Anda di halaman 1dari 10

Refarat Kepada yth :

Divisi Infeksi

MULTIDRUG RESISTEN TYFOID FEVER

Penyaji : Nur Arafah


Pembimbing : dr. Hendri Wijaya, M. Ked (Ped) SpA
Supervisor : Prof. DR.dr. H. Syahril Pasaribu,DTM &H,MSc (CTM),
Sp.A(K)
dr.Ayodhia Pitaloka, M. Ked (Ped) SpA PhD
(Clin Trop Med)
dr. Hendri Wijaya, M. Ked (Ped) SpA
Hari/tgl : Jumat / 6 Oktober 2017

Pendahuluan
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella enterika serovar typhi (S. typhi), bakteri Gram-
negatif. Penyakit ini terus menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia yang diderita oleh
lebih dari 21,6 juta orang dan setidaknya menyebabkan 250.000 kematian setiap tahun. Sekitar
80% kasus kematian karena penyakit tersebut terjadi di Asia,sisanya terjadi terutama di Afrika
dan Amerika Latin. Di negara berkembang seperti India, penyakit ini ditemukan sekitar 102
sampai 2.219 kasus per 100.000 populasi penduduk.1

Demam tifoid merupakan demam akut yang khas yang dikenal sebagai penyebab utama
morbiditas. Di negara-negara berkembang kejadian demam tifoid sekitar 1100 kasus per
100.000 populasi, ini merupakan masalah kesehatan yang sangat serius. Hal yang membuat
masalah ini menjadi lebih rumit yaitu bahwa dalam 2 dekade terakhir ini ditemukan strain
multidrug resistant S.Typhy yang sudah menyebar keseluruh dunia sehingga tingkat morbiditas
menjadi lebih tinggi.2

Hasil dari beberapa penelitian di daerah endemik dan daerah wabah demam tifoid
menunjukkan bahwa sekitar seperempat sampai sepertiga kasus demam tifoid pada anak terjadi
pada anak usia lima tahun.1

1
Berbagai gejala klinis demam tifoid diketahui pada kelompok usia anak-anak, seperti
septikemia pada neonatus, diare pada bayi, dan infeksi saluran pernapasan bagian bawah pada
anak yang lebih tua. Pada anak yang lebih tua gejala klinis tidak begitu spesifik diantaranya
seperti abses limpa, abses hati,meningitis, kolesistitis, korea, osteomielitis, peritonitis, dan
bahkan psikosis.1

Tujuan dari penulisan Refarat ini adalah untuk mengetahui definisi,gejala klinis
komplikasi dan tata laksana pada anak yang menderita multi drug resistant demam tifoid.

Definisi

Demam tifoid multidrug resisten (MDRTF) didefinisikan sebagai demam tifoid yang
disebabkan oleh strain S. Typhi yang kebal terhadap ketiga jenis obat lini pertama yang
direkomendasikan untuk pengobatan demam tifoid, yaitu; kloramfenikol, ampisilin, dan
kotrimoksazol (TMP-SMX). 2

Sejarah kejadian MDRTF pada anak-anak

Pada tahun 1948, kloramfenikol ditemukan sebagai obat yang paling efektif dan umum
digunakan untuk mengobati demam tifoid. Dalam dua tahun, karena penggunaan kloramfenicol
secara merajalela dan sembarangan, isolat S. typhi yang resisten terhadap kloramfenikol
dilaporkan di Inggris, namun, baru pada tahun 1972 Strain S. typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol menjadi masalah utama, dengan wabah dilaporkan terjadi di Meksiko dan India
pada tahun 1972, berikutnya di Vietnam satu tahun setelahnya, di Korea pada tahun 1977.
Strain ini selain kebal terhadap kloramfenikol juga tahan terhadap ampisilin.1,2

Kotrimoksazol ditetapkan sebagai obat alternatif yang efektif untuk mengobati resisten strain
ini sampai 1975, namun setelahnya resistensi terhadap obat tersebut dilaporkan di Perancis.
Selanjutnya, pada akhir tahun 1980-an, strain S. Typhi yang resisten terhadap ketiga obat lini
pertama ditemukan.1,2
Epidemi MDRTF di akhir 1980-an memaksa dokter anak di seluruh dunia
menggunakan ciprofloxacin, meski data keamanannya untuk digunakan pada anak masih
kekurangan. Untungnya, penelitian lanjutan yang dilakukan pada anak-anak menunjukkan
bahwa obat ini aman, efektif, dan lebih murah dengan pola sensitivitas sangat tinggi. Sehingga,

2
fluoroquinolon menjadi obat pilihan untuk pengobatan MDRTF di seluruh dunia. Namun, hal
ini segera diikuti oleh laporan dimana ditemukan isolat S. Typhi fresisten terhadap
fluoroquinolon, dengan kasus pertama dilaporkan pada 1992 di Inggris. Kemudian, kasus
serupa dilaporkan di negara-negara lainnya dengan kasus-kasus yang berkembang menjadi
resistenterhadap quinolon (nalidixic acid)
Dan sefalosporin generasi ketiga digunakan untuk pengobatan.1,2,3

Prevalensi di dunia
Strain MDR pertama muncul di Asia Tenggara pada akhir 1980-an dan sejak saat itu
menyebar ke seluruh wilayah. Negara-negara Asia dimana MDRTF telah dilaporkan antara
lain: China (1985), Pakistan (1987), India (1988), Malaysia (1991), Singapura (1994),
Bangladesh (1994), Vietnam (1995), Jepang (1999), Thailand (2001), Korea (2003), Nepal
(2005) dan Indonesia (2009); negara lain termasuk Kuwait (1996) dan Yordania (2008).4

Sebuah studi multi-sentris baru-baru ini dilakukan di lima negara Asia (China, India,
Indonesia, Pakistan, dan Vietnam) yang endemik tifoid melaporkan prevalensi strain S. Typhi
multidrug resistant berkisar antara 7% sampai 65%. Negara-negara Afrika yang telah
melaporkan kasus MDRTF yaitu : Afrika Selatan (1992), Kenya (2000), Nigeria (2005) dan
Mesir (2006). Bahkan negara maju seperti Inggris (1990), Amerika (1997) dan Italia (2000)
juga telah melaporkan MDRTF,Sebagian besar kasus ditemukan pada para pelancong yang telah
kembali dari daerah dimana strain S. Typhi MDR telah menyebabkan wabah atau endemik.4
Munculnya strain salmonella yang resisten terhadap obat lini pertama telah menbuat
pengobatan terhadap demam enterik menjadi lebih sulit. Marak nya penggunaan
fluoroquinolon yang diperkenalkan pada pertengahan tahun 1990 telah menimbulkan resistensi
pada pengobatan lini pertama, hal ini merupakan kemunduran besar dalam tatalaksana
pengelolaan demam enterik dan juga merupakan sebuah tantangan besar dalam mengobati
demam tifoid.2,4

Mekanisme MDR Salmonella Typhi


Ada dua mekanisme utama S. Typhi berkembang menjadi resisten terhadap obat. Pertama
adalah mekanisme yang dimediasi oleh plasmid, yang kedua adalah mekanisme yang dimediasi
DNA kromosom. Plasmid adalah bagian ekstra kromosom, bagian DNA melingkar untuk
mereplikasi dirinya, yang dapat membawa dan mentransfer beberapa gen resisten antar bakteri.
Plasmid dari kelompok tidakcocokan (Inc) HI1 adalah vektor penting yang berperan terhadap

3
resistensi antibiotik pada S. Typhi. Hal ini pertama sekali dilaporkan bahwa S. Typhi yang
menyimpan plasmid IncHI1 diisolasi selama wabah besar demam tifoid resisten yang terjadi
di Mexico City. Tahun 1972 telah di temukan S.Typhy yang kebal terhadap kloramfenikol,
tetrasiklin, streptomisin, dan sulfonamida. Selanjutnya, MDR S. Typhi menyebar secara global
dan pada tahun 1998 plasmid IncHI1 dapat diisolasi dari MDR S. Typhi di seluruh dunia. 1,2,4,7
Fenomena resistensi obat yang dimediasi kromosom resisten fluoroquinolon telah
dilaporkan baru-baru ini sebagai akibat tekanan khusus pada populasi bakteri tersebut karena
penggunaan obat yang tidak terkendali. Hal ini berhubungan dengan sebuah titik mutasi pada
daerah penentuan resistensi kuinolon (QRDR) dari gen gyrA topoisomerase, yang
mengkodekan DNA gyrase. Namun, mekanisme lainnya seperti permeabilitas menurun dan
refleks aktif agen antimikroba juga bisa terlibat5,6.

Faktor Resiko terjadinya Perkembangan Resistensi Obat Pada S.Typhi


Faktor risiko berkembangnya resistensi obat pada S. Typhi yaitu peresepan antibiotik
dengan pemakaian yang berlebihan, disalahgunakan, serta pemakaian secara tidak tepat.
Faktor-faktor seperti tekanan pasien, lama waktu pemakaian obat dan ketidakpastian diagnosa
adalah beberapa hal utama di balik peresepan antimikroba secara tidak rasional. Ketersediaan
obat yang mudah didapat di apotek tanpa resep dokter, penggunaan obat oleh praktisi
pengobatan tradisional dan penggunaan antibiotik yang tidak terkontrol di bidang pertanian,
peternakan dan perikanan semakin memperburuk masalah resistensi. Selain itu, kepatuhan
pasien terhadap pemakaian antibiotik karena mahalnya harga antibiotik menambah ancaman
resistensi antimikroba.4,5

Gambaran Klinis MDRTF (Multi Drug Resistant Tifioid Fever)


Tidak ada gambaran klinis pathognomonik pada permulaan penyakit yang bisa membedakan
antara demam tifoid karena strain S. Typhi yang resisten multidrug dengan yang disebabkan
oleh strain S. Typhi yang sensitive obat. Namun, beberapa penelitian melaporkan gambaran
klinis yang lebih umum terkait dengan MDRTF.6,7
Telah diamati dalam beberapa penelitian bahwa anak-anak dengan MDRTF,
dibandingkan dengan anak yang terinfeksi oleh Strain S. tiphi sensitif obat, mereka lebih
nampak sakit dan lebih toksik saat masuk perawatan. Kasus MDRTF paling tinggi terlihat pada
anak-anak usia di bawah lima tahun. Hal ini bisa jadi karena hubungan wabah demam tifoid
dengan malnutrisi, umumnya terlihat pada anak-anak di bawah usia lima tahun terutama di
negara berkembang. Keadaan malnutrisi meningkatkan kerentanan terhadap infeksi tifoid

4
karena perubahan flora usus atau pertahanan host. Penyakit diare juga sering terjadi pada anak-
anak usia 5 tahun dengan penggunaan antibiotik sembarangan sehingga tersedia nya
lingkungan yang ideal untuk munculnya strain MDR (Multi Drug Resistent) S. Typhi.5
Faktor risiko lainnya, bagi anak kecil mungkin kebiasaan mereka yang tidak higienis
dan ketergantungan mereka pada orang dewasa untuk makanan, dimana orang tersebut
mungkin membawa strain MDR. Tidak ada perbedaan jenis kelamin atau variasi musiman
untuk demam tifoid karena strain yang sensitif dan strain MDR. Namun, adanya demam diatas
390, toksemia, hepatomegali, splenomegali, nyeri tekan perut dan distensi abdomen terlihat
secara signifikan dengan proporsi kasus yang lebih tinggi pada MDRTF dibandingkan demam
tifoid karena strain yang sensitif.5,8

Komplikasi dan mortalitas akibat MDRTF pada anak-anak


Angka kematian keseluruhan dilaporkan selama epidemi MDRTF adalah 7% sampai 16%, hal
ini jauh lebih tinggi dari pada demam tifoid yang sensitive obat. Peningkatan kejadian
komplikasi dan kematian pada MDRTF yang tinggi disebabkan karena terlambat nya
pemberian terapi antibiotik yang efektif ,lebih tinggi virulensi bakteri , jumlah bakteri yang
jauh lebih besar dalam jaringan dan sirkulasi darah karena adanya resistensi terhadap agen
konvensional.3,5
Komplikasi gastrointestinal seperti perdarahan, perforasi usus,ileus paralitik, hepatitis,
kolesistitis dan peritonitis dapat terjadi. komplikasi pada sistem pernapasan meliputi
bronkopneumonia dan efusi pleura. komplikasi sistem syaraf pusat adalah ensefalopati,
meningitis, korea, perdarahan intrakranial, ataksia serebelum dan kejang. Komplikasi pada
ginjal meliputi hipernatremia, hipokalemia, gagal ginjal akut dan glomerulonephritis.
Komplikasi pada kardiovaskular meliputi miokarditis dan kegagalan peredaran perifer.
Pada sistem hematologis komplikasi berupa koagulasi intravaskular diseminata dan kompresi
sumsum tulang. Komplikasi lain yang dijelaskan adalah parotitis, radang sendi, abses subkutan,
subphrenic abses dan ulkus kutaneous. Sebagai hasil dari komplikasi ini, MDRTF terkadang
dapat menyerupai penyakit endemik umum seperti malaria (kedinginan dan kaku), hepatitis
virus (kurang nafsu makan dengan ikterus) bronkopneumonia atau meningitis. Oleh karena itu,
tingginya tingkat kecurigaan kita terhadap MDRTF sangat diperlukan agar terapi yang tepat
diberikan di awal perjalanan penyakit ini.5,9

5
Diagnosis MDRTF (Multi Drug Resistant Tifioid Fever)
Karena kurangnya tanda klinis tertentu dan kemungkinan adanya infeksi lainnya, pada saat
awal pemeriksaan anak yang diduga memiliki MDRTF sangat perlu adanya skrining untuk
penyakit endemik umum berupa penyakit demam akut yang ada di daerah itu, seperti malaria,
demam berdarah, leptospirosis dan hepatitis virus akut. Pemeriksaan tersebut harus mencakup
kadar hemoglobin, volume sel darah, pemeriksaan darah lengkap pemeriksaan apusan darah
tepi untuk mendeteksi parasit malaria, tes transaminase hati, kultur urin dan darah. Gold
standart untuk mendiagnosis MDRTF adalah kultur isolasi dari organisme dengan uji
sensitifitas bakteri yang berhasil diisolasi.6,8
Kultur darah adalah metode diagnostik utama untuk MDRTF. Selama minggu pertama
penyakit sekitar 90% pasien memiliki hasil kultur darah positif, yang menurun menjadi 75%
pada minggu kedua, 60% di minggu ketiga, dan 25% pada minggu keempat dan minggu
berikutnya sampai turunnya demam. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan
bahwa jumlah darah yang diambil antara 10ml dan 15 ml pada anak sekolah dan 2ml sampai
4 ml pada balita dan anak prasekolah untuk mendapatkan hasil isolasi yang optimal.1
Darah harus diambil dengan menggunakan teknik tusukan vena secara steril dan harus
segera diinokulasi ke dalam botol kultur yang mengandung kaldu empedu 0,5%. Kultur darah
membutuhkan waktu minimal 72 jam untuk mendapatkan hasilnya. Jika S. Typhi tidak
diperoleh dari subkultur pertama, maka seharusnya diulang setiap hari sampai ada
pertumbuhan bakteri. Hasil kultur dinyatakan negatif hanya setelah inkubasi selama antara 10
dan 11 hari. 4,7
Jika hasil kultur positif maka uji sensitifitas harus dilakukan terhadap antibiotik berikut:
1) antimikroba lini pertama (kloramfenikol, ampisilin, trimetoprim / sulfamethoxazole, 2)
fluoroquinolon, 3) nalidixic asam (untuk menentukan sensitifitas yang berkurang terhadap
fluoroquinolon), 4) sefalosporin generasi ketiga, dan 5) obat lain yang saat ini digunakan untuk
pengobatan.8,9
Kultur aspirasi sumsum tulang khususnya bernilai bagi pasien yang sebelumnya
dirawat yang memiliki riwayat penyakit lama, dan untuk mereka dengan hasil kultur darah
negatif. Secara keseluruhan sensitivitas kultur sumsum tulang belakang sekitar 80% sampai
95%. Hal ini bagus bahkan pada akhir perjalanan penyakit meskipun penderita telah
mendapatkan terapi antibiotik sebelumnya. Peningkatan isolasi S. Typhi dari sumsum tulang
dapat dijelaskan karena bakteri yang ditemukan di sumsum tulang sepuluh kali lebih banyak
daripada di dalam darah. Bakteri tersebut mungkin lebih aman atau terlindungi dari adanya
antibiotik yang beredar di sistemik. Namun, jika kultur darah cukup sensitif, kultur sumsum

6
tulang sebaiknya dihindari karena tindakan ini invasif, sulit, dan prosedurnya sangat
menyakitkan.8
Tingkat sensitivitas kultur tinja antara 30% sampai 35% dan kultur urin 7% sampai
10% . Hasil ini biasanya positif setelah minggu pertama penyakit dan karenanya
penggunaannya terbatas pada fase awal penyakit. Volume kultur tinja dari masing-masing
sampel setidaknya paling sedikit dua gram. Selain diagnosis, kultur tinja juga penting untuk
pemantauan perkembangan S. Typhi setelah penyembuhan klinis terlihat nyata, yang
merupakan faktor risiko untuk keluarga pasien.2
Biasanya tes Widal dilakukan setelah minggu pertama sakit. Meski tesnya murah dan
mudah dilakukan, tetapi tes ini memiliki suboptimal sensitivitas dan spesifisitas dengan hasil
negatif di atas sampai 30% dari kasus tifoid yang terbukti. Tes ini tidak memberikan informasi
tentang sensitifitas antibiotik, karenanya tes ini tidak berguna dalam diagnosis MDRTF1.
Tes terbaru dan lebih cepat untuk modalitas diagnostik, termasuk identifikasi asam
nukleat tertentu pada S. Typhi. Adalah dengan polymerase chain reaction (PCR). Ini
merupakan alat diagnostik untuk demam tifoid dan telah dilakukan pada tahun 1993 oleh Song
dan kawan-kawan, yang berhasil menemukan gen flagellin (fliC-d) S. Typhi dalam semua
kasus kultur yang terbukti demam tifoid. Peneliti lainnya juga telah menggambarkan tes PCR
multipleks sebagai metode untuk mendeteksi antibiotik yang relevan secara klinis dan gen
resistensi yang sering ditemui pada S. Typhi. Juga dengan munculnya PCR nested,
pemeriksaan ini mungkin untuk memperkuat dan mendeteksi gen tertentu pada S. Typhi dalam
beberapa jam. PCR memiliki sensitivitas dan spesifisitas 100% dan mungkin menggantikan
kultur darah sebagai standar emas baru. Namun, biaya dan kebutuhan peralatan yang canggih
untuk melakukan tes molekuler ini kurang cocok untuk dipakai di negara berkembang.3,4
Pemeriksaan lainnya seperti pemeriksaan darah lengkap, sedimentasi eritrosit dan tes
fungsi hati adalah non-spesifik dan non-patognomonik MDRTF. Tes serologis tidak
memberikan informasi apapun tentang kerentanan antibiotik sehingga tidak berguna dalam
diagnosis MDRTF.1

Kapan MDRTF dicurigai?


Infeksi MDRTF harus dicurigai pada keadaan berikut:
1. Gagal merespons (yaitu, tidak ada perbaikan kondisi umum, kehilangan nafsu makan,
tidak ada penurunan demam, atau tidak ada pengurangan gejala klinis) setelah lima
sampai tujuh hari pengobatan dengan antibiotik lini pertama untuk demam tifoid
(kloramfenikol atau ampisilin atau trimetoprim / sulfamethoxazole)

7
2. Demam tifoid berat disertai syok atau tingkat kesadaran yang menurun atau berpotensi
mengancam nyawa lainnya seperti komplikasi perdarahan usus dan / atau perforasi,
koagulasi intravaskular diseminata, atau miokarditis
3. Perburukan klinis atau perkembangan komplikasi selama pengobatan antibiotik
konvensional.
4. Riwayat keluarga menderita demam tifoid yang berat atau terjadinya epidemi MDRT.7,8

Pengobatan MDRTF
Terapi suportif
Demam level tinggi dan anoreksia ekstrem akan memperparah keadaan penderita sehingga
langkah-langkah suportif seperti penggunaan antipiretik, pemberian cairan secara adekuat, dan
pemberian nutrisi berperan penting dalam mengurangi gejala.5,7
Terapi antibiotik
Beberapa kriteria penting untuk pemilihan antibiotik dalam pengobatan MDRTF dinegara-
negara berkembang adalah biaya, pola kepekaan dan ketersediaan dan prevalensi resistensi
antimikroba. Sesuai pedoman WHO, fluoroquinolon atau sefalosporin generasi ketiga dapat
digunakan pada MDRTF, tergantung pada sensitivitas strain S. Typhi terhadap kuinolon. 7,10
Pada strain MDR yang sensitif terhadap kuinolon, fluoroquinolones direkomendasikan
untuk pengobatan karena memiliki banyak keunggulan dibanding sefalosporin generasi ketiga.
Beberapa kelebihannya yaitu biaya lebih murah, tersedia dalam bentuk oral, durasi terapi lebih
pendek, dan tingkat penyembuhan mendekati 100%. Biasanya fluoroquinolone digunakan pada
anak-anak untuk MDRTF adalah ofloxacin dan ciprofloxacin dengan dosis 15 mg /kg/ hari
dibagi dalam dua dosis. Keduanya sangat aktif dan sama efektifnya. 10
Norfloksasin tidak digunakan karena bioavailabilitas yang buruk., sefalosporin generasi
ketiga direkomendasikan sebagai pengobatan lini pertama. Diantara sefalosporin generasi
ketiga oral, sefiksim (15-20 mg / kg / hari) dan cefpodoxime (10 mg / kg / hari) preparat oral
yang paling biasa digunakan. Dari sediaan parenteral, ceftriaxone (50-75 mg / kg / hari) dalam
satu atau dua dosis, sefotaksim (40-80 mg / kg / hari) dalam dua atau tiga dosis, dan
cefoperazone (50-100 mg / kg / hari) dalam dua dosis. Pengobatan tambahan dengan
deksametason di bawah pengawasan ketat (3mg / kg untuk dosis awal diikuti 1mg / kg setiap
6 jam selama 48 jam) telah direkomendasikan untuk pasien sakit parah dengan syok, pingsan
atau koma7,10

8
Terapi ini menurunkan angka kematian dari antara 35% sampai 55% sampai 10%.
Pasien dengan MDRTF memiliki durasi waktu penurunan lebih lama (8 5 hari) dibandingkan
dengan penderita tifoid yang sensitif terhadap obat (5,7 4 hari).
Sebuah penelitian tentang MDRTF menyatakan sensitivitas studi antibiotik ketika diteliti pada
keadan MDRTF terlihat bahwa kepekaan terhadap ceftriaxone, sefotaksim & cefixime
ditemukan 100%, sementara amikasin adalah 80% sensitif dan ciprofloxacin hanya 20%
sensitif. Dalam penelitian ini resistensi MDRTF terhadap ciprofloxacin adalah 80% sedangkan
resistensi terhadap amikasin adalah 20%. Tidak ada resistensi yang ditemukan terhadap
sefalosporin generasi ketiga misal ceftriaxone, sefotaksim & cefixime. Dalam penelitian ini
juga dilaporkan dalam kasus MDRTF komplikasi sistem GIT dalam bentuk gastritis dan
hepatitis lebih banyak dari yang lain yaitu 80%. komplikasi sistem pernapasan sebanyak 40%
dalam bentuk pneumonia dan bronkitis diikuti oleh komplikasi sistem saraf pusat Hal itu
menunjukkan bahwa komplikasi pada kasus dengan hampir MDRTF 100% dan tanpa MDRTF
34,28%.7,10

Kesimpulan
(MDRTF) adalah demam tifoid yang disebabkan oleh strain S. Typhi yang kebal terhadap
ketiga jenis obat lini pertama yang direkomendasikan untuk pengobatan demam tifoid, yaitu;
kloramfenikol, ampisilin, dan kotrimoksazol (TMP-SMX).
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang tepat sangat berpengaruh dalam menegakkan diagnosa
MDRTF. Komplikasi akibat MDRTF jauh lebih tinggi dari pada demam tifoid yang sensitive
obat. Peningkatan kejadian komplikasi dan kematian pada MDRTF yang tinggi salah satunya
disebabkan karena terlambat nya pemberian terapi antibiotik yang efektif.
Pemeriksaan Kultur dan PCR merupakan gold standar dalam menegakkan diagnosa
MDRTF. Pemilihan Antibiotik yang tepat dan sesuai sangat berpengaruh terhadap prognostik
penderita dengan MDRTF.

Daftar Pustaka
1 Zaki SA, Karande S. Multidrug Resistant Typhoid Feaver: A Review. J Infect Dev
Ctries 2011; 5(5):324-337
2 Gupta A. Multidrug-Resistant Typhoid Fever In Children: Epidemiology And
Therapeutic Approach.
[http://journals.lww.com/pidj/Citation/1994/02000/Multidrug_resistant_typhoid_fever
_in_children_.11.aspx]

9
3 Kumar R, Gupta N, Shalini. 2007. Multidrug-resistant typhoid fever. Indian J Pediatr
74: 39-42.
4 Kanungo S, Dutta S, Sur D. 2008. Epidemiology of typhoid and paratyphoid fever in
India. J Infect Dev Ctries 2: 454-460.
5 Nagshetty K, Channappa ST, Gaddad SM. 2010. Antimicrobial susceptibility of
Salmonella Typhi in India. J Infect Dev Ctries 4: 70-73.
6 Mohanty S, Gaind R, Sehgal R, Chellani H, Deb M. 2009. Neonatal sepsis due to
Salmonella Typhi and Paratyphi A. J Infect Dev Ctries 3: 633-638.
7 Brusch JL. Typhoid Fever Medication. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/231135-medication.
8 KumaR R, Rizvi M, Berry N.2008. Rising prevalence of enteric fever due to multidrug-
resistant Salmonella : an epidemiological study Surinder Kumar, Meher Rizvi and
Nidhika Berry. Rising prevalence of enteric fever due to multidrug-resistant Salmonella
: an epidemiological study.Journal of Medical Microbiology 57 : 12471250.
9 Tatavarthy A, Luna VA, Amuso PT. How multidrug resistance in typhoid fever affects
treatment options. Available at:
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/nyas.12490/epdf?r3_referer=wol&tracking
_action=preview_click&show_checkout=1&purchase_referrer=www.google.co.id&p
urchase_site_license=LICENSE_DENIED.
10 Parry CM, at.all. Randomized Controlled Comparison of Ofloxacin, Azithromycin, and
an Ofloxacin-Azithromycin Combination for Treatment of Multidrug-Resistant and
Nalidixic Acid-Resistant Typhoid Fever. Available at :
http://aac.asm.org/content/51/3/819.full.

10

Anda mungkin juga menyukai