Jurnal The Determinant of Performance Information
Jurnal The Determinant of Performance Information
(Critical Review)
Oleh :
Abstract
Penelitian ini menguji faktor-faktor penentu penggunaan informasi kinerja
dengan menggunakan teori pembelajaran organisasi dan peran kepemimpinan
dalam pembelajaran organisasi. Populasi penelitian ini adalah 424 pejabat
pemerintah dari semua institusi di Kota Kediri, Jawa Timur, dimana 18,87% sampel
(80 responden) dapat diolah. Temuan ini secara empiris mendukung sistem
pengukuran kinerja, budaya organisasi, dan kepemimpinan transformasional yang
berpengaruh positif terhadap penggunaan informasi kinerja. Selain itu,
kepemimpinan transformasional secara tidak langsung mempengaruhi kinerja
informasi melalui sistem pengukuran kinerja dan budaya organisasi. Secara
keseluruhan, tujuan pengelolaan kinerja dapat tercapai jika sistem pengukuran
kinerja sesuai
Pendahuluan
Gelombang reformasi pengelolaan sektor publik di negara-negara
berkembang menjadi fokus perhatian publik karena gagalnya kinerja organisasi dan
peran lembaga global yang telah menerapkan agenda good governance dalam
pelayanan publik (Marobela, 2008). Pemerintah Indonesia juga menerapkan
manajemen kinerja sebagai bentuk reformasi manajemen sektor publik untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat dan Dana Moneter Internasional (IMF) dalam
menetapkan tata pemerintahan yang baik berdasarkan hukum Inpres No.7 / 1999
yang berlaku. Manajemen kinerja adalah praktik manajemen yang didasarkan pada
asumsi bahwa identifikasi dan pemanfaatan informasi kinerja ditujukan untuk
meningkatkan kinerja organisasi (Moynihan, 2005; Moynihan dan Landuyt, 2009;
Walker et al., 2011; Kroll, 2015).
Kinerja Manajemen akan kinerja jika informasi kinerja diperoleh melalui
sistem pengukuran kinerja yang telah digunakan untuk pengendalian manajemen
dan pengambilan keputusan (Moynihan et al., 2012; Kroll, 2015). Oleh karena itu,
penggunaan informasi kinerja dipandang sebagai tahap kritis yang menunjukkan
langkah nyata manajemen dalam proses mencapai tujuan reformasi manajemen
yang tidak hanya menyangkut kepatuhan terhadap peraturan formal sistem
pengukuran kinerja (Kroll, 2015). Namun, beberapa penelitian sebelumnya
mengenai pemerintah daerah dan lembaga pemerintah daerah di Indonesia hanya
mengungkapkan bahwa penerapan sistem pengukuran kinerja hanyalah kegiatan
rutin untuk memenuhi tugas formal sebagai bentuk akuntabilitas bagi pemegang
saham namun belum mengarahkan penggunaan informasi kinerja untuk
pengendalian dan pengambilan keputusan manajemen yang lebih baik (Sihalolo dan
Halim, 2005; Nurkhamid, 2008; Akbar et al., 2012).
Studi ini mengeksplorasi hubungan antara penggunaan informasi kinerja dan
pembelajaran organisasi sehingga hasil penelitian ini diharapkan dapat
berkontribusi dalam mengembangkan teori pembelajaran organisasi dan
memperkaya literatur manajemen kinerja. Selanjutnya, hasil penelitian ini
memberikan pemahaman mengenai faktor-faktor penentu informasi kinerja yang
digunakan sebagai umpan balik pemerintah daerah untuk memperhatikan faktor-
faktor keberhasilan reformasi manajemen.
Literatur Review dan Hipotesis
Penggunaan informasi kinerja merupakan salah satu tahapan siklus
manajemen kinerja. Studi ini mengkonseptualisasikan informasi kinerja yang
digunakan sebagai pembelajaran organisasi karena tahap ini tidak terjadi secara
mendadak. Tahap ini merupakan proses yang dilakukan secara sengaja dan
sistematis oleh para pengelola untuk mempelajari beberapa program / kegiatan yang
diukur melalui perolehan informasi kinerja dari sistem pengukuran kinerja;
Selanjutnya, akan mengidentifikasi masalah dan peluang yang kemudian
mengarahkan manajer ke manajemen mengendalikan dan pengambilan keputusan
yang lebih baik sebagai perbaikan terus-menerus untuk memperbaiki kinerja
organisasi (Barrados dan Mayne, 2003; Moynihan, 2005; Taylor, 2011). Oleh
karena itu, teori pembelajaran organisasi menjadi dasar penggunaan informasi
kinerja. Faktor penentu penggunaan informasi kinerja dalam teoritis ini
Kerangka kerja akan dibahas lebih lanjut pada bagian berikut.
1. Sistem Pengukuran Kinerja
Validitas sistem pengukuran kinerja memainkan peran penting dalam
penggunaan informasi kinerja (The Urban Institute, 2002; Taylor, 2011;
Losurdo et al, 2014). Validitas sistem pengukuran kinerja sangat ditentukan
oleh rutinitas sistem pengukuran kinerja yang berjalan dengan baik dan telah
melewati proses review dan perbaikan berkesinambungan sehingga akan
meningkatkan kualitas sistem dalam jangka panjang hingga menghasilkan
informasi yang valid dan tidak terdistorsi (Taylor, 2011; Losurdo et al., 2014).
Ketersediaan informasi informasi kinerja yang valid dan relevan tentunya
akan mendorong penggunaan informasi kinerja karena ada kesempatan yang
lebih besar bagi manajer untuk mengandalkan informasi tersebut dalam
membuat keputusan yang lebih baik untuk perbaikan berkelanjutan
(Moynihan dan Pandey, 2010). Temuan Moynihan dan Lavertu (2012) dan
Dull (2009) memberikan bukti empiris bahwa keterlibatan dalam
Government Performance and Results Act (GPRA) secara rutin memiliki
pengaruh positif terhadap penggunaan informasi kinerja. Dengan demikian,
ini mengarah pada hipotesis berikut:
H1 : Sistem pengukuran kinerja memiliki efek positif terhadap penggunaan
informasi kinerja
2. Budaya Organisasi
Aspek budaya dalam pembelajaran organisasi terkait dengan budaya
organisasi yang mendukung pembelajaran produktif dalam mekanisme
pembelajaran organisasi. Bukan hanya mekanisme pembelajaran ritualistik
yang membawa pada ketidakmampuan belajar (Popper dan Lipshitz, 2000a).
Informasi kinerja yang digunakan sebagai proses pembelajaran yang
berkesinambungan membutuhkan informasi, transparansi, orientasi isu, dan
akuntabilitas yang valid sebagai nilai pembelajaran dalam budaya organisasi
(Popper dan Lipshitz, 2000a; Barrados dan Mayne, 2003). Informasi yang
valid mengacu pada kemauan anggota organisasi untuk menyajikan informasi
yang utuh dan tidak terdistorsi sehingga informasinya relevan untuk
penggunaan informasi kinerja. Informasi yang valid adalah tentang kemauan
untuk mengungkapkan pelaksanaan program secara terbuka dan terbuka
untuk mendapatkan umpan balik (transparansi). Selanjutnya, transparansi
berfokus pada fakta kinerja sehingga ada komunikasi terbuka dalam
organisasi yang memungkinkan peningkatan inovasi dan pembelajaran (issue
orientation). Akhirnya, akuntabilitas akan muncul karena kesadaran
karyawan untuk bertanggung jawab atas setiap keberhasilan atau kegagalan
tindakan mereka dan juga mengambil pelajaran dari tindakan yang dilakukan
(Ellis et al., 1999; Popper dan Lipshitz, 2000b). Nilai pembelajaran tersebut
berfokus pada proses perbaikan berkelanjutan yang diarahkan untuk
keterbukaan, inovasi, dan perubahan. Meskipun tidak ada penelitian empiris
yang meneliti peran budaya pembelajaran terhadap penggunaan informasi
kinerja, penelitian terdahulu telah memberikan bukti empiris bahwa budaya
organisasi yang terbuka terhadap inovasi dan perubahan mempengaruhi
penggunaan informasi kinerja (Sihalohi dan Halim, 2005; Nurkamid, 2008;
Moynihan dan Pandey, 2010). Berdasarkan tinjauan literatur dan penelitian
terdahulu, hal tersebut mengarah pada hipotesis berikut:
H2 : Budaya organisasi berpengaruh positif terhadap penggunaan
informasi kinerja
Kepemimpinan Transformasional
Kepemimpinan adalah salah satu aspek kontekstual yang berperan
dalam menciptakan dan mempromosikan pembelajaran organisasi (Lipshitz
et al, 2002). Berdasarkan tinjauan literatur dan penelitian sebelumnya, Popper
dan Lipshitz (2000b) menyimpulkan bahwa kepemimpinan transformasional
adalah gaya kepemimpinan yang berperan dalam pembelajaran organisasi.
Hal ini terkait dengan empat karakteristik kepemimpinan transformasional
yang biasa disebut "Four I's" oleh Bass dan Avolio (1994) seperti pengaruh
ideal sebagai pemimpin harus karismatik untuk mencapai pengaruh dan
kekuatan yang besar bagi anggotanya, motivasi inspirasional sebagai
pemimpin harus mengilhami anggotanya dengan sebuah gagasan bahwa
organisasi akan dapat mencapai hal-hal besar karena usaha ekstra,
pertimbangan individu sebagai pemimpin harus memenuhi kebutuhan
emosional anggotanya secara individual, dan stimulasi intelektual sebagai
pemimpin harus merangsang intelektualitas anggotanya dengan menyediakan
perspektif yang berbeda untuk setiap masalah.
H3 : Kepemimpinan transformasional memiliki efek positif terhadap
kinerja informasi