Anda di halaman 1dari 19

Diagnosis dan Penatalaksanaan Keseimbangan Elektrolit

BAB I

PENDAHULUAN

Tubuh manusia merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai proses fisikokimia yang menunjang
kehidupan sehari hari. Tubuh selalu berusaha agar segala sesuatu yang ada didalamnya berada dalam
rentang konstan agar tercapai keadaan homeostasis. Seluruh sistem metabolisme bekerja sama dengan
harmonis satu sama lain dalam menjalankan fungsinya masing masing. 1,2

Elektrolit dan cairan merupakan salah satu faktor yang berperan dalam menjaga keseimbangan ini.
Secara kimiawi, elektrolit adalah unsur unsur yang berperan sebagai ion dalam larutan dan memiliki
kapasitas untuk konduksi listrik. Dan keseimbangan elektrolit merupakan suatu hal yang penting agar sel
dan organ dapat berfungsi secara normal. Elektrolit terdiri atas kation dan anion. Di dalam tubuh ada
beberapa kation yang penting yaitu, natrium, kalium, kalsium dan magnesium. Sedangkan anion yang
penting adalah klorida, bikarbonat, dan fosfat.1,2,3

Gangguan keseimbangan elektrolit diartikan sebagai suatu keadaan dimana kadar elektrolit di dalam
darah berada dalam rentang nilai yang tidak normal. Bisa melebihi nilai normal atau dibawah nilai
normal. Implikasi dari keadaan ini berpengaruh dalam hal keseimbangan cairan dan fungsi fungsi organ
tubuh lainnya. Berbagai macam hal dapat menyebabkan ketidakseimbangan ini. Ketidakseimbangan
antara kebutuhan dengan asupan serta ekskresi adalah penyebab utamanya. Adanya gangguan dari
sistem regulasi yang berperan, juga memberikan dampak dalam keseimbangan elektrolit.1,3

Dalam praktek klinik sehari hari gangguan elektrolit merupakan kelainan yang sangat sering dijumpai.
Keadaan ini biasanya merupakan bagian manifestasi klinis dari penyakit dasar yang diderita pasien.
Hampir 20 % pasien rawat inap mengalami gangguan elektrolit, yang disebabkan oleh bermacam hal,
sehingga dalam pembiayaanpun menjadi hal yang diperhitungkan.4,5

Gangguan elektrolit seringkali terdiagnosis saat pasien dirawat di rumah sakit, terutama pada pasien
pasien dengan penyakit kritis. Keadaan ini berhubungan dengan meningkatnya risiko mortalitas di rumah
sakit. Insidensi gangguan elektrolit terbanyak adalah gangguan kalium dan natrium. Sebanyak lebih dari
21 % pasien di rumah sakit mengalami hipokalemia dan 15 20 % mengalami hiponatremia. Pasien
pasien dengan hiperkalemia mencapai 1 10 %, sedangkan hipernatremia 0,3 5,5 % dari seluruh
pasien yang dirawat. Hiperkalsemia terjadi pada lebih dari 70 % kasus keganasan. Hipomagnesemia
muncul pada lebih dari 12% pasien, yang terkadang sering diabaikan oleh para klinisi. 6,7,8,9,10,11
Mengingat tingginya angka kejadian gangguan keseimbangan elektrolit dalam praktek klinik seharihari,
terutama gangguan keseimbangan natrium, kalium, kalsium dan magnesium, maka perlu adanya suatu
pemahaman yang lebih baik. Dengan pemahaman ini, akan memudahkan dalam hal penentuan
diagnosis yang cepat dan akurat, sehingga terapi dan penatalaksanaan dapat diberikan dengan cepat dan
akurat pula. Atas dasar inilah refrat ini ditulis.

BAB II

FISIOLOGI ELEKTROLIT

2.1. Keseimbangan Natrium dan Cairan

Natrium adalah kation utama cairan ekstraseluler (CES). Dalam kondisi fisiologis, Natrium (Na) serum
memiliki rentang nilai antara 138 142 mmol/L. Untuk menilai jumlah total partikel dalam darah, maka
perlu diukur osmolalitas serum. Osmolalitas serum memiliki nilai berkisar antara 280 290
mOsm/kgH2O. Osmolalitas diukur dengan rumus3 :

P_osm=2(Na)+(Nitrogen urea darah (mg/dl))/2,8+(glukosa(mg/dl))/18

Peningkatan osmolalitas akibat absorpsi Na atau kehilangan cairan yang berlebihan, menyebabkan cairan
intraseluler keluar untuk menyeimbangkan tekanan osmotik. Untuk itu, perlu adanya suatu
osmoregulator. Dalam hal ini, ada suatu sensor atau osmoreseptor yang ada di hipotalamus, dan Anti
Diuretic Hormone (ADH), yang dikenal juga dengan antidiuretin atau vasopressin. Ginjal berperan
sebagai organ target ADH. 12,13

Naik turunnya ekskresi natrium dalam urin diatur oleh filtrasi glomerulus dan reabsorpsi oleh tubulus
ginjal. Kondisi hipervolemi dan peningkatan asupan Na akan meningkatkan Laju Filtrasi Glomerulus
(LFG), begitupula sebaliknya. Perubahan pada LFG akan mempengaruhi reabsorpsi natrium di tubulus.
Hampir 99 % Na yang sudah difiltrasi direabsorpsi kembali. Paling banyak direabsorpsi di tubulus
proksimal 65 %, ansa henle 25 30 %, dan 5 % saja di tubulus distal dan 4 % di duktus koligentes.12,13

Setiap hari, sekitar 8 15 mg Natrium diabsorpsi setiap harinya. Ginjal harus mengekskresikan dalam
jumlah yang sama setiap waktu, untuk mempertahankan homeostasis CES. Adapun faktor faktor yang
mempengaruhi regulasi ini adalah 12:

Sistem Renin Angiotensin / Renin Angiotensin System ( RAS )

Aktivasi sistem ini meningkatkan retensi natrium melalui angiotensin II, aldosteron dan ADH

Atriopeptin / Atrial Natriuretic Peptide (ANP)


Adalah hormon peptida yang disekresikan oleh sel spesifik dari atrium jantung sebagai respon terhadap
peningkatan volume CES. Hormon ini meningkatkan ekskresi Na pada ginjal dengan meningkatkan fraksi
filtrasi dan menginhibisi reasorpsi natrium dari duktus koligentes.

ADH

Sekresi hormon ini distimulasi oleh :

Peningkatan osmolalitas plasma dan cairan serebrospinal

Reflek Gauer-Henry, yang muncul ketika terjadi peregangan reseptor di atrium yang memberikan sinyal
ke hipotalamus bahwa telah terjadi penurunan jumlah CES > 10 %.

Angiotensin II

Aldosteron

Efek hormon ini adalah menstimulasi reabsorpsi natrium. Sekresi hormon ini distimulasi oleh angiotensin
II

Gbr. 1. Regulasi Keseimbangan Air dan Garam12

2.2. Keseimbangan Kalium

Kalium (K) adalah kation utama kompartemen cairan intraseluler ( CIS ). Sekitar 90 % asupan kalium
diekskresikan di urin dan 10 % di feses. Konsentrasi normal kalium di plasma adalah 3,5 4,8 mmol/L,
sedangkan konsentrasi intraseluler dapat 30 kali lebih tinggi, dan jumlahnya mencapai 98 % dari jumlah K
keseluruhan. Walaupun kadar kalium di dalam CES hanya berkisar 2 % saja, akan tetapi memiliki peranan
yang sangat penting dalam menjaga homeostasis. Perubahan sedikit saja pada kalium intraseluler, akan
berdampak besar pada konsentrasi kalium plasma.2,14

Keseimbangan Kalium diatur dengan menyeimbangkan antara pemasukan dan ekskresi, serta distribusi
antara intrasel dan ekstrasel. Regulasi akut kalium ekstraseluler dicapai dengan perpindahan kalium
internal antara CES dan CIS. Ketika kadar kalium ekstrasel meningkat akibat asupan yang banyak, atau
disebabkan oleh pembebasan kalium internal, maka regulasi akut ini akan terjadi. Regulasi ini
merupakan kontrol hormonal, yaitu1,2,14 :

Insulin disekresikan segera setelah makan, dan ini akan menstimulasi Na, K, ATPase dan mendistribusikan
Kalium yang didapat dari selsel makhluk hidup yang dimakan ke intrasel.

Epinefrin meningkatkan ambilan kalium sel, yang mana penting untuk kerja otot dan trauma. Kedua
kondisi ini memicu terjadinya peningkatan kalium plasma.

Aldosteron juga berperan dalam meningkatkan konsentrasi kalium intraseluler.


Perubahan pH mempengaruhi distribusi kalium ekstra dan intraseluler. Pada asidosis, konsentrasi K
ekstraseluler meningkat, sedangkan alkalosis cenderung membuat hipokalemia.

Regulasi kronik untuk homeostasis K adalah oleh ginjal. 65 % dari K yang difiltrasi, direabsorpsi sebelum
mencapai akhir dari tubulus proksimal ginjal, 20% di tubulus distal, dan 15 % lainnya di ansa henle.
Jumlah ekskersi kalium ditentukan pada tubulus penghubung dan duktus koligentes Besarnya jumlah K
yang direabsorpsi atau disekresi tergantung kepada kebutuhan. Pada keadaan dimana pemasukan
berlebihan, maka ekskresi akan meningkat, begitupula sebaliknya.13,14

2.3. Keseimbangan Kalsium

Ion kalsium (Ca) merupakan elektrolit yang banyak terdapat di ekstraseluler, dimana 99 % disimpan di
tulang. Kadar normal kalsium plasma adalah 8,1 10,5 mmol/L. Ca berfungsi pada sistem
neuromuskular, konduksi saraf, kontraksi otot, relaksasi otot, dan juga penting untuk mineralisasi tulang
dan merupakan kofaktor penting untuk sekresi hormon pada organ endokrin. Pada tingkat sel, Ca
merupakan regulator penting untuk transpor ion dan integritas membran. Tulang berperan ganda,
dimana berperan sebagai yang mengambil kalsium untuk stabilitas dan sebagai depot untuk keadaan
suplai kalsium yang rendah.2,9

Paratiroid Hormon (PTH), adalah suatu faktor yang penting dalam regulasi keseimbangan kalsium dengan
menurunkan ekskresi dan meningkatkan absorpsi kalsium di ginjal dengan bantuan 1,25 COH2 Vitamin
D3 (calcitrol), dan merangsang osteoklas melepaskan kalsium dari tulang. Efek PTH di tubulus adalah
merangsang aktifitas 1 alfa hidroksilase yang akan memicu produksi calcitrol. PTH meningkatkan
reabsorpsi Ca di TAL, dan begitu juga pada tubulus distal. Selain itu, calcitrol juga akan meningkatkan
absorpsi kalsium di intestinal. PTH bergantung kepada Calsium Sensing Reseptor (CSR) untuk mendeteksi
adanya kelebihan kalium serum, dan menghambat sekresi PTH. PTH disekresikan oleh chief cells pada
kelenjar paratiroid yang akan meningkatkan kadar kalsium darah.2,9

Reasorbsi kalsium terjadi pada semua tubulus ginjal. 60 70 % terjadi di tubulus proksimal, 30 % di Thick
Ascending Limb (TAL) dari ansa henle. Karena reasorpsi Ca pada TAL bergantung kepada reabsorpsi NaCl,
maka pada loop diuretic, kalsium diinhibisi untuk direabsorpsi. Asidosis menghambat reabsorpsi kalsium
dengan mekanisme yang belum dapat dipahami.9,15,16

2.4. Keseimbangan Magnesium

Magnesium (Mg) adalah kation keempat terbanyak di dalam tubuh dan kation ektraseluler kedua
terbanyak. Konsentrasi magnesium plasma berkisar 0,7 1,2 mmol/L atau 1,5 1,9 mEq/L. Dan hampir
50 % terikat dengan protein. Magnesium berperan penting dalam ratusan reaksi enzim yang merupakan
hal esensial bagi tubuh. Juga berperan dalam fungsi sel, termasuk transfer energi, penyimpanan dan
penggunaan protein dan karbohidrat dan metabolisme lemak. Berperan juga dalam mempertahankan
fungsi membran sel, dan regulasi sekresi hormon paratiroid. Sekitar 60 65 % dari magnesium tubuh
disimpan di tulang dan selebihnya di dalam sel. Hanya 1 % saja yang terdapat di ekstraseluler. Tulang
merupakan reservoir bagi Mg. Selebihnya dalam bentuk ion bebas di plasma. Keseimbangan Mg
melibatkan ginjal, usus halus, dan tulang. 2,8

Hampir 80 % magnesium difiltrasi diglomerulus, dan direasorpsi disepanjang nefron. Mg direabsorpsi 15


% pada tubulus proximal. Sekitar 70 % terjadi reabsorpsi paraseluler di Thick Ascending Limb (TAL) dari
ansa henle. Sebanyak 10 15 % lainnya dengan reabsorpsi transeluler di tubulus distal. Regulasi ekskresi
Mg2+ distimulasi oleh hipermagnesemia, hiperkalsemia, hipervolemia dan loop diuretik. Dan mekanisme
penghambat dipengaruhi oleh defisit magnesium, kalsium dan volume cairan. Dan juga dipengaruhi
hormon paratiroid yang bekerja pada TAL. Seperti pada kalsium, Mg juga berperan dalam regulasi sekresi
PTH. Keadaan dimana kadar Mg plasma meningkat, akan menekan pelepasan PTH, begitu juga
sebaliknya.2,8

BAB III

ETIOPATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI

3.1. Gangguan Keseimbangan Natrium

3.1.1. Hiponatremia

Hiponatremia dapat terjadi pada keadaan tonisitas atau osmolalitas yang rendah, normal ataupun tinggi.
Sebagian besar kejadian hiponatremia berkaitan dengan hipotonisitas, yang berarti bila jumlah asupan
cairan melebihi kemampuan eskresi.1,17,18

Etiologi dari hiponatremia dapat dibagi atas1,17 :

Hiponatremia dengan osmolalitas plasma normal

pemberian cairan iso-osmotik yang tidak mengandung natrium ke cairan ekstra sel dapat menimbulkan
hiponatremia dengan osmolalitas plasma normal. Termasuk dalam hal ini, keadaan hiperproteinemia dan
hiperlipidemia

Hiponatremia dengan osmolalitas plasma tinggi

Pada keadaan osmolalitas plasma yang tinggi, seperti pada keadaan hiperglikemia berat atau pemberian
manitol intravena. Cairan intrasel akan keluar ke ekstrasel menyebabkan dilusi cairan ekstrasel, dan
menyebabkan hiponatremia.

Hiponatremia dengan osmolalitas plasma rendah


Terjadi pada keadaan seperti gagal jantung, sirosis, insufisiensi renal, sindroma nefrotik. Keadaan-
keadaan ini terjadi dengan volume CES yang meningkat. Pada SIADH, volume CES normal dan pada
keadaan muntah atau pada pemakaian diuretik, volume CES menurun.

Hiponatremia akut diartikan sebagai kejadian hiponatremia dalam jangka waktu kurang dari 48 jam.
Pada keadaan ini tertjadi perpindahan cairan dari ekstrasel ke intrasel, termasuk ke sel otak. Hal ini akan
menyebabkan terjadinya edema otak yang mana keadaan ini merupakan keadaan berat yang dapat
menyebabkan kejang dan penurunan kesadaran. Edema otak yang terjadi, dibatasi oleh kranium
disekitarnya, yang mengakibatkan terjadinya hipertensi intrakranial dengan resiko brain injury17,18

Hiponatremia kronik diartikan sebagai keadaan hiponatremia dalam jangka waktu yang lebih dari 48 jam.
Gejala yang timbul tidak berat karena ada proses adaptasi. Pada keadaan ini, cairan akan keluar dari
jaringan otak dalam beberapa jam. Gejala yang timbul hanya berupa lemas dan mengantuk, bahkan
dapat tanpa gejala. Keadaan ini dikenal juga dengan hiponatremia asimtomatik. Namun perlu
diperhatikan pada proses adaptasi ini dapat menjadi proses yang berlebihan yang berisiko terjadinya
demyelinisasi osmotik.1,18

3.1.2 Hipernatremia

Hipernatremia adalah suatu keadaan dengan defisit cairan relatif, dalam artian merupakan keadaan
hipertonisitas, atau hiperosmolalitas. Etiologi dari hipernatremia adalah10,19 :

Adanya defisit cairan tubuh akibat ekskresi air yang melebihi ekskresi natrium. Seperti pada pengeluaran
keringat, insesible water loss, diare osmotik akibat pemberian laktulosa atau sorbitol

Asupan air yang kurang, pada pasien dengan gangguan pusat rasa haus di hipotalamus akibat tumor dan
gangguan vaskuler

Penambahan natrium yang berlebihan, seperti pada koreksi asidosis dengan bikarbonat, atau pemberian
natrium yang berlebihan

Masuknya air tanpa elektrolit ke dalam sel, misalnya setelah latihan fisik berat.

Keadaan hipernatremia akan membuat cairan intraseluler keluar ke ekstraseluler untuk


menyeimbangkan osmolalitas cairan ekstrasel. Hal ini akan membuat terjadinya pengkerutan sel, dan
bila terjadi pada sel saraf sistem saraf pusat, maka akan menimbulkan disfungsi kognitif, seperti lemah,
bingung, sampai kejang.10,19

3.2. Gangguan Keseimbangan Kalium

3.2.1. Hipokalemia

Penyebab hipokalemia antara lain1,7,13 :

Asupan kalium yang kurang. Secara fisiologis, ekskresi kalium di ginjal sebanding dengan jumlah asupan.
Hipokalemia jarang yang hanya disebabkan asupan kalium yang rendah saja.
Pengeluaran Kalium yang berlebihan. Ekskresi kalium dapat melalui sistem pencernaan, keringat atau
ginjal. Beberapa etiologi ekskresi kalium meningkat adalah muntah, pemakaian NGT, diare, pemakaian
diuretik loop dan tiazid serta hiperaldosteronisme.

Kalium berpindah dari ekstrasel ke intrasel (Redistribusi). Terjadi pada keadaan alkalosis, pemberian
insulin, pemakaian beta 2 agonis, paralysis periodic hypokalemic, dan hipotermia. Konsentrasi ion kalium
pada pada ekstrasel sangat keci dan keadaan ini tidak tercermin pada jumlah kalium serum. Pada
hipokalemia kronik, penurunan kalium serum 1 mmol/L sebanding dengan defisit 200 mmol/L kalium
total tubuh, maka perlu dipertahankan kalium serum > 4 mEq/L.

Defisiensi kalium dapat mempengaruhi berbagai sistem organ, seperti sistem kardiovaskuler, otot dan
ginjal. Hipokalemia dapat menyebabkan hipertensi dan aritmia ventrikel. Mekanisme terjadinya
hipertensi masih belum dapat dijelaskan dengan baik. Akan tetapi, keadaan ini dihubungkan dengan
retensi garam di ginjal, selain akibat berbagai proses hormonal. Aritmia terjadi akibat membran potensial
otot jantung yang terdepolarisasi sebagian, sehingga terjadi automatisasi, atau akan muncul gelombang
u, dan pemanjangan QT. Gangguan jantung diperburuk oleh pengobatan digoksin dan pasien dengan
iskemia. Keadaan hipokalemia dapat memeperburuk hiperglikemia pada pasien diabetes, akibat
pengaruh terhadap pelepasan insulin dan sensitivitas organ terhadap insulin. Rabdomiolisis dapat terjadi
sebagai akibat dari hiperpolarisasi sel otot rangka, selain adanya gejala kram, mialgia, dan mudah lelah.
Hipokalemia dapat mempengaruhi keseimbangan asam basa sistemik, melalui efek terhadap berbagai
komponen dari regulasi asam basa di ginjal. 20

3.2.2. Hiperkalemia

Ada 2 mekanisme terjadinya hiperkalemia, yaitu1,20 :

Kelebihan asupan kalium melalui makanan. Buahbuahan dan sayursayuran banyak mengandung
kalium. Campuran garam dapat mengandung kalium, dan kelebihan asupan dapat terjadi pada
pemberian makanan enteral.

Keluarnya kalium dari intra sel ke ekstrasel. Keadaan asidosis metabolik, selain yang disebabkan oleh KAD
atau asidosis laktat, defisisensi insulin, pemakaian beta blocker, dan pseudohiperkalemia akibat
pengambilan sampel darah yang lisis. Kelainan klinik bergantung kepada kadar kalsium, dan
keseimbangan asam-basa.

Berkurangnya ekskresi melalui ginjal. Terjadi pada keadaan hiperaldosteronisme, gagal ginjal, deplesi
volume sirkulasi efektif pada CHF dan pemakaian siklosporin. Dewasa ini diketahui pemakaian ACE
inhibitor juga faktor resiko untuk hiperkalemia.

Pada hiperkalemia, terjadi peningkatan kepekaan membran sel, sehingga dengan sedikit perubahan
depolarisasi, potensial aksi dapat dengan mudah terjadi. Hal ini menimbulkan kelemahan otot sampai
paralisis dan gagal nafas. Gejala yang paling buruk adalah penurunan kecepatan sistem konduksi miokard
dan meningkatkan repolarisasi miokard. Gangguan konduksi akan menimbulkan pemanjangan PR
interval, gelombang P yang mendatar atau QRS kompleks melebar pada EKG. Peningkatan repolarisasi
akan menimbulkan gelombang T yang meninggi ( peaked T waves ), yang merupakan keadaan yang
berisiko terjadinya aritmia.21

3.3. Gangguan Keseimbangan Kalsium

3.3.1 Hipokalsemia

Keseimbangan kalsium diatur oleh hormon paratiroid (PTH) dan Vitamin D. Hormon paratiroid
bergantung kepada Calsium-sensing reseptor (CSR), untuk mendeteksi adanya kelebihan kalium serum,
dan merangsang PTH yang akan meningkatkan kadar kalsium darah. Apabila CSR ini tidak ada maka akan
terjadi hipokalsemia. Pada gagal ginjal, PTH menstimulasi reabsorpsi osteoklas tulang. Pada hipokalsemia
serum, belum tentu terjadi hipokalsemia total. Total serum dapat tergambar dari penurunan albumin
pada penyakit sirosis, sindroma nefrotik dan malnutrisi. Hipokalsemi dapat menyebabkan iritabilitas dan
tetani. Pada keadaan alkalosis, dapat menimbulkan tetani akibat penurunan kadar kalsium.21

Penyebab hipokalsemia antara lain:

Hipoparatiroidisme. Keadaan ini dapat herediter maupun didapat. Untuk yang didapat, bisa terjadi
karena iradiasi leher atau pasca paratiroidektomi, yang dikenal dengan Hungry Bone Syndrome. Keadaan
ini memberikan efek tulang yang akan meabsorpsi Ca dalam jumlah besar

Penyebab yang berhubungan dengan Vitamin D yaitu, asupan yang kurang, dan gangguan absorpsi. Pada
keadaan penyakit kritis dan sepsis berat dapat menjadi penyebab.21,22

Pada keadaan hipokalsemia, terjadi peningkatan eksitabilitas saraf di tangan dan lengan, yang
disebabkan oleh hipokalsemia, dan bila iskemia dibuat, yaitu dengan menggunakan sfigmomanometer,
akan muncul twitching. Keadaan in dikenal dengan Trousseaus Sign. Chovteks Sign dapat muncul
dengan cara mengetok pada titik tertentu pada wajah, yang ditandai dengan adanya respon berupa
twitching. Mekanisme terjadinya adalah adanya stimulasi mekanik langsung serabut motorik wajah. Pada
sistem kardiovaskuler, efek berat hipokalsemia adalah QT memanjang pada dan ST interval yang
memanjang pada EKG.22

3.3.2. Hiperkalsemia

Pada 90% kasus hiperkalsemia disebabkan oleh keganasan dan hiperparatiroidisme. Pada keganasan,
disekresikan suatu PTH-related peptide yang akan meningkatkan kadar Ca plasma. Keadaan ini muncul
pada 80% kasus hiperkalsemia pada keganasan. Pada 20 % kasus lainnya, terjadi akibat hiperkalsemia
osteolitik, dimana terjadi aktifitas osteoklastik yang mana terjadi resorpsi tulang di sekitar jaringan
tumor. Hal ini terjadi pada tumor dengan metastase ke tulang.23

Hiperkalsemia mempengaruhi hampir semua organ tubuh. Akan tetapi yang paling utama adalah sistem
saraf pusat dan ginjal. Pada sistem saraf pusat, kalsium memberikan efek sebagai depresan langsung.
Sehingga pada keadaan kalsium yang tinggi, akan terjadi gangguan psikis berupa ansietas, depresi dan
perubahan kepribadian, Pada keadaan lanjut, dapat menyebabkan penurunan kesadaran, bahkan
kematian. Efek pada ginjal adalah nefrolitiasis akibat dari hiperkalsiuria. Selain itu dapat terjadi poliuria
dan polidipsia. Fungsi ginjal menurun akibat vasokonstriksi renal akibat hiperkalsemia. Efek pada saluran
pencernaan adalah berupa mual, muntah, konstipasi atau diare. Pada kardiovaskler, efek hiperkalsemia
adalah berupa pemendekan QT, pelebaran gelombang t, dan pelebaran QRS kompleks.2,9

3.4. Gangguan Keseimbangan Magnesium

3.4.1. Hipomagnesemia

Secara umum, hipomagnesemia terjadi akibat kehilangan pada sistem pencernaan atau pada ginjal.
Asupan yang kurang dapat pula menjadi penyebab. Hal ini biasa terjadi pada alkoholik, pemberian nutrisi
enteral dalam jangka waktu yang lama atau kelainan hipomagnesemia genetik. Redistribusi dari intrasel
ke ekstra sel terjadi pada keadaan hungry bone syndrome, hiperadrenergik, pankreatitis akut dan
Refeeding syndrome. Gangguan Sistem Pencernaan seperti pada semua penyakit diare dapat
menyebabkan hipomagnesemia. Gangguan malabsorpsi juga merupakan penyebab, dimana sering
merupakan kelainan genetik.2,8

Ekskresi pada ginjal yang banyak terjadi pada penggunaan diuretik, alkoholik akibat gangguan reasorbsi,
hiperkalsemia, ekspansi volume cairan ekstrasel, dan obat obatan nefrotoksin seperti aminoglikosida,
sisplatin, siklosforin A, dan amfoterisin dan pentamidin. Barrter Syndrome dan Gitelman Syndrome juga
merupakan bagian dari kelompok penyebab ini, dimana Bartter Syndrome merupakan kelainan pada
transporter NaCl pada ansa henle ginjal, sedangkan Gitelman Syndrome merupakan defek genetik yang
berhubungan dengan transporter NaCl pada tubulus distal ginjal.8,15

3.4.2. Hipermagnesemia

Hipermagnesemia dapat terjadi pada keadaan gangguan ginjal terminal, dimana ginjal tidak dapat lagi
mengekskresikan Mg sebagai mana mestinya. Selain itu, dapat juga disebabkan oleh asupan yang
berlebihan, walaupun sangat jarang terjadi. Penyebab paling banyak adalah akibat penggunaan obat
obatan yang mengandung magnesium seperti pada antasida dan beberapa laksansia. Penyebab lainnya
adalah penggunaan litium untuk terapi maupun diagnostik, hipotiroidisme, penyakit adison, penyakit
hipokalsiurik hiperkalsemia, milk alkali syndrome dan ketoasidosis diabetik. Selain itu, pada keadaan
kerusakan jaringan eksesif, seperti syok, sepsis atau luka bakar, juga dapat menjadi penyebab. Hemolisis
juga dapat menjadi faktor pencetus hipermagnesemia, mengingat kadar Mg eritrosit tiga kali lebih
banyak dari Mg serum.2,21

BAB IV

DIAGNOSIS
4.1. Diagnosis Gangguan Keseimbangan Natrium

4.1.1 Diagnosis Hiponatremia

Diagnosis ditegakkan bila natrium dibawah 135 mmol/L. Berdasarkan klinis, hal yang penting kita
tentukan adalah hiponatremia akut yang ditandai dengan gejala kesadaran yang menurun dan kejang.
Sedangkan hiponateremia kronik ditandai dengan mengantuk dan lemas saja, bahkan tanpa gejala. Dan
untuk menentukan penyebab hiponatremia, perlu dilakukan pemeriksaan osmolalitas serum, penilaian
status Extracelluler Volume (ECV) dan natrium urin. ECV diukur menggunakan perangkat laboratorium.
Secara langsung, ECV diukur dengan menggunakan zat kontras, dan diberi label dengan inulin, manitol
dan sorbitol.2,17,18

Gbr. 2. Algoritma Penelusuran Etiologi Hiponatremia17

4.1.2 Diagnosis Hipernatremia

Diagnosis ditegakkan bila natrium palsma meningkat secara akut dengan nilai di atas 155 mEq/L. Dan
berakibat fatal bila diatas 185 mEq/L Berdasarkan klinis dapat kita temui letargi, lemas, twitching, kejang
dan akhirnya koma. Untuk menentukan etiologi, selain pengukuran natrium serum, perlu dilakukan
pengukuran natrium urin dan dilakukan penilaian untuk osmolalitas urin.2,17,19

Gbr. 3. Algoritma Penelusuran Etiologi Hipernatremia17

4.2. Diagnosis Gangguan Keseimbangan Kalium

4.2.1. Diagnosis Hipokalemia

Diagnosis hipokalemia didasarkan kepada hasil pengukuran kalium serum kecil dari 3,5 mmol/L. Untuk
mengetahui penyebab, dilanjutkan dengan pengukuran kalium urin, status asam basa dan Transtubular
Kalium Consentration Gradient (TTKG). Indeks ini menggambarkan konservasi kalium pada duktus
koligentes di korteks ginjal. Diukur dengan perhitungan :1,2,17

TTKG=(K urin)/(K plasma) (Osmolalitas Urin)/(Osmolalitas Plasma)

Etiologi hipokalemia dapat berupa1,2,17 :

Hipokalemia dengan ekskresi kalium pada urin meningkat menunjukkan adanya pembuangan yang
berlebihan

Hipokalemia dengan ekskresi kalium rendah dengan asidosis metabolik menunjukkan adanya
pembuangan kalium yang berlebihan pada saluran cerna seperti pada diare.
Hipokalemia dengan ekskresi kalium rendah dengan alkalosis metabolik menunjukkan adanya muntah
kronik atau pemberian diuretik jangka lama.

Hipokalemia dengan ekskresi kalium rendah dengan alkalosis metabolik dan disertai hipotensi,
merupakan pertanda Sindroma Bartter

Hipokalemia dengan ekskresi kalium tinggi dengan alkalosis metabolik dan disertai tekanan darah tinggi
merupakan pertanda hiperaldosteronisme primer

Gejala hipokalemia dapat berupa kembung, otot kram, mialgia dan mudah lelah. Bisa didapatkan
hipertensi, dan perubahan pada EKG, yaitu gelombang u, QT memanjang, bahkan aritmia.2,17

Gbr. 4. Algoritma pernelusuran etiologi hipokalemia berdasarkan ekskresi kalium urin17

Gbr. 5. Contoh EKG pada pasien dengan Hipokalemia7

4.2.2. Diagnosis Hiperkalemia

Diagnosis ditegakkan berdasarkan nilai kalium serum diatas 5,1 mmol/L dengan manifestasi klinis
kelemahan otot sampai paralisis, sehingga pasien merasa sesak nafas. Pemeriksaan EKG mutlak
dilakukan untuk melihat adanya gelombang T yang tinggi dan runcing (T tall), AV Blok, QRS melebar atau
aritmia ventrikel. Untuk mencari penyebab hiperkalemia, perlu diukur TTKG.2,20

Gbr. 6. Algoritma penelusuran etiologi hiperkalemia17

Gbr. 6. Gambaran T tall pada EKG17

4.3. Diagnosis Gangguan Keseimbangan Kalsium

4.3.1. Diagnosis Hipokalsemia

Diagnosis dibuat berdasarkan kepada hasil pemeriksaan laboratorium, dimana kalsium serum < 8,8
mmol/L, setelah nilai dikoreksi sesuai albumin serum. Nilai koreksi :

Ca serum+ (0,8 [albumin serum normal-albumin aktual] )

Gejala klinis dapat berupa19,22:


Terutama gejala neurologik, yaitu bingung, ensefalopati, depresi, psikosis

Tanda Chovstek, yaitu Kontraksi otot wajah yang dirangsang dengan mengetuk ringan nervus fasialis
pada lokasi lokasi tertentu

Gbr. 7. Tanda Chovstek22

Tanda Trousseau, yaitu spasme karpopedal. Dapat dicetuskan dengan pemasangan torniket selama 3
menit.

Gbr. 8. Tanda Trousseau22

4.3.2. Diagnosis Hiperkalsemia

Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan kalsium serum diatas 10,5 mmol/L setelah nilai dikoreksi
sesuai albumin serum. Nilai koreksi 21:

Ca serum+ (0,8 [albumin serum normal-albumin aktual] )^

Gejala klinis dapat asimtomatik dan dapat berupa 15,23 :

Konstipasi, anoreksia, nausea, muntah, nyeri abdomen dan ileus

Pada peninggian yang lebih hebat, dapat muncul gejala emosi labil, delirium, psikosis, lemas, dan kejang.
Dapat terjadi nefrolotiasis atau uretrolitiasis

4.4. Diagnosis Gangguan Keseimbangan Magnesium

4.4.1. Diagnosis Hipomagnesemia

Diagnosis hipomagnesemia ditegakkan berdasarkan nilai Mg serum dibawah 1,7 mmol/L. Pemeriksaan
magnesium bukan merupakan bagian dari pemeriksaan darah rutin untuk elektrolit. Kemungkinan
adanya hipomagnesemia harus dicurigai pada keadaan diare kronik, hipokalemia berulang, hipokalsemia
dan aritmia ventrikuler, khususnya pada keadaan iskemik.8,24

Dalam menegakkan diagnosis, perlu dibedakan apakah kelainan disebabkan oleh gangguan ginjal atau
kehilangan dari gastrointestinal dan hal ini penting untuk terapi. Dapat dibedakan dengan memeriksa Mg
urin 24 jam atau ekskresi fraksional. Excretion Fraction (EF) dihitung dengan rumus24 :

EF_mg=(U_mgP_Cr)/((0,7P_mg ) )U_Cr
PCr = Cr plasma, PMg = Mg plasma, UMg = Mg urin, UCr = Cr urin

Bila hasil EF24 :

Mg urin 24 jam 10 30 mg atau EF urin > 2 % pada pasien dengan fungsi ginjal normal, maka maka
penyebanya adalah renal wasting ini disebabkan pemakaian diuretik, aminoglikosida atau cisplatin

Bila EF bernilai antara 0,5 % 2,7 %, maka disebabkan oleh non-renal (gastrointestinal).

Bila EF bernilai antara 4 48 %, disebabkan oleh kehilangan Mg di ginjal.

Klinis dapat berupa gangguan neuromuskuler, seperti kram sampai kejang. Gangguan elektrolit lain,
seperti hipokalemia, hipokalsemia. Gangguan neurologi, seperti depresi, vertigo, delirium sampai
koreoatetosis.

4.4.2. Diagnosis Hipermagnesemia

Hipermagnesemia diartikan sebagai kadar Mg serum diatas 2,3 mmol/L. Berdasarkan klinis, dapat
ditegakkan diagnosis. Adapun klinis hipermagnesemia berupa : Nausea, flushing, sakit kepala, letargi,
penurunan refleks tendon. Dapat menjadi kelumpuhan otot, blok jantung dan kematian.
hipermagnesemia merupakan kasus yang jarang terjadi.2

BAB V

PENATALAKSANAAN

5.1. Penatalaksanaan Gangguan Keseimbangan Natrium

5.1.1. Penatalaksanaan Hiponatremia

Prinsip penatalaksanan hiponatremia adalah dengan mengatasi penyakit dasar dan menghentikan setiap
obat yang ikut menyebabkan hiponatremia. Sebelum memberikan terapi sebaiknya ditentukan apakah
hiponatremia merupakan hiponatremia hipoosmolalitas. Untuk hiponatremia hiperosmolalitas, koreksi
yang diberikan hanya berupa air saja. 18,21

Larutan pengganti yang diberikan adalah natrium hipertonik, bisa berupa NaCl 3% atau 5% NaCl. Pada
sediaan NaCl 3% yang biasa dipakai, terdapat 513 mmol dalam 1 liter larutan. Koreksi pada hiponatremia
kronik yang tanpa gejala, dapat diberikan sediaan oral, yaitu berupa tablet garam.18,21

Tabel. 1. Estimasi efek pemberian cairan infus untuk menaikkan kadar natrium plasma18
Koreksi natrium secara intravena harus diberikan secara lambat, untuk mencegah central pontin
myelinolysis (CPM). Kadar Na plasma tidak boleh dinaikkan lebih dari 10-12 mmol/L dalam 24 jam
pertama. Terapi inisial diberikan untuk mencegah udem serebri. Untuk hiponatremia akut dengan gejala
serius, koreksi dilakukan agak cepat. Kadar natrium plasma harus dinaikkan sebanyak 1,5-2 mmol/L
dalam waktu 3-4 jam pertama, sampai gejala menghilang. Kecepatan cairan infus diberikan 2-3
ml/kg/jam, setelah itu dilanjutkan dengan 1 ml/kg/jam, sampai kadar Na 130 mmol/L. Untuk koreksi
hiponatremia kronik, diberikan dengan target kenaikan sebesar 0,5 mmol/L setiap 1 jam, maksimal 10
mmol/L dalam 24 jam. Kecepatan infus dapat diberikan 0,5 1 ml/kg/jam. Pemantauan kadar Na serum
harus dilakukan setiap 2-4 jam. Untuk menetukan estimasi efek pemberian cairan infus dalam menaikkan
kadar natrium plasma, digunakan rumus:18,25

Perubahan Na serum= (Na dalam cairan infus-Na serum)/(TBW+1)

Saat ini sedang mulai dipakai sediaan vasopressin receptor antagonis untuk meningkatkan kadar
natrium. Sediaan ini akan menghambat reseptor V2 di tubulus yang akan meningkatkan ekskresi air,
kemudian akan memperbaiki keadaan hiponatremia. Demeclocycline dan litium juga dapat dipakai
dimana sedian ini akan mengahambat respon ginjal terhadap vasopressin. Selain itu, sediaan ini dapat
juga diberikan sebagai pencegahan overkoreksi. Dosis democlocycline dapat diberikan 300-600 mg
perhari. 24,25

5.1.2 Penatalaksanaan Hipernatremia

Langkah pertama yang dilakukan adalah menetapkan etiologi hipernatremia. Sebagian besar penyebab
hipernatremia adalah defisit cairan tanpa elektrolit. Penatalaksanaan hipernatremia dengan deplesi
volume harus diatasi dengan pemberian cairan isotonik sampai hemodinamik stabil. Selanjutnya defisit
air bisa dikoreksi dengan Dekstrosa 5% atau NaCl hipotonik. Hipernatremi dengan kelebihan volume
diatasi dengan diuresis. Kemudian diberikan Dekstrosa 5% untuk mengganti defisit air.

Tabel 2. Estimasi efek pemberian cairan infus untuk menurunkan kadar natrium plasma19

Untuk menghitung perubahan kadar Na serum, dapat ditentukan dengan mengetahui kadar Na infus
yang digunakan, dengan menggunakan rumus yang sama pada koreksi hiponatremia. Perbedaannya
hanya terletak pada cairan infus yang digunakan. Dengan begitu, kita dapat melakukan estimasi jumlah
cairan yang akan digunakan dalam menurunkan kadar Na plasma.19

5.2 Penatalaksanaan Gangguan Keseimbangan Kalium

5.2.1. Penatalaksanaan Hipokalemi


Dalam melakukan koreksi kalium, perlu diperhatikan indikasinya, yaitu 2,14 :

Indikasi mutlak, yaitu pada pasien dalam keadaan pengobatan digitalis, KAD, pasien dengan kelemahan
otot nafas dan hipokalemia berat.

Indikasi kuat, yaitu diberikan dalam waktu yang tidak terlalu lama yaitu pada keadaan insufisiensi
koroner, ensefalopati hepatik dan penggunaan obat-obat tertentu.

Indikasi sedang, dimana pemberian Kalium tidak perlu segera seperti pada hipokalemia ringan dengan
nilai K antara 3-3,5 mmol/L.

Pemberian Kalium dapat melalui oral. Pemberian 40-60 mmol/L dapat meningkatkan kadar Kalium
sebesar 1-1,5 mmol/L. Pemberian Kalium intravena diberikan dalam larutan KCl dengan kecepatan 10-20
mmol/jam. Pada keadaan dengan EKG yang abnormal, KCl diberikan dengan kecepatan 40-100
mmol/jam. KCl dilarutkan dalam NaCl isotonik dengan perbandingan 20 mmol KCl dalam 100 ml NaCl
isotonik melalui vena besar. Jika melalui vena perifer, KCl maksimal 60 mmol dilarutkan dalam NaCl
isotonik 1000 ml. Bila melebihi kadar ini, dapat menimbulkan rasa nyeri dan sklerosis vena. Kebutuhan
Kalium dapat dihitung dengan rumus :7,21

(K yang diinginkan-K serum )/3 x BB

5.2.2. Penatalaksanaan Hiperkalemia

Penatalaksaan meliputi pemantauan EKG yang kontinu jika ada kelainan EKG atau jika kalium serum lebih
dari 7 mEq/L. Untuk mengatasi hiperkalemia dalam membran sel, diberikan kalsium intravena, yang
diberikan dalam bentuk kalsium glukonat melalui intravena dengan sediaan 10 ml larutan 10% selama 10
menit. Hal ini berguna untuk menstabilkan miokard dan sistem konduksi jantung. Ini bisa diulang dengan
interval 5 menit jika tidak ada respon. 1,2

Memacu kalium kembali dari ekstrasel ke intrasel dengan cara pemberian 10 unit insulin dalam 50 ml
glukosa 40% secara bolus intravena. Pemberian natrium bikarbonat yang dapat meningkatkan pH
sistemik yang akan merangsang ion H keluar dari dalam sel dan menyebabkan ion K masuk ke dalam sel.
Bikarbonat diberikan sebanyak 50 mEq intravena selama 10 menit. Hal ini dalam keadaan tanpa asidosis.
Kemudian pemberian Beta 2 agonis baik secara inhalasi maupun drip intravena. Obat ini akan
merangsang pompa NaK-ATPas dan Kalium masuk ke dalam sel. Mengeluarkan kelebihan Kalium dari
dalam tubuh dengan cara pemberian diuretik, resin penukar, atau dialisis.14,22

Tabel 2. Opsi Penatalaksanaan hiperkalemia9

5.3 Penatalaksanaan Gangguan Keseimbangan Kalsium

5.3.1. Penatalaksanaan Hipokalsemia


Untuk menatalaksana hipokalsemia, sangat penting diperhatikan gejala klinis yang muncul. Jika muncul
tetani, berikan 10 ml Ca glukonat 10% selama 15-30 menit. Kemudian dapat dilanjutkan dengan infus 60
ml Ca Glukonat dalam 500 ml Dekstrosa 5% dengan kecepatan 0,5-2 mg/Kg/jam dengan pemantauan
Kalsium setiap beberapa jam. Perlu diperiksa kadar Magnesium serum dan koreksi jika ada kelainan.
Pemantauan aritmia dengan EKG harus dilakukan pada pasien yang mendapat digitalis. Koreksi dapat
dilanjutkan dengan pemberian Kalsium oral 1-7 gram/hari. Jika penyebabnya adalah sekunder terhadap
defisiensi vitamin D, maka perlu diberikan terapi pengganti vitamin D.2,17

5.3.2. Penatalaksanaan Hiperkalsemia

Jika gejala berat atau Ca lebih dari 15 mg/dl, maka Ca serum harus diturunkan secepat mungkin dengan
cara diuresis paksa dan penggantian volume intravaskular dengan normal saline. Dengan dosis 80-100
mg intravena per 12 jam dan normal saline diberikan 1-2 liter selama 24 jam pertama. Kemudian awasi
adanya hipokalemia, atau dengan memperbanyak minum air sampai 3 liter perhari. 1,17,21

Pemberian Kalsitonin 4-8 unit SC setiap 6-12 jam akan dapat menurunkan Kalsium serum 1-3 mg/dl.
Bifosfonat membantu untuk menghambat aktifitas osteoklast, membantu pada hiperparatiroid dan
keganasan. Penatalaksanaan kronik diberikan dengan pengikat Kalsium oral, yaitu Etidronat oral 1200-
1600 mg/hari.2,21,22

5.4 Penatalaksanaan Gangguan Keseimbangan Magnesium

5.4.1 Penatalaksanaan Hipomagnesemia

Dalam mengatasi hipomagnesemia, penyakit dasar harus segera diatasi. Pada keadaan hipomagnesemia
berat ( < 1 mmol/L dalam serum ), atau hipomagnesemia simtomatik dengan kelainan neuromuskular,
atau manifestasi neurologis, atau aritmia jantung, maka penatalaksanaan diberikan dengan pemberian 2
gram Magnesium sulfat (MgSO4) dalam 100 ml Dekstrosa 5% dalam waktu 5-10 menit. Bisa diulangi
sampai total 10 gram dalam 6 jam berikutnya. Teruskan penggantian dengan infus lanjutan sebanyak 4
g/hari selama 3 sampai 5 hari. Untuk mencegah rekurensi, maka dapat diberikan pemberian Mg oksida
secara oral dengan dosis 2 x 400 mg perhari, atau dengan Mg glukonat 2 3 x 500 mg perhari. Jika tidak
terlalu berat, dosis Magnesium sulfat diberikan 0,03-0,06 gram/Kg/hari dalam 4-6 dosis hingga
Magnesium serum normal. Teruskan terapi dengan sediaan oral selama ada faktor pencetus. 8,21,24

5.4.2 Penatalaksanaan Hipermagnesemia

Penatalaksanaan dilakukan dengan cara pemberian Kalsium glukonat 10% sebanyak 10-20 ml selama 10
menit atau CaCl2 10%s ebanyak 5-10 mg/Kg secara IV. Kemudian pemberian diuretik diberikan untuk
memacu ekskresi. Pada pasien tanpa gangguan ginjal berat, dapat diberikan Ca glukonas 10 % sebanyak
20 ml dalam 1 liter NaCl 0,9 %, dengan kecepatan 100 200 ml perjam.2
BAB VI

PENUTUP

6.1. Kesimpulan

Diagnosis gangguan keseimbangan elektrolit ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan hasil
laboratorium dengan nilai diatas atau dibawah normal

Penatalaksanaan gangguan keseimbangan elektrolit mencakup koreksi elektrolit dan mengatasi penyakit
yang mendasarinya

Pemahaman terhadap patofisiologi gangguan keseimbangan elektrolit akan menuntun para klinisi untuk
menetukan diagnosis dan penyebab gangguan tersebut, sehingga penatalaksanaan dapat diberikan
secara tepat.

6.2. Saran

Diperlukan pemahaman yang baik terhadap gangguan keseimbangan elektrolit, sehingga dapat
menegakkan diagnosis dengan cepat dan tepat, dan pada akhirnya dapat memberikan penanganan yang
tepat dan cepat pula.

DAFTAR PUSTAKA

Darwis D, Munajat Y, Nur MB, Madjid SA, Siregar P, Aniwidyaningsih, W, dkk. Gangguan Keseimbangan
Air, Elektrolit dan Asam Basa. Edisi 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2010

Siregar P. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4,
Jilid I. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006 : 529-37

Brenner R, Rector H, Livine AS. The Kidney. 7th ed. Pennsylvania: Elsevier; 2004: 775-1064

Shea MA, Hammil GB, Curtis HL, Szczech AL, Schulman AK et al. Medical Cost of Abnormal Serum Sodium
Levels. J Am Soc Nephrol 2008; 19: 764-70,

Stelfox TH, Ahmed BS, Khandwala F, Zygun D, Shahpory R, Laupland K. The Epidemiology of Intensive
Care Unit-acquired hyponatremia and Hyperatremia in Medical-surgical Intensive Care Units. Critical
Care. 2008; 12 (6): 1-8
Thompson JC. Hyponatremia : New Association and New Treatment. European Journal of Endocrinology.
2010; 162 : 161-3

Weiner DI, Wingo SC. Hypoklaemia Consequences, Causes, and Correction. J Am Soc Nephrol. 2000;
13 : 1180-87

Martin, JK. Clinical Consequences and Management of Hypomagnesemia. J Am Soc Nephrol. 2009; 20:
2291-95

Ziegler R. Hypercalcemic Crisis. J Am Soc Nephrol. 2001; (12) S3-S9

Semenovskaya Z, Hypernatremia. [Internet] 2008 [Updated August 18, 2008; Cited November 15, 2010].
Available from: http://www.emedicine.com

Lederer E. Hyperkalemia. [Internet] 2010 [Updated March 19, 2010; Cited November 15, 2010]. Available
from : http://www.emedicine.com

Dispopulous. Color Atlas of Physiology. 5th Ed. Stuttgart. AppleDruck; 2003

Guyton CA, Hall EJ. Text Book of Medical Physiology 11th ed. Pensylvania: McGrawHills; 2006: 348-81

Mardiana N. Dissoreder of Potassium Metabolism. In Book of Annual Meeting Pernefri 2009. Pernefri;
Jakarta: 2009

Bindels JMR. 2009 Homer Smith Award : Minerals in Motion: From New Ion Transporters to New
Conceots. J Am Soc Nephrol 2008; 19: 764-770

Orson W, Bony O. Genetic Hypercalciuria. J Am Soc Nephrol. 2005; 16: 729-45

Fauci SA, Braunwald E, Kasper LD, Hauser LS, Longo LD, Jameson LJ, et al. Electrolites and Fluid Balances.
In Harrisons Manual of Medicine. 17th ed. New York: McGraw-Hill; 2009: 3-21

Adrogue JH, Madias EN. Hyponatremia. N Engl J Med 2000; 342 (21): 1581-89

Adrogue JH, Madias EN. Hypernatremia. N Engl J Med 2000; 342 (21): 1493-99

Weiner DI, Wingo SC. Hyperkalemia : A Potential Silent Killer. J Am Soc Nephrol. 1998; 9: 1535-43

Grabber AM. Terapi Cairan, Elektrolit dan Metabolik. Edisi ke 2. Jakarta: Framedia; 2003

Urbano LF. Sign of Hypocalcemia : Chvosteks and Trousseaus Sign. Hospital Physician. 2000 : 43-45

Agraharkar M. Hypercalcemia. [Internet] 2010. [Update: March 2010; Cited: November 2010] available
from: http://www.emedicine.com

Agus SZ. Hypomagnesemia. J Am Soc Nephrol. 1999; 10: 1616-22


Vaidya C, Ho W, Freda JB. Management of Hyponatremia : Providing Treatment and Avoiding Harm. Cleve
Clin J Med. October 2010; 77 (10): 715-25

Anda mungkin juga menyukai