Anda di halaman 1dari 2

Bali Yang Syariah

(Dani Siregar)

Saya meninggalkan pekerjaan lama dan memulai kerja dari bawah lagi hanya supaya bisa
tinggal di Bali. Bali itu eksotik sekaligus misterius. Disana terjadi pertemuan dua arus besar
antara dunia modern dan ketatnya unsur tradisional. Menariknya, kedua unsur yg sebenarnya
berbeda ini bukannya saling menolak, malah saling berkait. Di Bali begitu mudah kita
menemukan kendaraan terbaru semudah kita menemukan patung-patung yang bercerita
tentang legenda masa lalu.

Orang Bali itu aneh menurut saya. Mereka begitu terbukanya terhadap pendatang baru, tetapi
mereka bisa menjaga adat istiadat mereka dengan sangat kuat sehingga tidak kehilangan
identitas dirinya. Bandingkan dengan Jakarta misalnya, dimana ciri masyarakat Betawi harus
dipaksa dilestarikan supaya tidak hilang tergerus arus modernisasi. Anak muda di Bali-pun
bangga dengan pakaian tradisional mereka, sebangga mereka menyanyikan lagu-lagunya
Rihanna.

Meskipun begitu, karena saya muslim, terkadang saya harus menahan diri terhadap rasa mual
melihat makanan sejenis lawar, yang tampak seperti daging babi dan darahnya diaduk menjadi
satu dan menjadi makanan lezat bagi masyarakat Bali. Tapi lama-lama saya terbiasa juga
melihat teman saya yang asli Bali makan dengan lahapnya di samping saya.

Dengan semua kelebihan yang ada pada Bali dan membuat saya jatuh cinta pada suasana,
keluguan dan kebaikan masyarakatnya, saya menjadi heran ketika pemerintah hendak
menjadikan Bali sebagai salah satu destinasi wisata syariah.

Pemerintah seharusnya paham, bahwa kata "syariah" itu berarti aturan yg tunduk pada
ketetapan Tuhan dan dalam hal ini syariah identik dengan Islam. Lalu, bagaimana Bali yang
mayoritas Hindu bisa menerima begitu saja identitas agama lain disematkan kepada mereka ?

Pemerintah juga seharusnya peka, bahwa Islam yang selama ini dikenal oleh warga Bali adalah
Islam fundamentalis yang sudah mengacak-ngacak periuk makan mereka dengan bom Bali 1
dan 2. Peristiwa yang menghancurkan tiang ekonomi mereka yang sepenuhnya bergantung
pada pariwisata. Dan menyematkan kata "syariah" memunculkan kembali trauma mereka.

Pemerintah harus sadar bahwa Bali tidak ingin mengganti pemandangan pantai mereka yang
indah dengan gurun pasir yang banyak onta. Bali sudah sangat cukup dengan turis Eropa,
Jepang dan Australia sehingga tidak membutuhkan turis timur tengah yg sangat pelit tapi
permintaannya banyak luar biasa.

Warga Bali juga paham bahwa "syariah" yang dimaksud bukan meng-Islamisasi Bali, melainkan
hanya menyediakan restoran Islami, hotel Islami. Tapi kenapa mesti harus bicara syariah ?
Selama ini disana kalau ingin mencari masakan muslim, cukup cari rumah makan Jawa atau
Padang. Itu sudah ciri yang melekat halal-nya, tidak usah lagi pake label syariah-syariahan.
Kalau hotel ngapain juga pake konsep syariah ?

Warga Bali tidak perlu mengemis turis, justru turis-lah yang harus beradaptasi dengan adat
dan budaya mereka. Tidak perlu dengan alasan untuk meningkatkan pendapatan dari sisi
pariwisata, Bali adalah penyumbang pendapatan pariwisata terbesar di Indonesia. Bahkan Bali
bisa lebih terkenal di luar daripada nama Indonesia.

Pemerintah harus memahami Bali dan menghargai berapa lama mereka mempertahankan ciri
khas mereka dengan meminta gedung-gedung yang ada di Bali harus mempunyai ciri Bali, lalu
untuk apa pemerintah memaksa mereka harus bernuansa timur tengah ?

Biarkan Bali dengan Bali-nya. Selama ini mereka tenteram, damai dan orang Hindu di sana
sebagai mayoritas menjaga minoritas lainnya dengan tanggung-jawab dan amanah. Jangan
mereka digesek-gesekkan sehingga keluar ego keagamaannnya.

Coba, beranikah pemerintah memaksa warga Aceh untuk mendirikan sebuah pura disana ?
Wong, gereja aja dibakar apalagi pura yang asumsi masyarakat sana adalah menyembah
patung. Biarkan semua berkembang sesuai dengan budaya yang ada tanpa harus dipaksa
mereka menerima. Pemerintah jangan karena alasan menambah devisa dari pariwisata, tidak
bertanya dulu kepada masyarakat sekitar apakah menerima atau tidak ? Jangan main paksa.

Pada waktu kerusuhan Mei 98, berbondong-bondong warga Jakarta mengungsi ke Bali. Pada
waktu kerusuhan Ambon, warga Ambon juga banyak yg mengungsi ke Bali. Itu tandanya Bali
masih teridentifikasi sebagai tempat aman, jangan pula malah dijadikan tempat yang tidak
aman.

Begitu banyak wisata syariah yang bisa dibangun di daerah yg sesuai, kenapa mesti memaksa
Bali? Kalau yang dimaksud wisata syariah adalah wisata religi, bukankah selama ini Bali juga
menyediakan wisata religi tanpa harus gembor-gembor?

Bali ya Bali, mereka tidak bisa dipaksa menjadi Sulawesi. Nasar ya Nasar, ia tidak bisa dipaksa
menjad atlet angkat besi. Bisa aneh jadinya, ketika tangannya yang kekar dan berotot
mengacung di depan kamera sambil jarinya di kuncupkan ke atas dan berkata dengan suara
gemulai, "sini, kuremas punyamu..."

Anda mungkin juga menyukai