Anda di halaman 1dari 10

I.

PENDAHULUAN
Obat-obatan golongan amphetamine merupakan substansi urutan kedua yang
digunakan secara luas setelah cannabis di Amerika Serikat, Asia, Inggris,
Australia, dan beberapa negara di Eropa Barat. Metamphetamine merupakan
turunan amphetamine yang lebih banyak digunakan dalam beberapa tahun terakhir
ini. Methamphetamine adalah bentuk poten dari amphetamine. Methamphetamine
digunakan secara inhalasi, dihisap, atau diinjeksikan secara intravena. Efek
fisiologik bertahan hingga berjam-jam dan berefek sangat kuat.[1]
Tipe amphetamine terbanyak yang tersedia dan digunakan di Amerika Serikat
adalah dextroamphetamine (Dexedrine), methamphetamine (Desoxyn), campuran
garam dextroamphetamine-amphetamine (Adderall), dan metilphenidate yang
merupakan senyawa mirip amphetamine (Ritalin). Amphetamine termasuk dalam
golongan zat analeptik, simpatomimetik, stimulan dan psikostimulan.
Amphetamine tipikal digunakan untuk meningkatkan stamina dan menimbulkan
perasaan euforia. Amphetamine merupakan obat yang membuat ketergantungan,
meskipun tidak seberat kokain. Substansi-substansi yang mirip dengan
amphetamine seperti efedrin, pseudoefedrin dan fenilpropanolamin (PPA) juga
mampu menimbulkan efek seperti yang disebabkan oleh amphetamine. [1]
Bukti terbaru menunjukkan bahwa paparan oleh methamphetamine bersifat
neurotoksik dan penelitian neuroimaging membuktikan bahwa penggunaan jangka
panjang methamphetamine pada manusia menyebabkan kerusakan neuron yang
luas. Perubahan fisiologik ini biasanya berhubungan dengan bentuk tetap dari
gangguan kognitif, seperti gangguan dalam memperhatikan, ingatan, dan fungsi
ekskutif. [2]
.
II. CRAVING TERHADAP METHAMPHETAMINE
A. DEFINISI
Penggunaan zat psikoaktif menyebabkan perubahan mood, perilaku,
atau kedua-duanya. Penggunaan ini dapat menyebabkan intoksikasi,
penyalahgunaan, dan menjadi ketergantungan terhadap zat tersebut.[3]
Pengertian dari penyalahgunaan obat dan ketergantungan didasarkan
pada sindrom ketergantungan menurut Griffith dan Edwards.
Penyalahgunaan zat adalah pola maladaptif dari penggunaan zat yang
menyebabkan terjadinya efek samping yang signifikan yang bermanifestasi

15
sebagai masalah psikososial, medis, dan masalah hukum atau menggunakan
zat tersebut secara berbahaya yang harus berulang dalam 12 bulan.
Penggunaan nikotin dan kafein tidak dapat menggunakan diagnosis ini
karena tidak menyebabkan masalah psikososial dan masalah hukum.[4]

Gambar 1. Kriteria Penyalahgunaan Zat (Diambil dari Kepustakaan 4)

Ketergantungan obat dideskripsikan sebagai kecanduan.


Ketergantungan obat adalah keadaan dimana seseorang secara fisiologik
menjadi tergantung pada suatu atau beberapa obat, dimana dibutuhkan dosis
yang lebih banyak dari obat untuk merasakan efek yang sama (toleransi), dan
akan mengalami efek sebaliknya ketika zat tersebut tidak dikonsumsi lagi
(keadaan putus zat). Toleransi dan keadaan putus zat merupakan reaksi
fisiologik terhadap zat yang dikonsumsi. Keadaan putus zat adalah sindrom
akibat pemberhentian atau pengurangan pada penggunaan zat yang
berkepanjangan. Hal ini menyebabkan kerusakan signifikan yang

16
berhubungan dengan ketergantungan terhadap zat tersebut. Sindrom ini
biasanya bertahan hingga dua minggu. [3, 4]

Gambar 2. Kriteria Ketergantungan Zat (Dikutip dari kepustakaan 3)

Sistem otak mengalami hipersensitisasi sebagai mekanisme balik


terhadap efek langsung maupun rangsangan tidak langsung dari obat-obatan
yang dikonsumsi. Hipersensitisasi ini menyebabkan craving atau pathologic
wanting. Craving adalah keinginan kuat untuk merasakan kembali efek dari
zat psikoaktif. Craving timbul akibat relaps setelah pemberhentian lama
penggunaan zat tersebut. Craving dulunya dikenal sebagai ketergantungan
fisiologik. [5]

17
Penyebab kecanduan terhadap suatu zat tergantung oleh faktor
biologik, psikologik, dan sosial. Predisposisi genetik termasuk sebagai faktor
biologik. Faktor psikologik berhubungan dengan adanya gangguan depresif
dan pencariaan sensasi yang timbul akibat penggunaan zat tersebut. Faktor
sosial seperti pengaruh keluarga berperan sebagai faktor yang menyebabkan
paparan awal terhadap obat-obatan tersebut. [4]

B. EPIDEMIOLOGI
Stimulan tipe amphetamin digunakan secara luas di seluruh dunia.
Amphetamine sulphate (benzedrine) pertama kali disintesis pada tahun 1887
dan pertama kali digunakan secara klinis pada tahun 1932 sebagai obat
inhaler untuk terapi kongesti nasal dan asma. Pada 1937, sediaan tablet
amphetamine sulphate diperkenalkan sebagai terapi narkolepsi,
parkinsonisme postensefalitis, depresi, dan letargi. Indikasi terbaru
penggunaan amphetamine yang telah disetujui oleh FDA (Food and Drug
Administration) hanya terbatas pada ADHD (Attention Deficit Hyperactivity
Disorders) dan narkolepsi, meskipun demikian amphetamine juga digunakan
sebagai terapi obesitas, depresi, distimia, sindrom kelelahan kronik, AIDS
(Acquired Immune Deficiency Syndrome), demensia, dan neurasthenia. [1]
Diperkirakan sekitar 3.4 sampai 20.7 juta pengguna amphetamine pada
Asia Timur dan Asia Tenggara, dimana sekitar 1,4% dari keseluruhannya
merupakan orang berusia 15-64 tahun. Pengguna methamphetamine
meningkat drastis di China dalam beberapa tahun terakhir, dimana pada
tahun 2001 terdapat 160.000 pengguna dan di tahun 2010 pengguna
amphetamine meningkat hingga 430.000 orang.[6]
Jumlah pengguna amphetamine di tiga belas daerah bagian di Amerika
Serikat adalah 55 per 100.000 penduduk. Penggunaan amphetamine terjadi di
semua kelompok sosial ekonomi dan meningkat pada orang kulit putih.
Karena amphetamine merupakan obat yang dapat diresepkan untuk indikasi
tertentu, amphetamine banyak disalahgunakan oleh banyak orang. Menurut
DSM-IV-TR, prevalensi ketergantungan dan penyalahgunaan amphetamine
sekitar 1.5% dimana rasio pria banding wanita sama. Penyalahgunaan
amphetamine berkaitan erat dengan terjadinya tindakan kriminal. [1]

18
C. GEJALA KLINIS
Pada orang yang sebelumnya belum pernah menggunakan
amphetamine, penggunaan amphetamine 5 mg mampu menimbulkan
terjadinya euforia dan menjadi lebih ramah. Dosis kecil amphetamine
mampu memperbaiki fokus perhatian dan meningkatkan kemampuan dalam
menulis, berbicara, dan mengerjakan tugas. Rasa lelah yang berkurang,
timbul anoreksia, dan peningkatan ambang batas nyeri juga dapat jumpai. [1]
Penggunaan dosis tinggi jangka panjang menyebabkan timbulnya efek
yang tidak diharapkan. Efek samping segera dari penggunaan dosis tinggi
methamphetamine yang timbul akibat pelepasan epinefrin dan norepinefrin
oleh kelenjar adrenal adalah peningkatan tekanan darah, hipertermia, stroke,
aritmia, kram perut, dan tremor otot, dan efek samping psikologikal negatif
akut termasuk kecemasan, insomnia, agresi, paranoid, dan halusinasi. [1, 2]
Penggunaan methamphetamine dapat menyebabkan masalah mental
seperti depresi, anxietas, dan psikosis. Gejala biasanya hilang ketika
penggunaan dihentikan atau diturunkan dosisnya, tetapi beberapa orang juga
dapat mengalami gejala yang lebih lama meskipun penggunaan zat tersebut
sudah dihentikan. [7]
Gejala psikotik yang muncul dapat bersifat subakut dan yang biasanya
berupa kemunduran dari aktivitas sehari-hari, pengekspresian dari pikiran
yang tidak wajar, gaya berbahasa yang tidak sewajarnya, ketakutan dan
paranoid, persepsi terhadap diri sendiri, orang lain, serta lingkungan yang
berubah, perasaan curiga dan perasaan mendapat ancaman, over-valued
ideas, dan ilusi. Sedangkan bentuk akut dari gangguan psikotik adalah
timbulnya gangguan berat pada seseorang dalam menilai realitas. Gejala
yang timbul termasuk halusinasi, delusi, gangguan proses pikir, gangguan
mood, dan perilaku yang bizzare. [7]
Depresi juga sering terjadi pada pengguna methamphetamine. Gejala
depresi seperti menarik diri dari lingkungan, pikiran negatif, perasaan sedih,
perasaan bersalah, pesimis, perubahan nafsu makan dapat menetap hingga
beberapa minggu atau bulan. Kecemasan dapat terjadi dalam berbagai
bentuk dan biasanya berupa kecemasan yang berlebihan. Bentuk lain dari
rasa cemas adalah agitasi, perasaan berdebar-debar, keringat berlebihan, sulit
bernafas, rasa sesak dan nyeri dada, rasa takut atau panik, dan gangguan

19
tidur. Biasanya gejala cemas tidak sampai pada tahap psikosis dan hanya
terdapat gangguan berpikir. [8]
Ketika terjadi keadaan putus zat dari suatu zat psikoaktif maka akan
terjadi reaksi negatif akibat penghentian penggunaan zat tersebut. Pada
keadaan putus zat, salah satu gejala yang muncul adalah craving. Craving
merupakan gejala umum yang dijumpai pada keadaan putus zat
amphetamine. Craving bersifat tidak konstan. Gejala craving biasanya lebih
berat pada kurang dari satu jam pertama. Craving biasanya dipicu oleh
munculnya ketidaknyamanan fisik maupun psikologik. Gejala craving
biasanya semakin hilang saat seseorang semakin lama sudah tidak
menggunakan zat tersebut. Gejala-gejala yang timbul saat sedang mengalami
craving dapat berupa gangguan kardiovaskular, sistem saraf pusat, dan
sistem respirasi. [3, 9]

III. HUBUNGAN OLAHRAGA TERHADAP CRAVING PADA


PENYALAHGUNAAN METHAMPHETAMINE
Aktivitas fisik adalah segala pergerakan tubuh yang menggunakan energi yang
dihasilkan oleh otot skeletal. Penggunaan energi tersebut dapat dinilai dalam
satuan kilokalori. Contoh aktivitas fisik dalam kehidupan sehari-hari adalah
kegiatan okupasional, olahraga, kegiatan membersihkan rumah, dan aktivitas
lainnya. [10]
Semua bentuk amphetamine secara cepat dapat menyebabkan peningkatan dan
mempertahankan kadar neurotransmitter, terutama dopamin yang berperan dalam
hal memori, perhatian, perilaku, dan timbulnya perasaan menyenangkan.
Penggunaan amphetamine secara reguler dan jangka panjang, menyebabkan
berkurangnya neurotransmitter sehingga terjadi penurunan berat badan, dehidrasi,
penurunan nafsu makan atau malnutrisi, masalah ginjal, perubahan mood
termasuk depresi dan anxietas, paranoid, gangguan tidur kronik, perubahan
struktur dan fungsi otak yang menyebabkan gangguan ingatan, berpikir, emosi,
gangguan untuk membuat keputusan, gangguan dalam menilai realita(psikosis)
dan ketergantungan terhadap methaphetamine. [7]
Bukti terbaru menunjukkan bahwa paparan oleh methamphetamine bersifat
neurotoksik dan penelitian neuroimaging membuktikan bahwa penggunaan jangka

20
panjang methamphetamine pada manusia menyebabkan kerusakan neural yang
luas. [2]
Methamphetamine merupakan obat psikostimulan yang berperan pada sistem
saraf pusat melalui mekanisme non eksositotik sehingga terjadi pelepasan
neurotransmitter monoamin seperti dopamin, norepinefrin, dan serotonin.
Methamphetamine menimbulkan berbagai efek farmokologik melalui proses
molekuler yang berbeda. Mekanisme utama golongan obat amphetamine adalah
meningkatkan kadar monoamin (terutama dopamin), redistribusi katekolamin dari
vesikel sinaptik ke sitosol, dan transpor balik dari neurotransmitter melalui
transporter membran plasma. Amphetamine juga memblok aktivitas dari
transporter monoamin dan mengurangi ekspresi transporter dopamin pada
permukaan sel. Amphetamine juga meningkatkan kadar monoamin sitosolik
dengan menghambat aktivitas Monoamine Oxidase (MAO) dan meningkatkan
aktivitas dan ekspresi dari enzim yang mensintesis dopamin yaitu tirosin
hidroksilase. Akibat kombinasi mekanisme tersebut, amphetamine berperan
sebagai agen pelepas monoamin potensi tinggi. Methamphetamine memiliki
waktu paruh yang lebih besar dibandingkan psikostimulan lainnya seperti kokain,
yang menyebabkan efek psikologik dan perilaku yang lebih lama dibandingkan
psikostimulan lainnya. [2]
Penyalahgunaan obat-obatan psikostimulan menyebabkan defisit pada fungsi
korteks prefrontal, sedangkan aktivitas fisik meningkatkan kemampuan kognisi
dan memori korteks prefrontal. Bagian dorsolateral dari korteks prefrontal
berperan dalam fungsi kognitif yang kompleks seperti ingatan. Sedangkan daerah
ACC(Anterior Cingulate Cortex) berperan dalam mengatur perilaku emosi
melalui modulasi emosi autonom atau visceral. [11, 12]
Penyalahgunaan methamphetamine menyebabkan cedera struktural,
morfologik, fisiologik pada korteks prefrontal dan menurunkan gliogenesis
korteks medial prekorteks. Penurunan gliogenesis pada otak menyebabkan rasa
ingin menggunakan obat tersebut secara kompulsif dan defisit perilaku kortikal
frontal yang berhubungan dengan penggunaan psikostimulan. Aktivitas fisik
merupakan pilihan terapi baru yang menjanjikan pada penyalahgunaan dan
ketergantungan obat-obatan stimulan. Efek aktivitas fisik pada neurotransmitter
adalah perubahan sintesis dan metabolisme dalam sistem dopaminergik,

21
noradrenergik dan serotonergik pusat, dimana semuanya terlibat dalam
menimbulkan kecanduan.[13]
Olahraga meningkatkan vaskularisasi pada korteks motorik pada penelitian
pada tikus dewasa serta meningkatkan fungsi normal dari korteks frontal dan pada
pasien yang mengalami gangguan kognisi. Olahraga juga meningkatkan
proliferasi dan kemampuan bertahan dari mikroglia pada ACC(Anterior Cingulate
Cortex) dari korteks medial prefrontal. Olahraga juga meningkatkan gliogenesis
(astrosit and oligodendrosit) tanpa mempengaruhi kematian sel. Olahraga juga
mampu menginduksi timbulnya lingkungan yang pro-proliferatif sehingga
menyebabkan perubahan vaskularisasi dan peningkatan ekspresi dari faktor
pertumbuhan endogen yang memicu timbulnya proliferasi.[11]
Menurut penelitian epidemiologik menunjukkan bahwa seseorang yang
melakukan olahraga secara reguler memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk
mengalami penyalahgunaan obat-obatan terlarang. Olahraga mampu
menyebabkan berkurangnya hal-hal yang memicu penggunaan obat-obatan
tersebut. Dalam hal ini olahraga berperan sebagai pilihan alternatif dan
menghasilkan neuroadaptasi fungsional yang mempengaruhi kerentanan seseorang
untuk menggunakan zat-zat tersebut. Olahraga juga menyebabkan penurunan
pelepasan norepinefrin pada korteks frontal yang berperan untuk menurunkan efek
stres yang mampu memicu penggunaan kembali obat-obatan terlarang. [14]
Paparan berulang akibat dari penyalahgunaan obat menyebabkan penurunan
kadar basal glutamat dan juga meningkatkan respon glutamat terhadap
penggunaan obat-obatan. Perubahan dalam signal glutamat ini berperan
memediasi keadaan craving dan relaps akibat paparan obat dalam waktu yang
lama. Sebagai contoh keadaan iskemia yang merupakan hasil akibat pelepasan
glutamat yang berlebihan dan stimulasi yang berlebihan terhadap reseptor
glutamat, olahraga mampu menormalkan signal glutamat dan menghalangi
peningkatan glutamat akibat terjadi iskemik. Paparan kronik terhadap obat-obatan
memiliki efek yang sama dengan terjadinya iskemik pada proses signal glutamat,
sehingga olahraga mampu mengurangi perilaku craving dan menurunkan respon
dari glutamat. [14]

22
IV. KESIMPULAN
Craving adalah keinginan kuat untuk merasakan kembali efek dari zat
psikoaktif. Craving timbul akibat relaps setelah lama berhenti menggunakan zat
tersebut. Craving dulunya dikenal sebagai ketergantungan fisiologik. Craving
merupakan gejala umum yang dijumpai pada keadaan putus zat.[5]
Salah satu golongan obat yang sering disalahgunakan adalah golongan
amphetamine. Obat ini mampu menimbulkan ketergantungan sehingga mampu
menimbulkan keadaan putus zat dan menimbulkan gejala craving. [1, 3]
Aktivitas fisik merupakan pilihan terapi baru yang menjanjikan pada
penyalahgunaan dan ketergantungan obat-obatan stimulan. Seseorang yang
melakukan olahraga secara reguler memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk
mengalami penyalahgunaan obat-obatan terlarang. Olahraga mampu
menyebabkan berkurangnya hal-hal yang memicu penggunaan obat-obatan
tersebut. Olahraga menyebabkan penurunan pelepasan norepinefrin pada korteks
frontal yang berperan untuk menurunkan efek stres yang mampu memicu
penggunaan kembali obat-obatan terlarang dan juga olahraga mampu mengurangi
perilaku craving dengan mempengaruhi perubahan signal dari glutamat akibat
paparan obat dalam waktu yang lama.[14]
Selain olahraga ada juga terapi lain untuk mengatasi ketergantungan
amphetamine yang timbul akibat penyalahgunaan obat tersebut. Terapi tersebut
berupa terapi farmakologik. Terapi farmakologik yang digunakan adalah
naltrexone, buproprion, dan modafinil. Menurut hasil penelitian, dengan
penggunaan obat-obatan tersebut ditemukan penurunan penggunaan
methamphetamine. [15]

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock, B.J., Substance and Related Disorders, in Kaplan & Sadock's Synopsis of
Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry2007, Lippincott Williams &
Wilkins: New York. p.408-413.
2. Barr, A.M., The Need for Speed: An Update on Methamphetamine Addiction. Journal
of Psychiatry Neuroscience, 2006. 31(5): p. 301-13.
3. Durand, V.M., Substance-Related and Impulse-Control Disorders, in Essensials of
Abnormal Psychology2013, Wadsworth Cengage Learning: USA. p. 371-5.
4. Kay, J., General Approaches to Substance and Polydrug Use Disorders, in Essensials
of Psychiatry2006, John Wiley & Sons Ltd: England. p. 409-11.
5. Cam, J., Mechanisms of Disease :Drug Addiction. New England Journal of Medicine,
2003. 349(10): p. 975-986.
6. Shen, W., Negative Moods Correlate with Craving in Female Methamphetamine
Users Enrolled in Compulsory Detoxification. Substance Abuse Treatment,
Prevention, and Policy 2012. 7(44): p. 1-8.
7. N, J.L.a.L. Treatment Approaches For Users of Methamphetamine. 2008. 3-4.
8. Jett, K.P., Methamphetamine Treatment: A Practitioners Reference, 2007, California
Department of Alcohol and Drug Programs: Los Angeles. p. 5;21-3.
9. Berigan, T.R., Treatment of Methamphetamine Cravings with Bupropion: A Case
Report. Journal of Clinal Psychiatry, 2001. 3(6): p. 267-268.
10. Caspersen, C.J., Physical Activity, Exercise, and Physical Fitness: Definitions and
Distinctions for Health-Related Research. Public Health Journal, 1985. 100(2): p.
126-30.
11. Mandyam, C.D., Methamphetamine Self-Administration and Voluntary Exercise Have
Opposing Effects on Medial Prefrontal Cortex Gliogenesis. Neuroscience Journal,
2007. 27(42): p. 11442-50.
12. Geday, J., Functions of the Medial Frontal Cortex, in Faculty of Health
Sciences2009, Aarhus University: Denmark. p. 8.
13. Trivedi, M.H., Stimulant Reduction Intervention using Dosed Exercise (STRIDE) -
CTN 0037: Study protocol for a randomized controlled trial. Trials Journal, 2011.
12(1): p. 1-15.
14. MarkA.Smith, Exercise as A Potential Treatment for Drug Abuse: Evidence From
Preclinical Studies. Frontier in Psychiatry, 2012. 2(82): p. 1-10.
15. Karila, L., Pharmacological Approaches to Methamphetamine Dependence: a
Focused Review. British Journal of Clinical Pharmacology, 2009. 69(6): p. 578-92.

24

Anda mungkin juga menyukai