BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K)
Pertolongan pertama pada kecelakaan atau yang disingkat P3K adalah
pertolongan sementara yang diberikan kepada seseorang yang menderita sakit
atau kecelakaan sebelum mendapatkan pertolongan dari dokter (Mashoed dan
Djonet Sutatmo,1979:99). Sedangkan menurut Aip Syarifuddin dan Muhadi
(1991:274) pertolongan pertama pada kecelakaan adalah pertolongan yang
segera diberikan keada korban kecelakaan sebelum mendapatkan pertolongan
dokter. Berdasarkan berbagai pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa
pertolongan pertama pada kecelakaan adalah suatu bentuk pertolongan
sementara terhadap korban yang dilakukan secepat dan setepat mungkin
sebelum mendapatkan pertolongan dari dokter agar korban tidak menjadi lebih
parah.
Tujuan Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K), yaitu:
a. Menyelamatkan jiwa penderita.
b. Mencegah cacat.
c. Memberikan rasa nyaman dan menunjang proses penyembuhan.
Ada dua bentuk persetujuan atau izin bagi penolong untuk melakukan
tindakan pertolongan, yaitu:
a. Persetujuan yang dianggap diberikan atau tersirat (Implied Consent)
Persetujuan yang umumnya diberikan dalam keadaan penderita sadar
(normal) yaitu penderita memberikan isyarat yang mengizinkan tindakan
pertolongan dilakukan atas dirinya, dan dalam keadaan gawat darurat.
b. Persetujuan yang dinyatakan (Expressed Consent)
Persetujuan yang dinyatakan secara lisaan atau secara tertulis oleh penderita
itu sendiri.
Kewajiban pelaku pertolongan pertama, yaitu:
a. Menjaga keselamatan diri, anggota, penderita, dan orang sekitarnya.
b. Dapat menjangkau penderita.
5
3) B (breathing support)
Cek napas korban selama 10 detik dengan : Look Feel Listen
(Letakkan pipi penolong di depan mulut korban, sambil rasakan dan lihat
ke arah dada pasien apakah naik turun (ekspansinya ada). Kalau tidak
ada napas berikan mouth to mouth ventilation dengan cara tutup
hidung korban dan berikan napas dua kali dengan jarak antaranya 5
detik, lakukan sampai terlihat rongga dada pasien ekspansi/naik. Ingat
posisi pasien masih hiperfleksi (head till chin lift). Setelah itu kita
periksa denyut nadi di arteri karotis sebelah kanan kiri dekat jakun ( 2-
3 jari) selama 10 detik rasakan. Kompresi dilakukan dengan kedalaman
4 5 cm dengan 30 kompresi (dulu 15, yang terbaru 30 kompresi). Mau
1 atau 2 penolong semua 30 kompresi per siklus. Ini dilakukan selama 5
siklus (kurang lebih 1 menit menjadi 100 kompresi). Setelah 5 siklus
tadi, cek kembali denyut nadi karotis sampai bantuan Ambulance datang,
atau ada respon pasien, atau pasien terlihat mati biologis tanda-tanda
rigor mortis.
Melakukan RJP yang baik bukan jaminan penderita akan selamat, tetapi
ada hal-hal yang dapat dipantau untuk menentukan keberhasilan tindakan
maupun pemulihan sistem pada korban diantaranya:
a) Saat melakukan pijatan jantung luar suruh seseorang menilai nadi
karotis, bila ada denyut maka berarti tekanan kita cukup baik.
b) Gerakan dada terlihat naik turun dengan baik pada saat memberikan
bantuan pernafasan.
c) Reaksi pupil / manik mata mungkin akan kembali normal.
d) Warna kulit korban akan berangsur-angsur membaik.
13
3. Pembidaian
a. Definisi Pembidaian
Pembidaian adalah tindakan memfixasi/mengimobilisasi bagian tubuh yang
mengalami cedera, dengan menggunakan benda yang bersifat kaku maupun
fleksibel sebagai fixator/imobilisator.
b. Jenis Pembidaian
1) Pembidaian sebagai tindakan pertolongan sementara.
a) Dilakukan di tempat cedera sebelum penderita dibawa ke rumah
sakit.
b) Bahan untuk bidai bersifat sederhana dan apa adanya
c) Bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri dan menghindarkan
kerusakan yang lebih berat
15
e. Indikasi Pembidaian
1) Pembidaian sebaiknya dilakukan jika didapatkan :
a) Adanya fraktur, baik terbuka maupun tertutup
b) Adanya kecurigaan terjadinya fraktur
c) Dislokasi persendian
2) Kecurigaan adanya fraktur bisa dimunculkan jika pada salah satu bagian
tubuh ditemukan :
a) Pasien merasakan tulangnya terasa patah atau mendengar bunyi
krek.
b) Ekstremitas yang cedera lebih pendek dari yang sehat, atau
mengalami angulasi abnormal.
c) Pasien tidak mampu menggerakkan ekstremitas yang cedera.
d) Posisi ekstremitas yang abnormal.
e) Memar.
f) Bengkak.
g) Perubahan bentuk.
h) Nyeri gerak aktif dan pasif.
i) Nyeri sumbu.
j) Pasien merasakan sensasi seperti jeruji ketika menggerakkan
ekstremitas yang mengalami cedera (Krepitasi).
k) Fungsiolesa .
l) Perdarahan bisa ada atau tidak.
m) Hilangnya denyut nadi atau rasa raba pada distal lokasi cedera.
n) Kram otot di sekitar lokasi cedera
o) Jika mengalami keraguan apakah terjadi fraktur atau tidak, maka
perlakukanlah pasien seperti orang yang mengalami fraktur.
f. Kontra Indikasi Pembidaian
Pembidaian baru boleh dilaksanakan jika kondisi saluran napas, pernapasan
dan sirkulasi penderita sudah distabilisasi. Jika terdapat gangguan sirkulasi
dan atau gangguan persyarafan yang berat pada distal daerah fraktur, jika ada
resiko memperlambat sampainya penderita ke rumah sakit, sebaiknya
pembidaian tidak perlu dilakukan.
g. Komplikasi Pembidaian
Jika dilakukan tidak sesuai dengan standar tindakan, beberapa hal berikut
bisa ditimbulkan oleh tindakan pembidaian :
1) Cedera pembuluh darah, saraf atau jaringan lain di sekitar fraktur oleh
ujung fragmen fraktur, jika dilakukan upaya meluruskan atau manipulasi
lainnya pada bagian tubuh yang mengalami fraktur saat memasang bidai.
2) Gangguan sirkulasi atau saraf akibat pembidaian yang terlalu ketat.
17
Tulang klavikula
Terapi definitif untuk fraktur klavikula biasanya dilakukan secara
konservatif yaitu dengan ransel bandage (lihat gambar 2).
Pembebatan yang efektif akan berfungsi untuk traksi dan fiksasi,
sehingga kedua ujung fragmen fraktur bisa bertemu kembali pada
posisi yang seanatomis mungkin, sehingga memungkinkan
penyembuhan fraktur dengan hasil yang cukup baik.
Tulang iga
Perhatian utama pada kondisi suspect fraktur costae adalah upaya
untuk mencegah bagian patahan tulang agar tidak melukai paru.
Upaya terbaik yang bisa dilakukan sebagai pertolongan pertama
di lapangan sebelum pasien dibawa dalam perjalanan ke rumah
sakit adalah memasang bantalan dan balutan lembut pada dinding
dada, memasang sling untuk merekatkan lengan pada sisi dada
20
B. Perundang-undangan
1. Pasal 531 KUHP Yang Menyebutkan Bahwa Barangsiapa menyaksikan
sendiri ada orang di dalam keadaan bahaya maut, lalai memberikan atau
mengadakan pertolongan kepadanya sedang pertolongan itu dapat
diberikannya atau diadakannya dengan tidak akan menguatirkan, bahwa ia
sendiri atau orang lain akan kena bahaya dihukum kurungan selama-
lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-. Jika
orang yang perlu ditolong itu mati, diancam dengan : KUHP 45, 165, 187,
304s, 478, 535, 566.
2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia
No:Per.15/Men/VIII/2008 tentang Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan Di
Tempat Kerja.
3. Bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 3 ayat (1) huruf e Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja perlu menetapkan
ketentuan mengenai pertolongan pertama pada kecelakaan di tempat kerja.
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.01/MEN/I/2007 tentang Pedoman Pemberian Penghargaan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
5. Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Pasal 86 tentang Ketenagakerjaan.
Pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas
keselamatan dan kesehatan kerja.
6. Permenaker No. Per-02/MEN/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga
Kerja dalam Penyelenggaraan Keselamatan Kerja. Pasal 1.