Anda di halaman 1dari 21

Laporan Kasus EBP Kepada Yth.

Divisi Neurologi

HIDROSEFALUS OBSTRUKTIF SEBAGAI KOMPLIKASI


PERDARAHAN INTRAKRANIAL AKIBAT DEFISIENSI VITAMIN K
PADA ANAK USIA LAKI-LAKI USIA 3 BULAN

Penyaji : Hotasi Otana Simanjuntak


Hari/ Tanggal : Desember 2018
Pembimbing : dr. Johannes. H. Saing, M.Ked(Ped), Sp.A(K)
Supervisor : dr. Yazid Dimyati, M.Ked(Ped), Sp.A(K)
dr. Johannes. H. Saing, M.Ked(Ped), Sp.A(K)
dr. Fereza Amelia, M.Ked(Ped), Sp.A(K)
dr. Hariadi Edi Saputra, M.Ked(Ped), Sp.A
dr. Chyntea Prima Destariani, M.Ked(Ped), Sp.A

Pendahuluan
Perdarahan intrakranial didefinisikan sebagai akumulasi darah patologis
yang terjadi di otak dan diklasifikasi berdasarkan lokasi perdarahan yaitu
perdarahan epidural, subdural, subaraknoid, intraventrikular dan intraserebral
(intraparenkim).1 Angka kematian akibat VKDB di Asia mencapai 1:1200 sampai
1:1400 kelahiran; lebih tinggi mencapai 1:500 kelahiran di daerah-daerah yang
tidak memberikan profilaksis vitamin K rutin pada bayi baru lahir. Di Indonesia,
data VKDB nasional belum tersedia. Hingga tahun 2004 didapatkan 21 kasus di
RSCM Jakarta, 6 kasus di RS Dr. Sardjito Yogyakarta, dan 8 kasus di RSU Dr.
Soetomo Surabaya.2
Perdarahan intrakranial dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terbagi
menjadi faktor maternal dan perinatal. Faktor maternal berupa penggunaan obat-
obatan seperti aspirin selama kehamilan, hipertensi kehamilan dan gangguan
autoimun, sedangkan faktor perinatal berupa trauma lahir, nilai APGAR yang
rendah, bayi yang diberi ASI dan tidak diberi vitamin K, persalinan spontan,
persalinan lama, dan persalinan dengan forseps.3 Perdarahan intrakranial pada

1
bayi merupakan jenis perdarahan yang sering dihubungkan dengan Hemorrhagic
Disease of Newborn (HDN) atau Perdarahan Akibat Defisiensi Vitamin K
(VKDB) terutama pada onset lambat, yaitu yang muncul pada bayi berusia lebih
dari 7 hari.3 Vitamin K termasuk vitamin larut lemak yang dapat diabsorpsi oleh
traktus gastrointestinal dengan adanya garam empedu. VKDB menyebabkan
angka kematian yang tinggi dan dapat menimbulkan gejala sisa neurologis pada
bayi yang bertahan hidup. Asupan vitamin K yang rendah pada bayi mempunyai
peran penting dalam terjadinya VKDB.4

Tujuan dari laporan kasus ini adalah melaporkan suatu kasus hidrosefalus
sebagai komplikasi perdarahan intrakranial akibat defisiensi vitamin K pada
anak laki-laki usia 3 bulan.

Kasus
Pasien FS, laki-laki usia 3 bulan, datang ke Poliklinik RS H. Adam Malik Medan
pada tanggal 27/8/2018 dengan keluhan utama demam. Hal ini dialami pasien
dalam 1 minggu ini. Demam bersifat naik turun, dengan suhu tertinggi 38ºC.
Demam turun dengan obat penurun panas. Menurut orang tua pasien, pasien
sering terlihat terkejut tanpa adanya rangsangan dengan frekwensi 10 kali/hari dan
durasi kurang dari 5 menit. Orangtua pasien juga mengeluhkan mata kiri pasien
sulit terbuka lebar. Riwayat kejang dan muntah tidak dijumpai. Buang air kecil
dan buang air besar dalam batas normal. Pasien merupakan pasien lama divisi
Neurologi RS H. Adam Malik Medan dengan diagnosis post VKDB late onset
yang dirawat pada tanggal 20/7/2018. Riwayat pemakaian obat: Phenobarbital
2x9,5 mg tapering off dan parasetamol sirup 3x ½ cth. Riwayat kelahiran: Pasien
anak 1 dari 1 bersaudara, lahir cukup bulan, ditolong oleh bidan, lahir segera
menangis, BBL 2800 gram, PB 48 cm, imunisasi vaksin Hepatitis B dan injeksi
vitamin K tidak ada. Riwayat kehamilan: Usia ibu pasien saat hamil 23 tahun,
riwayat penyakit seperti diabetes, hipertensi, penyakit ginjal tidak ada. Riwayat
nutrisi: ASI 50-60 cc/3 jam. Riwayat tumbuh kembang: pasien dapat
menggerakkan kepala dari kiri/kanan ke tengah. Atas keluhan di atas, pasien
dianjurkan untuk rawat inap.

2
Pemeriksaan Fisik
Sensorium : Compos mentis T: 38ºC BB: 3,7 kg PB: 51 cm
BB/U: z-score< -3 PB/U: z-score< -3 BB/PB: 0< z-score <1
Pucat (-) Ikterik (-) Sianosis (-) Dispnoe(-) Edema (-)
Kepala : Ubun-ubun besar terbuka, LK = 37 cm (<-2 SD)
Mata : Refleks cahaya +/+, pupil anisokor 3 mm/4 mm, konjungtiva palpebra
inferior tidak pucat
Telinga : Dalam batas normal
Hidung : Dalam batas normal
Mulut : Sianosis tidak dijumpai, pucat tidak dijumpai
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening tidak dijumpai
Dada : Simetris fusiformis, tanpa retraksi
Frekwensi jantung 100 kali/menit, regular, tanpa desah
Frekwensi napas 24 kali/menit, regular, tanpa ronki
Perut : Soepel, peristaltik normal, hepar dan lien tidak teraba membesar
Anggota gerak : Nadi 100 kali/menit, regular, tegangan/volume cukup, akral
hangat, capillary refill time < 2 detik, tidak sianosis
Refleks fisiologis : APR + normal / KPR + normal
Refleks patologis : Babinski (+/+), Chaddock (+/+), Gordon (+/+)
Diagnosis : Subdural hemorrhage ec late onset APCD + hidrosefalus obstruktif
Terapi : - Phenobarbital 2 x 9,5 mg
- Parasetamol 3 x ½ cth
Rencana : Darah lengkap, HST, elektrolit, KGD, RFT, vitamin D, urinalisa dan
MRI brain

Hasil CT scan kepala tanggal 10/7/2018 : intracerebral hemorrhage pada frontal


kiri + subdural hemorrhage pada frontotemporooccipito parietal kiri
+ subarachnoid hemorrhage + intraventrikuler hematoma + herniasi
subfalcin ke kanan + hydrocephalus

3
Pemantauan tanggal 28 Agustus 2018 – 29 Agustus 2018
S : Demam dijumpai, pasien tidak muntah atau kejang
O : Sensorium : Compos mentis T: 38ºC
Pucat (-) Ikterik (-) Sianosis (-) Dispnoe(-) Edema (-)
Kepala : Ubun-ubun besar terbuka, LK = 37 cm (<-2 SD)
Mata : Refleks cahaya +/+, pupil anisokor 3 mm/4 mm, konjungtiva palpebra
inferior tidak pucat
Telinga : Dalam batas normal
Hidung : Dalam batas normal
Mulut : Sianosis tidak dijumpai, pucat tidak dijumpai
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening tidak dijumpai
Dada : Simetris fusiformis, tanpa retraksi
Frekwensi jantung 100 kali/menit, regular, tanpa desah
Frekwensi napas 24 kali/menit, regular, tanpa ronki
Perut : soepel, peristaltik normal, hepar dan lien tidak teraba membesar
Anggota gerak : Nadi 100 kali/menit, regular, tegangan/volume cukup, akral
hangat, capillary refill time < 2 detik, tidak sianosis
Refleks fisiologis : APR + normal / KPR + normal
Refleks patologis : Babinski (+/+), Chaddock (+/+), Gordon (+/+)
Diagnosis : Subdural hemorrhage ec late onset APCD + hidrosefalus obstruktif

4
Terapi : - Phenobarbital 2 x 9,5 mg
- Parasetamol 3 x ½ cth

Hasil laboratorium tanggal 28/8/2018


Hb : 10 g/dl Neutrofil 20,70%
RBC : 3,45 juta/µL Basofil 0,4%
WBC : 6.900/µL Limfosit 66,20%
Ht : 31% Monosit 11%
PLT : 387.000/µL Eosinofil 1,7%

PT : 13,6 (14.50) detik KGD : 86 mg/dL


INR : 0,93 BUN : 3 mg/dL
APTT : 29,4 (33) detik Ureum : 6 mg/dL
TT : 13,6 (18,0) detik Kreatinin : 0,37 mg/dL

Na : 136 mEq/L Vitamin D : 1,7 ng/mL


K : 4,8 mEq/L Procalcitonin : 0,18 ng/mL
Ca : 9,1 mg/dL
Cl : 105 mEq/L

Urinalisa FCM
Warna : Kuning keruh Eritrosit : 4 ¿ µL
Glukosa : Negatif Leukosit : 1,4 ¿ µL
Bilirubin : Negatif Epitel : 0,2 ¿ µL
Keton : Negatif Casts : 0,00 ¿ µL
Berat jenis : 1,000 Kristal : 0,2 ¿ µL
pH : 7,5 Bakteri : 2719 ¿ µL
Protein : Negatif Path cast : 0,0 ¿ µL
Nitrit : Negatif
Leukosit : Negatif
Darah : Negatif

5
Terapi :
- IVFD NaCl 0,9% 10 cc/jam
- Phenobarbital 2 x 9,5 mg
- Parasetamol 3 x ½ cth

Hasil MRI brain tanpa kontras tanggal 24/8/2018 : Hidrosefalus obstruktif dengan
penekanan parenkim serebral kiri dan kanan. Chronic subdural
bleeding di parietal kiri.

Diagnosis : Hidrosefalus obstruktif +


subdural hemorrhage ec late onset
APCD

Rencana tanggal 29 Agustus 2018


Konsul bedah saraf cito dengan diagnosis
hidrosefalus obstruktif  Craniostomy
twin Burr-hole cito, dengan persiapan
darah 1 bag PRC 25 cc dan inj.
Antibiotik profilaksis Cefazoline 200 mg 1 jam sebelum operasi

6
Pemantauan tanggal 30 Agustus 2018
S : Pasien post tindakan operasi kraniostomi, demam tidak dijumpai
O : Sensorium : Compos mentis T: 37ºC
Pucat (-) ikterik (-) Sianosis (-) Dispnoe(-) Edema (-)
Kepala : Luka post operasi tertutup verband
Mata : Refleks cahaya +/+, pupil isokor 3 mm/3 mm, konjungtiva palpebra
inferior tidak pucat
Telinga : Dalam batas normal
Hidung : Dalam batas normal
Mulut : Sianosis tidak dijumpai, pucat tidak dijumpai
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening tidak dijumpai
Dada : Simetris fusiformis, tanpa retraksi
Frekwensi jantung 130 kali/menit, regular, tanpa desah
Frekwensi napas 30 kali/menit, regular, tanpa ronki
Perut : Soepel, peristaltik normal, hepar dan lien tidak teraba membesar
Anggota gerak : Nadi 100 kali/menit, regular, tegangan/volume cukup, akral
hangat, capillary refill time < 2 detik, tidak sianosis
Refleks fisiologis : APR + normal / KPR + normal
Refleks patologis : Babinski (+/+), Chaddock (+/+), Gordon (+/+)
Diagnosis : Post craniostomy ec hidrosefalus obstruktif (H1) + subdural
hematoma ec late onset APCD

Terapi
- O2 nasal kanul 1-2 lpm
- IVFD D5% NaCl 0,225% 10 gtt/menit mikro
- Injeksi Ceftriaxone 50 mg/12 jam/iv
- Injeksi Fenitoin 10 mg/8 jam/iv dalam 20 cc NaCl 0,9% habis dalam 20
menit
- Drip Parasetamol 50 mg/8 jam/iv
Rencana : cek laboratorium post operasi (DL, KGD, elektrolit, HST)

Hasil laboratorium tanggal 30/8/2018

7
Hb : 7,5 g/dl Neutrofil 50,30%
RBC : 2,6 juta/µL Basofil 0,10%
WBC : 7.380/µL Limfosit 40,80%
Ht : 23% Monosit 8,7%
PLT : 306.000/µL Eosinofil 0,1%

PT : 14,5 (13,90) detik KGD : 92 mg/dL


INR : 1,07
APTT : 28,7 (32,9) detik
TT : 18,6 (22) detik
Na : 137 mEq/L
K : 4,6 mEq/L
Cl : 105 mEq/L

Pemantauan tanggal 31 Agustus – 2 September 2018


S : Pasien post tindakan operasi kraniostomi (H2), demam tidak ada, gerakan
terkejut spontan masih ada
O : Sensorium : Compos mentis T: 37,2ºC
Pucat (-) ikterik (-) Sianosis (-) Dispnoe(-) Edema (-)
Kepala : Luka post operasi tertutup verband
Mata : Refleks cahaya +/+, pupil isokor 3 mm/3 mm, konjungtiva palpebra
inferior tidak pucat
Telinga : Dalam batas normal
Hidung : Dalam batas normal
Mulut : sianosis tidak dijumpai, pucat tidak dijumpai
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening tidak dijumpai
Dada : Simetris fusiformis, tanpa retraksi
Frekwensi jantung 130 kali/menit, regular, tanpa desah
Frekwensi napas 30 kali/menit, regular, tanpa ronki
Perut : soepel, peristaltik normal, hepar dan lien tidak teraba membesar
Anggota gerak : Nadi 100 kali/menit, regular, tegangan/volume cukup, akral
hangat, capillary refill time < 2 detik, tidak sianosis

8
Refleks fisiologis : APR + normal / KPR + normal
Refleks patologis : Babinski (+/+), Chaddock (+/+), Gordon (+/+)
Diagnosis : Post craniostomy ec hidrosefalus obstruktif (H2) + subdural
hematoma ec late onset APCD

Rencana :
- Injeksi Neo K 2 mg/hari selama 3 hari
- Cek TORCH
- Transfusi PRC 35 cc 1 kantong

Hasil laboratorium tanggal 31/8/2018


Anti Toxoplasma IgG : 2,51 IU/mL
Anti Toxoplasma IgM : 4,21 COI
Anti Rubella IgG : 98 IU/mL
Anti Rubella IgM : 1,29 COI
Anti CMV IgG : 40,5 IU/mL
Anti CMV IgM : 31,8 COI
Anti HSV-1 IgG : 5,4 COI
Anti HSV-1 IgM : 3,99 COI
Anti HSV-2 IgG : 1,35 COI
Anti HSV-1 IgM : 3,07 COI
Chlamydia IgG : 1,28 COI
Chlamydia IgM : 3,45 COI

Terapi
- O2 nasal kanul 1-2 lpm
- IVFD D5% NaCl 0,225% 10 gtt/menit mikro
- Injeksi Ceftriaxone 50 mg/12 jam/iv
- Injeksi Fenitoin 10 mg/8 jam/iv
- Inj. Neo K 2 mg/hari (H2)
Rencana :
- Fenobarbital oral 2 x12,5 mg

9
- Mycostatin 3x1 cc

Pemantauan tanggal 3-10 September 2018


S : Pasien post tindakan operasi kraniostomi (H5), demam tidak ada, kejang tidak
ada
O : Sensorium : Compos mentis T: 37,2ºC
Pucat (-) ikterik (-) Sianosis (-) Dispnoe(-) Edema (-)
Kepala : Luka post operasi tertutup verband
Mata : Refleks cahaya +/+, pupil isokor 3 mm/3 mm, konjungtiva palpebra
inferior tidak pucat
Telinga : Dalam batas normal
Hidung : Dalam batas normal
Mulut : sianosis tidak dijumpai, pucat tidak dijumpai
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening tidak dijumpai
Dada : Simetris fusiformis, tanpa retraksi
Frekwensi jantung 130 kali/menit, regular, tanpa desah
Frekwensi napas 30 kali/menit, regular, tanpa ronki
Perut : Soepel, peristaltik normal, hepar dan lien tidak teraba membesar
Anggota gerak : Nadi 100 kali/menit, regular, tegangan/volume cukup, akral
hangat, capillary refill time < 2 detik, tidak sianosis
Refleks fisiologis : APR + normal / KPR + normal
Refleks patologis : Babinski (+/+), Chaddock (+/+), Gordon (+/+)

Diagnosis : Post craniostomy ec hidrosefalus obstruktif (H2) + subdural


hematoma ec late onset APCD

Terapi
- O2 nasal kanul 1-2 lpm
- IVFD D5% NaCl 0,225% 10 gtt/menit mikro
- Injeksi Ceftriaxone 50 mg/12 jam/iv
- Fenobarbital oral 2 x12,5 mg
- Mycostatin 3x1 cc

10
Rencana :
- Aff drain subdural
- EEG setelah lepas verband

Hasil EEG tanggal 12/9/2018


- Tidak ditemukan gelombang irama dasar yang teratur
- Background didominasi gelombang dengan voltage sangat rendah (<10
mV) yang kadang diselingi dengan focal burst
- TIdak ditemukan asimetri yang berarti
- PS tidak menimbulkan perubahan yang berarti
Kesan : EEG abnormal, cerebral silent hipofungsi umum berat, tidak ditemukan
gelombang epileptiform

Rencana :
- Pasien berobat jalan
- Kontrol ulang tanggal 19/9/2018

Diskusi
Perdarahan akibat defisiensi vitamin K (VKDB) memiliki tiga pola
gambaran klinis yang berbeda. VKDB awal terjadi dalam 24 jam sejak lahir pada
bayi dengan ibu yang mengkonsumsi antikonvulsan atau warfarin selama
kehamilan. VKDB klasik terjadi antara hari ke-2-7 kehidupan dengan sebagian
besar kasus idiopatik. VKDB onset lambat ditandai dengan perdarahan pada bayi
antara 8 hari sampai 6 bulan kehidupan karena kekurangan vitamin K. VKDB
lambat terjadi terutama pada bayi yang menyusui secara eksklusif dan dengan
penyakit sistemik. Fenomena ini memiliki insiden puncak antara minggu ke-3 dan
ke-8 kehidupan.5 Pada kasus ini, VKDB terjadi pada saat pasien berusia 1 bulan.

Tabel 1. Perdarahan akibat Defisiensi Vit K2

11
VKDB idiopatik pada masa bayi merupakan gangguan perdarahan yang
serius di masa awal kehidupan bayi dan pertama kali diperkenalkan pada tahun
1966. Gambaran klinis yang sering ditemukan pada kasus VKDB adalah kejang
dan mengantuk (95%), anemia (85%) dan demam (50%). Penelitian lain
menunjukkan terdapat sembilan belas kasus (95%) perdarahan intrakranial
termasuk hematoma subdural, perdarahan intraserebral, perdarahan
intraventrikular dan perdarahan subaraknoid. Diagnosis VKDB didasarkan oleh
ditemukannya gangguan perdarahan, waktu pembekuan vena lebih dari 15 menit,
PT dan PTT yang tidak normal, thrombin time (TT) normal, aktivitas rendah dari
faktor pembekuan II, VII, IX, X dan hitung trombosit dalam batas normal.6
VKDB onset lambat adalah dengan ditemukannya perdarahan pada bayi
pada usia setelah 7 hari, tidak ada trombositopenia, pemeriksaan preparat apus
darah tepi normal, PT dan PTT berkepanjangan, dan jika dilakukan koreksi cepat
dari PTT atau pemberian vitamin K akan menghentikan pendarahan. 6 VKDB onset
lambat dapat terjadi saat hari ke-8 hingga bulan ke-12, tetapi lebih sering terjadi
pada minggu ke-4 hingga ke-8 kehidupan. VKDB onset lambat sering disertai
dengan perdarahan intrakranial dan ekimosis yang luas. Selain itu, sistem
gastrointestinal dan perdarahan kulit superfisial telah dilaporkan terlibat.
Kandungan vitamin K dalam ASI sangat rendah dibandingkan dengan susu
formula bayi. Telah diketahui bahwa pemberian vitamin K secara parenteral
kepada bayi yang baru lahir saat lahir dapat berpotensi mencegah terjadinya
VKDB.7
Neonatus memiliki periode kritis dan awal dalam perkembangan otak.
Waktu-waktu ini juga merupakan periode risiko untuk terjadinya perdarahan

12
intrakranial. Memahami patologi dan lokasi dari berbagai jenis perdarahan pada
neonatus berguna untuk memprediksi morbiditas dan mortalitas. Klasifikasi
perdarahan intrakranial dijelaskan pada Tabel 2. dan Gambar 1.8

Tabel 2. Kategori Intrakranial Hemoragik pada Neonatus8

Tipe Lokasi Faktor Resiko Managemen Klinis


Perdarahan
Subgaleal Antara galeal Vakum/Forsep/ Identifikasi awal
aponeurosis dan Persalinan dengan Monitor tanda hipovolemia dan syok
periosteum (di luar Bantuan Mungkin membuntuhkan pengganti
cranium) Koagulopati cairan emergensi / tranfusi

Subdural Antara duramater dan Vakum/Forsep/ Monitor perluasan klinis


arachnoid mater Persalinan dengan Pada kasus berat, atasi kejang dan
(dalam cranium, di Bantuan ensefalopati
luar otak) Koagulopati Operasi drainase bedah saraf jarang
diindikasikan
Subarakhnoid Di bawah arachnoid Vakum/Forsep/ Managemen suportif
mater (permukaan Persalinan dengan Monitor perkembangan hidrosefalus
otak) Bantuan sekunder
Koagulopati
Intaventrikular Berasal dari matriks Prematur Monitor anemia dan hipovolemia
germinal (berdekatan Korioamnitis Pada kasus berat, monitor
dengan ventrikel) Hipotensi hidrosefalus pasca perdarahan
Asidosis
Distress Respiratori
Terapi Bikarbonat
Koagulopati

Gambar 1. Diagram skematik menggambarkan lokasi perdarahan intrakranial 10

Perdarahan intrakranial dapat berkembang menjadi komplikasi sekunder


yaitu hidrosefalus. Tipe perdarahan yang sering berkembang menjadi hidrosefalus

13
adalah SAH (Subarachnoid Hemorragic) dan IVH (Intraventricular Hemorragic).
Dalam beberapa kasus dengan SAH luas, iritasi pada meninges dapat
menyebabkan kerusakan sekunder dari penyerapan cairan serebrospinal. Jika ini
terjadi, hidrosefalus dapat berkembang. Setelah terjadi SAH, neonatus harus
diukur lingkar kepala serial, dan dalam beberapa kasus, ultrasound kepala serial,
sebagai metode penapisan hidrosefalus.8
Pada IVH grade III dan IV (IVH luas), penting melakukan pemeriksaan
ultrasound pada neonatus untuk memantau hidrocephalus posthemorrhagic.
Hidrocephalus posthemorrhagic terjadi pada sekitar 29% neonatus dengan IVH
dan biasanya berkembang pada 2-6 minggu setelah perdarahan awal. Ketika
hidrosefalus terjadi secara progresif dan memiliki prognosis buruk, intervensi
bedah saraf diperlukan. Hidrocephalus posthemorrhagic diduga disebabkan oleh
peradangan dan obstruksi vili subarachnoid oleh darah, yang menyebabkan
resorpsi cairan serebrospinal terganggu.
Pada anak usia di bawah satu tahun, perdarahan intrakranial merupakan
kondisi yang sering menyebabkan kematian atau kecacatan. Hasil penelitian
sebelumnya di RS Moh. Hoesin (RSMH) Palembang menunjukkan 45% angka
kematian perdarahan intrakranial pada anak usia kurang dari satu tahun. Faktor
yang diperkirakan dapat memengaruhi mortalitas antara lain adanya kelainan
darah, lokasi perdarahan, volume perdarahan, usia, adanya kelainan neurologis
penyerta, adanya komplikasi seperti edema serebri, hidrosefalus, serta kecepatan
pemberian terapi.9
Hidrocephalus posthemorragic (PHH) adalah komplikasi utama setelah
IVH, yang menghasilkan kerusakan substansia alba periventrikel karena gangguan
aliran pembuluh darah otak, dan cedera substansia alba dapat diperburuk oleh
PHH. Etiologi hidrosefalus setelah IVH yang disebabkan oleh perdarahan itu
sendiri atau efek sekunder akibat kerusakan parenkim otak kadang-kadang sulit
dibedakan. Bayi yang bertahan dengan PHH memiliki tiga mekanisme utama
terhadap hasil perkembangan saraf yang buruk. Mekanisme pertama adalah cedera
otak yang disebabkan oleh dilatasi ventrikel, mekanisme kedua adalah adanya lesi
serebral sekunder karena berbagai komplikasi tapping atau traktus terkait
ventrikel; dan mekanisme ketiga yaitu lesi primer yang disebabkan oleh faktor

14
iskemik hemoragik dan hipoksia. Tidak ada prosedur yang pasti terbukti efektif
untuk mencegah shunting ventrikuloperitoneal (VP) lebih lanjut pada bayi baru
lahir dengan PHH.10
Hidrosefalus setelah perdarahan intraventrikular (IVH) muncul sebagai
komplikasi utama kelahiran prematur. Hidrosefalus biasanya dianggap berasal
dari fibrosis arachnoiditis, fibrosis meningeal dan gliosis subependymal, yang
merusak aliran dan resorpsi cairan serebrospinal. Studi eksperimental terbaru telah
menunjukkan bahwa kompresi parenkim akut dan kerusakan iskemik, serta
peningkatan deposisi parenkim dan perivaskular protein matriks ekstraseluler dan
sebagian berhubungan untuk meningkatkan regulasi transformasi faktor-beta
(TGF-beta) adalah kontributor penting dalam perkembangan hidrosefalus. IVH
dikaitkan dengan kerusakan substansia alba periventrikel dan kerusakan
diperberat karena perkembangan hidrosefalus; kombinasi tekanan, distorsi,
iskemia, peradangan, dan cedera radikal bebas mungkin bertanggung jawab dalam
proses terjadinya PHH.11
PHH terjadi karena hambatan dalam aliran LCS atau jalur penyerapan
LCS. Hidrosefalus obstruktif akut dapat terjadi segera setelah IVH karena darah
menghalangi bagian paling sempit ruang LCS, yaitu saluran cairan serebral,
foramen Monro, ventrikel keempat, atau ruang subarachnoid. Beberapa teori telah
diajukan untuk menjelaskan perkembangan hidrosefalus komunikans setelah IVH
termasuk penyumbatan villi arakhnoid dan granulasi arakhnoid karena
mikrotrombus atau jaringan parut. Teori lain termasuk hipotesis bulk dan teori
hidrodinamik. Teori-teori ini didasarkan pada perubahan gradien tekanan LCS dan
sistem vaskular.12
Komplikasi dari perdarahan subarachnoid primer pada bayi baru lahir sulit
diidentifikasi, kecuali hidrosefalus. Adhesi di sekitar cisterna magna dan ventrikel
keempat dapat menyebabkan obstruksi sirkulasi LCS. Adhesi di atas konvexitas
serebral juga dapat mengganggu penyerapan atau aliran LCS. Sekuel akhir dari
perdarahan subarachnoid primer sangat sulit dibuktikan. Namun demikian,
beberapa indikasi pada anak-anak yang dengan perdarahan tersebut memiliki
insiden EEG patologis yang lebih tinggi, prestasi sekolah yang buruk, dan insiden
disfungsi otak. Dibandingkan dengan deteksi hidrosefalus kronis pada SAH,

15
diagnosis hidrosefalus akut pada SAH lebih sulit dilakukan. Hal tersebut
disebabkan gejala yang bias diakibatkan SAH seperti sakit kepala, mual, atau
gangguan kesadaran. Karena melibatkan pelebaran ventrikel secara anatomis,
deteksi penyakit tersebut berdasarkan teknik radiografi, terutama CT scan. Selain
itu, MRI memberikan gambaran lebih rinci mengenai kerusakan parenkim otak
oleh pelebaran ventrikel dan morfologi saluran LCS.13
Presentasi klinis PHH simptomatik pada bayi prematur umumnya mirip
dengan hidrosefalus simptomatik pada neonatus. Lingkar kepala orbitofrontal,
fontanela yang cembung, dan sutura yang melebar dapat digunakan untuk menilai
pelebaran ventrikel progresif. Pelebaran sutura sagital yang progresif merupakan
indikasi peningkatan tekanan yang paling dapat diamati. Sebagian kecil bayi akan
menunjukkan tanda-tanda lain peningkatan TIK, seperti apnea, bradikardia,
kelemahan, dan penurunan aktivitas.14
Penatalaksanaan farmakologi pada PHH meliputi acetazolamide dan
manitol. Pemberian obat – obatan dilakukan untuk memperpanjang waktu operasi
shunt dan persiapan pra operasi. SAH dan IVH memiliki komplikasi terjadinya
hidrosefalus dan apoptosis otak. Dalam hal ini, penanganan hidrosefalus pada
kedua etiologi tersebut sama. Trichostatin A (TSA), sebuah histone deacetylase
inhibitor yang meningkatkan autofagi, berkontribusi terhadap apoptosis neuronal,
peningkatan fungsi neurologis, dan berpotensi menyebabkan fibrosis yang lebih
ringan sehingga diperoleh hasil yang lebih baik dari pasien hidrosefalus.15
Selain diterapi dengan farmakologi, PHH juga diselesaikan dengan
pembedahan. Meskipun insiden komplikasi yang sangat tinggi yaitu sekitar 50%
kegagalan shunt dalam waktu 1 tahun, sekitar 30%, dan sejumlah pasien yang
membutuhkan operasi sekunder untuk merevisi kateter shunt, operasi masih
merupakan pengobatan yang disukai untuk penatalaksanaan hidrosefalus. Tujuan
dari pembedahan untuk memperbaiki fungsi neurologi dengan pengalihan aliran
LCS dibanding mengembalikan struktur serebral yang asli. Protokol bedah
berbeda tergantung pada jenis lesi hidrosefalus dan kondisi masing-masing
pasien.13
DAFTAR PUSTAKA

16
1. Bouz P., Zurous A., Taha A., Sadanand V. 2012. Neonatal Intracerebral
Hemorrhage : Mechanism, Management, and the Outcomes. Transl. Stroke
Res. 3 (Suppl 1) : S6–S9

2. Anastasia. 2016. Perdarahan Subdural terkait Defisiensi Kompleks Protrombin


Didapat Cermin Dunia Kedokteran 241 vol. 43 no. 6 : 440 – 443

3. Hanifa R., Syarif I., Jurnalis YD. 2017. Gambaran Perdarahan Intrakranial
pada Perdarahan akibat Defisiensi Vitamin K (PDVK) di RSUP Dr. M.
Djamil. Jurnal Kesehatan Andalas. 6 (2) : 379 – 385

4. Surjono E., Wijaya E., Clarissa E. 2011. Pentingnya Profilaksis Vitamin K1


Pada Bayi Baru Lahir. Damianus Journal of Medicine. Vol.10 No.1: hlm.
51–55

5. Darmenda JM., Santina AZ. 2017. Vitamin K Deficiency Bleeding.


Medscape. Available at https://emedicine.medscape.com/article/974489-print

6. Sankar MJ, Chandrasekaran A, Kumar P, Thukral A, Agarwal R, Paul VK.


Vitamin K prophylaxis for prevention of vitamin K deficiency bleeding: a
systematic review. Journal of Perniatology, [internet]. 2016 [cited 2018 Nov
20]; 36:S29-S34. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4862383/pdf/jp201630a.pd
doi: 10.1038/jp.2016.30

7. Karaci M., Toroslu E., Karsli T., Kanber Y., Albayrak D. 2015. Intracranial
Haemorrhage Due to Late-Onset Vitamin K Deficiency. HK J Paediatr (New
Series) : 20 : 80-85

8. Nidhi AS., Courtney JW. 2016. Intracranial Hemorrhage in the Neonate.


Neonatal Network Vol 35 No 2 : 67 – 72

9. Ida, Ayu. 2012. Cedera Otak Sekunder. Artikel Ilmiah. Kepaniteraan Klinik
Madya Bagian/SMF Ilmu Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Rumah
Sakit Umum Pusat Sanglah

10. Lee IC., Lee HS., Su PH., Liao JW., Hu JM., Chen JY. 2009.
Posthemorrhagic Hydrocephalus in Newborns: Clinical Characteristics and
Role of Ventriculoperitoneal Shunts. Pediatr Neonatol 50 (1) : 26−32

11. Cherian S., Whitelaw A., Thoresen M., Love S. 2004. The pathogenesis of
neonatal post-hemorrhagic hydrocephalus. Brain Pathol. 14 (3) : 305-11.
Available at https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15446586

12. Koschnitzky JE., Keep RF., Limbrick Jr. DD., McAlister JP., Morris JA.,
Strahle J., Yung YC. 2018. Opportunities in posthemorrhagic hydrocephalus

17
research: outcomes of the Hydrocephalus Association Posthemorrhagic
Hydrocephalus Workshop. Fluids Barriers CNS (2018) 15:11

13. Nicollas NR., Hamilton M., Daniel DC. 2017. Traumatic brain lesions in
newborns. Arq Neuropsiquiatr 2017 ; 75 (3) : 180-188

14. Robinson S. 2012. Neonatal posthemorrhagic hydrocephalus from


prematurity : pathophysiology and current treatment concepts: A review. J
Neurosurg Pediatr.2012 March;9(3):1-31 .doi:10.3171/2011.12.PEDS11136.

15. Flanders TM., Bilinghurst L., Flibotte J., Heuer GG. 2018. Neonatal
Hydrocephalus. Neoreviews August 2018, Vol 19, Issue 8 : 1-17

18
Telaah Kritis
Kedokteran Berbasis Bukti (Evidence-Based Practice)

A.Pertanyaan klinis
Bagaimana pencegahan terjadinya perdarahan akibat defisiensi vitamin K pada
bayi?

B.Komponen pertanyaan foreground (PICO)


Patient : Bayi baru lahir
Intervention : Injeksi vitamin K
Comparisons : Bayi tidak mendapat injeksi vitamin K
Outcome : VKDB klasik atau onset lambat

C. Metode penelusuran
Kami melakukan penelusuran pada database Pubmed: kata kunci “vitamin K”
AND “prophylaxis” AND “vitamin K deficiency bleeding“ dan kami menemukan
judul ”Vitamin K prophylaxis for prevention of vitamin K deficiency bleeding: a
systematic review. Diambil dari Journal of Perinatology, 2016 ; 20: 529-534

KAJIAN KRITIS KEDOKTERAN BERBASIS BUKTI SYSTEMATIC REVIEWS


1. Internal validity
Apakah systematic reviews mengemukakan pertanyaan yang fokus pada
PICO?
Pertanyaan yang dikemukakan adalah bagaimana kecenderungan terjadinya
VKDB dengan (1) melakukan estimasi insidensi VKDB onset lambat pada bayi
yang tidak mendapat vitamin K saat lahir dan (2) efek dari profilaksis vitamin K
pada insidensi VKDB pada neonatus atau bayi > 1 tahun. Hasilnya adalah
VKDB onset lambat cenderung terjadi pada bayi yang tidak mendapat vitamin K
saat lahir dan manfaat profilaksis vitamin K pada angka insidensi VKDB

Apakah pertanyaan tersebut digunakan untuk mencari dan memilih artikel sebagai
inklusi?

19
Kata kunci pencarian adalah (newborn OR infan* or neonat*) AND (vitamin K
prophylaxis). Untuk objektif 1, penelitian kohort prosepektif dan retroskpektif,
cross-sectional. Untuk objektif 2, RCT dan surveilans. Kriteria inklusi adalah
penelitian dari negara dengan penghasilan rendah, menengah, dan tinggi, dan data
yang dilaporkan adalah neonatus - 1 bulan.

Apakah pencarian dapat menemukan bukti yang relevan?


Pencarian dilakukan dari database seperti MEDLINE, Embase, Cochrane
CENTRAL, Web of Science, CINAHL, IndMed dan situs uji klinis
(www.clinicaltrials.gov) dan tidak menggunakan batasan bahasa. Strategi
pencarian menggunakan kosakata yang dikontrol. Beberapa konferensi yang
terkait juga dicari abstraknya. peneliti memindai judul dan abstraknya untuk
mengeksklusi penelitian yang tidak relevan.

2. Appraise
Apakah penelitian tersebut sudah ditelaah kritis?
Ekstraksi data menggunakan formulir predesigned data. Tiga penulis (MJS, PK,
AC) menilai kualitas metodologi pada penelitian yang sudah terpilih. Penilaian
kualitas uji randomisasi menggunakan kriteria tersamar, blinding, follow up
komplit.

Apakah hanya memasukkan studi berkualitas tinggi?


Terdapat 15 penelitian yang masuk dalam kriteria inklusi, 2 penelitian RCT dan
13 penelitian observasi

3. Hasil
Bagaimana hasil dipresentasikan ?
Systemic review menyediakan ringkasan hasil masing-masing penelitian. Jika
hasilnya mirip, metode statistika (meta-analisis) digunakan untuk menggabungkan
hasil penelitian tersebut dan keseluruhan estimasi ringkasan dihitung. Hasil
tersebut dinyatakan dengan RRR, OR dan ditunjukkan pada forest plot.

20
Forest plot menggambarkan meta-analisis 2 penelitian yang menilai efek vitamin
K profilaksis pada VKDB onset lambat. Kedua penelitian tidak melewati garis
vertikal artinya signifikan (p<0,05). Bentuk “diamond” menggambarkan
gabungan OR dari kedua penelitian dengan CI 95% à pemberian vitamin K
profilaksis menurunkan kejadian VKDB onset lambat 98% (OR 0,02) dan tidak
melewati garis vertikal menunjukkan signifikan

21

Anda mungkin juga menyukai