekitar 25-30 nm dan memiliki kapsid berbentuk ikosahedral (OIE‚ 2003)
(Gambar 3). Genomnya terdiri dari dua molekul rangkaian positif single stranded RNA. RNA1 (3,1 kb)
sebagi kode protein A (RdRp) dalam satu open reading frame (ORF) dengan untranslated conserved
region (UTR) pada kedua ujung 5’ dan 3’. Sebuah subgenom RNA3 (0.4 kb) merupakan turunan dari
RNA1 di dalam sel-sel yang terinfeksi‚ terbentuk selama proses replikasi RNA dan berperan sebagai kode
protein B2. RNA2 (1,4 kb) sebagai kode protein α (kapsid protein) dalam satu ORF dengan UTR pada
kedua ujung 5’ dan 3’ (Korsnes‚ 2008).

Gambar 3. Fotomikrograf Elektron VNN


(Nagasawa and Cruz-Lacierda, 2004) 10

Betanodavirus diklasifikasikan kedalam 4 kelompok besar genotip, ditandai dengan beberapa tipe yaitu
striped jack nervous necrosis virus (SJNNV), tiger puffer nervous necrosis virus (TPNNV), barfin flounder
nervous necrosis virus (BFNNV), dan redspotted grouper nervous necrosis virus (RGNNV), berdasarkan
pada tingkat kesamaan (urutan basa pada 380) dari sekuen RNA2 (Nishizawa et al., 1997).

2. Patogenisitas dan Gejala Klinis

Patogenisitas dan gejala-gejala klinis dari serangan VNN berhubungan dengan syaraf yang
mempengaruhi jaringan lainnya. Organ-organ target yang diserang oleh virus ini yaitu sistem syaraf
pusat (otak dan sum-sum tulang belakang) dan retina (OIE, 2003). Menurut Chi et al. (1997), kerapu
yang terinfeksi VNN akan menunjukan gejala klinis pada keseimbangannya, yaitu berenang secara
terbalik dengan bagian ventral pada permukaan air‚ pola berenang yang memutar dan tidak teratur.
Selain itu terjadi perubahan pigmentasi serta gejala umum lainnya meliputi anorexia‚ lethargy dan
anemia (Korsnes‚ 2008). Sifat VNN yang menyerang syaraf (otak dan mata) dapat menyebabkan gerak
renang yang tidak normal, sehingga kondisi ikan menjadi lemah dan akan berlanjut pada tingkat
kematian yang tinggi (Amelia, 2012). Menurut Prayitno (2002), penyakit Viral Nervous Necrosis (VNN)
dapat menyebabkan kematian atau kerusakan syaraf sentral pada ikan, sehingga tidak mampu untuk
merespon berbagai rangsangan dan tidak adanya keseimbangan dalam bergerak maupun berenang dan
akhirnya ikan mengalami kematian. 11

3. Distribusi Geografis dan Mortalitas

Wilayah-wilayah ditemukannya serangan penyakit ini mencakup Asia Tenggara, Asia Selatan‚ Asia Timur,
Oceania (Australia dan Tahiti), Mediterrania (Perancis, Greece, Italia, Malta, Portugal dan Spanyol),
Ukraina, Norwegia, dan Amerika Utara (Canada, USA) (Zafran et al., 2000). Di Indonesia kasus serangan
VNN pertama kali diidentifikasi pada hatchery kakap di Jawa Timur pada tahun 1997. Kemudian pada
tahun 1998 kasus kematian yang disebabkan oleh VNN ditemukan pada budidaya ikan kerapu tikus
(Cromileptes altivelis) dengan tingkat kematian mencapai 100 % (Sugianti, 2005). Serangan VNN
menyebabkan kematian pada larva mencapai 70%, kematian pada ikan-ikan yang berukuran 2,5-7‚5 cm
mencapai 100% dan pada ikan yang berukuran >15 cm tingkat kematian yang ditimbulkan mencapai
<20% (Nagasawa and Cruz-Lacierda, 2004).

C. Jintan Hitam (Nigella sativa)

1. Taksonomi dan Morfologi


Klasifikasi dan morfologi tanaman jintan hitam menurut Hutapea (1994) adalah sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Ranunculales

Famili : Ranunculaceae

Genus : Nigella

Spesies : Nigella sativa L. 12

Batang tumbuhan ini berwarna hijau kemerahan, tegak, lunak, beralur, berusuk dan berbulu kasar, rapat
atau jarang dan disertai dengan adanya bulu-bulu yang berkelenjar. Daunnya berbentuk daun lanset
garis (lonjong), panjang 1,5 sampai 2 cm. Merupakan daun tunggal yang ujung dan pangkalnya runcing,
tepi berigi dan berwarna hijau. Pertulangan menyirip dengan tiga tulang daun yang berbulu. Mahkota
bunga pada umumnya berjumlah delapan, berwarna putih kekuningan, agak memanjang, lebih kecil dari
kelopak bunga, berbulu jarang dan pendek. Akarnya merupakan akar tunggang, cokelat. Buahnya
berupa polong, bulat panjang, dan cokelat kehitaman. Serta bijinya yang kecil, bulat, hitam, berkeriput
tidak beraturan dan sedikit berbentuk kerucut dengan panjang 3 mm (Gambar 5).

Gambar 5. Biji Jintan Hitam

2. Habitat

Tanaman jintan hitam merupakan tanaman semak dengan ketinggian lebih kurang 30 cm. Ekologi dan
penyebaran tanaman ini tumbuh mulai dari daerah Levant, kawasan Mediterania Timur sampai ke arah
timur Samudera Indonesia, dan dikenal sebagai gulma semusim dengan keanekaragaman yang kecil.
Budidaya perbanyakan tanaman dilakukan dengan biji (Hutapea‚ 1994). 13

3. Kegunaan sebagai Imunostimulator

Jintan hitam memiliki banyak kegunaan berdasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan. Salah
satu kegunaan jintan hitam adalah mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Jintan hitam
meningkatkan rasio antara sel-T helper dengan sel-T penekan (supressor) sebesar 55-72%, yang
mengindikasikan peningkatan aktivitas fungsional sel pembunuh alami dan efek jintan hitam sebagai
imunomodulator (El-Kadi et al. 1986; Haq et al. 1999). Kandungan timokuinon pada jintan hitam
menstimulasi sum-sum tulang dan sel imun, produksi interferon, melindungi kerusakan sel oleh infeksi
virus, menghancurkan sel tumor dan meningkatkan jumlah antibodi yang diproduksi sel-B (Gali-
Muhtasib et al.‚ 2007).

D. Kesehatan Ikan

1. Sistem Imun Ikan

Sistem imunitas ikan dibentuk oleh jaringan limfoid yang menyatu dengan myeloid yang dikenal dengan
jaringan limfomyeloid. Pada ikan, organ tersebut adalah limpa, timus dan ginjal bagian depan. Jaringan
yang dihasilkan oleh jaringan limfomyeloid adalah sel-sel darah dan respon imunitas baik seluler
maupun hormonal (Fange, 1982). Menurut Magnadottir (2010)‚ sistem imun mampu melindungi
organisme melawan serangan penyakit dengan mengidentifikasi dan mengeliminasi patogen serta
menekan munculnya tumor. Selain itu sistem imun juga menjaga kestabilan kondisi (homeostasis)
selama perkembangan dan pertumbuhan organisme. Sistem imunitas yang dimiliki ikan 14

sebagian besar hampir sama dengan vertebrata-vertebrata lainnya meskipun terdapat beberapa
perbedaan penting (Uribe et al.‚ 2011).

Seperti ikan teleostei pada umumnya‚ kerapu tikus memiliki dua sistem pertahanan tubuh yaitu non
spesifik (innate) dan spesifik (adaptive). Sistem imun non spesifik telah ada sejak lahir dan merupakan
pertahanan tubuh terdepan‚ bereaksi cepat dan langsung menghadapi serangan berbagai
mikroorganisme patogen (antigen) (Ellis‚ 2001). Sedangkan sistem imun spesifik membutuhkan waktu
untuk mengenali antigen terlebih dahulu namun sangat spesifik terhadap jenis patogen tertentu dan
mampu membentuk memori spesifik antigen. Kedua sistem tersebut bekerja sama untuk mendeteksi
beberapa antigen (virus‚ bakteri‚ fungi ataupun parasit) yang masuk ke dalam tubuh inang dan
selanjutnya akan menghancurkan serta memusnahkannya dari inang (Yanuhar‚ 2010). Namun
perbedaan dengan vertebrata lainnya‚ ikan merupakan organisme hidup secara bebas mulai dari stadia
awal embrionik dari hidupnya dan bergantung pada sistem imun non spesifik mereka untuk dapat tetap
hidup (Rombout et al.‚ 2005).

2. Imunostimulan

Imunostimulan merupakan senyawa biologi dan sintesis yang dapat meningkatkan respon imun non
spesifik. Imunostimulan yang telah banyak dikenal antara lain β-glukan‚ peptidoglikan dan
lipopolisakarida (LPS) (Roza et al.‚ 2006). Beberapa vitamin seperti vitamin A, B dan vitamin C juga dapat
digunakan sebagai imunostimulan (Sohne et al. 2000; Galeotti 1998). Imunostimulan dapat diberikan
melalui injeksi, bersama pakan (per oral) dan perendaman (Anderson‚ 1992). 15

Pemilihan cara aplikasi imunostimulan didasarkan atas kepraktisan dan efisiensi dalam kegiatan
budidaya.
Imunostimulan direspon ikan dengan peningkatan aktivitas dan reaktivitas sel pertahanan seluler
ataupun humoral (Anderson and Siwicki‚ 1993). Mekanisme imunostimulan dalam tubuh merangsang
makrofag untuk memproduksi interleukin yang akan menggiatkan sel limfosit yang kemudian membelah
menjadi limfosit T dan limfosit B. Limfosit T memproduksi interferon yang meningkatkan kemampuan
makrofag sehingga dapat memfagositosis bakteri‚ virus dan partikel asing lainnya yang masuk ke dalam
tubuh ikan (Raa et al‚ 1992). Aktivitas fagositik ini merupakan salah satu bentuk dari peningkatan respon
seluler dan pada akhirnya akan meningkatkan respon humoral.

3. Darah Ikan

Sel dan cairan darah (plasma darah) merupakan aspek diagnosa yang penting untuk dikaji, karena aspek
tersebut mempunyai peran fisiologis yang sangat penting serta mampu menggambarkan kondisi
kesehatan ikan. Svobodova and Vyukusova (1991) menjelaskan bahwa pemeriksaan darah dapat
digunakan untuk mengevaluasi kondisi ikan, menguji efek zat beracun pada ikan, menguji kualitas pakan
yang diberikan pada ikan dan mengevaluasi efek tekanan situasi.

Darah ikan terdiri dari atas komponen cairan (plasma) dan komponen seluler (sel-sel darah). Sel-sel
darah terdiri dari eritrosit (sel darah merah), leukosit (sel darah putih) dan trombosit (keping darah),
yang diedarkan ke seluruh tubuh melalui 16

sistem sirkulasi tertutup (Wedemeyer and Yasutke, 1977). Darah ikan mengalir dari jantung melalui
aorta ventral dan arteri – arteri brankhial menuju ke insang untuk keperluan oksigenasi (Irianto‚ 2005).

Eritrosit pada ikan merupakan jenis sel darah yang paling banyak jumlahnya. Bentuk eritrosit pada
semua jenis ikan hampir sama. Jumlah eritrosit berbeda-beda pada berbagai spesies dan juga sangat
dipengaruhi oleh suhu (Takashima and Hibiya‚ 1995). Jumlah eritrosit pada ikan teleostei berkisar antara
(1,05 - 3,0) x 106 sel/mm3 (Irianto‚ 2005). Eritrosit berwarna kekuningan, berbentuk lonjong, kecil,
dengan ukuran berkisar antara 7 - 36 μm (Lagler et al.‚ 1977). Eritrosit yang sudah matang berbentuk
oval sampai bundar, inti berukuran kecil dengan sitoplasma besar. Inti sel eritrosit terletak sentral
dengan sitoplasma terlihat jernih kebiruan dengan pewarnaan giemsa (Chinabut et al.‚ 1991).

Leukosit merupakan jenis sel yang aktif di dalam sistem pertahanan tubuh. Setelah dihasilkan di organ
timus dan ginjal, leukosit kemudian diangkut dalam darah menuju ke seluruh tubuh (Irianto‚ 2005).
Leukosit akan ditanspor secara khusus ke daerah yang mengalami peradangan yang serius (Guyton‚
1997).

Leukosit tidak berwarna dan jumlah leukosit total ikan teleostei berkisar antara (2 -15) x 104 sel tiap
mm3. Leukosit berbentuk lonjong sampai bulat (Moyle and Chech‚ 1988). Leukosit mempunyai peranan
dalam pertahanan seluler dan humoral organisme terhadap zat-zat asing. Leukosit dapat melakukan
gerakan amuboid dan melalui proses diapedesis leukosit dapat meninggalkan kapiler 17

dengan menerobos antara sel-sel endotel dan menembus kedalam jaringan penyambung (Effendi,
2003).
Leukosit terdiri dari dua golongan utama, yaitu agranular dan granular. Leukosit agranular mempunyai
sitoplasma yang tampak homogen, dan intinya berbentuk bulat atau berbentuk ginjal. Leukosit granular
mengandung granula spesifik (yang dalam keadaan hidup berupa tetesan setengah cair) dalam
sitoplasmanya dan mempunyai inti yang memperlihatkan banyak variasi dalam bentuknya. Terdapat 2
jenis leukosit agranular yaitu; limfosit yang terdiri dari sel-sel kecil dengan sitoplasma sedikit, dan
monosit yang terdiri dari sel-sel yang agak besar dan mengandung sitoplasma lebih banyak. Terdapat 3
jenis leukosit granular yaitu neutrofil, basofil, dan asidofil (eosinofil) (Effendi, 2003).

Sel neutrofil berdiameter 12–15 μm memilliki inti yang khas padat terdiri atas sitoplasma pucat di antara
2 hingga 5 lobus dengan rangka tidak teratur dan mengandung banyak granula merah jambu (azuropilik)
atau merah lembayung (Hoffbrand and Pettit, 1996). Neutrofil terbentuk lebih dari setengah jumlah
leukosit secara keseluruhan. Sel-sel ini merupakan garis terdepan dalam pertahanan melawan infeksi-
infeksi bakteri (Stock and Hoffman‚ 2000).

Rupa monosit bermacam-macam, pada umumnya lebih besar daripada leukosit darah tepi yaitu
diameter 16-20 μm dan memiliki inti besar di tengah oval atau berlekuk dengan kromatin
mengelompok. Sitoplasma yang melimpah berwarna biru pucat dan mengandung banyak vakuola halus.
Prekursor monosit dalam 18

sumsum tulang (monoblas dan promonosit) sukar dibedakan dari mieloblas dan monosit (Hoffbrand and
Pettit, 1996). 3-8% dari sirkulasi leukosit merupakan monosit-monosit (0‚3 x 109/L) (Stock and Hoffman‚
2000).

Sebagian besar limfosit yang terdapat dalam darah tepi merupakan sel kecil yang berdiameter kecil dari
10 μm. Intinya yang gelap berbentuk bundar atau agak berlekuk dengan kelompok kromatin kasar dan
tidak berbatas jelas. Sitoplasmanya berwarna biru dan dalam kebanyakan sel, terlihat seperti bingkai
halus sekitar inti. Kira-kira 10% limfosit yang beredar merupakan sel yang lebih besar dengan diameter
12-16μm dengan sitoplasma yang banyak yang mengandung sedikit granula azuropilik. (Hoffbrand and
Pettit, 1996). Sel-sel ini disebut sel Natural Killer karena mereka memiliki kemampuan untuk
menghancurkan infeksi virus (Stock and Hoffman‚ 2000).

Hematokrit adalah persentase eritrosit di dalam darah (Guyton‚ 1997). Hematokrit digunakan untuk
mengukur perbandingan antara eritrosit dengan plasma, sehingga hematokrit memberikan rasio total
eritrosit dengan total volume darah dalam tubuh. Nilai hematokrit dipengaruhi oleh ukuran dan jumlah
eritrosit (Ganong‚ 1995). Nilai hematokrit pada ikan teleostei berkisar antara 20 - 30% dan pada ikan laut
bernilai sekitar 42% (Bond‚ 1979). Nilai hematokrit di bawah 30% menunjukan adanya defisiensi eritrosit
(Nabib dan Pasaribu‚ 1989). Amlacher (1970) mengemukakan bahwa selain infeksi bakteri, nafsu makan
juga berpengaruh pada jumlah eritrosit sehingga berpengaruh pula terhadap nilai hematokrit dan
konsentrasi hemoglobin di dalam sirkulasi darah.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis)

Ikan kerapu tergolong dalam famili Serranidae, tubuhnya tertutup oleh sisik-sisik kecil. Menurut Nontji
(2005) nama kerapu biasanya digunakan untuk empat genus anggota famili Serranidae yaitu
Epinephelus, Variola, Plectropomus dan Cromileptes. Terdapat beberapa jenis ikan Kerapu yang
dibudidayakan di Indonesia, salah satunya yang paling diminati adalah ikan kerapu bebek atau tikus
(Cromileptes altivelis). Ikan kerapu bebek merupakan jenis ikan yang memiliki harga jual paling tinggi
(Aslianti et al., 2003).

2.1.1. Taksonomi dan Morfologi

Menurut Weber dan Beofort (1940, dalam Ahmad dan Wiyanto 1991), klasifikasi ikan kerapu bebek
adalah sebagai berikut:

Phyllum : Chordata

Subphylum : Vertebrata

Class : Osteichyes

Subclass : Actinopterigi

Ordo : Percomorphi

Subordo : Percoidea

Family : Serranidae

Subfamili : Epinephihelinae

Genus : Cromileptes

Spesies : Cromileptes altivelis 6

Ikan kerapu bebek mempunyai ciri-ciri morfologi sirip punggung dengan 10 duri keras dan 18 -19 duri
lunak, sirip perut dengan 3 duri keras dan 10 duri lunak, sirip ekor dengan 1 duri keras dan 70 duri lunak.
Panjang total 3,3 - 3,8 kali tingginya, panjang kepala seperempat panjang total, leher bagian atas cekung
dan semakin tua semakin cekung, mata seperenam kepala, sirip punggung semakin kebelakang semakin
melebar, warna putih kadang kecoklatan dengan totol hitam pada badan, kepala dan sirip (Weber and
Beoford, 1940; Ahmad dan Wiyanto, 1991).
Menurut Heemstra and Randall (1993) dalam Evalawati dkk. (2001) seluruh permukaan tubuh kerapu
bebek berwarna putih keabuan, berbintik bulat hitam dilengkapi sirip renang berbentuk melebar serta
moncong kepala lancip menyerupai Bebek atau Tikus. Morfologi dari ikan kerapu bebek dapat dilihat
pada Gambar 2.

Gambar 2. Ikan Kerapu Bebek (BBPBL Lampung, 2001)

2.1.2. Habitat dan Penyebaran

Ikan kerapu tersebar luas dari wilayah Asia Pasifik termasuk Laut Merah, tetapi lebih terkenal dari teluk
Persia, Hawai, atau Polinesia dan hampir seluruh perairan pulau tropis Hindia dan Samudera Pasifik
Barat dari Pantai Timur Afrika 7

sampai dengan Mozambika. Ikan kerapu bebek di Indonesia banyak terdapat di daerah perairan Pulau
Sumatera, Jawa, Sulawesi, Pulau Buru dan Ambon dengan salah satu indikator adanya kerapu di daerah
berkarang. Siklus hidup kerapu Tikus muda hidup diperairan karang pantai dengan kedalaman 0,5 - 3 m.
Kerapu Tikus muda dan larva banyak terdapat di perairan pantai dekat muara sungai dengan dasar
perairan berupa pasir berkarang yang banyak ditumbuhi padang lamun. Kerapu dewasa bermigrasi ke
perairan yang lebih dalam antara 7 - 40 m, biasanya perpindahan berlangsung pada siang dan sore hari.
Telur dan larva bersifat pelagis sedangkan kerapu muda hingga dewasa bersifat demersal (Setianto,
2011).

Menurut Kordi (2001), suhu yang ideal bagi kehidupan ikan kerapu tikus adalah 27 - 32oC, pH 7.6 - 8.0,
salinitas 30 - 35 ppt, oksigen terlarut optimal tidak boleh kurang dari 4 mg/l. Parameter ekologis yang
cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu yaitu pada kisaran suhu 24 - 31°C, salinitas antara 30 - 33 ppt,
kandungan oksigen terlarut lebih besar dari 3,5 ppm dan pH antara 7,8 - 8,0 (Departemen Pertanian,
1999).

2.2. Keramba Jaring Apung (KJA)

Keramba jaring apung (cageculture) adalah sistem budidaya dalam wadah berupa jaring yang
mengapung dengan bantuan pelampung dan ditempatkan di perairan seperti danau, waduk, laut, selat,
sungai dan teluk. Keramba jaring apung ditempatkan dengan kedalaman perairan lebih dari 2 meter.
Berbagai komoditi perikanan dapat dibudidayakan pada media ini, terutama kegiatan pembesaran dan
pendederan (Rochdianto, 2005).

Menurut Sunyoto (1994), ada beberapa keuntungan yang dimiliki metode KJA, yaitu tingginya padat
penebaran, jumlah dan mutu air yang selalu memadai, 8

tidak diperlukannya pengelolaan tanah, mudahnya pengendalian gangguan pemangsa, dan mudahnya
pemanenan. Agar budidaya di KJA berhasil maka pemasangan KJA tidak dilakukan di sembarang tempat
dan harus dipilih lokasi yang memenuhi aspek teknis dan sosial ekonomis. Persyaratan lokasi untuk
membuat dan meletakan keramba jaring apung (KJA) adalah sebagai berikut:

a. Bebas dari faktor resiko, yaitu:


Gangguan alam (badai dan gelombang besar).

Adanya predator (hewan buas laut dan burung laut).

Pencemaran (limbah industri, pertanian dan rumah tangga).

Konflik pengguna (lalu-lintas kapal umum dan kapal tanker).

b. Bebas dari faktor kenyamanan, lokasi yang dekat dengan jalan besar, pasar, pelelangan ikan,
pelabuhan dan lain-lain.

c. Memiliki persyaratan kondisi hidrografi, yaitu:

Kedalaman air > 5 m

Kadar garam 20 - 35 ppt

Oksigen terlarut 3 - 7 ppm

Kecepatan arus 0,1 - 0,5 meter/detik

Tinggi air pasang 0,5 - 1,5 meter

pH 6 - 8,5

Suhu 27 - 32 oC

d. Faktor pendukung lainnya seperti sumber pakan, tenaga kerja, dan ketersediaan benih merupakan
syarat-syarat yang harus dipenuhi.

2.3. Kualitas Air

Kualitas air sangat berperan penting untuk kelangsungan budidaya perikanan, sehingga sebelum
melakukan kegiatan budidaya sebaiknya kualitas air di perairan tersebut di periksa terlebih dahulu
dengan cara mengambil datanya, kemudian dibandingkan apakah data tersebut mendukung untuk
dilaksanakannya budidaya atau sebaliknya. Adapun data parameter yang bisa diambil terbagi menjadi 3
jenis parameter utama, yaitu parameter fisika, kimia dan biologi.

2.3.1. Parameter Fisika

a. Kedalaman Perairan

Menurut Wibisono (2005) kedalaman suatu perairan didasari pada relief dasar perairan tersebut.
Perairan yang dangkal kecepatan arusnya relatif cukup besar dibandingkan dengan kecepatan arus pada
daerah yang lebih dalam. Semakin dangkal perairan semakin dipengaruhi oleh pasang surut, yang mana
daerah yang dipengaruhi oleh pasang surut mempunyai tingkat kekeruhan yang tinggi. Kedalaman
perairan berpengaruh terhadap jumlah dan jenis organisme yang mendiaminya, penetrasi cahaya, dan
penyebaran plankton.

Beberapa kultivan seperti rumput laut membutuhkan perairan yang tidak terlalu dalam dibandingkan
dengan budidaya ikan kerapu dan tiram mutiara. Ikan kerapu sangat tergantung dari pakan buatan
(artificial food). Akumulasi yang terjadi berupa proses dekomposisi dari sisa pakan yang menghasilkan
senyawa organik. Kedalaman yang dianjurkan adalah berkisar 5 - 25 meter (DKP, 2002). Kedalaman yang
terlalu dangkal (< 5 meter) dapat mempengaruhi kualitas air dari sisa kotoran ikan yang membusuk dan
di perairan yang terlalu dangkal sering terjadi serangan ikan buntal yang merusak jaring. Kedalaman
lebih dari 25 meter 10

membutuhkan tali jangkar yang terlalu panjang. Perairan yang curam dan dalam sangat menyulitkan
untuk penempatan keramba jaring apung, terutama untuk menentukan panjang jangkar yang
dibutuhkan (BBL Lampung, 2001).

b. Kecerahan

Kemampuan sinar matahari pada kondisi cerah dapat diabsorbsi sebanyak 1% pada kedalaman 100
meter dan untuk perairan yang keruh hanya mencapai kedalaman 10 - 30 meter dan 3 meter pada
perairan estuari (Brotowidjoyo et al., 1995). Penetrasi cahaya menjadi rendah apabila tingginya
kandungan partikel tersuspensi di perairan dekat pantai, akibat aktivitas pasang surut dan juga tingkat
kedalaman (Sastrawijaya, 2000). Kecerahan perairan yang diperbolehkan dalam budidaya perikanan
berkisar antara 5 - 10 meter (Wibisono, 2005).

c. Suhu

Secara umum suhu perairan nusantara mempunyai perubahan suhu baik harian maupun tahunan,
biasanya berkisar antara 27 - 32 ºC dan ini tidak berpengaruh terhadap kegiatan budidaya. Pada kondisi
tertentu, suhu permukaan perairan dapat mencapai 35ºC atau lebih besar. Perubahan suhu
mempengaruhi tingkat kesesuaian perairan sebagai habitat organisme akuatik (Effendi, 2003). Setiap
organisme akuatik mempunyai batas kisaran suhu maksimum dan minimum, yaitu 27 - 29 °C (Evalawati
et al., 2001).

d. Kecepatan Arus

Arus di laut disebabkan oleh perbedaan densitas masa air laut, tiupan angin terus menerus diatas
permukaan laut dan pasang - surut terutama di daerah pantai (Satriadi dan Widada, 2004). Pasang surut
juga dapat menggantikan air 11

secara total dan terus menerus sehingga perairan terhindar dari pencemaran (Winanto, 2004). Arus
mempunyai pengaruh positif dan negatif bagi kehidupan biota perairan. Arus dapat menyebabkan
habisnya jaringan jasad hidup akibat pengikisan atau teraduknya substrat dasar berlumpur yang
berakibat pada kekeruhan sehingga terhambatnya fotosintesis. Arus bermanfaat dalam menyuplai
makanan, kelarutan oksigen, penyebaran plankton dan penghilangan CO2 maupun sisa-sisa produk biota
laut (Beverige, 1987; Romimohtarto, 2003). Menurut Sunyoto (1994) kecepatan arus yang baik untuk
budidaya kerapu di keramba jaring apung adalah berkisar 20 - 50 cm/detik.

2.3.2. Parameter Kimia

a. Oksigen Terlarut (DO)

Pada perairan yang terbuka, oksigen terlarut berada pada kondisi alami, sehingga jarang dijumpai
kondisi perairan terbuka yang miskin oksigen (Brotowidjoyo et al., 1995). Kadar oksigen terlarut juga
berfluktuasi secara harian, musiman, pencampuran masa air, pergerakan masa air, aktifitas fotosintesis,
respirasi dan limbah yang masuk ke badan air (Effendi, 2003).

Penurunan kadar oksigen terlarut dalam air dapat menghambat aktivitas ikan. Oksigen diperlukan untuk
pembakaran dalam tubuh. Keberadaan oksigen di

perairan sangat penting terkait dengan berbagai proses kimia biologi perairan. Oksigen diperlukan
dalam proses oksidasi berbagai senyawa kimia dan respirasi berbagai organisme perairan (Dahuri et al.,
2004). Kadar oksigen terlarut dan pengaruhnya pada kelangsungan hidup ikan dapat dilihat pada Tabel
1. 12

Tabel 1. Kadar Oksigen Terlarut dan Pengaruh Terhadap


Pengaruh Pada Kelangsungan Hidup Ikan
Kadar Oksigen Kelangsungan Hidup Ikan

Terlarut (mg/l)

< 0.3 Hanya sedikit yang bertahan

0.3 – 1.0 Akan menyebabkan kematian pada ikan


jika berlangsung lama.

1.0 – 5.0 Ikan akan hidup pada kisaran ini tetapi


pertumbuhannya akan lambat, bila
berlangsung lama.

> 5.0 Pada kisaran ini, hampir semua


organisme akuatik menyukainya.

Anda mungkin juga menyukai