Anda di halaman 1dari 14

1

1. Apoptosis

1.1 Definisi

Setiap organisme yang hidup terdiri dari ratusan tipel sel, yang semuanya

berasal dari fertilisasi telur. Selama perkembangannya, sejumlah sel bertambah

secara dramatis yang kemudian akan membentuk berbagai jenis jaringan dan

organ. Seiring dengan pembentukan sel yang baru tersebut, sel yang mati

merupakan proses regulasi yang normal pada sejumlah sel dari jaringan.

Pengendalian terhadap eliminasi sel-sel yang mati ini disebut dengan kematian sel

yang terpogram atau apoptosis (Kurosaka et al., 2003).

Apoptosis dikenal sejak tahun 1972, kata apoptosis berasal dari kata apo

yang berarti dari dan ptosis yang berarti jatuh sehingga apoptosis juga dikenal

sebagai falling off. Apoptosis adalah mekanisme biologi yg merupakan salah

satu jenis kematian sel terprogram, bertujuan untuk membuang sel yg tidak

diperlukan dan berlangsung seumur hidup. Apotosis berbeda dengan nekrosis atau

kerusakan sel yang diakibatkan oleh kerusakan sel secara akut (Kurosaka et al.,

2003).

Kematian sel yang terpogram atau apoptosis merupakan suatu komponen

yang normal pada perkembangan dan pemeliharaan kesehatan pada organism

multiseluler. Sel yang mati ini merupakan respon terhadap berbagai stimulus dan

selama apoptosis sel ini dikontrol dan diregulasi, sel yang mati kemudian difagosit

oleh makrofag. Apoptosis berbeda dengan nekrosis, pada nekrosis terjadi

kematian sel tidak terkontrol. Sel yang mati pada nekrosis akan membesar dan

kemudian hancur serta lisis pada satu daerah yang merupakan respon terhadap

inflamasi (Savill dan Fadok, 2000).


2

1.2 Morfologi

Dengan menggunakan mikroskop elektron dan cahaya dapat diidentifikasi

berbagai perubahan morfologi selama terjadinya apoptosis. Selama proses awal

dari apoptosis sel terlihat menyusut dan piknosis yang terlihat dengan mikroskop.

Dengan sel yang kelihatan menyusut, ukuran sel semakin mengecil, sitoplasma

mengental dan organel-organel dikemas semakin rapat. Piknosis adalah hasil dari

kondensasi kromatin dan ini merupakan karakteristik khusus dari apoptosis

(Elmore, 2007).

Kemudian terjadi extensive plasma membrane blebbing. Blebbing adalah

peristiwa rusaknya sitoskeleton sel dan membuat membran menjadi menonjol

keluar. Jika tonjolan ini memisah akan membentuk badan apoptosis yang dikenal

sebagai proses budding. Badan apoptosis terdiri dari sitoplasma dengan organel

yang padat dan dengan atau tampa fragmen dari inti sel. Organel yang terdapat di

dalam badan apoptosis ini masih dalam keadaan utuh. Badan apoptosis ini

kemudian difagositosis oleh makrofag, sel-sel parenkhim, atau dihancurkan oleh

lisosom. Makrofag yang mencerna badan apoptosis disebut tingble body

macrophages (Elmore, 2007).

Pada sel yang mengalami apoptosis, sel tidak menyebabkan inflamasi

karena sel yang berapoptosis tidak mengeluarkan komponen selulernya ke

jaringan sekitarnya oleh karena badan apoptosis langsung dimakan oleh sel

fagositik sehingga mencegah nekrosis sekunder. Selain itu, sel yang memfagosit

badan apoptosis tidak memproduksi sitokin pro inflamasi (Kurosaka et al., 2003).
3

1.3 Fungsi

Kematian sel melalui apotosis merupakan fenomena yang normal, yaitu

eliminasi sel yang tidak diperlukan lagi. Proses apoptosis secara fisiologis

diperlukan untuk:

1. Mempertahankan homeostasis

Pada organisme dewasa, jumlah sel dalam suatu organ atau jaringan harus

bersifat konstan pada range tertentu. Hal ini disebut juga dengan

homeostasis, yaitu suatu keadaan keseimbangan dalam tubuh organisme yang

dibutuhkan organisme hidup untuk menjaga keadaan internalnya dalam batas

tertentu. Homeostasis tercapai saat tingkat mitosis (proliferasi) dalam

jaringan seimbang dengan kematian sel (Savill dan Fadok, 2000).

Diperkirakan 50-70 milyar sel mati setiap harinya karena apoptosis pada

manusia dewasa. Dalam satu tahun, jumlah pembelahan sel dan kematian

yang terjadi pada tubuh seseorang mencapai kurang lebih sama dengan berat

badan orang tersebut (Savill dan Fadok, 2000).

2. Terminasi sel

Apoptosis dapat terjadi secara langsung ketika sel yang rusak tidak bisa

diperbaiki lagi atau terinfeksi oleh virus. Keputusan untuk melakukan

apoptosis dapat berasal dari sel itu sendiri, dari jaringan di sekitarnya, atau

dari sel yang merupakan bagian sistem imun (Savill dan Fadok, 2000).

Bila sel kehilangan kemampuan untuk melakukan apoptosis (misalnya

karena mutasi), atau bila inisiatif untuk melakukan apoptosis dihambat

(oleh virus), sel yang rusak dapat terus membelah tanpa terbatas, yang

akhirnya menjadi kanker. Sebagai contoh, salah satu hal yang dilakukan oleh
4

virus papilloma manusia (HPV) menggunakan gen E6 yang mendegradasi

protein p53. Protein p53 berperan sangat penting pada mekanisme apoptosis

(Savill dan Fadok, 2000).

3. Respon terhadap stress atau kerusakan DNA

Kondisi stres sebagaimana kerusakan DNA sel yang disebabkan senyawa

toksik atau pemaparan sinar ultraviolet atau radiasi ionisasi (sinar gamma atau

sinar X), dapat menginduksi sel untuk memulai proses apoptosis. Contohnya

pada kerusakan genom dalam inti sel, adanya enzim PARP-1 memacu

terjadinya apoptosis (Savill dan Fadok, 2000).

4. Pertumbuhan

Kematian sel terprogram merupakan bagian penting pada perkembangan

jaringan tumbuhan dan organism multiseluler. Sel yang mengalami apoptosis

mengkerut dan inti selnya mengecil, sehingga sel tersebut dapat dengan mudah

difagositosis. Proses fagositosis memungkinkan komponen-komponen sel yang

tersisa digunakan kembali oleh makrofag atau sel-sel yang berada di sekitarnya

(Savill dan Fadok, 2000).

5. Regulasi sistem imun (limfosit)

Sel B dan sel T adalah pelaku utama pertahanan tubuh terhadap zat asing

yang dapat menginfeksi tubuh, maupun terhadap sel-sel dari tubuh sendiri yang

mengalami perubahan menjadi ganas. Dalam melakukan tugasnya, sel B dan T

harus memiliki kemampuan untuk membedakan antara "milik sendiri" (self)

dari "milik asing" (non-self), dan antara antigen "sehat" dan "tidak sehat"

(Savill dan Fadok, 2000).


5

"Sel T pembunuh" (killer T cells) menjadi aktif saat terpapar protein yang

tidak sempurna atau terpapar antigen asing. Setelah sel T menjadi aktif, sel-sel

tersebut bermigrasi keluar dari lymph node, menemukan dan mengenali sel-sel

yang tidak sempurna atau terinfeksi, dan membuat sel-sel tersebut melakukan

kematian sel terprogram (Savill dan Fadok, 2000).

1.4 Perbedaan Apoptosis dengan Nekrosis

Proses apoptosis berbeda dengan nekrosis. Nekrosis merupakan

kematian sel yang terjadi pada organism hidup yang dapat disebabkan oleh jejas

maupun infeksi. Pada nekrosis, terjadi perubahan pada inti yang pada akhirnya

dapat menyebabkan inti menjadi lisis dan membran plasma menjadi ruptur

(Rastogi et al., 2009).

Tabel 1. Perbedaan nekrosis dan apoptosis (Rastogi et al., 2009).


Nekrosis koagulasi Apoptosis

Stimulus Hipoksia, toksin Fisiologis dan faktor

patologis

Gambaran histologist Pembengkakan sel dan Kondensasi kromatin sel

kerusakan organel dan terbentuk badan

apoptosis

Respon jaringan Inflamasi Tidak terjadi inflamasi,

fagositosis badan

apoptosis
6

Pada apoptosis terjadi kematian sel yang terpogram dan membran inti

tidak ruptur, inti mengalami fragmentasi yang kemudian mengirimkan sinyal

kepada sel yang berada didekatnya untuk difagosit.

Gambar 1. Perbedaan nekrosis dan apoptosis (Rastogi et al., 2009).

1.5 Sinyal Penginduksi Apoptosis

Apoptosis tidak memerlukan suatu proses transkripsi atau translasi.

Molecular machine yang dibutuhkan untuk kematian sel dianggap mengalami

dormansi dan hanya memerlukan aktivasi yang cepat. Keputusan suatu sel

melakukan apoptosis tergantung dari kesetimbangan pemicu positif yang

diperlukan untuk terus bertahan hidup dan yang negatif yang mengarah ke

apoptosis. Contoh pemicu positif antara lain; faktor pertumbuhan (growth factor)
7

neuron dan interleukin-2 (IL-2) yang merupakan factor penting dalam mitosis

limfosit (Elmore, 2007).

Pemicu negatif dapat berupa oksidan yang menyebabkan kerusakan DNA

atau senyawa-senyawa lain seperti obat kemoterapi serta sinar-X dan sinar-UV.

Akumulasi protein yang tidak melipat sempurna dalam struktur tersiernya juga

merupakan suatu pemicu negatif. Kematian sel juga dapat terjadi jika ditemukan

aktivator kematian sel seperti faktor tumor nekrosis (TNF-) dan limfotoksin

(TNF-) yang mengikat reseptor TNF serta Fas Ligand (FasL) yang mengikat

reseptor Fas yang dikenal juga dengan nama CD 95 (Elmore, 2007).

Signal kematian dihubungkan dengan pelaksanaan apoptosis oleh tahap

integrasi atau pengaturan. Pada tahap ini terdapat molekul regulator positif atau

negatif yang dapat menghambat, memacu, mencegah apoptosis sehingga

menentukan apakah sel tetap hidup atau mengalami apoptosis (mati) (Elmore,

2007).

Apoptosis diperantarai oleh famili protease yang disebut caspase, yang

diaktifkan melalui proteolisis dari bentuk prekursor inaktifnya (zymogen).

Caspase merupakan endoprotease yang memiliki sisi aktif Cys (C) dan membelah

pada terminalC pada residu Asp, oleh karena itu dikenal sebagai Caspases (Cys

containing Asp specific protease) (Elmore, 2007).

Saat ini telah ditemukan 13 anggota famili caspases pada manusia.

Beberapa anggota famili caspase yang terlibat dalam apoptosis dibedakan menjadi

2 golongan. Golongan yang pertama terdiri dari caspase 8, 9,10 yang mengandung

prodomain yang panjang pada terminal N, fungsinya sebagai inisiator dalam

proses kematian sel. Golongan yang kedua terdiri dari caspase 3, 6, 7 yang
8

mengandung prodomain yang pendek dan berfungsi sebagai efektor, membelah

berbagai substrat yang mati yang pada akhirnya menyebabkan perubahan

morfologi dan biokimia yang tampak pada sel yang mengalami apoptosis

(Elmore, 2007).

Molekul efektor lain dalam apoptosis adalah Apaf-1 (apoptotic protease

activating factor) bersama sitokrom c mengambil procaspase 9 di ATP-dependent

manner, dan menstimulasi proses perubahan procaspase 9 menjadi caspase 9.

Regulator apoptosis yang lain adalah anggota famili Bcl-2. Saat ini ada 18

anggota famili Bcl-2 yang telah diidentifikasi, dan dibagi ke dalam 3 grup

berdasarkan strukturnya. Anggota grup pertama diwakili oleh Bcl-2 dan Bcl-xL

yang berfungsi sebagai anti-apoptosis. Anggota grup kedua diwakili oleh Bax dan

Bak (Bcl-2 associated killer), dan anggota grup yang ketiga yaitu Bid (a novel

BH3 domain-only death agonist) dan Bad (the Bcl-2 associated death molecule),

merupakan molekul pro-apoptosis (Elmore, 2007).

1.6 Mekanisme terjadinya Apoptosis

Sebelum terjadi proses kematian sel melalui enzim, sinyal apoptosis harus

dihubungkan dengan pathway kematian sel melalui regulasi protein. Pada regulasi

ini terdapat dua metode yang telah dikenali untuk mekanisme apoptosis, yaitu

melalui mitokondria dan penghantaran sinyal secara langsung melalui adapter

protein (Savill dan Fadok, 2000; Rastogi et al., 2009).

a. Extrinsic pathway

Jalur ini diinisiasi oleh pengikatan reseptor kematian pada permukaan sel

pada berbagai sel. Reseptor kematian merupakan bagian dari reseptor tumor

nekrosis faktor yang terdiri dari cytoplasmic domain, berfungsi untuk mengirim
9

sinyal apoptosis. Reseptor kematian yang diketahui antara lain TNF reseptor tipe 1

yang dihubungkan dengan protein Fas (CD95). Pada saat Fas berikatan dengan

ligandnya, membran menuju ligand (FasL). Tiga atau lebih molekul Fas

bergabung dan cytoplasmic death domain membentuk binding site untuk adapter

protein, FADD (Fas-associated death domain). FADD ini melekat pada reseptor

kematian dan mulai berikatan dengan bentuk inaktif dari caspase 8. Molekul

procaspase 8 kemudian dibawa ke atas dan kemudian pecah menjadi caspase 8

yang aktif (Elmore, 2007).

Enzim ini kemudian kemudian mencetuskan cascade aktivasi caspase dan

kemudian mengaktifkan procaspase lainnya dan mengaktifkan enzim untuk

mediator pada fase eksekusi. Pathway ini dapat dihambat oleh protein FLIP, yang

menghambat pecahnya enzim procaspase 8 dan menjadi tidak aktif (Elmore,

2007).

b. Intrinsic pathway (mitochondrial pathway)

Pathway ini terjadi oleh karena adanya permeabilitas mitokondria dan

pelepasan molekul pro-apoptosis ke dalam sitoplasma, tanpa memerlukan reseptor

kematian. Faktor pertumbuhan dan sinyal lainnya dapat merangsang pembentukan

protein antiapoptosis Bcl2, yang berfungsi sebagai regulasi apoptosis. Protein anti

apoptosis yang utama adalah Bcl2 dan Bclx yang pada keadaan normal terdapat

pada membran mitokondira dan sitoplasma (Elmore, 2007).

Pada saat sel mengalami stres, Bcl2 dan Bclx menghilang dari membran

mitokondria dan digantikan oleh pro apoptosis protein, seperti Bak, Bax, Bim.

Sewaktu kadar Bcl2, Bclx menurun, permeabilitas membran mitokondria

meningkat, beberapa protein dapat mengaktifkan cascade caspase. Salah satu


10

protein tersebut adalah sitokrom c yang diperlukan untuk proses respirasi pada

mitokondria. Di dalam sitosol, sitokrom c berikatan dengan protein Apaf-1 dan

mengaktivasi caspase 9. Protein mitokondria lainnya, seperti AIF memasuki

sitoplasma dengan berbagai inhibitor apoptosis yang pada keadaan normal untuk

menghambat aktivasi caspase. death receptor pathway dan mitocondrialpPathway

bertemu saat caspase inisiator (caspase 8, 9, 10) menghasilkan aktivasi caspase

efektor (caspase 3, 6, 7) (Elmore, 2007).

Gambar 2. Skema mekanisme terjadinya apoptosis. Terdapat dua jalur utama, yaitu jalur
ekstrinsik dan intrinsik. Setiap jalur mengaktivasi caspase inisiator (caspase 8,
9, 10) yang kemudian akan mengaktivasi caspase 3 (jalur eksekusi) (Elmore,
2007).

2. Heat Shock Protein

Heat Shock Proteins (Hsp), dikenal juga dengan sebutan stress proteins,

adalah sekumpulan proteins dalam sel mahluk hidup yang dapat ditemui dalam

semua fase perkembangan mahluk hidup tersebut. Mereka aktif bila dirangsang

oleh berbagai macam bentuk stres, seperti oxidative-stress, panas, dingin, demam,
11

inflamasi dan gangguan oksigenasi dalam sel. Dalam kondisi normal, Hsp juga

banyak ditemukan dalam sel, dan mereka berperan sebagai Chaperone (Ellis,

1999).

Chaperone sendiri berasal dari bahasa prancis yang secara harfiah berarti

Pengantar, Hsp bertugas memastikan setiap protein dalam tubuh kita berada

dalam bentuk yang seharusnya, ditempat yang seharusnya dan diwaktu yang

seharusnya. Disamping itu Hsp juga menjadi pengawas untuk memastikan

kematian sel, Hsp akan menentukan sel yang sudah rusak atau yang sudah tua

untuk dihancurkan dalam proses kematian sel (Tkacova et al., 2012).

Secara garis besar, Hsp dikelompokan berdasarkan berat molekulnya

(dalam satuan kiloDalton pada fraksi ditingkat protein): small-Hsp, Hsp40,

Hsp60, Hsp70, Hsp90 dan Hsp100 (Tkacova et al., 2012).

3. Hubungan Heat Shock Protein dan Apoptosis

Caspases adalah mediator penting dari kematian sel terprogram

(apoptosis). Di antara berbagai caspase, caspase-3 yang sering diaktifkan oleh

death protease (Takayama et al., 2003).

HSP70 adalah protein yang terinduksi secara kuat setelah stres seperti

pemberian obat antikanker, stres oksidatif, atau iradiasi. HSP70

terekspresi secara berlebih pada sel kanker (Takayama et al., 2003).

Protein-protein HSP telah terbukti dapat memblokir apoptosis dengan

mengganggu aktivasi caspase. Overekspresi dari HSP70 dapat menginhibisi

apoptosis dan mencegah aktivasi caspase dalam berbagai model seluler

melalui berbagai stres seluler, termasuk akumulasi reactive oxygen species


12

(ROS) atau kerusakan DNA (Takayama et al., 2003).

Sebaliknya, deplesi HSP70 dapat meningkatkan sensitivitas sel untuk

menginduksi stimuli apoptosis. Protein-protein HSP dapat memblok baik

jalur apoptosis intrinsik maupun ekstrinsik melalui interaksi dengan protein

kunci pada tiga tingkatan: i)upstream dari mitokondria, dengan demikian

memodulasi sinyal jalur; ii) pada tingkatan mitokondria, dengan mengontrol

pelepasan molekul apoptogenik; iii) dan tingkatan post-mitokondria, dengan

memblok apoptosis (Takayama et al., 2003; Lanneau et al., 2008).

Sedangkan Hsp60 dipercaya memiliki peran dalam membantu maturasi

Caspase-3 dalam mengeksekusi sel untuk apoptosis, sementara itu Hsp90

berperan sebaliknya sebagai faktor anti-apoptosis. Hsp60 secara signifikan dapat

dipakai sebagai indikator dalam menentukan prognosis, dimana pasien dengan

Hsp60-positif memiliki prognosis yang lebih baik dalam 5-year survival rate-nya

dibandingkan pasien dengan Hsp60-negatif. Sementara itu Hsp90 gagal dalam uji

statistik sebagai predictor marker. Dari aspek biologi molekular membuktikan

bahwa, Hsp60 membantu aktivasi dari Caspase-3 dan PARP untuk

menghancurkan DNA sel kanker dan selanjutnya membunuh sel kanker tadi

(Subbarao et al., 2004; Beere et al., 2004).

Studi terbaru mengatakan bahwa Hsp110 ternyata juga berperan dalam

proses pembentukan sel kanker. Hsp110 berhubungan terbalik dengan kedalaman

invasi tumor, staging, invasi kepembuluh lymph, invasi kedalam pembuluh darah

dan infiltrative growth pattern. Pasien dengan Hsp110-positif memiliki prognosis

yang lebih baik pada 5-year survival rate-nya. Hsp110 dan Hsp70 memiliki

hubungan satu sama lainnya, diduga pada fungsi imunitas tubuh, melalui peran
13

CD4+ T-helper sebagai sistem pertahanan tubuh (Subbarao et al., 2004; Beere et

al., 2004).
14

DAFTAR PUSTAKA

Beere HM. The stress of dying: the role of heat shock proteins in the regulation of
apoptosis. Joournal of Cell Science 2004, 117(3): 2641-2647.

Ellis RJ. Molecular chaperons: pathways and networks. Curr Biol 1999, 9:R137-9.

Elmore S. Apoptosis: a review of programmed cell death. Toxicol Pathol 2007,


35:495516.

Kurosaka K, Takahashi M, Watanabe N, Kobayashi Y. Silent cleanup of very


early apoptotic cells by macrophages. J Immunol 2003, 171:4672-9.

Lanneau D, Brunet M, Frisan E et al. Heat shock protein: essential proteins for
apoptosis regulation. J. Cell. Mol. Med 2008, 12(3):743-761.

Rastogi RP, Richa, dan Sinha RP. Apoptosis: Molecular mechanism and
pathogenicity. EXCLI Journal 2009, 8:155-181.

Savill J, Fadok V. Corpse clearance defines the meaning of cell death. Nature
2000, 407:7848.

Subbarao A, Sreedhar S, Csermely P. Heat shock proteins in the regulation of


apoptosis: new strategies in tumor therapy. Pharmacology and
Therapeutics 2004, 101: 227-257.

Takayama S, Reed JC, dan Homma S. Heat shock protein as regulators of


apoptosis. Oncogen 2003, 22:9041-9047.

Tkacova J et al. Heat shock protein: a review. Animal Science and Biotechnology
2012, 45: 349-352

Anda mungkin juga menyukai